FOLKLORE LEGENDA ANDE-ANDE LUMUT
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga Penyusun
dapat menyususn makalah ini hingga selesai. Tidak lupa penyusun juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
khususnya kepada Pak Shobirien selaku
dosen pengajar pada mata pelajaran Sejarah Nasional Indonesia yang telah
memberikan tugas-3 Foklore Indonesia yang akan penyusun bahas di makalah kali
ini. Dan keluarga besar di Usaha Jasa Pariwisata UNJ yang sudah memberikan
dukungan dan partisipasinya dalam selesainya makalah ini.
Dan harapan penyusun semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penyusun, penyusun yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Dan harapan penyusun semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penyusun, penyusun yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Bekasi, 3 Januari 2016
Penyusun
Juliana Rahmawati
PENGANTAR
Folklor
berasal dari bahasa Inggris yaitu folklore. Kata ini merupakan kata
majemuk, berasal dari kata folk dan lore. Folk artinya kolektif. Menurut Alan
Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik.
Ciri-ciri ini berkaitan dengan warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama ,
mata pencaharian yang sama, bahasa yang digunakan sama, taraf pendidikan yang
sama, dan agama yang sama. Sedangkan Lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian
kebudayaannya, diwariskan secara turun-temurun baik secara lisan atau suatu
contoh dengan gerak lisan. Jadi definisi folklore secara keseluruhan adalah
sebagian kebudayaan suatu kolektif , tersebar dan diwariskan turun-temurun, di
antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,
baik dalam bentuk lisan maupun contoh suatu gerak isyarat.
Agar
dapat membedakan folklore dari kebudayaan lainnya, hal yang perlu di ketahui
adalah mengenal ciri-ciri pengenal umum folklore tersebut, yaitu ;
- Penyebaran dilakukan dengan lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut disertai dengan gerak isyarat dan dibantu dengan alat pengingat dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Folklor bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam bentuk relait tetap atau standard an disebarkan di antara kolektif tertentu dan dalam waktu yang lama.
- Folklor ada dalam versi bahkan varian-varian yang berbeda. Ini di sebabkan proses penyebaran dari mulut ke mulut yang mengalami proses interpolasi. Walaupun demikian bentuk dasar tetap bertahan.
- Folklor bersifat anonim, yaitu tidak diketahui penciptanya.
- Folklor berbentuk rumus dan berpola, misalnya menggunakan kata-kata klise, ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan atau kalimat-kalimat pembuka atau penutup yang baku.
- Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama.
- Bersifat pralogis, artinya mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika pada umumnya.
- Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.
- Bersifat polos dan lugu karena folklore merupakan hasil dari emosi manusia yang paling jujur.
Folklor
Menurut Jan Harold Brunvand, “dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar
berdasarkan tipenya, yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan, folklor bukan
lisan”.
1.
Folklor lisan.
Folklor
lisan bentuknya murni lisan. Bentuk folklor kelompok ini antara lain:
Bahasa
rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat cerita prosa
rakyat, nyanyian rakyat.
2.
Folklor sebagian lisan.
Folklor
berbentuk dari campuran unsur isan dan bukan lisan. Bentuk folklor kelompok ini
antara lain:
Kepercayaan
rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara,
pesta rakyat dan lain-lain.
3.
Folklor bukan lisan.
Folklor
yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk
folklore ini terbagi dua subkelompok, yakni material dan bukan material.
Bentuk-bentuk yang tergolong dalam kelompok material : arsitektur rakyat,
kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat,
dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain
: gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat, dan musik rakyat.
Contoh-contoh
folklore lisan di Indonesia
1.
Bahasa rakyat.
Bentuk-bentuk
folklor Indonesia yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat adalah logat
bahasa, slang (kosa kata para penjahat), can’t (bahasa rahasia yang
digunakan oleh gay), shop talk (bahasa para pedagang), colloquial (bahasa
sehari-hari yang menyimpang dari bahasa konvensional), sirkumkolusi
(ungkapan tidak langsung), nama julukan, gelar kebangsawanan, jabatan
tradisional, bahasa bertingkat, onomatopoetis (kata yang dibantuk dari
mencontoh bunyi dan suara alamiah), onomastis (nama tradisional atau
tempat-tempat tertentu yang mempunyai sejarah terbentuknya)
2.
Ungkapan tradisional.
Ungkapan
tradisional mempunyai tiga sifat hakiki, saat hendak meneliti hal ini (a)
peribahasa harus berupa satu kalimat ungkapan saja. (b) peribahasa dalam bentuk
yang sederhana. (c) peribahasa harus memiliki daya hidup yang dapat membedakan
dari bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk, iklan, syair, dan
lain-lainnya. Peribahasa di bagi menjadi empat golongan besar, yakni: (a)
peribahasa yang sesungguhnya, (b) peribahasa yang tidak lengkap maknanya, (c)
peribahsa perumpamaan, (d) ungkapan yang mirip bahasa.
3.
Pertanyaan tradisional.
Dikenal
dengan nama teka-teki. Menurut Robert A. Georges dan Alan Dundes teka-teki
adalah “Ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih unsure
pelukisan, sepasang daropadanya dapat saling bertentangan dan jawabnya harus
diterka. Menurut kedua sarjana ini teka-taki dapat digolongkan dalam dua
kategori umum, yakni: (1) teka-teki yang tidak bertentangan, dan (2) teka-teki
yang bertentangan. Pada teka-teki tidak bertentangan, sifatnya harfiah, jawab,
dan pertanyaannya identik.
4.
Sajak dan puisi rakyat.
Sajak
atau puisi rakyat adalah kesusasteraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya,
biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra,
berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya
berdasarkan irama.
5.
Cerita prosa rakyat.
Menurut
William R Bascom, cerita prosa rakyat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu:
a.
Mite
Menurut
Bascom mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap bena-benar terjadi serta
dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohkan oleh para dewa dan
mahluk setengah dewa. Peristiwa di dunia lain, di dunia yang tidak kita kenal
sekarang, dan masa lampau. Menurut asalnya mite di Indonesia terbagi dua
,yakni: yang asli Indonesia dan yang berasal dari luar negeri seperti India,
Arab, dan Negara sekitar Lant Tengah. Mite di Indonesia biasanya menceritakan
tentang terjadinya alam semesta, terjadinya susunan para dewa, terjadinya
manusia pertama dan tokoh kebudayaan, dan terjadinya makanan pokok untuk pertama
kalinya.
b.
Legenda
Legenda
adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri mirip seperti mite, dianggap
benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Tokoh dalam legenda adalah
manusia walaupun ada kalanya memiliki sifat-sifat yang luar biasa. Tempat
terjadinya legenda ini berada di dunia. Legenda bersifat migratoris, artinya
berpindah-pindah dan dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda. Jan Harold
Brunvand membagi legenda menjadi empat kelompok, yaitu:
a)
legenda keagamaan
Yang
termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang suci.
b)
legenda alam gaib
Legenda
ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi pada seseorang.
Fungsi legenda ini adalah untuk memperkuat mengenai kepercayaan rakyat.
c)
legenda perseorangan
Cerita
mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap empunya cerita benar-benar terjadi.
d)
legenda setempat.
Yang
termasuk dalam legenda ini adalah legenda yang berhubungan dengan tempat, nama
tempat, dan bentuk tipografi suatu daerah.
6.
Dongeng
Dongeng
merupakan kesusasteraan kolektif secara lisan. Dongeng merupakan cerita prosa
yang dianggap benar-benar terjadi, dongeng bertujuan untuk menghibur, memberi
pelaajaran moral, melukiskan kebenaran bahkan digunakan sebagai sindiran. Stith
Thompson menggolongkan dongeng menjadi empat bagian, yaitu:
a)
Dongeng binatang
Dongeng
ini ditokohi oleh binatang, binatang dalam cerita inidapat berbicara dan
berakal budi seperti manusia.
b)
Dongeng biasa
Dongeng
ini ditokohi oleh manusia dan biasanya berkisah tentang suka duka seseorang.
c)
Lelucon dan anekdot
Dongeng
yang dapat menggelitik sehingga dapat menimbulkan tertawa bagi yang membaca
maupun yang mendengar. Perbedaan ankdot dengan lelucon adalah bahwa anekdot
menyangkut kisah fiktif lucu seseorang, sedangkan lelucon menyangkut kisah
fiktif lucu mengenai suatu kelompok. Lelucon dan anekdot terbagi menjadi tujuh
kategori, yaitu: a). lelucon dan anekdot agama, b) lelucon dan anekdot seks, c)
lelucon dan anekdot suku-suku tau bangsa-bangsa, d) lelucon dan anekdot
politik, e) lelucon dan anekdot angkatan bersenjata, f) lelucon dan anekdot
seorang professor, g) lelucon dan anekdot anggota kelompok lainnya.
d)
Dongeng berumus
Merupakan
dongeng-dongeng yang oleh Stith Thompson dan Antti Aarne disebut formula
tales dan strukturnya terdiri dari pengulangan. a) Dongeng-dongeng berumus
terdiri dari dua subbentuk, yakni: Dongeng tertimbun banyak disebut dongeng
berantai karena dibentuk dengan cara menambah keterangan lebih terperinci pada
setiap pengulangan inti cerita. b) Dongeng untuk mempermainkan orang adalah
cerita fiktif yang diceritakan khusus untuk memperdayai orang karena akan
menyebabkan pendengarnya mengeluarkan pendapat yang bodoh. c) Dongeng yang
tidak ada akhirnya adalah dongeng yang jika diteruskan tidak akan sampai pada
batas akhir.
7.
Nyayian rakyat
Menurut
Jan Harold Brundvand, nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau
bentuk folklore yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan
di antara anggota kolektif lainnya tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak
banyak mempunyai varian.
PEMBAHASAN
Raden Panji Asmarabangun tengah mencari
isterinya yang hilang, Dewi Sekartaji.
Cerita Panji ialah sebuah kumpulan cerita yang
berasal dari Jawa periode klasik, tepatnya dari era Kerajaan Kediri. Isinya
adalah mengenai kepahlawanan dan cinta yang berpusat pada dua orang tokoh
utamanya, yaitu Raden Inu Kertapati (atau Panji Asmarabangun) dan Dewi
Sekartaji (atau Galuh Candrakirana). Cerita ini mempunyai banyak versi, dan
telah menyebar di beberapa tempat di Nusantara (Jawa, Bali, Kalimantan,
Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Filipina). Beberapa cerita rakyat
seperti Keong Mas, Ande-ande Lumut, dan Golek Kencana juga merupakan turunan
dari cerita ini. Karena terdapat banyak cerita yang saling berbeda namun saling
berhubungan, cerita-cerita dalam berbagai versi ini dimasukkan dalam satu
kategori yang disebut “Lingkup Panji” (Panji cycle).
Penyebaran Cerita Panji
Sebagai suatu karya sastra yang berkembang dalam masa Jawa Timur klasik, kisah Panji telah cukup mendapat perhatian para ahli. Ada yang telah membicarakannya dari segi kesusasteraannya (Cohen Stuart 1853), dari segi kisah yang mandiri (Roorda 1869), atau diperbandingkan dengan berbagai macam cerita Panji yang telah dikenal (Poerbatjaraka 1968), serta dari berbagai segi yang lainnya lagi’.Menurut C.C.Berg (1928) masa penyebaran cerita Panji di Nusantara berkisar antara tahun 1277 M (Pamalayu) hingga ± 1400 M. Ditambahkannya bahwa tentunya telah ada cerita Panji dalam Bahasa Jawa Kuno dalam masa sebelumnya, kemudian cerita tersebut disalin dalam bahasa Jawa Tengahan dan Bahasa Melayu. Berg (1930) selanjutnya berpendapat bahwa cerita Panji mungkin telah populer di kalangan istana raja-raja Jawa Timur, namun terdesak oleh derasnya pengaruh Hinduisme yang datang kemudian. Dalam masa selanjutnya cerita tersebut dapat berkembang dengan bebas dalam lingkungan istana-istana Bali’.
R.M.Ng. Poerbatjaraka membantah pendapat Berg tersebut, berdasarkan alasan bahwa cerita Panji merupakan suatu bentuk revolusi kesusastraan terhadap tradisi lama (India). Berdasarkan relief tokoh Panji dan para pengiringnya yang diketemukan di daerah Gambyok, Kediri, Poerbatjaraka juga menyetujui pendapat W.F.Stutterheim yang menyatakan bahwa relief tersebut dibuat sekitar tahun 1400 M. Akhirnya Poerbatjaraka menyimpulkan bahwa mula timbulnya cerita Panji terjadi dalam zaman keemasan Majapahit (atau dalam masa akhir kejayaan kerajaan tersebut) dan ditulis dalam Bahasa Jawa Tengahan (1968:408–9). Penyebarannya ke luar Jawa terjadi dalam masa yang lebih kemudian lagi dengan cara penuturan lisan.
Sebagai suatu karya sastra yang berkembang dalam masa Jawa Timur klasik, kisah Panji telah cukup mendapat perhatian para ahli. Ada yang telah membicarakannya dari segi kesusasteraannya (Cohen Stuart 1853), dari segi kisah yang mandiri (Roorda 1869), atau diperbandingkan dengan berbagai macam cerita Panji yang telah dikenal (Poerbatjaraka 1968), serta dari berbagai segi yang lainnya lagi’.Menurut C.C.Berg (1928) masa penyebaran cerita Panji di Nusantara berkisar antara tahun 1277 M (Pamalayu) hingga ± 1400 M. Ditambahkannya bahwa tentunya telah ada cerita Panji dalam Bahasa Jawa Kuno dalam masa sebelumnya, kemudian cerita tersebut disalin dalam bahasa Jawa Tengahan dan Bahasa Melayu. Berg (1930) selanjutnya berpendapat bahwa cerita Panji mungkin telah populer di kalangan istana raja-raja Jawa Timur, namun terdesak oleh derasnya pengaruh Hinduisme yang datang kemudian. Dalam masa selanjutnya cerita tersebut dapat berkembang dengan bebas dalam lingkungan istana-istana Bali’.
R.M.Ng. Poerbatjaraka membantah pendapat Berg tersebut, berdasarkan alasan bahwa cerita Panji merupakan suatu bentuk revolusi kesusastraan terhadap tradisi lama (India). Berdasarkan relief tokoh Panji dan para pengiringnya yang diketemukan di daerah Gambyok, Kediri, Poerbatjaraka juga menyetujui pendapat W.F.Stutterheim yang menyatakan bahwa relief tersebut dibuat sekitar tahun 1400 M. Akhirnya Poerbatjaraka menyimpulkan bahwa mula timbulnya cerita Panji terjadi dalam zaman keemasan Majapahit (atau dalam masa akhir kejayaan kerajaan tersebut) dan ditulis dalam Bahasa Jawa Tengahan (1968:408–9). Penyebarannya ke luar Jawa terjadi dalam masa yang lebih kemudian lagi dengan cara penuturan lisan.
Hubungan dengan Sejarah
Cerita di dalam lakon panji berhubungan dengan tokoh-tokoh nyata dalam sejarah Jawa (terutama Jawa Timur). Tokoh Panji Asmarabangun dihubungkan dengan Sri Kamesywara, raja yang memerintah Kediri sekitar tahun 1180 hingga 1190-an. Permaisuri raja ini memiliki nama Sri Kirana adalah puteri dari Jenggala, dan dihubungkan dengan tokoh Candra Kirana. Selain itu ada pula tokoh seperti Dewi Kilisuci yang konon adalah orang yang sama dengan Sanggramawijaya Tunggadewi, puteri mahkota Airlangga yang menolak untuk naik tahta.
Cerita di dalam lakon panji berhubungan dengan tokoh-tokoh nyata dalam sejarah Jawa (terutama Jawa Timur). Tokoh Panji Asmarabangun dihubungkan dengan Sri Kamesywara, raja yang memerintah Kediri sekitar tahun 1180 hingga 1190-an. Permaisuri raja ini memiliki nama Sri Kirana adalah puteri dari Jenggala, dan dihubungkan dengan tokoh Candra Kirana. Selain itu ada pula tokoh seperti Dewi Kilisuci yang konon adalah orang yang sama dengan Sanggramawijaya Tunggadewi, puteri mahkota Airlangga yang menolak untuk naik tahta.
Sebelum lebih jauh berbicara mengenai cerita
Panji, pada kesempatan ini penulis artikel akan membahas cerita Panji secara
sekilas, dan membahas sejauhmana arti penting dan eksistensi cerita panji pada
masa kini sebagai salah satu aset budaya Indonesia. Dengan memperhatikan
beberapa parameter seperti eksistensi Cerita Panji terhadap kesenian Indonesia,
akankah Cerita Panji makin terpinggirkan dan tergantikan oleh cerita-cerita
dari yang lebih populer dan instans yang tumbuh dan berkembang pada saat ini? Cerita Panji sebagai salah
satu epos nusantara yang tidak kalah dengan epos Mahabarata maupun Ramayana.
Berkaca pada pengalaman baru-baru ini bahwa negara tetangga dengan tidak
segan-segan melakukan klaim terhadap aset budaya yang kita miliki. Sehingga
dipandang perlu adanya upaya untuk menyelamatkan, memelihara, serta
mengembangkan Cerita Panji sebagai kontribusi positif pembangunan budaya
bangsa, sehingga cerita Panji dapat dijadikan identitas dan ikon epos asli yang
berasal dari Indonesia.
Sudah banyak artikel ilmiah maupun penelitian yang membahas mengenai Cerita Panji dalam berbagai kajian, yang mana sebagian pemerhati Cerita Panji adalah orang-orang mancanegara antara lain W.H. Rassers menulis buku Panji, The Cultural Hero: As Structural Study of Religion in Java; A.Teeuw meneliti cerita Panji Syair Ken Tambunan; S.O. Robson menulis buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance; J.J. Ras The Panji Romance and W.H. Rassers analysis of its theme; dan Lidya Kieven dalam disertasinya yang berjudul Cerita Panji; sedangkan R.M. Poerbatjaraka menulis tentang Tjerita Panji dalam perbandingan, yang mewakili salah satu bumiputera yang juga mempunyai perhatian mengenai Cerita Panji. Cerita Panji muncul dalam sastra kuno Jawa Timur pada abad VII sampai dengan XV Masehi. Cerita Panji diduga berasal dari Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja dari Jaman Kadiri. Pada bagian akhir kakawin ini diceritakan tentang kisah perkawinan Kamerwara dari Madyadesa (Kadiri) dengan Putri Kirana dari Wajradrawa (Janggala). Penyebaran Cerita panji dalam Bahasa Jawa Kuna pada masa sebelumnya, yang kemudian disalin dalam bahasa Jawa Tengahan dan Bahasa Melayu. Menurut Poerbatjaraka bahwa cerita Panji merupakan suatu bentuk revolusi kesusastraan terhadap tradisi India yang berawal dari jaman keemasan Majapahit dan ditulis dalam bahasa jawa Tengahan (Poerbatjaraka,1968:408-409).
Sudah banyak artikel ilmiah maupun penelitian yang membahas mengenai Cerita Panji dalam berbagai kajian, yang mana sebagian pemerhati Cerita Panji adalah orang-orang mancanegara antara lain W.H. Rassers menulis buku Panji, The Cultural Hero: As Structural Study of Religion in Java; A.Teeuw meneliti cerita Panji Syair Ken Tambunan; S.O. Robson menulis buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance; J.J. Ras The Panji Romance and W.H. Rassers analysis of its theme; dan Lidya Kieven dalam disertasinya yang berjudul Cerita Panji; sedangkan R.M. Poerbatjaraka menulis tentang Tjerita Panji dalam perbandingan, yang mewakili salah satu bumiputera yang juga mempunyai perhatian mengenai Cerita Panji. Cerita Panji muncul dalam sastra kuno Jawa Timur pada abad VII sampai dengan XV Masehi. Cerita Panji diduga berasal dari Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja dari Jaman Kadiri. Pada bagian akhir kakawin ini diceritakan tentang kisah perkawinan Kamerwara dari Madyadesa (Kadiri) dengan Putri Kirana dari Wajradrawa (Janggala). Penyebaran Cerita panji dalam Bahasa Jawa Kuna pada masa sebelumnya, yang kemudian disalin dalam bahasa Jawa Tengahan dan Bahasa Melayu. Menurut Poerbatjaraka bahwa cerita Panji merupakan suatu bentuk revolusi kesusastraan terhadap tradisi India yang berawal dari jaman keemasan Majapahit dan ditulis dalam bahasa jawa Tengahan (Poerbatjaraka,1968:408-409).
Penyebarannya ke luar jawa terjadi dalam masa
yang lebih kemudian lagi dengan cara penuturan lisan. Dalam perkembangan
selanjutnya cerita tersebut ditulis dengan huruf Arab-Melayu, dan cerita Panji
dalam bentuk naskah Arab-Melayu itulah diperkenalkan
ke wilayah Asia Tenggara daratan (ibid.). Cerita Panji tersebar ke daerah di Nusantara meliputi seluruh Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, dan berbagai daerah Sumatra; dan hingga menyebar ke negara lain di Asia Tenggara meliputi Thailand, Kamboja, dan Myanmar.
ke wilayah Asia Tenggara daratan (ibid.). Cerita Panji tersebar ke daerah di Nusantara meliputi seluruh Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, dan berbagai daerah Sumatra; dan hingga menyebar ke negara lain di Asia Tenggara meliputi Thailand, Kamboja, dan Myanmar.
Cerita Panji berkembang melalui berbagai aspek
kehidupan dan bentuk seni seperti seni tari, sastra, teater, wayang, seni
lukis, dan seni pahat. Cerita Panji Meski terdiri dari berbagai versi, inti
cerita Panji selalu bercerita tentang kehidupan tokoh Raden Panji (Panji
Asmorobangun) dari Kerajaan Jenggala dan Putri Candrakirana (Dewi Sekartaji)
dari Kerajaan Daha atau Kediri. Raden Panji dianggap sebagai titisan Dewa
Wisnu, sedang Dewi Sekartaji sebagai titisan dari Dewi Sri. Penyatuan Panji dan
Sekartaji, sebagai bentuk penyatuan pria dan wanita yang menghasilkan kesuburan
atau keturunan,dijadikan simbol kesuburan padi.
Dalam perkembangan berikutnya Cerita Panji muncul dalam berbagai versi sesuai dengan lingkungan kebudayaannya. Dalam kesusastraan Melayu Lama, Cerita Panji dijumpai berbagai versi yaitu seperti Hikayat Jaran Panji Asmaradana, Hikayat Anom Mataram, Hikayat Mesa Gimang, Hikayat Panji Kuda Semirang, dan Hikayat Panji Semirang. Di Bali, Cerita Panji dikenal dengan Cerita Malat dan di Palembang dikenal dengan cerita Panji Anggraeni. Di Jawa sebagai tempat munculnya cerita panji juga dijumpainya berbagai versi cerita panji sejak masa Bahasa Jawa Tengahan seperti pada naskah Wangbang Wideya dan Panji Angreni dan Bahasa Jawa baru seperti yang ditulis oleh pujangga Kraton Surakarta,Ronggowarsito yaitu Panji Jayeng Tilam. (Sumardjo, 1990:135-136).
Dalam perkembangan berikutnya Cerita Panji muncul dalam berbagai versi sesuai dengan lingkungan kebudayaannya. Dalam kesusastraan Melayu Lama, Cerita Panji dijumpai berbagai versi yaitu seperti Hikayat Jaran Panji Asmaradana, Hikayat Anom Mataram, Hikayat Mesa Gimang, Hikayat Panji Kuda Semirang, dan Hikayat Panji Semirang. Di Bali, Cerita Panji dikenal dengan Cerita Malat dan di Palembang dikenal dengan cerita Panji Anggraeni. Di Jawa sebagai tempat munculnya cerita panji juga dijumpainya berbagai versi cerita panji sejak masa Bahasa Jawa Tengahan seperti pada naskah Wangbang Wideya dan Panji Angreni dan Bahasa Jawa baru seperti yang ditulis oleh pujangga Kraton Surakarta,Ronggowarsito yaitu Panji Jayeng Tilam. (Sumardjo, 1990:135-136).
Variasi versi Cerita Panji juga mempengaruhi
penamaan tokoh-tokoh cerita panji seperti Penyebutan tokoh utama dalam Cerita
Panji dari Kamboja disebut Eynao dan dalam versi Cerita Panji Thailand disebut
Dalang dan Ari Negara. Walaupun terjadi variasi penyebutan tokoh maupun
negara-negera dalam dalam cerita Panji, namun cerita panji tersebut ternyata
juga mempunyai pola plot yang sama dan kemiripan setting negera asal para tokoh
panji, yaitu kerajaan Koripan (kahuripan),Jenggala, Gegelang, Daha atau Kediri,
Mamenang, Urawan, dan Singasari. Pola plot cerita yang inti ceritanya berawal
dari kisah percintaan putra raja dengan putri raja dari negara yang berbeda
yang kemudian dipisahkan dan berkelana untuk mencari pasangannya melalui
penyamaran yang kemudian akhirnya mereka bertemu dan disatukan dalam
perkawinan. (ibid.)
CERITAPANJI
Cerita Panji dalam Kesenian Indonesia
Sebagai suatu karya sastra yang berkembang dalam masa Majapahit Akhir, cerita Panji telah cukup mendapat perhatian para ahli. Ada yang telah membicarakannya dari segi kesusastraannya, dari segi kisah yang mandiri, atau diperbandingkan dengan berbagai macam cerita Panji yang telah dikenal, serta dari berbagai segi yang lainnya lagi. Cerita Panji sebagai suatu karya sastra juga memberikan sumbangan sumberdaya budaya yang kaya dalam berbagai bentuk kesenian di Indonesia, salah satunya adalah seni tari,teater, dan seni pertunjukan. Kesenian Wayang Gedog dan Wayang Beber di Jawa, teater Raket atau Gambuh di bali, Tari Topeng dari Cirebon, teater Topeng Malang – Jawa Timur,Wayang Topeng (Pacitan), wayang golek Kediri, wayang thengul Bojonegoro), wayang krucil (Nganjuk), Legong Kraton (Lasem), Lutung Kasarung (Jabar) serta Wayang Topeng di wilayah Jawa Tengah mengambil Cerita Panji sebagai plotting
ceritanya. Dilingkungan teater rakyat pada abad XVIII – XIX Masehi juga dikenal dengan teater Ande-Ande Lumut dan ketek Ogleng yang plotting ceritanya berdasarkan Cerita Panji pula. Selain seni tari, dan teater di Wilayah Banyuwangi Cerita Panji digunakan sebagai salah satu motif batik. (Sumardjo, 1990:135). Sementara Cerita Panji dalam bentuk fisik, terpahat dalam relief di beberapa candi (punden berundak) di lereng Gunung Penanggungan, Candi Penataran dan peninggalan purbakala di lereng gunung Arjuno. Bahkan, patung Panji pernah ditemukan di Candi Selokelir di lereng Penanggungan. Arca tersebut berukuran 1.50 M dalam sikap berdiri, kedua tangannya berada di samping tubuh, mengenakan tekes dan selain juga kalung, upawita dari kain yang menjuntai hingga paha, serta sarung yang mencapai punggung telapak kaki. Bentuk arca seperti ini mengingatkan pada arca-arca perwujudan dari masa Majapahit akhir.
Cerita Panji dalam Kesenian Indonesia
Sebagai suatu karya sastra yang berkembang dalam masa Majapahit Akhir, cerita Panji telah cukup mendapat perhatian para ahli. Ada yang telah membicarakannya dari segi kesusastraannya, dari segi kisah yang mandiri, atau diperbandingkan dengan berbagai macam cerita Panji yang telah dikenal, serta dari berbagai segi yang lainnya lagi. Cerita Panji sebagai suatu karya sastra juga memberikan sumbangan sumberdaya budaya yang kaya dalam berbagai bentuk kesenian di Indonesia, salah satunya adalah seni tari,teater, dan seni pertunjukan. Kesenian Wayang Gedog dan Wayang Beber di Jawa, teater Raket atau Gambuh di bali, Tari Topeng dari Cirebon, teater Topeng Malang – Jawa Timur,Wayang Topeng (Pacitan), wayang golek Kediri, wayang thengul Bojonegoro), wayang krucil (Nganjuk), Legong Kraton (Lasem), Lutung Kasarung (Jabar) serta Wayang Topeng di wilayah Jawa Tengah mengambil Cerita Panji sebagai plotting
ceritanya. Dilingkungan teater rakyat pada abad XVIII – XIX Masehi juga dikenal dengan teater Ande-Ande Lumut dan ketek Ogleng yang plotting ceritanya berdasarkan Cerita Panji pula. Selain seni tari, dan teater di Wilayah Banyuwangi Cerita Panji digunakan sebagai salah satu motif batik. (Sumardjo, 1990:135). Sementara Cerita Panji dalam bentuk fisik, terpahat dalam relief di beberapa candi (punden berundak) di lereng Gunung Penanggungan, Candi Penataran dan peninggalan purbakala di lereng gunung Arjuno. Bahkan, patung Panji pernah ditemukan di Candi Selokelir di lereng Penanggungan. Arca tersebut berukuran 1.50 M dalam sikap berdiri, kedua tangannya berada di samping tubuh, mengenakan tekes dan selain juga kalung, upawita dari kain yang menjuntai hingga paha, serta sarung yang mencapai punggung telapak kaki. Bentuk arca seperti ini mengingatkan pada arca-arca perwujudan dari masa Majapahit akhir.
sumber : MUTIARA YANG TERLUPAKAN (bag. II) Hery
Priswanto – Balai Arkeologi Yogyakarta
CERITA PANJI DALAM MASYARAKAT MAJAPAHIT
AKHIR
Cerita Panji dipahat dan divisualisasikan pada seni arsitektur pada bangunan candi terutama pada dinding kaki candi-candi yang terdapat di Jawa terdapat hiasan ornamental yang turut memperindah bangunan suci masa lalu tersebut. Hiasan ornamental yang dimaksudkan adalah relief. Dari sekian banyak karya sastra Jawa Kuno yang dikenal hingga saat ini, dapatlah diketahui bahwa hanya
beberapa karya sastra saja yang divisualisasikan ke dalam bentuk relief cerita. Agaknya terdapat sejumlah alas an tertentu sehingga para seniman ahli pahat masa itu hanya memilih dan menyukai beberapa cerita saja yang dipahatkan pada bangunan candi yang akan dirangkai dalam sebuah cerita dalam bentuk relief, salah satunya adalah Cerita Panji. (Agus Aris Munandar,2004:54).
sumber:http://irsam.multiply.com/journal/item/19/
Cerita Panji dipahat dan divisualisasikan pada seni arsitektur pada bangunan candi terutama pada dinding kaki candi-candi yang terdapat di Jawa terdapat hiasan ornamental yang turut memperindah bangunan suci masa lalu tersebut. Hiasan ornamental yang dimaksudkan adalah relief. Dari sekian banyak karya sastra Jawa Kuno yang dikenal hingga saat ini, dapatlah diketahui bahwa hanya
beberapa karya sastra saja yang divisualisasikan ke dalam bentuk relief cerita. Agaknya terdapat sejumlah alas an tertentu sehingga para seniman ahli pahat masa itu hanya memilih dan menyukai beberapa cerita saja yang dipahatkan pada bangunan candi yang akan dirangkai dalam sebuah cerita dalam bentuk relief, salah satunya adalah Cerita Panji. (Agus Aris Munandar,2004:54).
sumber:http://irsam.multiply.com/journal/item/19/
Cerita Panji sebagai Aset Budaya
dan Identitas Bangsa
Pada hakikatnya setiap bangsa di dunia ini terdiri dari kekayaan budaya masing-masing, yang mana antara budaya-budaya tersebut bisa saling belajar dan mengajar. Sehingga dipandang perlu memperhatikan dan melestarikan warisan dan identitas budaya masing-masing tersebut. Pelestarian warisan dan identitas budaya adalah juga tuntutan dalam kegiatan UNESCO; contohnya pelestarian Candi Borobudur. Cerita Panji sebagai salah satu warisan dan identitas kebudayaan nasional yang perlu diapresiasi dan dilestarikan, khususnya dalam era globalisasi sebagai keunikan budaya tersendiri dan aset budaya yang sangat bernilai. http://brangwetan.wordpress.com/2009/06/20/road-show-panjibersama-lydia-kieven/). Cerita panji sebagai sebuah tradisi budaya telah terbukti diversifikasi dan berkelanjutan dalam bentuk dan fungsi hingga lintas masa dan sekaligus lintas area. Sehingga diperlukan kajian mendalam mengenai Cerita Panji dan segala aspeknya untuk dapat dideskripsikan, dan didokumentasikan dalam program
Pada hakikatnya setiap bangsa di dunia ini terdiri dari kekayaan budaya masing-masing, yang mana antara budaya-budaya tersebut bisa saling belajar dan mengajar. Sehingga dipandang perlu memperhatikan dan melestarikan warisan dan identitas budaya masing-masing tersebut. Pelestarian warisan dan identitas budaya adalah juga tuntutan dalam kegiatan UNESCO; contohnya pelestarian Candi Borobudur. Cerita Panji sebagai salah satu warisan dan identitas kebudayaan nasional yang perlu diapresiasi dan dilestarikan, khususnya dalam era globalisasi sebagai keunikan budaya tersendiri dan aset budaya yang sangat bernilai. http://brangwetan.wordpress.com/2009/06/20/road-show-panjibersama-lydia-kieven/). Cerita panji sebagai sebuah tradisi budaya telah terbukti diversifikasi dan berkelanjutan dalam bentuk dan fungsi hingga lintas masa dan sekaligus lintas area. Sehingga diperlukan kajian mendalam mengenai Cerita Panji dan segala aspeknya untuk dapat dideskripsikan, dan didokumentasikan dalam program
Konservasi cerita Panji.
Dalam bidang pendidikan, dipandang perlu menjadikan Cerita Panji sebagai bahan baku ajar atau media pendidikan mengenai sejarah, sastra, dan seni pertunjukan dalam upaya menghargai potensi budaya lokal yang dimiliki Jawa Timur khususnya maupun sebagai aset budaya nasional. Di dalam bidang industri kreatif untuk mengeksplorasi Cerita Panji dengan cara menerbitkan kembali cerita Panji, serta juga dalam berbagai bentuk karya berupa seni rupa seperti grafis, komik, seni patung dan pahat, seni video, dan cenderamata sebagai upaya tameng budaya (counter culture) terhadap budaya impor yang menyerbu dengan deras tanpa filter ke ranah budaya nasional. Masih segar diingatan bahwa beberapa aset budaya nasional dengan terang-terangan diklaim oleh negara tetangga. Hal ini akan meminimalisir dikemudian hari Cerita Panji akan lebih populer di negeri orang daripada di negeri sendiri. Salah satu contoh nyata adalah I La Galigo, hikayat anak bangsa dari Makasar, Sulawesi yang justru masyhur di luar negeri namun tak banyak masyarakat di Indonesia yang mengapresiasinya. (http://henrinurcahyo.wordpress.com/2009/02/03/harta-karun-cerita-panji/)
Di Jawa Timur, sudah sejak tahun 2007 ketika dilangsungkan Pekan Budaya Panji di Universitas Merdeka Malang dan pada November 2008 digelar Pasamuan Budaya Panji di PPLH Trawas. Di April 2009, diadakan sebuah diskusi terbatas Budaya Panji di Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Surabaya. Hasil kegiatan tersebut membuahkan sebuah rekomendasi dari Dewan Kesenian Jawa Timur (DK-Jatim) yang memutuskan bahwa dipandang perlu untuk melakukan aksi Konservasi Budaya dengan pilihan Budaya Panji. Istilah “Budaya Panji” berarti bahwa budaya Jawa Timur punya keunikan sendiri. Kreasi cerita Panji dan gambarnya dalam relief candi ada salah satu contoh untuk keunikan itu, sehingga Panji bisa menjadi icon untuk keunikan Jawa Timur itu. Kenyataan bahwa kreativitas di kebudayaan Jawa Timur kuno tidak tergantung dari kebudayaan India, bisa diterapkan pada masa kini: Budaya Jawa dan seluruh Indonesia tidak perlu tergantung dari dunia Barat, tapi punya ‘local genius’ sendiri.
sumber :(http://www.wacananusantara.org/Kisah Raden Panji/)
Dalam bidang pendidikan, dipandang perlu menjadikan Cerita Panji sebagai bahan baku ajar atau media pendidikan mengenai sejarah, sastra, dan seni pertunjukan dalam upaya menghargai potensi budaya lokal yang dimiliki Jawa Timur khususnya maupun sebagai aset budaya nasional. Di dalam bidang industri kreatif untuk mengeksplorasi Cerita Panji dengan cara menerbitkan kembali cerita Panji, serta juga dalam berbagai bentuk karya berupa seni rupa seperti grafis, komik, seni patung dan pahat, seni video, dan cenderamata sebagai upaya tameng budaya (counter culture) terhadap budaya impor yang menyerbu dengan deras tanpa filter ke ranah budaya nasional. Masih segar diingatan bahwa beberapa aset budaya nasional dengan terang-terangan diklaim oleh negara tetangga. Hal ini akan meminimalisir dikemudian hari Cerita Panji akan lebih populer di negeri orang daripada di negeri sendiri. Salah satu contoh nyata adalah I La Galigo, hikayat anak bangsa dari Makasar, Sulawesi yang justru masyhur di luar negeri namun tak banyak masyarakat di Indonesia yang mengapresiasinya. (http://henrinurcahyo.wordpress.com/2009/02/03/harta-karun-cerita-panji/)
Di Jawa Timur, sudah sejak tahun 2007 ketika dilangsungkan Pekan Budaya Panji di Universitas Merdeka Malang dan pada November 2008 digelar Pasamuan Budaya Panji di PPLH Trawas. Di April 2009, diadakan sebuah diskusi terbatas Budaya Panji di Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Surabaya. Hasil kegiatan tersebut membuahkan sebuah rekomendasi dari Dewan Kesenian Jawa Timur (DK-Jatim) yang memutuskan bahwa dipandang perlu untuk melakukan aksi Konservasi Budaya dengan pilihan Budaya Panji. Istilah “Budaya Panji” berarti bahwa budaya Jawa Timur punya keunikan sendiri. Kreasi cerita Panji dan gambarnya dalam relief candi ada salah satu contoh untuk keunikan itu, sehingga Panji bisa menjadi icon untuk keunikan Jawa Timur itu. Kenyataan bahwa kreativitas di kebudayaan Jawa Timur kuno tidak tergantung dari kebudayaan India, bisa diterapkan pada masa kini: Budaya Jawa dan seluruh Indonesia tidak perlu tergantung dari dunia Barat, tapi punya ‘local genius’ sendiri.
sumber :(http://www.wacananusantara.org/Kisah Raden Panji/)
Mengenal Figur Panji
Siapakah sesungguhnya Panji? Masih banyak yang beranggapan bahwa Panji adalah sosok fiktif yang hanya ada di cerita dongeng. Citra ini memang tak lepas dari kemasan budaya tutur Panji yang lebih berupa “Dongeng yang Disejarahkan” ketimbang “Sejarah yang Didongengkan”. Bila dirunut ke belakang, barangkali ini tak lepas dari pengaruh kekuasaan Majapahit ketika cerita heroik soal “pahlawan Kadiri” ini lahir. Dalam bukunya, Prof. DR. CC. Berg (1928) menyebutkan, bahwa penyebaran cerita Panji dimulai adanya Kertanegara Raja Singasari mengadakan pamalayu, tahu 1277 M sampai kurang lebih tahun 1400 M. Dari sumber ini diketemukan Panji adalah pahlawan kebudayaan, sebagaimana tahun 1996 pernah dijadikan tema sentral Pekan Budaya Bali, karena cerita Panji dianggap paling banyak memberikan keteladanan membangun kebudayaan Indonesia.
Ki Ageng Sri Widadi dari Kasunyatan Jawi, dalam makalahnya yang tak dibacakan dalam pertemuan itu menulis, Panji adalah tokoh yang menggunakan kesenian untuk menundukkan lawan. Panji pandai bermain gamelan, juga penari yang piawai, sebagai dalang yang pintar mempesona penonton, bahkan berjasa menyusun nada-nada gamelan berlaras pelog.
Hal ini dikuatkan oleh Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang. Menurutnya, Panji adalah tokoh manusia biasa, yang merupakan Pangeran Jawa dan bukan pahlawan pendatang seperti Rama dan Pandawa. Panji adalah sosok yang piawai berolah seni, seorang Maecenas kesenian Jawa masa lalu. Panji acap diceritakan sebagai pemain musik, penari, pemain drama (sendratari) dan penulis puisi. Panji adalah tokoh teladan masa lampau, dan perilakunya merupakan teladan arif dalam mengembangkan lingkungan dengan cara-cara yang sarat dengan nilai ekologis. Keteladanan Panji sebagai seseorang yang dipredikati sebagai “pahlawan budaya” masa lalu (masa Hindu-Budha) itulah kiranya yang perlu diupayakan untuk dapat ditransformasikan bagi pengembangan kesenian lokal dan pertanian serta pengelolaan lingkungan hidup pada masa kini mau pun mendatang.
Bahkan, menurut Dwi Cahyono, Kapanjian tidak hanya sekadar merupakan fenomena kesenian, namun sekaligus berwujud sebagai fenomena sosial, pemerintahan, kemiliteran, religi dan fenomena lainnya. Oleh karena itu cukup alasan untuk menyatakan bahwa
Kapanjian merupakan suatu fenomena budaya. Tradisi Panji adalah Tradisi Budaya, karena terbukti budaya Panji berkelanjutan dan mengalami diversifikasi bentuk dan fungsi hingga lintas masa dan sekaligus lintas area.
Siapakah sesungguhnya Panji? Masih banyak yang beranggapan bahwa Panji adalah sosok fiktif yang hanya ada di cerita dongeng. Citra ini memang tak lepas dari kemasan budaya tutur Panji yang lebih berupa “Dongeng yang Disejarahkan” ketimbang “Sejarah yang Didongengkan”. Bila dirunut ke belakang, barangkali ini tak lepas dari pengaruh kekuasaan Majapahit ketika cerita heroik soal “pahlawan Kadiri” ini lahir. Dalam bukunya, Prof. DR. CC. Berg (1928) menyebutkan, bahwa penyebaran cerita Panji dimulai adanya Kertanegara Raja Singasari mengadakan pamalayu, tahu 1277 M sampai kurang lebih tahun 1400 M. Dari sumber ini diketemukan Panji adalah pahlawan kebudayaan, sebagaimana tahun 1996 pernah dijadikan tema sentral Pekan Budaya Bali, karena cerita Panji dianggap paling banyak memberikan keteladanan membangun kebudayaan Indonesia.
Ki Ageng Sri Widadi dari Kasunyatan Jawi, dalam makalahnya yang tak dibacakan dalam pertemuan itu menulis, Panji adalah tokoh yang menggunakan kesenian untuk menundukkan lawan. Panji pandai bermain gamelan, juga penari yang piawai, sebagai dalang yang pintar mempesona penonton, bahkan berjasa menyusun nada-nada gamelan berlaras pelog.
Hal ini dikuatkan oleh Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang. Menurutnya, Panji adalah tokoh manusia biasa, yang merupakan Pangeran Jawa dan bukan pahlawan pendatang seperti Rama dan Pandawa. Panji adalah sosok yang piawai berolah seni, seorang Maecenas kesenian Jawa masa lalu. Panji acap diceritakan sebagai pemain musik, penari, pemain drama (sendratari) dan penulis puisi. Panji adalah tokoh teladan masa lampau, dan perilakunya merupakan teladan arif dalam mengembangkan lingkungan dengan cara-cara yang sarat dengan nilai ekologis. Keteladanan Panji sebagai seseorang yang dipredikati sebagai “pahlawan budaya” masa lalu (masa Hindu-Budha) itulah kiranya yang perlu diupayakan untuk dapat ditransformasikan bagi pengembangan kesenian lokal dan pertanian serta pengelolaan lingkungan hidup pada masa kini mau pun mendatang.
Bahkan, menurut Dwi Cahyono, Kapanjian tidak hanya sekadar merupakan fenomena kesenian, namun sekaligus berwujud sebagai fenomena sosial, pemerintahan, kemiliteran, religi dan fenomena lainnya. Oleh karena itu cukup alasan untuk menyatakan bahwa
Kapanjian merupakan suatu fenomena budaya. Tradisi Panji adalah Tradisi Budaya, karena terbukti budaya Panji berkelanjutan dan mengalami diversifikasi bentuk dan fungsi hingga lintas masa dan sekaligus lintas area.
Cerita Legenda Ande-Ande Lumut
Pada
zaman dahulu, ada sebuah Kerajaan besar yang bernama Kerajaan Kahuripan. Namun,
untuk mencegah perang persaudaraan Kerajaan Kahuripan di bagi menjadi dua
Kerajaan, yaitu Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala. Suatu hari sebelum Raja
Erlangga meninggal, ia berpesan untuk menyatukan kembali kedua Kerajaan
tersebut. Akhirnya, kedua Kerajaan tersebut bersepakat untuk menyatukan kedua
Kerajaan, dengan cara menikahkan Pangeran dari Kerajaan Jenggala, yaitu Raden
Panji Asmarabangun. Dengan Putri cantik Dewi Sekartaji dari Kerajaan Kediri.
Namun,
keputusan untuk menikahkan Pangeran Raden Panji Asmarabangun dengan Putri
Sekartaji, di tentang oleh Ibu Tiri Putri Sekartaji. Karena Istri kedua dari
kerajaan Kediri menginginkan Putri kandungnya sendiri yang menjadi Ratu
Jenggala. Akhirnya, ia merencanakan untuk menculik dan menyembunyikan Putri
Sekartaji dan ibu kandungnya.
Suatu
hari, Raden Panji datang ke Kerajaan Kediri untuk menikah dengan Dewi Sekartaji.
Namun, Putri Sekartaji sudah menghilang. Mengetahui hal itu Pangeran Panji
sangat kecewa. Namun, Ibu tiri Putri Sekartaji membujuknya untuk tetap
melangsungkan pernikahan tersebut. Putri Sekartaji di gantikan dengan Putri
kandungnya Intan Sari. Namun, Pangeran langsung menolak usulan tersebut. Karena
sangat kecewa, Pangeran Panji memutuskan untuk mencari Putri Sekar dan Ibunya.
Ia akhirnya mengganti namanya menjadi Ande-ande Lumut. Suatu hari, ia menolong
seorang Nenek yang sedang kesusahan yang bernama Mbok Randa. Akhirnya, mbok
Randa mengangkatnya sebagai anak angkat dan tinggal dirumah Mbok Randa.
Suatu
hari, Ande-ande Lumut meminta ibu angkatnya untuk mengumumkan bahwa ia sedang
mencari calon istri. Banyak gadis-gadis desa di sekitar desa Dadapan untuk
bertemu dan melamar Ande-ande Lumut. Namun, tidak seorangpun yang ia terima
untuk di jadikan istrinya. Sementara, Putri Sekar dan ibunya Candrawulan
berhasil membebaskan diri dari sekapan ibu tirinya. Mereka pun mengirimkan
pesan melalui Burung Merpati untuk di sampai kepada Raja dari Kerajaan Kediri.
Mengetahui bahwa Putri Sekar dan Ibunya mengirimkan surat. Intan Sari dan
Ibunya segera melarikan diri. Putri Sekar sangat senang dan berniat untuk
bertemu dengan Pangeran Panji. Namun, ia pun kecewa karena Pangeran Panji sudah
pergi berkelana. Ia pun memutuskan untuk berkelana juga untuk mencari Pangeran
Panji. Suatu hari, ketika Putri Sekar tiba di rumah seorang janda yang mempunya
tiga anak gadis cantik. Nama ke tiga Janda tersebut adalah, Klenting Merah,
Kelentin Biru dan Klenting Ijo. Akhirnya, Putri Sekar pun mengganti namanya
menjadi Klenting Kuning.
Mendengar
berita yang bersumber dari desa Dadapan kabar itu menyebutkan jika Mbok Randa
mempunyai anak angkat, seorang pemuda yang sangat tampan wajahnya_ Ande-ande
Lumut namanya. Ketampanan Ande-ande Lumut sangat terkenal menjadi buah bibir
dimana-rnana. Banyak gadis yang datang ke desa Dadapan untuk melamar anak
angkat Mbok Randa itu. Kabar tentang Ande-ande Lumut sedang mencari Istri
terdengar oleh ke ke empat gadis cantik tersebut. Akhirnya, Janda tersebut
menyuruh anak-anaknya untuk pergi menemui Ande-Ande Lumut. Suatu hari, mereka
segera berangkat. Namun, mereka hanya pergi bertiga karena Klenting Kuning
mempunyai pekerjaan rumah yang belum selesai. Mereka bertiga saling mendahului
agar terpilih oleh Ande-ande Lumut. Namun, di tengah perjalanan mereka sangat
kebingungan karena harus menyebrang sungai. Di tengah kebingungan tersebut.
Tiba-tiba, muncullah. Pemuda bernama Yuyu Kakang. Ia menawarkan untuk
mengantarkan mereka menyebrang. Tapi, Yuyu Kakang mengajukan satu syarat. ‘’
Jika sudah menyebrangkan kalian, maka perbolehkan aku untuk mencium kalian
bertiga’’ pada awalnya mereka menolak. Namun, karena itu jalan satu-satunya
mereka pun terpaksa menyetujui persyaratan tersebut. Sesampainya di rumah mbok
Randa, mereka langsung memperkenalkan diri satu persatu. Melihat kedatangn
ketiga gadis cantik tersebut, ia segera memanggil Ande-ande Lumut. Namun, ia
langsung menolak ketiga gadis tersebut. Sementara itu, setelah menyelesaikan
pekerjaannya Kleting Kuning. Kleting Kuning pun juga berniat datang ke desa
Dadapan Untuk bertemu dengan Ande-ande Lumut. Keinginan itu disarnpaikannya
kepada ibu angkatnya. Kleting Kuning berangkat menyusul ketiga Kleting lainnya.
Tibalah ia di tepi sungai. Ia pun merasa kebingungan untuk menyebrang. Namun,
lagi-lagi Yuyu Kangkang datang menawarkan bantuannya. Sama seperti ketiga
Klenting setelah di sebrangkan Klenting Kuning harus bersedia untuk di cium.
Klenring Kuning pun segera naik ke punggung Yuyu Kangkang. Setelah mereka tiba
di seberang, Kleting Kuning langsung membuka kotoran ayam yang dibungkus daun
pisang. Ia mengoleskannya pada kedua pipinya. Yuyu Kangkang kemudian menagih
janji. Kleting Kuning segera memasang pipinya yang diolesi kotoran ayam. Yuyu
Kakang pun marah dan menyuruhnya segera pergi. Ande-ande Lumut menolak ke tiga
Klenting karena telah di cium oleh Yuyu Kangkang. Tiba-tiba, Ande-ande Lumut
sangat terkejut ketika melihat kedatangan Klenting Kuning. Mbok Randa sangat
heran melihat sikap anak angkatnya. Banyak gadis-gadis cantik yang datang untuk
melamarnya. Namun, ia tolak dengan berbagai alasan. Tapi, melihat Klenting
Kuning yang berpakaian sangat kumal dan badannya yang sangat bau malah di
sambut dengan wajah bahagia dan berseri-seri. Akhirnya, Mbok Randa pun terdiam.
Ia mengikuti Ande-Ande Lumut menemui gadis itu. Sementara, Kleting Kuning
terkejut sekali melihat Ande-Ande Lumut adalah tunangannya, Raden Panji
Asmarabangun. Akhirnya, di depan semua orang, Klenting Kuning langsung mengubah
diri menjadi Putri Sekartaji. Semua orang sangat terkejut melihat sosoknya yang
sangat cantik. Ketiga kakak angkatnya pun sangat terkejut ketika mengetahui
jika sosok yang selama itu mereka perlakukan dengan tidak baik itu ternyata
Putri Sekartaji. Tak lama kemudian, mereka di kejutkan oleh Ande-ande Lumut
yang membuka dirinya. Ia tidak lain adalah Pangeran Raden Panji. Kedua sejoli
tersebut sangat bahagia karena dapat bertemu kembali. Akhirnya, Raden Panji
langsung membawa Putri Sekar dan ibu angkatnya Mbok Randa ke Kerajaan Jenggala.
Mereka pun segera melangsungkan pernikahan. Akhirnya Kerajaan Kediri dan
Kerajaan Jenggala dapat bersatu kembali.
PENUTUP
KESIMPULAN
Demikian cerita
Ande-Ande Lumut dari daerah Kediri, Jawa Timur. Cerita tersebut tergolong
folklore lisan mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. Pada tokoh Ande-Ande Lumut atau Panji Asmarabangun dan
Klenting Kuning atau Putri Sekartaji dapat digambarkan bahwa keduanya adalah
sosok pria dan wanita yang mempunyai rupa yang memadai yaitu cantik dan tampan
diantara yang lain, tapi mereka tidak memanfaatkannya tidak memberikan begitu
saja hargadiri mereka untuk menikah dengan yang lain karena mereka adalah sosok
yang penyayang dan setia pada kekasihnya. Dari sini dapat disimpulkan pelajaran
bahwa kesetiaan senantiasa harus selalu dijaga agar tercipta hubungan yang
harmonis dalam kehidupan didalam rumah tangga nantinya, dan tidakboleh
memanfaatkan rupa kecantikan atau ketampanan untuk mendapatkan sesuatu.
Dan pada tokoh Klenting Abang, ijo, dan
biru dapat digambarkan bahwa mereka adalah gadis-gadis cantik yang tidak pandai
menjaga harga dirinya, karena menerima persyaratan yuyu kangkang, akibatnya mereka tidak dipilih oleh
ande-ande lumut unuk dijadikan permaisurinya. Dari sini dapat disimpulkan pelajaran bahwa untuk tidak menghalalkan segala
cara dalam mencapai tujuan yang kita
inginkan.
DAFTAR PUSTAKA
JULIANA RAHMAWATI
UJP A 2015
4423154428
Tidak ada komentar:
Posting Komentar