Perjuangan Entong Gendut Melengkapi Sejarah
Condet
Puji syukur senantiasa
saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat, berkah, karuniah
dan taufik hidayahNya, Saya sebagai penulis dapat menyelesaikan Tugas 3-
Folklore Indonesia ini dengan keadaan baik walaupun diakui masih banyak
kekurangan didalamnya. Dan tidak pula dilupakan ucapan terimakasih kepada bapak
Drs. M.Shobirienur Rasyid selaku dosen mata kuliah sejarah indonesia yang telah
memberikan tugas ini kepada saya.Saya sebagai penulis
sangatlah berharap jikalau tugas ini dapat berguna dalam menambah pengetahuan
dan wawasan para pembaca mengenai sejarah – sejarah di Indonesia.
Saya pun juga
menyadari bahwa tugas yang saya buat ini masih terdapat kekurangan – kekurangan
dan bisa dibilang jauh dari kata sempurna. Saya berharap adanya kesadaran dari
para pembaca untuk memberikan saran, kritik yang membangun demi meningkatkan
wawasan penulis dalam tugas yang akan dibuat diwaktu yang akan datang.
Saya harap tugas yang
sangatlah sederhana ini dapat dimengerti untuk siapapun pembacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan tugas ini di waktu yang akan
datang.
Groeneveld
Alias Condet
Menurut peta Jakarta lama, Condet termasuk ke dalam
distrik Cililitan Besar. Data tertulis pertama yang menyinggung–nyinggung
Condet adalah catatan perjalanan Abraham Van Riebeeck, ketika masih menjabat
Direktur Jenderal VOC di Batavia (sebelum menjadi Gubernur Jendral).
Dalam catatan tersebut, pada tanggal 24 September 1709
Van Riebeck beserta rombongannya berjalan melalui anak sungai Ci Ondet menuju
Parung: “Over mijin lant Paroeng Combale,
Ratudjaja, Depok, Sringsing naar het hooft van de spruijt Tsji Ondet” (De
Haan 1911: 320).
Tanah Condet cukup subur, buah-buahannya manis. Salak Condet yang terkenal itu
selain manis juga “masir”. Dulu penduduk Condet memang hidup dari pertanian,
walau sebagian kecil ada juga yang menjadi kusir delman atau berdagang.
Di abad ke- 18 orang Belanda menyebut Condet dengan sebutan Groeneveld, yang
berarti Tanah Hijau. Pada waktu itu Condet termasuk bagian dari tanah
partikulir Tandjoeng Oost atau Tanjung Timur milik Peter Van Der Velde asal
Amersfoort (De Haan 1910:50).
Sejarah Tanjung Timur
Sejarah landhuis Tanjung Timur tidak bisa dipisahkan dari Willem Vincent
Helvetius van Riemsdijk, anak lelaki dari Gubernur Jendral Jeremias van Riemsdijk
yang menjadi gubernur jendral pada tahun 1775-1777.
Tetapi kalau ditelusuri siapa yang membangun
landhuis Tanjung Timur, kita akan sampai pada Pieter van de Velde, anak dari
Amersfoort, yang tahun 1740-an menjabat klerk. Ia kemudian menjadi anggota Dewan
Hindia, direktur dari Sositet Amfiun dan pimpinan rumah sakit. Ketika terjadi
pembantaian orang Cina pada tahun 1740, ia mengambil alih tanah di sebelah
selatan Meester Cornelis, yang sebelumnya dimiliki oleh Kapiten Cina Ni Hu
Kong. Sampai tahun 1750 ia menambah penguasaan tanah di situ, antara lain
dengan membeli tanah Bupati Cianjur, Aria Wiratanoe Datar. Tanah itulah yang
kemudian dikenal sebagai tanah Tanjung Timur atau Groeneveld.
Di atas tanah itu pada tahun 1756 ia membangun
rumah besar (landhuis) dengan model berbeda dari rumah-rumah Belanda di kota
tua. Bentuknya adalah vila tertutup. Van de Velde tidak lama menikmati rumah
besar itu. Ia meninggal pada tahun 1763. Pewarisnya menjualnya pada tahun 1759
pada Adriaan Jubbels, seorang tuan tanah kaya-raya dari usaha penggilingan tebu
di sekitar Betawi. Ketika ia meninggal pada tahun 1763, rumah Groeneveld dibeli
oleh Jacobus Johannes Craan, yang kemudian memperbaiki bangunan dan mengganti
pintu dengan kayu ukiran.
Craan merupakan pemilik tanah yang kaya-raya
dengan sejumlah jabatan yang menguntungkan. Ia tidak saja menjadi direktur dari
Sositet Amfiun (perkumpulan candu), komisaris dari tanah-tanah milik kumpeni di
daerah hulu (udik) Betawi, dan menjadi anggota Dewan Hindia.
Craan yang mengawini gadis berumur 15 tahun itu
sempat lama tinggal di situ. Salah seorang anaknya, Catharina Craan, menikah
dengan Helvetius van Riemsdijk.
Ketika ayah mertuanya meninggal, Riemsdijk
memperoleh warisan tanah luas itu pada tahun 1781. Perjalanan hidup Riemsdijk
muda ini dengan jelas menunjukkan adanya KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) di
lingkungan kumpeni.
Riemsdijk muda dilahirkan pada tahun 1752.
Ayahnya, Jeremias van Riemsdijk, merintis dari bawah. Ia pernah menjadi kapten
dalam dinas kumpeni. Pada tahun 1735 dalam usia 23 tahun Jeremias hidup tanpa
uang di Hindia Timur. Tetapi hanya dalam waktu sepuluh tahun ia menjadi tokoh
yang kaya dan berpengaruh di Betawi. Posisi itu membuat keturunan Riemsdijk
mudah mendapatkan jabatan di lingkungan kumpeni.
Helvetius Riemsdijk masuk dengan pangkat asisten.
Tujuh tahun kemudian ia mencapai jabatan administratur tingkat satu, dan
ditempatkan di pulau Onrust, pulau tempat memperbaiki kapal-kapal kumpeni.
Sejak menduduki jabatan penting, mulai tahun
1790-an ia mengoleksi tanah-tanah di berbagai kawasan penting Betawi. Misalnya
Tanah Abang, Cibinong, Cimanggis, Papisangan, Ciampea, Cibubulang, Sadeng, dan
terutama sekali Tanjung Timur. Pada tahun 1777 jumlah penghasilannya mencapai
453.000 rijksdaalder (1 rds = 2,5 gulden).
Salah seorang anaknya, Daniel van Riemsdijk
(1783-1860) tinggal di tanah itu. Ia seorang petani sukses, yang sempat
memiliki 6.000 sapi. Maka sejak tahun 1830 Tanjung Timur dikenal sebagai tempat
penghasil susu.
Ketika ia meninggal pada tahun 1860, warisannya
jatuh pada anak perempuan Dina Cornelia, yang kemudian menikah dengan Tjaling
Ament, seorang Belanda berasal dari Fries.
Landhuis Tanjung Timur juga mencatat peristiwa
bersejarah, ketika Gubernur Jendral Van Imhoff bertemu dengan Ratu Syarifa
Fatimah, yang menjadi penguasa Banten, setelah suaminya sakit. Mereka
merundingkan hubungan yang lebih baik antara kumpeni dan Banten. Tetapi
perundingan itu tidak mampu mengubah jalannya sejarah.
Tandjoeng Oost mengalami masa kejayaan ketika dikuasai
oleh Daniel Cornelius Helvetius van Riemsdijk yang berusaha menggalakkan
pertanian dan peternakan. Setelah dia meninggal pada tahun 1860, Groeneveld
menjadi milik putrinya yang bernama, Dina Cornelia, yang menikah dengan Tjaling
Ament, asal Kota Dokkum, Belanda Utara. Ament melanjutkan usaha mertuanya,
meningkatkan usaha pertanian dan peternakan.
Setelah Tjaling Ament dan istrinya meninggal, Groeneveld dikuasai oleh Lady
Rollinson, seorang kaya dari Inggris. Sebagai tuan tanah yang menguasai Condet,
bangsawan Inggris tersebut mengharuskan rakyat Condet membayar pajak. Juru
tagihnya para mandor dan centeng tuan tanah.
Saksi Bisu Perjuangan Entong Gendut & Rakyat Condet
Gedung Villa Nova atau Groeneveld yang diserang oleh Haji Entong Gendut
beserta pemuda Condet itu adalah gedung satu-satunya dan terbesar di daerah
Condet ketika itu. Keberadaan gedung tersebut membawa ciri khas bagi daerah
tersebut sehingga banyak masyarakat pada waktu itu memberi nama daerah tersebut
dengan julukan sebagai Kampung Gedong. Dan penamaan ini masih bertahan hingga
sekarang, terbukti dengan adanya kampung Gedong di wilayah Condet.Mengenai
sejarah gedung Villa Nova atau Groeneveld yang menjadi asal mula terbentukya kampung
Gedong memiliki kisahnya tersendiri. Gedung ini dibangun oleh Vincent
Riemsdijk, anggota Dewan Hindia, sebagai perkebunan dan sekaligus
peristirahatan. Setelah kematiannya, putranya Daniel van Riemsdijk, seorang
petani andal, benar-benar mengurus perkebunan Tanjung Timur dan mengelolanya
dengan baik. Pada waktu itu, 6.000 ekor sapi digembalakan di perkebunan ini,
tempat yang sekarang berdiri gedung-gedung megah dan jalan raya dari Tanjung
Timur ke Terminal Kampung Rambutan.[9]
Di gedung ini pada 1749 pernah berlangsung
pertemuan antara Gubernur Jenderal Von Imhoff dan Ratu Syarifah Fatimah, wali
sultan Banten. Syarifah, wanita terdidik dan cerdas, pada 1720 menjadi istri
Pangeran Mahkota Banten, Zainul Arifin. Ia sangat berpengaruh terhadap suaminya
ketika menjadi sultan Banten (1733). Tapi, Syarifah sendiri meninggal dengan
merana karena dibuang ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu, akibat pemberontakan
Kyai Tapa (1750). Ia ditangkap akibat ambisinya untuk mengangkat Syarif
Abdullah, yang menikah dengan keponakannya, untuk dijadikan pangeran mahkota
Kesultanan Banten.Gedung yang juga dikenal dengan Villa Nova itu telah beberapa
kali berganti pemilik. Menurut Ran Ramelan tiap penggantian tuan tanah ini,
diadakan peraturan baru yang memberatkan rakyat Condet. Terhadap tiap pemuda
Condet yang telah menginjak dewasa dikeluarkan kompenian atau pajak kepala
sebesar 25 sen (nilainya kira-kira 10 liter beras). Karena banyak petani yang
tidak sanggup membayar blasting (pajak) yang sangat memberatkan itu, tuan tanah
sering membawa petani yang tak sanggup membayar ke landraad (pengadilan). Dan
tuan tanah di Condet sering mengeksploitasi masyarakat sehingga akibatnya banyak
petani yang bangkrut, rumahnya dirusak, atau tak jarang yang dibakar. Penduduk
yang belum membayar blasting hasil sawah dan kebunnya tidak boleh dipanen
Siapa Itu Entong Gendut
Berdasarkan beberapa literatur yang saya baca, Entong Gendut ini
digambarkan sebagai sosok yang pemberani dalam melawan kezaliman dan
kesewenang-wenangan Tuan Tanah yang didukung oleh Penjajah Belanda.
Dinamakan Gendut karena perawakannya agak gemuk. Panggilan Entong sendiri
merupakan panggilan akrab kepada yang muda pada masa itu. Di beberapa wilayah seperti
Pondok Gede dan Bekasi, panggilan Entong ini bahkan masih sering saya dapati.
Bahkan salah seorang orangtua sahabat saya, kalau ketemu saya selalu memanggil
saya Entong...
Keberadaan atau kisah Entong Gendut ini dapat saya katakan
sangat minim referensinya dalam sejarah Jakarta, namun bagi orangtua di Condet
yang usianya diatas 70 tahun, nama yang satu ini sangatlah melekat dihati
mereka. Entong Gendut sendiri kisahnya sudah masuk dalam Forklore (cerita
rakyat). Itu artinya keberadaan beliau sudah diakui masyarakat Jakarta baik
secara fakta maupun legenda, jadi sangatlah mengherankan jika ada warga
Jakarta, apalagi mereka yang senang akan sejarah tidak mengenal sosok Entong
Gendut ini.
Entong Gendut memang sosok yang misterius dan cukup menarik untuk
dilacak sejarahnya. Beberapa tahun lalu untuk melacak jejak dirinya, saya
pernah mendengar jika beliau ini punya keturunan yang tinggal di sekitar Gang
Pangeran di samping SMA Global Islamic School. Memang jika saya melihat Gang
Pangeran ini masih ada beberapa peninggalan rumah betawi Tua, yang satu berada
di samping mushola yang satu dipinggir jalan Gang Pangeran. Insya Allah ke
depannya saya akan mencoba mencari jejak keturunan Entong Gendut ini.
Dalam perjalanan hidupnya Entong Gendut adalah sosok pembela
rakyat Condet yang telah lama ditindas secara semena-mena oleh Tuan Tanah dan
antek-anteknya. Tuan Tanah dari bangsa asing ini serta penjajah Belanda banyak
berbuat zalim dengan cara membuat pajak tanah dan pajak tanaman dengan nilai
uang yang sangat tinggi, bahkan mereka tidak segan-segan merampas secara
sefihak tanah-tanah pertanian rakyat. Tanah Condet pada masa lalu memang
sangat makmur dan menjanjikan bagi para pemiliknya, apalagi daerah ini
merupakan dataran tinggi yang aman dari wilayah banjir serta jauh dari
pengawasan pemerintahan Penjajah Belanda yang berada dipusat kota seperti
daerah Jakarta Pusat yang sekarang ini.
Perlawanan para pemuda dan pejuang Jakarta terhadap para Tuan
Tanah dan Penjajah pada masa lalu memang kebanyakan berawal dari masalah
pertanahan. Sejak dahulu masalah tanah selalu menjadi gejolak antara si kaya
dan si miskin, antara rakyat dan penguasa. Tanah-tanah rakyat inilah yang
akhirnya selalu menjadi penyebab timbulnya perjuangan. Tanah yang harusnya
menjadi milik pribumi, justru telah dirampas dan dimiliki oleh Tuan Tanah dari
Bangsa Asing. Ironisnya Tuan Tanah dari Bangsa Asing ini banyak juga dibantu
oleh para penghianat yang rela mengorbankan darah saudaranya sendiri demi
kepuasan harta dunia. Rakyat seperti bukan hidup di negerinya sendiri. Mereka
seperti tamu di negerinya sendiri, bangsa asinglah yang justru menjadi Raja.
Rakyat betul-betul menderita dan itu juga dialami oleh Entong Gendut. Sekalipun
rakyat dicekam ketakutan oleh tindak tanduk Tuan Tanah dan Penjajah Belanda,
namun hampir semua rakyat Condet sangat mendukung dan simpati terhadap
perjuangan Entong Gendut ini, walau mereka hanya bisa mendukung melalui
doa. Rakyat memang tidak bisa membantu langsung perjuangan Entong Gendut itu
karena mereka selalu dicekam ketakutan karena telah terus menerus
mendapatkan ancaman intel-intel dan pasukan Belanda yang terus mencari
keberadaan Entong Gendut dan kawan-kawannya.
Perlawanan Entong Gendut sendiri muncul setelah redupnya
perlawanan Pendekar Pitung, dimana satu persatu anggotanya Syahid dan gugur
ditangan penjajah Belanda.
Dalam beberapa riwayat, dan ditulis yang kami ketahui beberapa
tahun lalu, Perlawanan Entong Gendut ini tidak lama karena keburu “gugur” oleh
Penjajah Belanda. Nah pada sisi inilah saya ingin menjelaskan sejarahnya
lebih dalam lagi. Pada beberapa versi yang pernah kami ketahui, Entong Gendut
ditulis gugur pada tahun 1916 Masehi setelah tertembak ditepi sungai Ciliwung.
Versi kedua Entong Gendut “naas” karena menyalahi pantangan ilmunya yang tidak
boleh menyeberangi sungai, sehingga ia akhirnya tertembak dan tewas. Versi
ketiga Entong Gendut Gendut terjebak di tepian sungai Ciliwung dan ditembaki
oleh pasukan Belanda, namun beliau dikatakan kebal dan tahan peluru, namun
akhirnya menyerah karena kalah jumlah, kemudian dia memberi tahu kelemahan ilmu
yang dimilikinya. Versi keempat beliau tertembak dan tewas kemudian mayatnya
dibawa ke Cililitan namun kemudian ternyata hilang, kemudian tidak lama
kemudian terdengar bahwa beliau “hidup” dan muncul di Purwakarta Jawa Barat.
Dari sekian versi tersebut, semua rata-rata menyatakan bahwa
Entong Gendut gugur, walaupun ada beberita cerita yang dipengaruhi unsur
mistik, dan cerita seperti ini memang biasa disebarkan fihak fihak penjajah
kepada rakyat untuk menggambarkan bahwa “sesakti-saktinya” jagonya pribumi,
tetap saja ia kalah oleh Penjajah ! Padahal kematian Entong Gendut jauh dari
prasangka dari penjajah ini.
Namun berdasarkan keterangan kitab Al-Fatawi dan keterangan KH
Ahmas Syar’i Mertakusuma. Entong Gendut ini seperti yang digambarkan diatas.
Entong Gendut memang gugur namun caranya tidaklah seperti yang diatas.
Perjuangan Entong Gendut
Menghadapi kebijakan tuan tanah seperti itu, rakyat Condet masih berusaha
sabar. Namun, ketika kebun milik seorang penduduk bernama Taba dibakar karena
belum membayar pajak, mereka akhirnya bangkit melakukan perlawanan. Pada 5
April 1916 Villa Nova diserang oleh para petani Condet. Pemberontakan itu
dipimpin Haji Entong Gendut, seorang jawara yang dikenal saleh.
Para
pendekar persilatan yang berada di Tanjoeng Oost khususnya, dan Condet umumnya
bersatu melawan para tuan tanah dan centeng-centengnya yang sering menindas
rakyat. Teriakan-teriakan “Allahu Akbar! Sabilullah! gua kagak takut!” menggema
ke seantero Condet, mewakili genderang perang jihad menegakkan amar makruf nahi
munkar.
H Entong Gendut, dibantu oleh beberapa tokoh lainnya seperti Maliki, Modin,
Saiprin (Ngkong Prin/Babe Cungok), H. Amat Wahab, Said Kramat, Hadi, Dullah,
dan orang-orang keturunan Arab dari Cawang seperti Ahmad Al Hadad, Said Mukhsin
Alatas, dan Alaydrus, menentang tuan tanah dan Kompeni Belanda.
Akibat serbuan itu, beberapa keluarga tuan tanah berhasil ditawan. Bahkan
bebeapa pejabat Belanda yang datang dari Meester Cornelis untuk memadamkan
pemberontakan itu juga ditangkap Haji entong Gendut dan kawan-kawan.
Hal ini membuat pihak Belanda marah dan mengerahkan bala bantuan dari Batavia.
Pemberontakan berhasil ditumpas. Haji Entong Gendut gugur. Kelihaiannya bermain
jurus silat Sapu Angin, tidak menghalangi hunjaman peluru Belanda yang deras
mengarah ke dadanya.
Dia tersungkur tertembak ketika terpancing Belanda untuk menyeberangi kali
Ciliwung. Konon, menurut cerita rakyat, kekebalan Entong Gendut akan luntur
apabila terkena air sungai.
Demang Mester Cornelis yang kala itu memimpin penumpasan rakyat Condet,
memerintahkan untuk membawa Entong Gendut ke Rumah Sakit Kwini (kini RSPAD).
Namun, di tengah perjalanan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Satu
persatu para pengikutnya ditangkapi.
Setelah pemberontakan itu, tindakan tuan tanah dan Kompeni terhadap rakyat
Condet semakin kejam, sehingga tidak ada seorang pun orang dewasa yang berani
tinggal di Condet. Mereka semua melarikan diri dari kejaran Belanda. Beberapa
pendekar lain seperti Maliki, Modin, Hadi, dan Dullah melarikan diri ke arah
timur, yaitu Rawa Binong (sekarang termasuk Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur).
Bahkan di jalan-jalan Batavia sampai tidak ada yang berani mengaku orang
Condet. Kala itu banyak pemuda Condet yang ditangkap dan pulang tinggal nama. Situasi
mencekam itu digambarkan dalam pantun rakyat Condet yang cukup terkenal :
Ular kadut mati di kobak, Burung betet makanin laron
Entong
gendut mati ditembak, Orang Condet pada buron.
Motif Lain Dibalik Perjuangan Entong Gendut
Entong Gendut dalam catatan KH Ahmad Syar’i Mertakusuma ternyata
adalah merupakan bagian dari strategi perjuangan dari Mujahidin Jayakarta.
Entong Gendut ini ternyata masuk dalam jaringan Gerakan Perjuangan KI DALANG
yang berpusat di Desa Teluk Naga Kampung Melayu Tangerang, sedangkan Majelisnya
berada di Kampung Bambu Larangan Cengkareng, Masjid Kumpi Haji Kuntara
Nitikusuma (kini nama Masjid Kuntara berganti menjadi Masjid Safinatul Husna).
Pada waktu itu wilayah Tangeran Kampung Naga masuk menjadi wilayah Jayakarta.
Dan di wilayah Tangerang dan Cengkareng inilah banyak terdapat Mujahidin Jayakarta.
Gerakan KI DALANG adalah gerakan Perjuangan Mujahidin Jayakarta,
setelah redupnya perlawanan 7 Kesatria Jayakarta, Pendekar Pituan Pitulung
(Pitulung). Tumbangnya gerakan Pitung di tahun 1905 Masehi setelah gugurnya
Penghulu mereka yaitu Radin Muhammad Ali Nitikusuma, setelah itu semua
Mujahidin Jayakarta melakukan konsolidasi dibawah tanah hingga kemudian
akhirnya pada tahun 1914 muncul Gerakan Perjuangan Ki Dalang.
Gerakan Ki Dalang adalah gerakan perlawanan terhadap kezaliman
Tuan Tanah dari bangsa asing ataupun bangsa sendiri yang didukung Penjajah
Belanda. KI Dalang ini memang banyak yang terdiri dari Dalang, namun dalam
praktek perdalangannya mereka menyebarkan ajaran jihad fisabilillah terhadap
pada Tuan Tanah dan Penjajah Belanda. Kata-kata “kafir” sering dikumandangkan
untuk membedakan antara Tuan Tanah, penjajah dan rakyat Jayakarta.
Gerakan Ki Dalang dimulai tahun 1914 dan berakhir pada tahun
1926.
Dalam perjuangan KI Dalang ini Entong Gendut mendapatkan
tugas di bagian Timur Jayakarta, termasuk Desa Condet, sedangkan bagian
Selatan yang mendapatkan tugas adalah Entong Geger dari Jati Padang Pasar
Minggu. Peta pergerakan Entong Gendut adalah dimulai dari Kampung Condet sampai
wilayah Tanjung Barat. Setiap beberapa bulan mereka melakukan konsolidasi dan
mematangkan strategi dengan para pejuang Jayakarta lainnya.
Perjuangan Entong Gendut ini cukup membuat repot Penjajah
Belanda dan membuat ketakutan para Tuan Tanah di kawasan Condet dan Tanjung
Barat, apalagi Entong Gendut ini tidak segan-segan memberikan “hukuman” keras
kepada mereka yang berfihak kepada Penjajah dan Tuan Tanah, berapa kali ia
bersama dengan teman-temannya berhasil memberi pelajaran telak kepada pasukan
belanda, Tuan Tanah dan antek-anteknya.
Semangat perjuangan Entong Gendut adalah Jihad Fi Sabilillah,
sehingga apabila dia mendengar atau melihat langsung kemungkaran, maka Entong
Gendut akan segera bertindak. Semangat Islamnya sangat luar biasa sekali.
Perjuangan Entong Gendut sendiri harus berakhir pada tahun 1920
Masehi. Pada tahun inilah Entong Gendut tertangkap Belanda. Bersama dengan
tokoh KI Dalang lainnya dia tertangkap tangan. Mereka yang tertangkap adalah :
1.
Radin Abdul Karim bin
Daim Nitikusuma
2.
Entong Geger dari Jati
Padang
3.
Entong Gendut dari
Condet
4.
KH Ahmad Syar’i
Mertakusuma
Penutup
Demikianlah sekelumit sejarah Entong Gendut yang ternyata merupakan
salah satu Mujahidin Jayakarta dan merupakan satu rekan perjuangan dari
Al-Allamah KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang merupakan penulis kitab Al-Fatawi,semoga
kisah Entong Gendut ini menjadi inspirasi bagi kita semua dan saya berharap
kedepannya, nama Entong Gendut ini bisa diperhatikan untuk diabadikan atau
dijadikan nama sebuah jalan atau tempat di sekitar Condet, karena beliau ini
adalah seorang pejuang dan mujahidin yang telah berani membela kehormatan
rakyat Jakarta dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Mudah-mudahan tokoh
masyarakat, ulama dan pemerintah setempat bisa memperhatikan nama pejuang yang
satu ini.....
Daftar Pustaka
Fahrul Rozi
4423155443
Usaha Jasa Pariwisata B
Setelah Tjaling Ament dan istrinya meninggal, Groeneveld dikuasai oleh Lady Rollinson, seorang kaya dari Inggris. Sebagai tuan tanah yang menguasai Condet, bangsawan Inggris tersebut mengharuskan rakyat Condet membayar pajak. Juru tagihnya para mandor dan centeng tuan tanah.
leh ugaa nich anak pariwisata, sering2 main kesini rul biar tugas nya kelar wkwkwk
BalasHapusDat is goed:))))
BalasHapusDat is goed:))))
BalasHapus