Kamis, 07 Januari 2016

Tugas 3 - Floklore Indonesia

MANADO

Kata pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunianya, saya dapat bisa mengerjakan tugas dengan baik. Sertan sholat salam dari rasulullah SAW yang memberikan ketabahan dan kekuatan sehingga bisa menyelesaikan tugas dengan benar dan baik.

Pendahuluan
Dahulu kota Manado adalah bagian dari Minahasa. Wenang adalah nama pertama sebelum berganti menjadi  Manado. Pergantian nama Wenang menjadi Manado dilakukan oleh orang Spanyol. Menurut Prof. Geraldine Manoppo-Watupongoh,  nama Wenang berubah menjadi Manado terjadi pada tahun 1682.
Kata Manado diambil dari nama pulau di sebelah Bunaken, yaitu pulau Manado yang banyak disebut-sebut oleh bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda di dalam memori serah terima dan surat-surat penting lainnya. Agar tidak kehilangan nilai sejarahnya, di belakang pulau Manado ditambahkan kata Tua, sehingga namanya menjadi Manado Tua.
Di pulau Manado, yang kemudian namanya berubah Manado Tua, sekitar abad ke-13 pernah berdiri kerajaan Bowontehu. Ketika kerajaan Bowontehu lenyap, pada tahun  1500- 1678 berdiri kerajaan Manado, namun bukan Manado daratan yang sebelumnya bernama Wenang.
Sistem pemerintahan yang dianut kota Manado pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda juga sama dengan Minahasa; berbentuk republik-republik negeri yang disebut pakasaan. Tiap pakasaan dibagi lagi dalam sejumlah negeri kecil.
Pemimpin kota Manado pada masa pakasaan dipilih langsung oleh rakyat dari tokoh yang disegani, pemberani, pahlawan atau tokoh yang dituakan. Bentuk pemerintahannya bersifat demokratis, merdeka dan berdaulat penuh.
Pada era pemerintah kolonial Belanda, kota Manado ditetapkan sebagai keresidenan (residency); yang terdiri dari Minahasa, Bolaang Mongondow, Gorontalo, dan pusatnya adalah Manado sebagai bagian dari wilayah Minahasa.
Pada tahun 1824, berdasarkan keputusan gubernur jenderal Van der Cepellen, tanggal 14 Juni 1824, Nomor 10 (stblt 28 a), Manado ditetapkan menjadi keresidenan defenitif yang lepas dari Ternate;  Johanes Wensel ditunjuk sebagai residennya. 
Manado pada masa purba  memiliki Dewan Wali Pakasaan, yang memiliki undang-undang dasar primitif, yaitu Hukum Adat tidak tertulis sama dengan Minahasa. Hebatnya undang-undang dasar primitif tersebut  diterima secara total oleh seluruh penduduk, namun oleh residen Johanes  Wensel pada tanggal 1 September 1825, Dewan Wali Pakasaan  dihapus dan diganti dengan MINAHASA RAAD purba (kini bangunannya berada di samping gedung Joeang 45 Manado). 
Menurut Dr. Godee Molsbergen, Dewan Wali Pakasaan dihapus karena sukar bagi kompeni Belanda melakukan penaklukkan.
Nama pakasaan sebelumnya adalah paesaan, kemudian berubah menjadi pahasaan dan terakhir berkembang menjadi pakasaan. Ketika pemerintah kolonial Belanda berkuasa, pakasaan ditata dalam bentuk baru dengan nama walak, namun Dr. Robertus Padtbrugge menyebutnya balak.
Para kepala walak diberi gelar Hukum Mayoor. Sedangkan kepala bawahannya disebut Hukum, namun ada juga yang menyebutnya Ukung. Pengertian Hukum yang dimaksud tidak sama dengan hukum yang berlaku saat ini, meskipun tugas dan fungsi para kepala walak saat itu adalah menata, mengatur dan menjalankan aturan sesuai hukum.
Walaupun pemimpin walak dipilih secara langsung oleh rakyat, namun bentuk dinasti dalam walak sering muncul. Hal seperti itu terjadi jika terdapat anak kepala walak yang disegani, maka otomatis anak kepala walak yang disegani tersebut dipilih secara  aklamasi sebagai pengganti kepala walak.
Menurut Prof. Dr. George Alexander Wilken dalam Jessy Wenas, kata walak merupakan bahasa asli Minahasa di wilayah Tontemboan, Tombulu, Tonsea dan Tondano. Dikatakannya bahwa walak memiliki dua pengertian. Pertama, walak adalah serombongan penduduk secabang atau dalam satu garis keturunan. Kedua, walak adalah wilayah/negeri yang didiami penduduk secabang  atau dalam satu garis keturunan.
Menurut Dr. Robertus Padtbrugge di Manado pada tahun 1678 terdapat 3 (tiga) walak, yaitu walak Ares berpenduduk 100 kepala keluarga, walak Manado berpenduduk 40 kepala keluarga dan walak Klabat Bawah berpenduduk 60 kepala keluarga. 
Pada tahun 1764 walak di Manado bertambah menjadi 6 (enam), yaitu walak Ares, Manado, Klabat Bawah, Bantik, Mawuring (perkampungan Tondano di tepi sungai Tikala) dan Negeri Baru (kini Titiwungen). Pada awal tahun 1800 sampai tahun 1817 di Manado pernah ada walak Nieuw Tondano (Tondano Baru) atau Tondano-Bawah. Tahun 1856, walak Nieuw Tondano dan Mawuring dihapus berdasarkan Staatsblad Nomor 28.
Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengubah walak menjadi distrik. Ketika itu kota Manado masih bernama Wenang dan memiliki 7 (tujuh) distrik, yaitu distrik Ares, Klabat-Bawah, Manado, Mawuring, Negeri Baru, Nieuw Tondano dan distrik Bantik. Pada tahun 1884, walak Ares, Klabat Bawah, Manado, Wanua Weru  dan Negeri Baru  digabung menjadi distrik Manado. 
Distrik dalam menjalankan tugasnya dipimpin oleh kepala distrik dan dibantu oleh kepala Distrik Kedua.
Pada tahun 1919 pemerintah Hindia-Belanda menghapus distrik Bantik dan digabung ke distrik Manado, sehingga kota Manado menjadi satu-satunya distrik dari 7 bekas distrik di wilayah yang kini menjadi kota Manado. Pada tahun 1919, Manado menjadi kota Haminte (pemerintahan kotapraja pada masa pendudukan Hindia-Belanda) dan memiliki dewan kota berdasarkan Staatsblad (lembaran negara) Hindia-Belanda Nomor 225 tanggal 1 Juli 1919.
Wilayah Manado pada tahun 1927 diperluas. Tomohon adalah salah satu distrik yang digabungkan ke distrik Manado  sampai tahun 1944. Tahun 1951, distrik Manado terdiri dari distrik Bawahan Manado Utara Luar Kota (kecamatan Wori) dan distrik Manado Selatan Luar Kota (kecamatan Pineleng). Walaupun sudah ramai dikunjungi, wilayah kota Manado sampai pada tahun 1934 masih terdiri dari satu distrik dan dua Distrik Kedua (setingkat kecamatan), yaitu onderdistrik Zuid Manado (Manado Selatan) dan onderdistrik Noord Manado (Manado Utara). Tahun 1953, Manado disebut kota Besar.
Kota Manado sejak masa kemerdekaan telah beberapa kali mengalami perubahan status dalam struktur pemerintahan. Semula masuk dalam kategori kotapraja (1957-1958), Daerah Tingkat II (1958-1965), Kotamadya (1965-1974), Kotamadya Daerah Tingkat II (1974-1999), Kota Manado (1999 – saat ini). 
Raja Tadohe anak dari raja Mokodompit raja Bolaang Mongondow dari ibu berasal dari kerajaan Siau yaitu, cucu dari raja Lokonbanua II dan Mangima Dampel yang berasal dari keturunan Gumansalangi dari Kotabatu Mindanow Kulano (raja) pertama kerajaan Tampung Lawo dari permaisuri Sangiang Konda Wulaeng (putri khayangan) yang bergelar Madellu dan Mekilla.
Raja Tadohe menikah dengan Rasingan adalah keturunan ke sembilan dari Gumansalangi. Boki Rasingang cucu dari Raja Batahi dari permaisuri Maimunah dari kerajaan Rimpulaeng (Tabukan)bernama Raja Don Franciskus Macaampo Juda I, serta anak dari Hendrik Daramenusa Jacobus. Alkisah ketika raja Mokodompit gugur dalam peperangan, Tadohe masih kecil dan dibawa oleh ibunya ke Siau. Kerajaan Bowontehu serta Kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow diduduki oleh pasukan kerajaan Goa-Tallo.
Pada tahun 1520 kerajaan di Bolaang Mongondow meminta bantuan kepada Raja Batahi untuk membebaskan mereka dari pendudukan kerajaan Goa-Tallo. Kerajaan-kerajaan Sangihe mempunyai ikatan persaudaraan dengan kerajaan Bolaang Mongondow karena berasal dari kerajaan Bowontehu dan juga perkawinan anak-anak raja. Maka raja Batahi memerintahkan palinglima Hengkengunaung untuk menggempur pasukan kerajaan Goa-Tallo. Panglima perang Siau Laksamana Hengkengunaung turun melalui pelabuhan Pehe lewat Sasambo "Lumintu bo'u Pehe tarai ipe sombang endai makawawa Untung". Maka pasukan kerajaan Goa-Tallo berhasil dikalahkan terus diburu hingga ke Buol-Leok.seperti pernah ditulis beberapa penulis Eropa dan H.M. Taulu. Tak heran H.B.Elias dalam bukunya juga menyebut Siau imperium dalam format kecil.
Keberhasilan pasukan Hengkengunaung mengusir pasukan kerajaan Goa-Tallo, maka semua kerajaan di Bolaang Mongondow harus membayar upeti setiap tahun ke Siau dan kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow harus di pimpin oleh raja Tadohe dan keturunannya turun-temurun melalui kesepakatan bersama. Raja Tadohe melalui Boki Rasingan di karunia anak masing-masing bernama Sadadang,Tendenang, Kaki.
Loloda Daloda Mokoagow adalah cucu dari Raja Tadohe merupakan keturunan ke sebelas dari Raja Gumansalangi Madellu dengan Sangiang Konda Wulaeng dari kerajaan Tampung Lawo. Laloda Daloda Mokoagow adalah raja pertama yang menjadi raja kerajaan Manarow yang berpusat di daratan pulau Sulawesi bagian Utara sekarang disebut Manado,sebelumnya bernama kerajaan Bowontehu/Wawontehu yang berpusat di pulau Manarouw (Manado Tua). Kemudian Bowontehu/Wowontehu berubah menjadi Kerajaan Manarouw dengan raja bernama Laloda Daloda Mokoagow.
Dahulu Kerajaan ini pernah di kuasai oleh suku Bajo dan diserbu oleh pasukan sultan Kaitjil Sibori dari Ternate bersama pasukannya dari Laloda tetapi berhasil dihalau oleh pangeran Meliku-Nusa dari kerajaan Tampung Lawo. Pangeran Meliku-Nusa tidak kembali ke Sangir tapi terus mengembara mengalakan jagoan-jagoan di Bolaang Mongondow kemudian menikah dengan Menong Sangiang putri raja Mongondow.
Kerajaan Manarouw merupakan pembentukan oleh Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge ketika berada di Manarow (Gahenang/Wenang/Manado tahun 1677), memindahkan ke Singkil 54 orang dari (pulau Manarouw Manado Tua) sakit karena kekurangan makanan. Penduduk/Rakyat kerajaan Manarow adalah orang Sangir-Talaud, sesuai catatan Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge ketika berada di Manado tahun 1677 mengatakan bahwa orang Sangir Tualah adalah penduduk pribumi yang pertama di Manado, yakni sekitar tahun 1332.

PERJUANGAN SEMESTA DI KOTA MANADO
Sejak saat itu, semua penduduk terutama kaum muda, yang semula dikerahkan memanggul alat pembangunan, tiba² diminta berganti peran. Pendaftaran mulai dilakukan dimana², baik untuk mendukung barisan pemuda maupun untuk dinas militer Permesta. Latihan kemiliteran pun mulai tampak dimana². Para pemuda, tak terkecuali gadis², mulai raib dari kampung². Mereka ikut mendaftarkan diri, lalu dikirim ke pusat² latihan. (Kaum wanita Permesta tergabung dalam Pasukan Wanita Permesta (PWP) dengan potongan rambut seperti Kowad/Polwan).
Pendidikan dan latihan secara militer dengan memakai senjata dipusatkan di daerah Mapanget, dilatih oleh para penasehat dari Korps Marinir AS. Pendidikan dengan latihan tempur dalam satuan kompi dan batalyon dilakukan di Remboken, Tompaso dan di daerah perbukitan Langowan. Latihan di sana dipimpin oleh seorang Mayor AD Filipina dengan beberapa perwira APRI (TNI) yang berpendidikan kompi.
Sejumlah penasehat militer Amerika Serikat diselundupkan ke Sumatera dan Minahasa. Berbagai macam persenjataan dikirimkan lewat kapal dan sejumlah pesawat terbang (antara lain pesawat pengangkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu Mustang F-51, Beachcraft, Catalina dan pembom B-26 Invander yang berada dibawah Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) dengan sekitar 40 awak pesawatnya) juga ikut diperbantukan. Mereka melancarkan kegiatan tersebut dari Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Clark Airfield, Filipina. Ada juga satuan kepolisian PRRI yang bernama Polisi Revolusioner (Polrev), dan badan intelejen Permesta yang diberi nama Permesta Yard.
Kiriman pertama yang terdiri dari berbagai senjata ringan serta amunisi untuk pasukan infanteri segera dikeluarkan dan dibagi²kan. Beberapa pucuk mitraliur anti pesawat terbang segera dipasang di tempat² strategis di sekitar daerah pelabuhan dan lapangan udara yang sudah ditetapkan sebelumnya. Bersama kiriman persenjataan tersebut juga tiba beberapa instruktur asing, sehingga latihan² pasukan baru dapat segera dimulai.
Permesta saat itu tidak pernah kekurangan senjata. Salah seorang pemasok peralatan militer Permesta dari luar negeri yaitu Mayor Daan E. Mogot mengakui bahwa dari Italia pernah menawarkan kapal perang, tetapi tidak pernah bisa diambil karena alasan teknis. Demikian juga bantuan dana dan perbekalan, dengan mudah bisa didapatkan dari Taiwan, Jepang, Korea Selatan dan Filipina.
Timbunan senjata dan perlengkapan militer terkumpul di Okinawa dan di Filipina. Orang² PRRI dan Permesta, Filipina, Cina, Amerika Serikat dan para sedadu sewaan 'dari negara² lain' juga telah dilatih dan siap di Okinawa dan di Filipina untuk membantu PRRI dan Permesta.
Sekitar satu peleton anggota RPKAD (sekarang Kopassus) yang berasal dari Minahasa yang sedang cuti pulang kampung terjebak Pergolakan. Pasukan Nicholas Sulu tersebut kemudian menjadi tulang punggung WK-III di wilayah Tomohon. Selain itu ada juga sepasukan yang dipimpin oleh bekas anggota RPKAD fam Lahe yang merekrut pemuda² di kampungnya dan membentuk Kompi Lahe yang terkenal kejam akan pembantaian Pasukan Combat (kompi) Lahe di Raanan dan Tokin: Peristwa itu didahului oleh Simon Ottay dari GAP (Gerakan Anti Permesta) - yaitu salah satu organisasi bentukan komunis (PKI) yang menyamar dengan memakai pangkat Kapten Permesta (APREV) mendaftarkan penduduk dari kedua desa tersebut untuk menjadi "anggota" Pasukan Permesta. Setelah ia lari karena diburu pasukan PRRI (Permesta), didapatilah daftar "anggota" tersebut. Tanpa pemeriksaan, langsung saja Kompi Lahe yang dipimpin oleh Montolalu membantai penduduk kedua desa tersebut. Karena tindakan ini dinilai sebagai kejahatan kemanusiaan dan hukum (tanpa pemeriksaan secara saksama), maka Lahe dan Montolalu dikejar pasukan antara lain dari Kapten (?) Tumanduk. Montolalu ditangkap di Sinisir, dan dieksekusi di Mokobang, sedangkan Lahe ditangkap di Remboken.

KEBUDAYAAN LAMA DAN ASLI DI KOTA MANADO
Kebudayaan lama dan asli yang dibanggakan oleh masyarakat Kota Manado, yaitu :
Mapalus
Mapalus adalah bentuk gotong royong tradisional warisan nenek moyang orang Minahasa di Kota Manado yang merupakan suatu sistem prosedur, metode atau tehnik kerja sama untuk kepentingan bersama oleh masing-masing anggota secara bergiliran. Mapalus muncul atas dasar kesadaran akan adanya kebersamaan, keterbatasan akan kemampuannya baik cara berpikir, berkarya, dan lain sebagainya.
Rumah Panggung
Rumah panggung atau wale merupakan tempat kediaman para anggota rumah tangga orang Minahasa di Kota Manado, dimana didalamnya digunakan sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Rumah panggung jaman dahulu dimaksudkan untuk menghindari serangan musuh secara mendadak atau serangan binatang buas. Sekalipun keadaan sekarang tidak sama lagi dengan keadaan dahulu, tapi masih banyak penduduk yang membangun rumah panggung berdasarkan konstruksi rumah modern.
Pengucapan Syukur
Pada masa lalu pengucapan syukur diadakan untuk menyampaikan doa atau mantra yang memuji kebesaran dan kekuasaan para dewa atas berkat yang diberikan sambil menari dan menyanyikan lagu pujian dengan syair yang mengagungkan. Saat ini pengucapan syukur di Kota Manado dilaksanakan dalam bentuk ibadah di gereja. Pada hari H tersebut setiap rumah tangga menyiapkan makanan dan kue untuk dimakan oleh anggota rumah tangga, juga dipersiapkan bagi para tamu yang datang berkunjung.
Tari Kabasaran
Tari kabasaran sering juga disebut tari cakalele, adalah salah satu seni tari tradisional orang Minahasa yang banyak dimainkan oleh masyarakat Kota Manado, yang biasanya ditampilkan pada acara-acara tertentu seperti menyambut tamu dan pagelaran seni budaya. Tari ini menirukan perilaku dari para leluhur dan merupakan seni tari perang melawan musuh.
Tari Maengket
Tari maengket adalah salah satu seni tarian rakyat orang Minahasa di Kota Manado yang merupakan tari tontonan rakyat. Tarian ini disertai dengan nyanyian dan diiringi gendang atau tambur yang biasanya dilakukan sesudah panen padi sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta. Saat ini tari maengkat telah berkembang dalam masyarakat membentuk tumpukan-tumpukan dengan kreasi baru.
Musik Kolintang
Musik kolintang pada awalnya dibuat dari bahan yang disebut wunut dari jenis kayu yang disebut belar. Pada perkembangan selanjutnya, kolintang mulai menggunakan bahan kayu telor dan cempaka. Orkes kolintang sebagai produk seni musik tradisional bukan saja sebagai sarana hiburan, akan tetapi juga sebagai media penerapan pendidikan musik yang dimulai dari anak-anak sekolah di Kota Manado.
Musik Tiup Bambu
Musik tradisional ini berasal dari kepulauan Sangihe Talaud yang diciptakan oleh seorang petani pada tahun 1700. Pada awalnya musik bambu hanya merupakan alat penghibur bagi masyarakat petani setelah seharian melakukan aktivitas sebagai petani yang biasanya dibunyikan setelah selesai makan malam. Dewasa ini di Kota Manado, musik bambu telah menjadi salah satu jenis musik yang sering digunakan pada acara-acara tertentu agar menjadi lebih semarak dan bergengsi.
Musik Bia
Bia adalah sejenis kerang atau keong yang hidup dilaut. Sekitar tahun 1941 seorang penduduk Desa Batu Minahasa Utara menjadikan kerang/keong sebagai satu tumpukan musik. Musik bia akhirnya telah menjadi salah satu seni musik tradisional yang turut memberikan nilai tambah bagi masyarakat Kota Manado. Dengan hadirnya musik ini pada pagelaran kesenian dan acara tertentu, telah menimbulkan daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik mancanegara maupun nusantara.
Dinamika keagamaan sendiri tidak terlepas dari perubahan kekuasaan atau dalam kaitannya untuk menjaga keseimbangan kekuasaan masa kolonial. Agama Islam mulai dikenal di Manado pada tahun 1684 setelah kedatangan buruh-buruh yang didatangkan VOC untuk mendirikan brikade atau benteng kayu.  Agama Islam mengalami perkembangan sekitar tahun 1740 setelah kedatangan orang-orang Arab di Manado untuk berdagang yang kemudian menetap (Kampung Islam Tuminting) dan kemudian membuat perkampungan tersendiri di bagian Timur Benteng Amsterdam, berdekatan dengan pelabuhan di muara Sungai Tondano.
Berangkat dari sudut perkembangan Islam terjadi peningkatan signifikan setelah tokoh-tokoh ulama dari berbagai daerah yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial diasingkan ke Minahasa. Tondano merupakan tempat pengasingan para tokoh-tokoh Islam, seperti Kyai Modjo bersama para pengikutnya pada tahun 1830 diasingkan dan menetap di Tondano. Beberapa pengikutnya kemudian melakukan perkawinan dengan gadis-gadis Tondano,sehingga hasil perkawinan campuran (amalgamasi) tersebut telah menciptakan berbagai nama keluarga atau fam, seperti Tumenggung Zess, Modjo, Pulukadang, dan Baderan.
Demikian pula Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya diasingkan di Tondano. Para pengikutnya juga melakukan perkawinan dengan gadis-gadis Tondano, kemudian menurunkan keluarga Djoyosuroto, Sataruno, Mertosona, Nurhamidin, Banteng, dan Sataruno. Terjadinya perkawinan antara para pengikut Kyai Modjo dan Pangeran Diponegoro dengan gadis-gadis Tondano menjadikan tempat mereka menetap berkembang dan kemudian dikenal dengan nama Kampung Jawa Tondano atau disingkat Jaton.
Selain Kyai Modjo dan Pangeran Diponegoro, beberapa tokoh-tokoh Islam lainnya yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial juga diasingkan di Tondano, dan keluarga serta pengikutnya melakukan perkawinan dengan gadis-gadis Jawa Tondano. Pada 1846, Kyai Hasan Maulani dari Lengkong, Cirebon diasingkan ke Tondano. Tahun 1848, Pangeran Ronggo Danupoyo (Surakarta). Kemudian Imam Bonjol (Sumatra Barat) dikenal dengan perang Padri (1821-1838). Beliau diasingkan di Minahasa dan wafat 6 Nopember 1864, dikebumikan di Desa Lotak, Pineleng. Tahun 1861, K.H. Ahmad Rifa’i (Kendal, Jawa Tengah). Di Kampung Jawa Tondano beliau aktif memperkenalkan kesenian rebana. Tahun 1880, Sayid Abdullah Assagaf (Palembang) adalah keturunan Arab, dan melakukan percampuran budaya Arab dan Jawa, yang sebelumnya kental dengan budaya Jawa. Tahun 1884,Gusti (Pangeran) Perbatasari (Banjarmasin), dan tahun 1895, Tengku Muhammad atau dikenal dengan nama Umar (Aceh)  diasingkan ke Tondano namun tidak mempunyai keturunan di Kampung  Jawa Tondano. Selain itu pada tahun 1889 terdapat kelompok dari Banten yang diasingkan juga di Jawa Tondano.
Peradaban Islam di Manado mengalami perkembangan setelah masuknya pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang Islam. Mereka kemudian menetap dan dikembangkan menjadi sebuah perkampungan yang namanya disesuaikan dengan daerah asalnya di sekitar kawasan pelabuhan, sesuai dengan mata pencahariannya sebagai pedagang.
Graafland memberi pemahaman tentang perkampungan-perkampungan orang Islam di Manado. Di Kampung Islam terdapat dua pasar yakni pasar untuk barang kering khusus penjualan pakaian, dan pasar untuk barang basah. Belakang pasar terdapat sungai Manado yang dekat dengan muara, kedua sisi sungai Manado merupakan pemukiman orang Ternate. Perkampungan lainnya adalah Kampung Arab yang letaknya tidak jauh dari benteng dan berada dekat pasar tempat mereka beraktifitas. Pedagang atau nelayan dari Ternate, Makassar, dan Gorontalo bermukim di bagian Timur Sungai Tondano dikenal dengan Kampung Ternate Tua, dan Ketang Tua.
Selain keberadaan perkampungan Islam, peradaban Islam dapat ditelusuri dengan didirikannya mesjid di perkampungan Islam sebagai tempat ibadah. Mesjid dalam perkembangan selanjutnya selain sebagai fungsi ibadah, juga berperan dalam sosialisasi Islam. Keberadaan perkampungan Islam dan mesjid sebagai tempat ibadah turut mewarnai perkembangan kota, dan meninggalkan jejak-jejak peradaban Islam. Unsur-unsur kebudayaan bercorak Islam antara lain terwakili dalam kehidupan masyarakat dan arsitektur bangunan yang terdapat pada mesjid dan makam sekarang ini.
Beberapa tempat peninggalan sejarah yang telah didata dan diiventarisir mempunyai arti penting bagi kehidupan penduduk Sulawesi Utara khususnya maupun bangsa Indonesia pada umumnya. Untuk itu keberadaan peninggalan sejarah dapat memupuk rasa persatuan dan kebanggaan nasional serta memperkokoh jatidiri bangsa. Namun demikian, perhatian dan pengetahuan tentang sejarah bangsa, di kalangan masyarakat khususnya siswa SMA/SMK dan guru umumnya sangat terbatas. Hal ini tentunya terkait dengan kesadaran akan kurangnya pengetahuan dan pemahaman makna suatu peristiwa sejarah di daerahnya.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka tema yang dipilih dalam kegiatan Lawatan Sejarah Daerah di Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara adalah ”Menyusuri Jejak Peradaban Islam di Sulawesi Utara”. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa di Sulawesi Utara terjadi interaksi dengan peradaban Islam yang turut mewarnai kehidupan masyarakat dan perkembangan daerah Sulawesi Utara.
Pelaksanaan kegiatan Lawatan Sejarah ditujukan bagi para siswa SMA/SMK dan guru se Provinsi Sulawesi Utara sejumlah 100 peserta, meliputi 80 siswa dan 20 guru. Dengan perincian bahwa setiap sekolah mengutus 4 siswa yang mempunyai prestasi serta 1 orang guru utamanya mengajar di bidang sejarah. Para peserta dari 20 sekolah berasal dari Kota Tomohon, Manado, Kabupaten Tondano, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, dan Minahasa Utara.
Lokasi kegiatan Lawatan Sejarah adalah tempat-tempat bersejarah yang ada di Sulawesi Utara antara lain: Kota Manado, Kota Tomohon, dan Kabupaten Minahasa. Adapun tempat-tempat bersejarah yang dikunjungi yaitu:
  1. Kampung Jawa Tomohon di Tumatangtang, Kota Tomohon.
  2. Makam Sam Ratulangi di Tondano, Kabupaten Minahasa.
  3. Makam Kyai Modjo di Jawa Tondano, Kabupaten Minahasa.
  4. Masjid Al-Falah Kyai Modjo, di Jawa Tondano, Kabupaten Minahasa.
  5. Kesenian Hadrah di Jawa Tondano, Kabupaten Minahasa.
  6. Makam Imam Bonjol di Lotta, Pineleng, Kabupaten Minahasa.
  7. Makam Ratu Sekar Kedaton di Kota Manado.
  8. Masjid Raya di Kota Manado.
  9. Masjid Awwal Fathul Mubhien di Kota Manado.
  10. Masjid Al Mashyur di Kampung Arab, Kota Manado.

PENUTUP
Alhamdulillahirobbil alamin, Akhirnya dalam tugas ini dapat diselesaikan. Terima kasih atas perhatiannya.
DAFTAR PUSTAKA







Abdullah Ahmad Agil Alaydrus
UJP B 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar