MANADO
Kata pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas
karunianya, saya dapat bisa mengerjakan tugas dengan baik. Sertan sholat salam
dari rasulullah SAW yang memberikan ketabahan dan kekuatan sehingga bisa
menyelesaikan tugas dengan benar dan baik.
Pendahuluan
Dahulu kota
Manado adalah bagian dari Minahasa. Wenang adalah nama pertama sebelum berganti
menjadi Manado. Pergantian nama Wenang menjadi Manado dilakukan oleh
orang Spanyol. Menurut Prof. Geraldine Manoppo-Watupongoh, nama Wenang
berubah menjadi Manado terjadi pada tahun 1682.
Kata
Manado diambil dari nama pulau di sebelah Bunaken, yaitu pulau Manado yang
banyak disebut-sebut oleh bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda di dalam memori
serah terima dan surat-surat penting lainnya. Agar tidak kehilangan nilai
sejarahnya, di belakang pulau Manado ditambahkan kata Tua, sehingga namanya
menjadi Manado Tua.
Di pulau
Manado, yang kemudian namanya berubah Manado Tua, sekitar abad ke-13 pernah
berdiri kerajaan Bowontehu. Ketika kerajaan Bowontehu lenyap, pada tahun
1500- 1678 berdiri kerajaan Manado, namun bukan Manado daratan yang sebelumnya
bernama Wenang.
Sistem
pemerintahan yang dianut kota Manado pada masa pemerintahan kolonial
Hindia-Belanda juga sama dengan Minahasa; berbentuk republik-republik negeri
yang disebut pakasaan. Tiap pakasaan dibagi lagi dalam sejumlah negeri kecil.
Pemimpin
kota Manado pada masa pakasaan dipilih langsung oleh rakyat dari tokoh
yang disegani, pemberani, pahlawan atau tokoh yang dituakan. Bentuk
pemerintahannya bersifat demokratis, merdeka dan berdaulat penuh.
Pada era
pemerintah kolonial Belanda, kota Manado ditetapkan sebagai keresidenan
(residency); yang terdiri dari Minahasa, Bolaang Mongondow, Gorontalo, dan
pusatnya adalah Manado sebagai bagian dari wilayah Minahasa.
Pada
tahun 1824, berdasarkan keputusan gubernur jenderal Van der Cepellen, tanggal
14 Juni 1824, Nomor 10 (stblt 28 a), Manado ditetapkan menjadi keresidenan
defenitif yang lepas dari Ternate; Johanes Wensel ditunjuk sebagai
residennya.
Manado
pada masa purba memiliki Dewan Wali Pakasaan, yang memiliki undang-undang
dasar primitif, yaitu Hukum Adat tidak tertulis sama dengan Minahasa. Hebatnya
undang-undang dasar primitif tersebut diterima secara total oleh seluruh
penduduk, namun oleh residen Johanes Wensel pada tanggal 1 September
1825, Dewan Wali Pakasaan dihapus dan diganti dengan MINAHASA RAAD purba
(kini bangunannya berada di samping gedung Joeang 45 Manado).
Menurut Dr. Godee Molsbergen, Dewan Wali
Pakasaan dihapus karena sukar bagi kompeni Belanda melakukan penaklukkan.
Nama pakasaan sebelumnya adalah paesaan, kemudian berubah menjadi pahasaan dan terakhir berkembang menjadi pakasaan. Ketika pemerintah kolonial Belanda berkuasa, pakasaan ditata dalam bentuk baru dengan nama walak, namun Dr. Robertus Padtbrugge menyebutnya balak.
Nama pakasaan sebelumnya adalah paesaan, kemudian berubah menjadi pahasaan dan terakhir berkembang menjadi pakasaan. Ketika pemerintah kolonial Belanda berkuasa, pakasaan ditata dalam bentuk baru dengan nama walak, namun Dr. Robertus Padtbrugge menyebutnya balak.
Para
kepala walak diberi gelar Hukum Mayoor. Sedangkan kepala bawahannya disebut
Hukum, namun ada juga yang menyebutnya Ukung. Pengertian Hukum yang dimaksud
tidak sama dengan hukum yang berlaku saat ini, meskipun tugas dan fungsi para
kepala walak saat itu adalah menata, mengatur dan menjalankan aturan sesuai
hukum.
Walaupun
pemimpin walak dipilih secara langsung oleh rakyat, namun bentuk dinasti dalam
walak sering muncul. Hal seperti itu terjadi jika terdapat anak kepala walak
yang disegani, maka otomatis anak kepala walak yang disegani tersebut dipilih
secara aklamasi sebagai pengganti kepala walak.
Menurut
Prof. Dr. George Alexander Wilken dalam Jessy Wenas, kata walak merupakan
bahasa asli Minahasa di wilayah Tontemboan, Tombulu, Tonsea dan Tondano.
Dikatakannya bahwa walak memiliki dua pengertian. Pertama, walak adalah
serombongan penduduk secabang atau dalam satu garis keturunan. Kedua, walak
adalah wilayah/negeri yang didiami penduduk secabang atau dalam satu garis
keturunan.
Menurut
Dr. Robertus Padtbrugge di Manado pada tahun 1678 terdapat 3 (tiga) walak,
yaitu walak Ares berpenduduk 100 kepala keluarga, walak Manado berpenduduk 40
kepala keluarga dan walak Klabat Bawah berpenduduk 60 kepala keluarga.
Pada tahun
1764 walak di Manado bertambah menjadi 6 (enam), yaitu walak Ares, Manado,
Klabat Bawah, Bantik, Mawuring (perkampungan Tondano di tepi sungai Tikala) dan
Negeri Baru (kini Titiwungen). Pada awal tahun 1800 sampai tahun 1817 di Manado
pernah ada walak Nieuw Tondano (Tondano Baru) atau Tondano-Bawah. Tahun 1856,
walak Nieuw Tondano dan Mawuring dihapus berdasarkan Staatsblad Nomor 28.
Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial
Hindia-Belanda mengubah walak menjadi distrik. Ketika itu kota Manado masih bernama
Wenang dan memiliki 7 (tujuh) distrik, yaitu distrik Ares, Klabat-Bawah,
Manado, Mawuring, Negeri Baru, Nieuw Tondano dan distrik Bantik. Pada tahun
1884, walak Ares, Klabat Bawah, Manado, Wanua Weru dan Negeri Baru
digabung menjadi distrik Manado.
Distrik dalam menjalankan tugasnya dipimpin oleh kepala distrik dan dibantu oleh kepala Distrik Kedua.
Distrik dalam menjalankan tugasnya dipimpin oleh kepala distrik dan dibantu oleh kepala Distrik Kedua.
Pada
tahun 1919 pemerintah Hindia-Belanda menghapus distrik Bantik dan digabung ke
distrik Manado, sehingga kota Manado menjadi satu-satunya distrik dari 7 bekas
distrik di wilayah yang kini menjadi kota Manado. Pada tahun 1919, Manado
menjadi kota Haminte (pemerintahan kotapraja pada masa pendudukan
Hindia-Belanda) dan memiliki dewan kota berdasarkan Staatsblad (lembaran
negara) Hindia-Belanda Nomor 225 tanggal 1 Juli 1919.
Wilayah
Manado pada tahun 1927 diperluas. Tomohon adalah salah satu distrik yang
digabungkan ke distrik Manado sampai tahun 1944. Tahun 1951, distrik
Manado terdiri dari distrik Bawahan Manado Utara Luar Kota (kecamatan Wori) dan
distrik Manado Selatan Luar Kota (kecamatan Pineleng). Walaupun sudah ramai
dikunjungi, wilayah kota Manado sampai pada tahun 1934 masih terdiri dari satu
distrik dan dua Distrik Kedua (setingkat kecamatan), yaitu onderdistrik Zuid
Manado (Manado Selatan) dan onderdistrik Noord Manado (Manado Utara). Tahun
1953, Manado disebut kota Besar.
Kota
Manado sejak masa kemerdekaan telah beberapa kali mengalami perubahan status
dalam struktur pemerintahan. Semula masuk dalam kategori kotapraja (1957-1958),
Daerah Tingkat II (1958-1965), Kotamadya (1965-1974), Kotamadya Daerah Tingkat
II (1974-1999), Kota Manado (1999 – saat ini).
Raja
Tadohe anak dari raja Mokodompit raja Bolaang Mongondow dari ibu berasal dari
kerajaan Siau yaitu, cucu dari raja Lokonbanua II dan Mangima Dampel yang
berasal dari keturunan Gumansalangi dari Kotabatu Mindanow Kulano (raja)
pertama kerajaan Tampung Lawo dari permaisuri Sangiang Konda Wulaeng (putri
khayangan) yang bergelar Madellu dan Mekilla.
Raja
Tadohe menikah dengan Rasingan adalah keturunan ke sembilan dari Gumansalangi.
Boki Rasingang cucu dari Raja Batahi dari permaisuri Maimunah dari kerajaan
Rimpulaeng (Tabukan)bernama Raja Don Franciskus Macaampo Juda I, serta anak
dari Hendrik Daramenusa Jacobus. Alkisah ketika raja Mokodompit gugur dalam
peperangan, Tadohe masih kecil dan dibawa oleh ibunya ke Siau. Kerajaan
Bowontehu serta Kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow diduduki oleh pasukan
kerajaan Goa-Tallo.
Pada
tahun 1520 kerajaan di Bolaang Mongondow meminta bantuan kepada Raja Batahi
untuk membebaskan mereka dari pendudukan kerajaan Goa-Tallo. Kerajaan-kerajaan
Sangihe mempunyai ikatan persaudaraan dengan kerajaan Bolaang Mongondow karena
berasal dari kerajaan Bowontehu dan juga perkawinan anak-anak raja. Maka raja
Batahi memerintahkan palinglima Hengkengunaung untuk menggempur pasukan
kerajaan Goa-Tallo. Panglima perang Siau Laksamana Hengkengunaung turun melalui
pelabuhan Pehe lewat Sasambo "Lumintu bo'u Pehe tarai ipe sombang endai
makawawa Untung". Maka pasukan kerajaan Goa-Tallo berhasil dikalahkan
terus diburu hingga ke Buol-Leok.seperti pernah ditulis beberapa penulis Eropa
dan H.M. Taulu. Tak heran H.B.Elias dalam bukunya juga menyebut Siau imperium
dalam format kecil.
Keberhasilan
pasukan Hengkengunaung mengusir pasukan kerajaan Goa-Tallo, maka semua kerajaan
di Bolaang Mongondow harus membayar upeti setiap tahun ke Siau dan
kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow harus di pimpin oleh raja Tadohe dan
keturunannya turun-temurun melalui kesepakatan bersama. Raja Tadohe melalui
Boki Rasingan di karunia anak masing-masing bernama Sadadang,Tendenang, Kaki.
Loloda
Daloda Mokoagow adalah cucu dari Raja Tadohe merupakan keturunan ke sebelas
dari Raja Gumansalangi Madellu dengan Sangiang Konda Wulaeng dari kerajaan
Tampung Lawo. Laloda Daloda Mokoagow adalah raja pertama yang menjadi raja
kerajaan Manarow yang berpusat di daratan pulau Sulawesi bagian Utara sekarang
disebut Manado,sebelumnya bernama kerajaan Bowontehu/Wawontehu yang berpusat di
pulau Manarouw (Manado Tua). Kemudian Bowontehu/Wowontehu berubah menjadi
Kerajaan Manarouw dengan raja bernama Laloda Daloda Mokoagow.
Dahulu
Kerajaan ini pernah di kuasai oleh suku Bajo dan diserbu oleh pasukan sultan
Kaitjil Sibori dari Ternate bersama pasukannya dari Laloda tetapi berhasil
dihalau oleh pangeran Meliku-Nusa dari kerajaan Tampung Lawo. Pangeran
Meliku-Nusa tidak kembali ke Sangir tapi terus mengembara mengalakan jagoan-jagoan
di Bolaang Mongondow kemudian menikah dengan Menong Sangiang putri raja
Mongondow.
Kerajaan
Manarouw merupakan pembentukan oleh Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge
ketika berada di Manarow (Gahenang/Wenang/Manado tahun 1677), memindahkan ke
Singkil 54 orang dari (pulau Manarouw Manado Tua) sakit karena kekurangan
makanan. Penduduk/Rakyat kerajaan Manarow adalah orang Sangir-Talaud, sesuai
catatan Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge ketika berada di Manado tahun
1677 mengatakan bahwa orang Sangir Tualah adalah penduduk pribumi yang pertama
di Manado, yakni sekitar tahun 1332.
PERJUANGAN
SEMESTA DI KOTA MANADO
Sejak
saat itu, semua penduduk terutama kaum muda, yang semula dikerahkan memanggul
alat pembangunan, tiba² diminta berganti peran. Pendaftaran mulai dilakukan
dimana², baik untuk mendukung barisan pemuda maupun untuk dinas militer
Permesta. Latihan kemiliteran pun mulai tampak dimana². Para pemuda, tak
terkecuali gadis², mulai raib dari kampung². Mereka ikut mendaftarkan diri, lalu
dikirim ke pusat² latihan. (Kaum wanita Permesta tergabung dalam Pasukan Wanita
Permesta (PWP) dengan potongan rambut seperti Kowad/Polwan).
Pendidikan
dan latihan secara militer dengan memakai senjata dipusatkan di daerah
Mapanget, dilatih oleh para penasehat dari Korps Marinir AS. Pendidikan dengan
latihan tempur dalam satuan kompi dan batalyon dilakukan di Remboken, Tompaso
dan di daerah perbukitan Langowan. Latihan di sana dipimpin oleh seorang Mayor
AD Filipina dengan beberapa perwira APRI (TNI) yang berpendidikan kompi.
Sejumlah
penasehat militer Amerika Serikat diselundupkan ke Sumatera dan Minahasa.
Berbagai macam persenjataan dikirimkan lewat kapal dan sejumlah pesawat terbang
(antara lain pesawat pengangkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu Mustang F-51,
Beachcraft, Catalina dan pembom B-26 Invander yang berada dibawah Angkatan
Udara Revolusioner (AUREV) dengan sekitar 40 awak pesawatnya) juga ikut
diperbantukan. Mereka melancarkan kegiatan tersebut dari Pangkalan Udara
Militer Amerika Serikat di Clark Airfield, Filipina. Ada juga satuan kepolisian
PRRI yang bernama Polisi Revolusioner (Polrev), dan badan intelejen Permesta
yang diberi nama Permesta Yard.
Kiriman
pertama yang terdiri dari berbagai senjata ringan serta amunisi untuk pasukan
infanteri segera dikeluarkan dan dibagi²kan. Beberapa pucuk mitraliur anti
pesawat terbang segera dipasang di tempat² strategis di sekitar daerah
pelabuhan dan lapangan udara yang sudah ditetapkan sebelumnya. Bersama kiriman
persenjataan tersebut juga tiba beberapa instruktur asing, sehingga latihan²
pasukan baru dapat segera dimulai.
Permesta
saat itu tidak pernah kekurangan senjata. Salah seorang pemasok peralatan
militer Permesta dari luar negeri yaitu Mayor Daan E. Mogot mengakui bahwa dari
Italia pernah menawarkan kapal perang, tetapi tidak pernah bisa diambil karena
alasan teknis. Demikian juga bantuan dana dan perbekalan, dengan mudah bisa
didapatkan dari Taiwan, Jepang, Korea Selatan dan Filipina.
Timbunan
senjata dan perlengkapan militer terkumpul di Okinawa dan di Filipina. Orang²
PRRI dan Permesta, Filipina, Cina, Amerika Serikat dan para sedadu sewaan 'dari
negara² lain' juga telah dilatih dan siap di Okinawa dan di Filipina untuk
membantu PRRI dan Permesta.
Sekitar
satu peleton anggota RPKAD (sekarang Kopassus) yang berasal dari Minahasa yang
sedang cuti pulang kampung terjebak Pergolakan. Pasukan Nicholas Sulu tersebut
kemudian menjadi tulang punggung WK-III di wilayah Tomohon. Selain itu ada juga
sepasukan yang dipimpin oleh bekas anggota RPKAD fam Lahe yang merekrut pemuda²
di kampungnya dan membentuk Kompi Lahe yang terkenal kejam akan pembantaian
Pasukan Combat (kompi) Lahe di Raanan dan Tokin: Peristwa itu didahului oleh
Simon Ottay dari GAP (Gerakan Anti Permesta) - yaitu salah satu organisasi
bentukan komunis (PKI) yang menyamar dengan memakai pangkat Kapten Permesta
(APREV) mendaftarkan penduduk dari kedua desa tersebut untuk menjadi
"anggota" Pasukan Permesta. Setelah ia lari karena diburu pasukan
PRRI (Permesta), didapatilah daftar "anggota" tersebut. Tanpa
pemeriksaan, langsung saja Kompi Lahe yang dipimpin oleh Montolalu membantai
penduduk kedua desa tersebut. Karena tindakan ini dinilai sebagai kejahatan
kemanusiaan dan hukum (tanpa pemeriksaan secara saksama), maka Lahe dan
Montolalu dikejar pasukan antara lain dari Kapten (?) Tumanduk. Montolalu
ditangkap di Sinisir, dan dieksekusi di Mokobang, sedangkan Lahe ditangkap di
Remboken.
KEBUDAYAAN LAMA DAN ASLI DI KOTA
MANADO
Kebudayaan
lama dan asli yang dibanggakan oleh masyarakat Kota Manado, yaitu :
Mapalus
Mapalus
adalah bentuk gotong royong tradisional warisan nenek moyang orang Minahasa di
Kota Manado yang merupakan suatu sistem prosedur, metode atau tehnik kerja sama
untuk kepentingan bersama oleh masing-masing anggota secara bergiliran. Mapalus
muncul atas dasar kesadaran akan adanya kebersamaan, keterbatasan akan
kemampuannya baik cara berpikir, berkarya, dan lain sebagainya.
Rumah
Panggung
Rumah
panggung atau wale merupakan tempat kediaman para anggota rumah tangga orang
Minahasa di Kota Manado, dimana didalamnya digunakan sebagai tempat melakukan
berbagai aktivitas. Rumah panggung jaman dahulu dimaksudkan untuk menghindari
serangan musuh secara mendadak atau serangan binatang buas. Sekalipun keadaan
sekarang tidak sama lagi dengan keadaan dahulu, tapi masih banyak penduduk yang
membangun rumah panggung berdasarkan konstruksi rumah modern.
Pengucapan
Syukur
Pada
masa lalu pengucapan syukur diadakan untuk menyampaikan doa atau mantra yang
memuji kebesaran dan kekuasaan para dewa atas berkat yang diberikan sambil
menari dan menyanyikan lagu pujian dengan syair yang mengagungkan. Saat ini
pengucapan syukur di Kota Manado dilaksanakan dalam bentuk ibadah di gereja.
Pada hari H tersebut setiap rumah tangga menyiapkan makanan dan kue untuk
dimakan oleh anggota rumah tangga, juga dipersiapkan bagi para tamu yang datang
berkunjung.
Tari
Kabasaran
Tari
kabasaran sering juga disebut tari cakalele, adalah salah satu seni tari
tradisional orang Minahasa yang banyak dimainkan oleh masyarakat Kota Manado,
yang biasanya ditampilkan pada acara-acara tertentu seperti menyambut tamu dan
pagelaran seni budaya. Tari ini menirukan perilaku dari para leluhur dan
merupakan seni tari perang melawan musuh.
Tari
Maengket
Tari
maengket adalah salah satu seni tarian rakyat orang Minahasa di Kota Manado
yang merupakan tari tontonan rakyat. Tarian ini disertai dengan nyanyian dan
diiringi gendang atau tambur yang biasanya dilakukan sesudah panen padi sebagai
ucapan syukur kepada Sang Pencipta. Saat ini tari maengkat telah berkembang
dalam masyarakat membentuk tumpukan-tumpukan dengan kreasi baru.
Musik
Kolintang
Musik
kolintang pada awalnya dibuat dari bahan yang disebut wunut dari jenis kayu
yang disebut belar. Pada perkembangan selanjutnya, kolintang mulai menggunakan
bahan kayu telor dan cempaka. Orkes kolintang sebagai produk seni musik
tradisional bukan saja sebagai sarana hiburan, akan tetapi juga sebagai media
penerapan pendidikan musik yang dimulai dari anak-anak sekolah di Kota Manado.
Musik
Tiup Bambu
Musik
tradisional ini berasal dari kepulauan Sangihe Talaud yang diciptakan oleh
seorang petani pada tahun 1700. Pada awalnya musik bambu hanya merupakan alat
penghibur bagi masyarakat petani setelah seharian melakukan aktivitas sebagai
petani yang biasanya dibunyikan setelah selesai makan malam. Dewasa ini di Kota
Manado, musik bambu telah menjadi salah satu jenis musik yang sering digunakan
pada acara-acara tertentu agar menjadi lebih semarak dan bergengsi.
Musik
Bia
Bia
adalah sejenis kerang atau keong yang hidup dilaut. Sekitar tahun 1941 seorang
penduduk Desa Batu Minahasa Utara menjadikan kerang/keong sebagai satu tumpukan
musik. Musik bia akhirnya telah menjadi salah satu seni musik tradisional yang
turut memberikan nilai tambah bagi masyarakat Kota Manado. Dengan hadirnya
musik ini pada pagelaran kesenian dan acara tertentu, telah menimbulkan daya
tarik tersendiri bagi wisatawan baik mancanegara maupun nusantara.
Dinamika keagamaan sendiri tidak
terlepas dari perubahan kekuasaan atau dalam kaitannya untuk menjaga keseimbangan
kekuasaan masa kolonial. Agama Islam mulai dikenal di Manado pada tahun 1684
setelah kedatangan buruh-buruh yang didatangkan VOC untuk mendirikan brikade
atau benteng kayu. Agama Islam mengalami perkembangan sekitar tahun 1740
setelah kedatangan orang-orang Arab di Manado untuk berdagang yang kemudian
menetap (Kampung Islam Tuminting) dan kemudian membuat perkampungan tersendiri
di bagian Timur Benteng Amsterdam, berdekatan dengan pelabuhan di muara Sungai
Tondano.
Berangkat
dari sudut perkembangan Islam terjadi peningkatan signifikan setelah
tokoh-tokoh ulama dari berbagai daerah yang melakukan perlawanan terhadap
pemerintah kolonial diasingkan ke Minahasa. Tondano merupakan tempat
pengasingan para tokoh-tokoh Islam, seperti Kyai Modjo bersama para pengikutnya
pada tahun 1830 diasingkan dan menetap di Tondano. Beberapa pengikutnya
kemudian melakukan perkawinan dengan gadis-gadis Tondano,sehingga hasil
perkawinan campuran (amalgamasi) tersebut telah menciptakan berbagai nama keluarga
atau fam, seperti Tumenggung Zess, Modjo, Pulukadang, dan Baderan.
Demikian pula Pangeran Diponegoro
bersama para pengikutnya diasingkan di Tondano. Para pengikutnya juga melakukan
perkawinan dengan gadis-gadis Tondano, kemudian menurunkan keluarga
Djoyosuroto, Sataruno, Mertosona, Nurhamidin, Banteng, dan Sataruno. Terjadinya
perkawinan antara para pengikut Kyai Modjo dan Pangeran Diponegoro dengan
gadis-gadis Tondano menjadikan tempat mereka menetap berkembang dan kemudian
dikenal dengan nama Kampung Jawa Tondano atau disingkat Jaton.
Selain Kyai Modjo dan Pangeran
Diponegoro, beberapa tokoh-tokoh Islam lainnya yang melakukan perlawanan
terhadap pemerintah kolonial juga diasingkan di Tondano, dan keluarga serta
pengikutnya melakukan perkawinan dengan gadis-gadis Jawa Tondano. Pada 1846,
Kyai Hasan Maulani dari Lengkong, Cirebon diasingkan ke Tondano. Tahun 1848,
Pangeran Ronggo Danupoyo (Surakarta). Kemudian Imam Bonjol (Sumatra Barat)
dikenal dengan perang Padri (1821-1838). Beliau diasingkan di Minahasa dan
wafat 6 Nopember 1864, dikebumikan di Desa Lotak, Pineleng. Tahun 1861, K.H.
Ahmad Rifa’i (Kendal, Jawa Tengah). Di Kampung Jawa Tondano beliau aktif
memperkenalkan kesenian rebana. Tahun 1880, Sayid Abdullah Assagaf (Palembang)
adalah keturunan Arab, dan melakukan percampuran budaya Arab dan Jawa, yang
sebelumnya kental dengan budaya Jawa. Tahun 1884,Gusti (Pangeran) Perbatasari
(Banjarmasin), dan tahun 1895, Tengku Muhammad atau dikenal dengan nama Umar
(Aceh) diasingkan ke Tondano namun tidak mempunyai keturunan di Kampung
Jawa Tondano. Selain itu pada tahun 1889 terdapat kelompok dari Banten yang
diasingkan juga di Jawa Tondano.
Peradaban Islam di Manado mengalami
perkembangan setelah masuknya pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh
para pedagang Islam. Mereka kemudian menetap dan dikembangkan menjadi sebuah
perkampungan yang namanya disesuaikan dengan daerah asalnya di sekitar kawasan
pelabuhan, sesuai dengan mata pencahariannya sebagai pedagang.
Graafland memberi pemahaman tentang
perkampungan-perkampungan orang Islam di Manado. Di Kampung Islam terdapat dua
pasar yakni pasar untuk barang kering khusus penjualan pakaian, dan pasar untuk
barang basah. Belakang pasar terdapat sungai Manado yang dekat dengan muara,
kedua sisi sungai Manado merupakan pemukiman orang Ternate. Perkampungan
lainnya adalah Kampung Arab yang letaknya tidak jauh dari benteng dan berada
dekat pasar tempat mereka beraktifitas. Pedagang atau nelayan dari Ternate,
Makassar, dan Gorontalo bermukim di bagian Timur Sungai Tondano dikenal dengan
Kampung Ternate Tua, dan Ketang Tua.
Selain keberadaan perkampungan
Islam, peradaban Islam dapat ditelusuri dengan didirikannya mesjid di
perkampungan Islam sebagai tempat ibadah. Mesjid dalam perkembangan selanjutnya
selain sebagai fungsi ibadah, juga berperan dalam sosialisasi Islam. Keberadaan
perkampungan Islam dan mesjid sebagai tempat ibadah turut mewarnai perkembangan
kota, dan meninggalkan jejak-jejak peradaban Islam. Unsur-unsur kebudayaan
bercorak Islam antara lain terwakili dalam kehidupan masyarakat dan arsitektur
bangunan yang terdapat pada mesjid dan makam sekarang ini.
Beberapa tempat peninggalan sejarah
yang telah didata dan diiventarisir mempunyai arti penting bagi kehidupan
penduduk Sulawesi Utara khususnya maupun bangsa Indonesia pada umumnya. Untuk
itu keberadaan peninggalan sejarah dapat memupuk rasa persatuan dan kebanggaan
nasional serta memperkokoh jatidiri bangsa. Namun demikian, perhatian dan
pengetahuan tentang sejarah bangsa, di kalangan masyarakat khususnya siswa
SMA/SMK dan guru umumnya sangat terbatas. Hal ini tentunya terkait dengan
kesadaran akan kurangnya pengetahuan dan pemahaman makna suatu peristiwa
sejarah di daerahnya.
Sehubungan
dengan uraian di atas, maka tema yang dipilih dalam kegiatan Lawatan Sejarah
Daerah di Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara adalah ”Menyusuri Jejak Peradaban
Islam di Sulawesi Utara”. Hal ini
didasarkan atas pertimbangan bahwa di Sulawesi Utara terjadi interaksi dengan
peradaban Islam yang turut mewarnai kehidupan masyarakat dan perkembangan
daerah Sulawesi Utara.
Pelaksanaan kegiatan Lawatan Sejarah
ditujukan bagi para siswa SMA/SMK dan guru se Provinsi Sulawesi Utara sejumlah
100 peserta, meliputi 80 siswa dan 20 guru. Dengan perincian bahwa setiap
sekolah mengutus 4 siswa yang mempunyai prestasi serta 1 orang guru utamanya
mengajar di bidang sejarah. Para peserta dari 20 sekolah berasal dari Kota
Tomohon, Manado, Kabupaten Tondano, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, dan
Minahasa Utara.
Lokasi kegiatan Lawatan Sejarah
adalah tempat-tempat bersejarah yang ada di Sulawesi Utara antara lain: Kota
Manado, Kota Tomohon, dan Kabupaten Minahasa. Adapun tempat-tempat bersejarah
yang dikunjungi yaitu:
- Kampung Jawa Tomohon di
Tumatangtang, Kota Tomohon.
- Makam Sam Ratulangi di
Tondano, Kabupaten Minahasa.
- Makam Kyai Modjo di Jawa
Tondano, Kabupaten Minahasa.
- Masjid Al-Falah Kyai Modjo,
di Jawa Tondano, Kabupaten Minahasa.
- Kesenian Hadrah di Jawa
Tondano, Kabupaten Minahasa.
- Makam Imam Bonjol di Lotta,
Pineleng, Kabupaten Minahasa.
- Makam Ratu Sekar Kedaton di
Kota Manado.
- Masjid Raya di Kota Manado.
- Masjid Awwal Fathul Mubhien
di Kota Manado.
- Masjid Al Mashyur di Kampung
Arab, Kota Manado.
PENUTUP
Alhamdulillahirobbil alamin,
Akhirnya dalam tugas ini dapat diselesaikan. Terima kasih atas perhatiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ahmad Agil Alaydrus
UJP B 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar