Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
karena atas nikmatnya limpahan rahmat dan karunia-Nya lah sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas 3 “folklore Indonesia” ini.
Saya mencoba berusaha menyusun tugas ini sedemikian
rupa dengan harapan dapat membantu pembaca dalam memahami tugas ini yang
berjudul “Asal Usul Bau Nyale”.
Saya menyadari bahwa didalam pembuatan tugas ini
masih ada kekurangan sehingga saya berharap saran dan kritik dari pembaca
sekalian khususnya dari dosen mata kuliah Sejarah Indonesia agar dapat
meningkatkan mutu dalam penyajian berikutnya.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih.
Jakarta,
7 Januari 2016
Nur
Hirmayani Kartika Surizka
ASAL USUL BAU NYALE
Folklor berasal dari
bahasa Inggris yaitu folklore. Kata ini
merupakan kata majemuk, berasal dari kata folk dan lore. Folk artinya kolektif.
Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri
pengenal fisik. Ciri-ciri ini berkaitan dengan warna kulit yang sama, bentuk
rambut yang sama , mata pencaharian yang sama, bahasa yang digunakan sama,
taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Sedangkan Lore adalah tradisi
folk, yaitu sebagian kebudayaannya, diwariskan secara turun-temurun baik secara
lisan atau suatu contoh dengan gerak lisan.
Jadi definisi
folklor secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif , tersebar
dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh
suatu gerak isyarat.
·
adat-istiadat
tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, tetapi
tidak dibukukan;
·
ilmu
adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan;
·
lisan folklor
yang diciptakan, disebarluaskan, dan diwariskan dalam bentuk lisan (bahasa
rakyat, teka-teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian
rakyat);
·
bukan
lisan folklor yang diciptakan, disebarluaskan, dan diwariskan tidak dalam
bentuk lisan (arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan
tradisional, obat-obatan tradisional, makanan dan minuman tradisional, bunyi
isyarat, dan musik tradisional)
Agar dapat membedakan folklore dari kebudayaan
lainnya, hal yang perlu di ketahui adalah mengenal ciri-ciri pengenal umum folklore
tersebut, yaitu ;
- Penyebaran dilakukan dengan lisan, yakni
disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut disertai dengan gerak
isyarat dan dibantu dengan alat pengingat dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
- Folklor bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam bentuk
relait tetap atau standard an disebarkan di antara kolektif tertentu dan
dalam waktu yang lama.
- Folklor ada dalam versi bahkan varian-varian
yang berbeda. Ini di sebabkan proses penyebaran dari mulut ke mulut yang
mengalami proses interpolasi. Walaupun demikian bentuk dasar tetap
bertahan.
- Folklor bersifat anonim, yaitu tidak diketahui
penciptanya.
- Folklor berbentuk rumus dan berpola, misalnya
menggunakan kata-kata klise, ungkapan-ungkapan tradisional,
ulangan-ulangan atau kalimat-kalimat pembuka atau penutup yang baku.
- Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan
bersama.
- Bersifat pralogis, artinya mempunyai logika
tersendiri yang tidak sesuai dengan logika pada umumnya.
- Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.
- Bersifat polos dan lugu karena folklore
merupakan hasil dari emosi manusia yang paling jujur.
Folklor menurut Jan Harold Brunvand, dapat
digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu folklor
lisan, folklor sebagian lisan, folklor bukan lisan.
1. Folklor lisan.
Folklor lisan bentuknya murni lisan. Bentuk folklor
kelompok ini antara lain: Bahasa rakyat, ungkapan
tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat cerita prosa rakyat, nyanyian
rakyat.
2. Folklor sebagian lisan.
Folklor berbentuk dari campuran unsur isan dan
bukan lisan. Bentuk folklor kelompok ini antara lain:
Kepercayaan
rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara,
pesta rakyat dan lain-lain.
3. Folklor bukan lisan.
Folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara
pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk folklore ini terbagi dua
subkelompok, yakni material dan bukan material. Bentuk-bentuk yang tergolong
dalam kelompok material : arsitektur rakyat, kerajinan tangan, pakaian dan
perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional.
Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain : gerak isyarat tradisional,
bunyi isyarat, dan music rakyat.
Contoh folklor
lisan
di Indonesia: Bau Nyale
Pesta atau upacara Bau Nyale merupakan sebuah
peristiwa dan tradisi yang sangat melegenda
dan mempunyai nilai sakral tinggi bagi Suku Sasak, Suku asli Pulau
Lombok. Keberadaan pesta bau nyale ini berkaitan erat dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang di
daerah Lombok Tengah bagian selatan.
Nyale
adalah sebuah pesta atau upacara yang dikenal dengan Bau
Nyale. Kata Bau berasal dari Bahasa Sasak yang berarti menangkap
sedangkan kata Nyale berarti cacing laut yang hidup di
lubang-lubang batu karang dibawah
permukaan laut.
Bau
Nyale merupakan sebuah acara perburuan cacing laut. Acara ini diselenggarakan
sekitar bulan Februari dan Maret. Tempat penyelenggaraan
upacara Bau Nyale ini ada di Pantai Seger, Kuta. Terletak dibagian
selatan Pulau Lombok. Perayaan Bau Nyale ini berkaitan erat dengan sebuah
cerita rakyat yang berkembang di bagian Lombok Selatan, yakni di masyarakat
Desa Pujut khususnya dan masyarakat Lombok umumnya. Cerita Rakyat tersebut
menceritakan tentang seorang putri di jaman dahulu kala yang begitu terkenal
arif dan bijaksana Putri Mandalika namanya.
Alkisah,
pada zaman dahulu kala, di pantai Selatan Pulau Lombok, berdiri sebuah kerajaan
yang bernama Tunjung Biru. Kerajaan tersebut diperintah oleh seorang Raja yang
bernama Raja Tonjang Beru dengan permaisurinya, Dewi Seranting. Tonjang Beru
adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya hidup makmur,
aman dan sentosa. Mereka sangat bangga mempunyai raja yang arif dan bijaksana
itu. Raja Tonjang Beru memiliki seorang Putri yang cantik jelita, cerdas dan
bijaksana, namanya Putri
Mandalika. Di
samping cantik dan cerdas, Putri Mandalika juga terkenal ramah dan sopan. Tutur
bahasanya sangat lembut. Seluruh rakyat negeri sangat sayang terhadap sang
Putri.
Kecantikan
dan keelokan perangai Putri Mandalika sudah tersohor ke berbagai negeri, bahkan
sampai ke negeri seberang. Para pangeran dari berbagai kerajaan juga telah
mendengar berita tersebut. Setiap pangeran yang melihat kecantikan dan
keanggunan sang Putri menjadi mabuk kepayang. Seakan telah terjadwalkan, para
pangeran tersebut datang secara bergantian untuk melamar sang Putri.
Suatu
keanehan pada diri Putri Mandalika. Setiap pangeran yang datang melamarnya, tak
satu pun yang ia tolak. Namun, para pangeran tersebut tidak menerima jika sang
Putri diperistri oleh banyak pangeran. Maka mereka pun bersepakat untuk mengadu
keberuntungan melalui peperangan. Siapa yang menang dalam peperangan itu, maka
dialah yang berhak memperistri sang Putri.
Suatu
hari, berita tentang akan terjadinya peperangan antara beberapa kerajaan sampai
pula ke telinga Raja Tonjang Beru. Sang Raja segera memanggil putrinya untuk
membicarakan masalah tersebut. “Wahai, Putriku! Ayahanda mendengar bahwa di
negeri ini akan terjadi malapetaka besar. Seluruh pangeran yang pernah datang
melamarmu akan mengadakan perang. Mereka bersepakat, siapa yang menang dalam
perang itu, dialah yang akan menjadi suamimu,” kata sang Raja kepada
putrinya.
“Putri
sudah mendengar berita itu, Ayahanda,” jawab sang Putri dengan tenang. “Lalu,
apa yang akan kita lakukan agar pertumpahan darah itu tidak terjadi?” tanya
sang Raja khawatir. “Maafkan Putri, Ayahanda! Ini semua salah Putri, karena
telah menerima semua lamaran mereka. Jika Ayahanda berkenan, izinkanlah Putri
yang menyelesaikan masalah ini,” pinta sang Putri. “Baiklah, Putriku!” jawab
sang Raja penuh keyakinan.
Setelah
berpikir sehari-semalam, sang Putri pun menemukan jalan keluarnya. Pada
awalnya, sang Putri berniat memilih salah satu dari puluhan pangeran yang
melamarnya sebagai suaminya. Namun, niatnya itu ia batalkan setelah memikirkan
resikonya. Jika ia memilih satu di antara beberapa pangeran sebagai suaminya,
tentu pangeran yang lainnya merasa iri. Hal ini tentu akan menimbulkan
pertumpahan darah. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi sang Putri. Ia
pun memutuskan untuk mengorbankan jiwa dan raganya. Tekadnya tersebut sudah
tidak bisa ditawar lagi. Ia sudah siap merelakan jiwanya demi menghindari
terjadinya peperangan yang akan memakan korban yang lebih banyak.
Namun,
sebelum melaksanakan niatnya, sang Putri harus melakukan semedi terlebih
dahulu. Dalam semedinya, ia mendapat wangsit agar mengundang semua pangeran
dalam pertemuan pada tanggal 20, bulan 10 penanggalan Sasak), bertempat di
Pantai Seger Kuta, Lombok Tengah. Semua pangeran yang diundang harus disertai
oleh seluruh rakyatnya masing-masing. Mereka harus datang ke tempat itu sebelum
matahari memancarkan sinarnya di ufuk Timur.
Hari
yang telah ditentukan tiba. Tampaklah pemandangan yang sangat menarik. Para
undangan dari berbagai negeri berbondong-bondong datang ke pantai Seger Kuta.
Orang yang datang ribuan jumlahnya. Pantai Seger Kuta bak gula yang dikerumuni
semut. Bahkan, banyak undangan yang datang dua hari sebelum hari yang
ditentukan oleh sang Putri tiba. Mulai dari anak-anak hingga kakek-nenek datang
memenuhi undangan sang Putri di tempat itu. Rupanya mereka sudah tidak sabaran
ingin menyaksikan bagaimana sang Putri yang cantik jelita itu menentukan
pilihannya.
Pantai
Seger Kuta sudah penuh sesak oleh para undangan. Tak berapa lama, sang Putri
yang sudah tersohor kecantikannya itu pun tiba di tempat dengan diusung
menggunakan usungan yang berlapiskan emas. Seluruh undangan serentak memberi
hormat kepada sang Putri yang didampingi oleh Ayahanda dan Ibundanya serta
sejumlah pengawal kerajaan. Suasana yang tadinya hiruk-pikuk berubah menjadi
tenang. Seluruh pasang mata yang hadir tercengang kecantikan wajah sang Putri.
Tubuhnya yang dibungkus oleh gaun sutra yang sangat halus itu, menambah
keanggunan dan keelokan sang Putri. Para pangeran sudah tidak sabar lagi
menanti keputusan dari sang Putri. Masing-masing berharap dirinyalah yang akan
dipilih sang Putri. Suasana semakin tegang. Jantung para pangeran berdetak
kencang seakan-akan mau copot.
Tidak
berapa lama, sang Putri melangkah beberapa kali, lalu berhenti di onggokan
batu, membelakangi laut lepas. Di tempat ia berdiri, Putri Mandalika kemudian
menebarkan pandangannya ke seluruh undangan yang jumlahnya ribuan itu. Rasa
penasaran para hadirin semakin memuncak. Mereka semakin tidak sabaran ingin
mendengarkan kata demi kata keluar dari mulut sang Putri yang menyebutkan salah
satu nama dari puluhan pangeran yang ada di tempat itu sebagai pilihan
hatinya.
Setelah
pandangannya merata ke arah para undangan yang hadir, sang Putri pun berbicara
untuk mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru, “Wahai,
Ayahanda dan Ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang
aku cintai! Setelah aku pikirkan dengan matang, aku memutuskan bahwa diriku
untuk kalian semua. Aku tidak dapat memilih satu di antara banyak pangeran.
Diriku telah ditakdirkan menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada
bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.”
Mendengar
keputusan Putri
Mandalika tersebut,
para hadirin tersentak kaget, termasuk Ayahanda dan Ibundanya, karena sang
Putri tidak pernah memberitahukan keputusannya itu kepada kedua orang tuanya.
Belum sempat Ayahanda dan Ibundanya berkata-kata, tiba-tiba sang Putri
menceburkan diri ke dalam laut dan langsung ditelan gelombang. Bersamaan dengan
itu pula, angin bertiup kencang, kilat dan petir pun menggelegar. Suasana di
pantai itu menjadi kacau-balau. Suara teriakan terdengar di mana-mana. Sesekali
terdengar suara pekikan minta tolong. Namun, suasana itu berlangsung tidak
lama.
Sesaat
kemudian, suasana kembali tenang. Para undangan segera mencari sang Putri di
tempat di mana ia menceburkan diri. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sang Putri
di tempat itu. Ia menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tak lama
kemudian, tiba-tiba bermunculan binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak
dari dasar laut. Binatang yang berbentuk cacing laut itu memiliki warna yang
sangat indah, perpaduan warna putih, hitam, hijau, kuning dan coklat. Binatang
itu disebut dengan Nyale.
Seluruh
masyarakat yang menyaksiksan peristiwa itu meyakini bahwa Nyale tersebut adalah
jelmaan Putri
Mandalika.
Sesuai pesan sang Putri, mereka pun beramai-ramai dan berlomba-lomba mengambil
binatang itu sebanyak-banyaknya untuk dinikmati sebagai tanda cinta kasih
kepada sang Putri. (Sumber
: ceritarakyatnusantara.com)
Bau Nyale selalu dilakukan secara rutin setiap tahun. Tradisi
ini sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dan dilakukan secara turun temurun.
Sayangnya, kapan kepastian waktu dimulainya tradisi ini masih belum diketahui.
Berdasarkan isi babad, Bau Nyale mulai dikenal masyarakat dan diwariskan sejak
sebelum abad 16. Bau Nyale berasal dari bahasa Sasak. Dalam bahasa Sasak, Bau
artinya menangkap sedangkan Nyale adalah nama sejenis cacing laut. Jadi sesuai
dengan namanya, tradisi ini kegiatan menangkap nyale yang ada di laut.
Bau Nyale selalu dilakukan secara rutin setiap tahun. Tradisi
ini sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dan dilakukan secara turun temurun. Sayangnya,
kapan kepastian waktu dimulainya tradisi ini masih belum diketahui. Berdasarkan
isi babad, Bau Nyale mulai dikenal masyarakat dan diwariskan sejak sebelum abad
16.
Cacing laut yang disebut dengan Nyale ini termasuk dalam
filum Annelida. Nyale hidup di dalam lubang-lubang batu karang yang ada dibawah
permukaan laut. Uniknya, cacing-cacing nyale tersebut hanya muncul ke permukaan
laut hanya dua kali setahun.
Tradisi Bau Nyale biasanya dilakukan dua kali setahun.
Tradisi ini dilakukan beberapa hari sesuai bulan purnama yaitu pada hari ke-19
dan 20 bulan 10 dan 11 dalam penanggalan suku Sasak. Biasanya tanggal tersebut
jatuh pada bulan Februari dan Maret. Upacara penangkapan cacing nyale dibagi
menjadi dua yakni dilihat dari bulan keluarnya nyale-nyale dari laut dan waktu
penangkapannya. Dilihat dari waktu penangkapan juga masih dibagi lagi menjadi
jelo pemboyak dan jelo tumpah. Bulan keluarnya nyale dikenal dengan nyale
tunggak dan nyale poto. Nyale tunggak merupakan nyale-nyale yang keluarnya pada
bulan kesepuluh sedangkan nyale poto keluarnya pada bulan kesebelas. Kebanyakan
nyale-nyale keluar saat nyale tunggak. Oleh sebab itu, banyak masyarakat yang
menangkap nyale saat bulan ke-10. Masyarakat menangkap nyale biasanya saat
menjelang subuh. Pada saat tersebut, nyale berenang ke permukaan laut. Saat
itulah masyarakat menangkap nyale-nyale tersebut. (pusakapusaka.com)
Dalam
sebuah buku “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan” yang ditulis oleh Dr. Hans J.
Daeng, menggabarkan bahwa: upacaraNyale mulai diadakan setelah
penghitungan enam malam terlihat bulan purnama. Dalam melaksanakan
upacara Nyale, sejak dahulu setiap kabisu (Klen) sudah diberikan
kepercayaan untuk mengerjakan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Menjelang
hari yang telah ditetapkan, masyarakat mempersiapkan ketupat beras ketan yang
berbentuk kerucut. Di samping ketupat ketan yang juga akan dibagikan kepada
para pengunjung, perlengkapan-perlengkapan lainnya, pinang, ayam dan tongkat.
Pada
pagi hari yang telah ditetapkan untuk Nyale, berangkatlah Rato (tua-tua
adat) Kabisu Ubeweni lebih dahulu ke tepi pantai. Dalam perjalanan
kesana, diletakkan ketupat ketan, sirih dan pinang dan di tempat-tempat yang
dikeramatkan: mungkin sebagai tanda kulo nuwun kepada roh-roh yang
berada disana. Setiba disana, para Ratoberkumpul di bawah sebatang pohon
ketapang untuk memperhatikan keadaan cuaca dan menantikan saat yang tepat untuk
memanggilNyale. Jika saatnya tiba, sang rato kebisu Ubeweni menuju ke
bibir pantai lalu dengan suara nyaring memanggil Nyale yang kemudian
berdatangan muncul ke tepi pantai.
Atraksi Bau
Nyale yang diadakan di Lombok, pandangan tentang perayaan Bau
Nyale sesungguhnya tidak terlepas dari masalah cinta yang menuju ke
perkawinan, Bau Nyale bukanlah sebuah ukuran yang mutlak bagi
kaum muda-mudi yang bertemu dan menjalin cinta kemudian menuju ke perkawinans,
realita yang digambarkan tersebut angatlah jauh dengan realita yang ada,
Perayaan Nyale atau Bau
Nyale (menangkap cacing laut) memberi kesempatan kepada muda-mudi untuk
saling mengenal lebih dekat sebagai persiapan untuk membangun keluarga. Pada
malam penantian munculnya Nyale pada pagi keesokan harinya, muda-mudi di pulau
Lombok semalam suntuk sibuk dengan acara betandak, yaitu saling
melempar pantun dalam bahasa sasak. Orang yang tidak dapat membalas pantun yang
ditujukan kepadanya menjadi objek ejekan dan bahan tertawaan. Mungkin hal ini
dapat dilihat sebagai alasan untuk lebih saling mendekat. Was sicb liebt,
das neckt sicb (yang saling kasih, saling mengganggu). Selain acara berandak
juga diadakan acara bejambek, yaitu
saling menghidangkan sirih pinang sebagai penerimaan seorang gadis pada pemuda
pilihannya. Hal yang lazim terjadi ialah kegiatan betandak dan bejambek
dilanjutkan dengan pernikahan pada masa pascapanen berikutnya.
Cerita
tentang Putri Mandalika tersebut juga merupakan cerita yang begitu melegenda di
kalangan masyarakat Lombok yang menceritakan asal usul perayaan Bau Nyale
(menangkao cacing. Hingga kini masyarakat Lombok setahun sekali
menyelenggarakan perayaan Bau Nyale antara bulan Februari dan Maret. Perayaan
Bau Nyale kini sudah menjadi salah satu daya tarik yang begitu ditunggu
kedatangannya oleh para wisatawan asing. Oleh karenanya Pemda Lombok Tengah
menjadikan upacara sakral ini sebagai aset budaya lokal yang penyelenggaraannya
telah menjadi event kegiatan budaya nasional. Tradisi Sakral yang melegenda ini
diwariskan sebelum abad 16 masehi secara turun temurun oleh suku asli Sasak,
saat event dilangsungkan semenjak sore hari masyarakat setempat dan masyarakat Lombok
secara umum akan berdatangan dan ikut serta beramai ramai menagkap Nyale di
sepanjang pesisir Pantai Selatan Lombok. Terutama di pantai Seger Kuta Lombok,
Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah.
Semenjak
berkembangnya dunia pariwisata di Lombok, Event Bau Nyale biasanya dirangkai
dengan beragam kesenian lokal tradisional seperti Betandak (berbalas pantun),
Berjambik (pemberian cindera mata kepada kekasih), serta Belancaran (pesiar
dengan perahu), dan tidak ketinggalan pula pementasan drama kolosal Putri
Mandalika, dihadiri oleh pejabat daerah setempat sampai jajaran pemerintah
Provinsi NTB dan juga dari petinggi dari luar pulau Lombok.
Kesimpulan
upacara
adat yang lebih dikenal dengan sebutan Pesta Bau Nyale ini merupakan salah satu
contoh konkret Jejak sejarah yang berbentuk Folklore, khususnya Folklore
sebagian lisan. Sedangkan
untuk kisah Putri Mandalika dapat dikategorikan sebagai salah satu jejak sejarah
dalam bentuk sebuah legenda yang dipercaya benar-benar terjadi oleh masyarakat
suku sasak.
Legenda rakyat Putri Mandalika
merupakan cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan
pedoman dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak dan masyarakat Indonesia
sekarang ini. Salah
satu nilai moral yang sangat menonjol dalam cerita di atas adalah sifat rela
berkorban. Sifat ini tecermin pada sifat Putri Mandalika ketika ia rela
mengorbankan jiwa dan raganya demi menghindari terjadinya peperangan di antara
beberapa kerajaan yang dapat mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa. Ia
lebih memilih mengorbankan jiwanya daripada mengorbankan jiwa orang banyak.
Daftar Pustaka
ceritarakyatnusantara.com
Nur Hirmayani Kartika Surizka
Usaha Jasa Pariwisata A 2015
4423154387
Tidak ada komentar:
Posting Komentar