Asal Usul Suku Simalungun
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya Penulis
dapat menyelesaikan Tugas 3 Folklore Indonesia dalam rangka untuk memenuhi ujian
akhir semester mata kuliah Sejarah Indonesia.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam Tugas ini terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan Tugas yang telah penulis buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Tidak
lupa penulis sampaikan kepada dosen mata kuliah Sejarah Indonesia yakni Drs. M.
Shobirienur Rasyid yang telah membantu
dan membimbing penulis dalam mengerjakan Tugas ini. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik
langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan tugas ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya Tugas yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Jakarta, 06 Januari
2016
Penyusun
PEMBAHASAN
1.1
ASAL
USUL SUKU SIMALUNGUN
Batak
Simalungun adalah salah sub Suku Bangsa Batak yang berada di provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten
Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber
menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan.
Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli
penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih,
Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama
keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.
Orang Batak menyebut suku
ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan
wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.
Asal-usul
Terdapat
berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar
menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luar Indonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang
- Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
- Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang
Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa
rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan
India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun
Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka
didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.
Pustaha
Parpandanan Na Bolag (pustaka
Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal
daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya
bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain
menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga
perbatasan sungai Rokan di Riau.
Kini, di
Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya
menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.
Kehidupan masyarakat Simalungun
Sistem mata pencaharian orang
Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung, karena padi
adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil
padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai
adalah bahasa dialek. "Marga" memegang
peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku
Batak yang lainnya sudah jauh berbeda.
Sistem Politik
Pada masa sebelum Belanda masuk ke Simalungun, suku ini terbagi ke dalam 7 daerah yang terdiri
dari 4 Kerajaan dan 3 Partuanan.
Kerajaan tersebut adalah:
- Siantar (menandatangani surat tunduk pada belanda tanggal 23 Oktober 1889, SK No.25)
- Panei (Januari 1904, SK No.6)
- Dolok Silou
- Tanoh Djawa (8 Juni 1891, SK No.21)
Sedangkan Partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar
"tuan") tersebut terdiri atas:
- Raya (Januari 1904, SK No.6)
- Purba
- Silimakuta
Kerajaan-kerajaan tersebut memerintah secara swaparaja. Setelah Belanda
datang maka ketiga Partuanan tersebut dijadikan sebagai Kerajaan yang berdiri
sendiri secara sah dan dipersatukan dalam Onderafdeeling Simalungun.
Kepercayaan
Bila
diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang
berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari "Datu" (dukun) disertai
persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada
Tiga Dewa yang
disebut Naibata, yaitu Naibata di atas (dilambangkan dengan warna
Putih), Naibata
di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), dan Naibata
di bawah (dilambangkan dengan warna Hitam). 3 warna
yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai
ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya.
Orang
Simalungun percaya bahwa manusia dikirim ke dunia oleh naibata dan dilengkapi
dengan Sinumbah yang dapat juga menetap di dalam berbagai benda, seperti
alat-alat dapur dan sebagainya, sehingga benda-benda tersebut harus disembah.
Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot. Baik Sinumbah
maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan sehingga mereka akan
memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan tersebut.
Patung Sang
Budha menunggang Gajah koleksi Museum Simalungun, yang menunjukkan pengaruh
ajaran Budha pada Masyarakat Simalungun.
Ajaran Hindu dan Budha juga pernah
memengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan
berbagai patung dan arca yang
ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Buddha yang menunggangi Gajah (Budha).
Pakaian Adat
Kain Adat
Simalungun disebut Hiou. Penutup kepala lelaki disebut Gotong, penutup kepala
wanita disebut Bulang, sedangkan yang kain yang disandang ataupun kain samping
disebut Suri-suri.
Sama seperti
suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari
penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo). Kekhasan pada suku
Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai
ornamennya.
Ulos pada
mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang
bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk
memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku
bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya
pada ikat kepala, kain dan ulosnya.
Secara
legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia
(selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang
paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan
tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di rumpun Batak,
Simalungun memiliki kebiasaan "mambere hiou" (memberikan ulos) yang
salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada
penerima Hiou. Hiou dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup
kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung
dan lain-lain.
Hiou dalam
berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda,
misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut suri-suri, Hiou penutup badan
bagian bawah bagi wanita misalnya ragipanei, atau yang digunakan sebagai
pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Hiou dalam pakaian penganti Simalungun
juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut tolu sahundulan,
yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup
bagian bawah (abit).
Tari Toping
Toping dan Tangis Tangis
Toping-toping
dan tangis tangis adalah jenis tarian tradisional dari suku Batak Simalungun
yang dilaksanakan pada acara duka cita di kalangan keluarga Kerajaan.
Toping-toping atau huda-huda ini terdiri dari 3 (tiga)m bagian, bagian pertama
yaitu huda-huda yang dibuat dari kain dan memiliki paruh burung enggang yang
menyerupai kepala burung enggang yang konon menurut cerita orang tua bahwa
burung enggang inilah yang akan membawa roh yang telah meninggal untuk
menghadap yang kuasa, bagian yang kedua adalah manusia memakai topeng yang
disebut topeng dalahi dan topeng ini dipakai oleh kaum laki-laki dan wajah
topeng juga menyerupai wajah laki-laki dan kemudia topeng daboru dan yang
memakai topeng ini adalah perempuan karena topeng ini menyerupai wajah
perempuan (daboru). Pada tanggal 06 s/d 08 Agustus 2009 tepatnya di Kota
Perdagangan Pematang Siantar diadakan acara yang disebut dengan Pasta Rondang
Bintang, acara ini dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya. Dalam acara ini
digelar berbagai kegiatan seni dan budaya diantaranya berbagai jenias tari
daerah Simalungun, Festival Lagu daerah, permainan tradisional (Jelengkat atau
enggrang) dan Festival Toping-toping dan tangis-tangis
1.2 SEJARAH SUKU SIMALUNGUN
Simalungun merupakan suku atau
etnis dengan identitas dan budayanya yang terbentuk dalam proses sejarah
perkembangannya. Sebagai identitas, Simalungun dapat dibedakan dari suku-suku
bangsa lainnya dari adat, budaya, kebiasaan, sejarah dan segala aspek
kehidupannya. Demikianlah sehingga orang dapat mengenal suku Simalungun dari
“otherness” kelainan/differensinya dari suku-suku lain.
Dari sumber-sumber kuno dan cerita-cerita rakyat di Simalungun, orang yang kemudian menjadi suku Simalungun berketurunan dari ragam nenek moyang. Dalam perjalanan sejarahnya, suku Simalungun datang dalam dua gelombang. Gelombang pertama (Proto Simalungun) diperkirakan datang dari India Selatan (Nagore) dan India Timur (Pegunungan Assam) sekitar abad ke-5 menyusuri Birma terus ke Siam dan Melaka selanjutnya menyebrang ke Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik. Dan kemudian gelombang kedua (Deutro Simalungun) yang merupakan pembaruan suku-suku tetangga dengan suku Simalungun asli (Herman Purba Tambak, SIB 3/9/2006, hlm. 9).
Selanjutnya panglima-panglima (Raja Goraha) Kerajaan Nagur bermarga Saragih, Sinaga dan Purba dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan kelak mendirikan kerajaan-kerajaan : Silou (Purba Tambak), Tanoh Djawa (Sinaga), Raya (Saragih). Kerajaan-kerajaan ini pada abad XIII-XV mengalami serangan-serangan dari tentara Singasari, Majapahit, Rajendra Chola dari India dan terakhir Aceh, sultan-sultan Melayu dan Belanda. Terkenal dalam cerita-cerita rakyat Simalungun akan ”hattu ni sappar” yang melukiskan situasi mengerikan di Simalungun akibat peperangan itu, mayat-mayat bergelimpangan, kericuhan sehingga mengakibatkan wabah penyakit kolera yang merajalela.
Dan konon menurut legenda, orang Simalungun mengungsi ke seberang Laut Tawar (obat penawar Sappar) sampai ke sebuah pulau yang kemudian dinamai “Samosir” (Sahali misir). Kelak keturunan orang Simalungun yang berdiam di Samosir kembali lagi ke kampung halamannya (huta hasusuran) di Nagur dan dilihatlah daerah itu sudah ditinggalkan orang karena mengungsi, sepi dan yang tersisa hanya peninggalan rakyat Nagur, sehingga dinamakanlah daerah Nagur itu “sima-sima ni nalungun” dan lama kelamaan menjadi Simalungun (daerah yang sunyi sepi) (M.D Purba, 1997).
Pembauran dengan suku-suku tetangga khususnya dari Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menyebabkan adanya timbul marga baru di Simalungun, seperti: marga Sidauruk, Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar, Munthe, Sijabat yang berafiliasi dengan marga Saragih, Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon yang berafiliasi dengan marga Purba, Malau, Limbong, Sagala, Gurning, Manikraja yang berafiliasi dengan marga Damanik, Sipayung, Sihaloho, Sinurat, Sitopu yang berafiliasi dengan marga Sinaga (tetapi sejak Revolusi Sosial sudah kembali ke marga asalnya). Selain itu masih ada marga Lingga, Manurung, Butar-butar, Sirait di Simalungun timur dan barat. Demikianlah sampai zaman modern ini “warna-warni” suku Simalungun ini menyebabkan suku Simalungun sangat toleran dan bahkan nyaris “hilang” karena terlalu terbukanya dengan para pendatang. Belum lagi dengan suku Simalungun yang masuk Islam sejak abad XV di Asahan dan Deli serta Serdang mengaku dirinya Melayu dan menghilangkan identitasnya sebagai suku Simalungun.
Dahulu kala menurut Tuan Taralamsyah Saragih (surat pribadi,1963), orang Simalungun asli itu merupakan keturunan dari empat raja-raja besar yang berasal dari Siam dan India dengan rakyatnya masuk ke Sumatera Timur terus ke Aceh, Langkat dan daerah Bangun Purba dan Bandar Kalifah sampai Batubara. Akibat desakan orang “Djau”, berangsur-angsur mereka mencapai pinggiran Danau Toba sampai ke Samosir. Adapun keempat marga-marga Simalungun yang empat populer dengan nama SISADAPUR (Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba) berasal dari “harungguan bolon” (permusyawaratan besar) raja-raja yang empat itu agar jangan saling menyerang, bermusuhan dan “marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh.”
Keempat raja itu adalah:
1. Raja Nagur, Marga Damanik =
Simada Manik, Simalungun: “Manik” = tonduy,sumangat, tunggung, (yang
bersemangat, berkharisma, agung) halanigan, tercerdas Raja Nagur on marimbang
raja na legan janah bahatan balani. Mereka ini berasal dari kaum bangsawan
India Selatan dari Kerajaan Nagore. Keturunan Raja Nagur ini pada abad ke-12
terbagi menjadi tiga bagian menurut keturunan ketiga putera raja Nagur yang
mengungsi dari Pamatang Nagur di Pulau Pandan akibat serangan Raja Rajendra
Chola dari India, yaitu : Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja
Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja
Bandar), Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung
Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih,
Simaringga, Sarasan, Sola), Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula
dan keturunannya Damanik Tomok). Kemudian datang marga keturunan Silau Raja,
Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja mengaku Damanik di
Simalungun yang berasal dari Pulau Samosir.
2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih.
Saragih: Simalungun : Simada
Ragih; Ragih = atur, susun, tata (pemilik aturan, pengatur, pemegang
undang-undang, penyusun). Keturunannya adalah Saragih Garingging yang pernah
merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya, Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya
Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang. Pada zaman Tuan Rondahaim, marga Turnip,
Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke,
Simanihuruk mengaku dirinya Saragih di Simalungun. Jelaslah bahwa hanya dua
keturunan Raja Banua Sobou yakni : Sumbayak dan Garingging. Garingging kemudian
pecah lagi menjadi Dasalak dan Dajawak. Dasalak menjadi raja di Padang Badagei,
dan Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dengan Marga Ginting Jawak.
Sedangkan Pardalan Tapian adalah berasal marga dari Samosir.
3. Raja Banua Purba bermarga Purba.
Purba adalah bahasa Sansekerta “purwa” artinya
timur, gelagat masa datang, pengatur, pemegang undang-undang, tenungan
pengetahuan, cendikiawan/sarjana. Keturunannya adalah :Tambak, Sigumonrong,
Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung,
Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 datang marga Simamora
dari Bakkara melalui Samosir ke Haranggaol dan mengaku dirinya Purba, merekalah
yang menurunkan marga Purba Manorsa yang tinggal di Tangga Batu dan
Purbasaribu.
4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga atau
Tanduk Banua
(terletak di perbatasan Simalungun
dengan tanah Karo). Marga Sinaga = Simada Naga adalah marga asli Simalungun.
Naga dikenal juga dengan mitologi dewa yang penjaga bumi yang menyebabkan gempa
dan tanah longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa,
Batangiou di Asahan. Tuan Girsang Sipangan Bolon adalah anakboru Raya pada
zaman kerajaan-kerajaan Simalungun. Pada abad ke XIV saat serangan Majapahit,
pasukan dari Jambi dipimpin Panglima Bungkuk dengan pasukannya melarikan diri
ke Kerajaan Batangiou dan mengaku dirinya Sinaga, dan menurut Taralamsyah
Saragih nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga
Sinaga Dadihoyong setelah mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari
kerajaan Batangiou dalam adu sumpah (sibijaon) (Tideman, 1922). Sementara Tuan
Gindo Sinaga keturunan Tuan Djorlang Hataran mengaku Sinaga keturunan raja
Tanoh Djawa berasal dari India. Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh
Djawa menghubungkannya dengan daerah Naga Land (Tanah Naga) di India Timur yang
berbatasan dengan Birma yang memang memiliki banyak Similaritas dengan adat
kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun
dan Batak lainnya.
Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Simalungun adalah “hasusuran” (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul dalam horja-horja adat. Dahulu kalau orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” tetapi “hunja do hasusuran ni ham?” seperti pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei.” Kenapa? Karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, raja Panei dari putri raja Siantar, raja Silau dari putri raja Raya, raja Purba dari putri raja Siantar dan Silimakuta dari putri raja Raya atau Tongging. Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Zaman dahulu mereka ini akibat hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun. Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba. Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi Sosial tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu hapus di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.
Jadi salah satu cara untuk mempertahankan identitas Simalungun adalah dengan mengetahui garis keturunan orang Simalungun itu sendiri dan berbudaya, beradat, berbahasa Simalungun agar tidak larut dengan etnis lain yang memiliki kemiripan marga, budaya, bahasa dan adat-istiadat.
Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Simalungun adalah “hasusuran” (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul dalam horja-horja adat. Dahulu kalau orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” tetapi “hunja do hasusuran ni ham?” seperti pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei.” Kenapa? Karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, raja Panei dari putri raja Siantar, raja Silau dari putri raja Raya, raja Purba dari putri raja Siantar dan Silimakuta dari putri raja Raya atau Tongging. Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Zaman dahulu mereka ini akibat hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun. Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba. Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi Sosial tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu hapus di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.
Jadi salah satu cara untuk mempertahankan identitas Simalungun adalah dengan mengetahui garis keturunan orang Simalungun itu sendiri dan berbudaya, beradat, berbahasa Simalungun agar tidak larut dengan etnis lain yang memiliki kemiripan marga, budaya, bahasa dan adat-istiadat.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Simalungun
https://thpardede.wordpress.com/2010/05/26/sejarah-singkat-suku-simalungun-dan-kerajaan-kerajaan-nya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar