Kamis, 07 Januari 2016

Tugas 3 - Folklore Indonesia

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas nikmatnya limpahan rahmat dan karunia-Nya lah sehingga saya dapat menyelesaikan tugas 3 “folklore Indonesia” ini.
Saya mencoba berusaha menyusun tugas ini sedemikian rupa dengan harapan dapat membantu pembaca dalam memahami tugas ini yang berjudul “Asal Usul Bau Nyale”.
Saya menyadari bahwa didalam pembuatan tugas ini masih ada kekurangan sehingga saya berharap saran dan kritik dari pembaca sekalian khususnya dari dosen mata kuliah Sejarah Indonesia agar dapat meningkatkan mutu dalam penyajian berikutnya.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih.
Jakarta, 7 Januari 2016


Nur Hirmayani Kartika Surizka

ASAL USUL BAU NYALE

Folklor berasal dari bahasa Inggris yaitu folklore. Kata ini merupakan kata majemuk, berasal dari kata folk dan lore. Folk artinya kolektif. Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik. Ciri-ciri ini berkaitan dengan warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama , mata pencaharian yang sama, bahasa yang digunakan sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Sedangkan Lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, diwariskan secara turun-temurun baik secara lisan atau suatu contoh dengan gerak lisan.
Jadi definisi folklor secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif , tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh suatu gerak isyarat.
Menurut kamus KBBI (http://kbbi.web.id/folklor) folklor adala:
·         adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak dibukukan;
·          ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan;
·         lisan folklor yang diciptakan, disebarluaskan, dan diwariskan dalam bentuk lisan (bahasa rakyat, teka-teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat); 
·         bukan lisan folklor yang diciptakan, disebarluaskan, dan diwariskan tidak dalam bentuk lisan (arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tradisional, obat-obatan tradisional, makanan dan minuman tradisional, bunyi isyarat, dan musik tradisional)
Agar dapat membedakan folklore dari kebudayaan lainnya, hal yang perlu di ketahui adalah mengenal ciri-ciri pengenal umum folklore tersebut, yaitu ;
  1. Penyebaran dilakukan dengan lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut disertai dengan gerak isyarat dan dibantu dengan alat pengingat dari satu generasi ke generasi berikutnya.
  2. Folklor bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam bentuk relait tetap atau standard an disebarkan di antara kolektif tertentu dan dalam waktu yang lama.
  3. Folklor ada dalam versi bahkan varian-varian yang berbeda. Ini di sebabkan proses penyebaran dari mulut ke mulut yang mengalami proses interpolasi. Walaupun demikian bentuk dasar tetap bertahan.
  4. Folklor bersifat anonim, yaitu tidak diketahui penciptanya.
  5. Folklor berbentuk rumus dan berpola, misalnya menggunakan kata-kata klise, ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan atau kalimat-kalimat pembuka atau penutup yang baku.
  6. Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama.
  7. Bersifat pralogis, artinya mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika pada umumnya.
  8. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.
  9. Bersifat polos dan lugu karena folklore merupakan hasil dari emosi manusia yang paling jujur.

Folklor menurut Jan Harold Brunvand, dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan, folklor bukan lisan.
1. Folklor lisan.
Folklor lisan bentuknya murni lisan. Bentuk folklor kelompok ini antara lain: Bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat cerita prosa rakyat, nyanyian rakyat.
2. Folklor sebagian lisan.
Folklor berbentuk dari campuran unsur isan dan bukan lisan. Bentuk folklor kelompok ini antara lain: Kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat dan lain-lain.
3. Folklor bukan lisan.
Folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk folklore ini terbagi dua subkelompok, yakni material dan bukan material. Bentuk-bentuk yang tergolong dalam kelompok material : arsitektur rakyat, kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain : gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat, dan music rakyat.
Contoh folklor lisan di Indonesia: Bau Nyale
Pesta atau upacara Bau Nyale merupakan sebuah peristiwa dan tradisi yang sangat melegenda dan mempunyai nilai sakral tinggi bagi Suku Sasak, Suku asli Pulau Lombok. Keberadaan pesta bau nyale ini berkaitan erat dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang di daerah Lombok Tengah bagian selatan.
Nyale adalah sebuah pesta atau upacara yang dikenal dengan Bau Nyale. Kata Bau berasal dari Bahasa Sasak yang berarti menangkap sedangkan kata Nyale berarti cacing laut yang hidup di lubang-lubang batu karang dibawah permukaan laut.
Bau Nyale merupakan sebuah acara perburuan cacing laut. Acara ini diselenggarakan sekitar bulan Februari dan Maret. Tempat penyelenggaraan upacara Bau Nyale ini ada di Pantai Seger, Kuta. Terletak dibagian selatan Pulau Lombok. Perayaan Bau Nyale ini berkaitan erat dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang di bagian Lombok Selatan, yakni di masyarakat Desa Pujut khususnya dan masyarakat Lombok umumnya. Cerita Rakyat tersebut menceritakan tentang seorang putri di jaman dahulu kala yang begitu terkenal arif dan bijaksana Putri Mandalika namanya.

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di pantai Selatan Pulau Lombok, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Tunjung Biru. Kerajaan tersebut diperintah oleh seorang Raja yang bernama Raja Tonjang Beru dengan permaisurinya, Dewi Seranting. Tonjang Beru adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya hidup makmur, aman dan sentosa. Mereka sangat bangga mempunyai raja yang arif dan bijaksana itu. Raja Tonjang Beru memiliki seorang Putri yang cantik jelita, cerdas dan bijaksana, namanya Putri Mandalika. Di samping cantik dan cerdas, Putri Mandalika juga terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya sangat lembut. Seluruh rakyat negeri sangat sayang terhadap sang Putri. 
Kecantikan dan keelokan perangai Putri Mandalika sudah tersohor ke berbagai negeri, bahkan sampai ke negeri seberang. Para pangeran dari berbagai kerajaan juga telah mendengar berita tersebut. Setiap pangeran yang melihat kecantikan dan keanggunan sang Putri menjadi mabuk kepayang. Seakan telah terjadwalkan, para pangeran tersebut datang secara bergantian untuk melamar sang Putri.
Suatu keanehan pada diri Putri Mandalika. Setiap pangeran yang datang melamarnya, tak satu pun yang ia tolak. Namun, para pangeran tersebut tidak menerima jika sang Putri diperistri oleh banyak pangeran. Maka mereka pun bersepakat untuk mengadu keberuntungan melalui peperangan. Siapa yang menang dalam peperangan itu, maka dialah yang berhak memperistri sang Putri. 
Suatu hari, berita tentang akan terjadinya peperangan antara beberapa kerajaan sampai pula ke telinga Raja Tonjang Beru. Sang Raja segera memanggil putrinya untuk membicarakan masalah tersebut. “Wahai, Putriku! Ayahanda mendengar bahwa di negeri ini akan terjadi malapetaka besar. Seluruh pangeran yang pernah datang melamarmu akan mengadakan perang. Mereka bersepakat, siapa yang menang dalam perang itu, dialah yang akan menjadi suamimu,” kata sang Raja kepada putrinya. 
“Putri sudah mendengar berita itu, Ayahanda,” jawab sang Putri dengan tenang. “Lalu, apa yang akan kita lakukan agar pertumpahan darah itu tidak terjadi?” tanya sang Raja khawatir. “Maafkan Putri, Ayahanda! Ini semua salah Putri, karena telah menerima semua lamaran mereka. Jika Ayahanda berkenan, izinkanlah Putri yang menyelesaikan masalah ini,” pinta sang Putri. “Baiklah, Putriku!” jawab sang Raja penuh keyakinan.
Setelah berpikir sehari-semalam, sang Putri pun menemukan jalan keluarnya. Pada awalnya, sang Putri berniat memilih salah satu dari puluhan pangeran yang melamarnya sebagai suaminya. Namun, niatnya itu ia batalkan setelah memikirkan resikonya. Jika ia memilih satu di antara beberapa pangeran sebagai suaminya, tentu pangeran yang lainnya merasa iri. Hal ini tentu akan menimbulkan pertumpahan darah. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi sang Putri. Ia pun memutuskan untuk mengorbankan jiwa dan raganya. Tekadnya tersebut sudah tidak bisa ditawar lagi. Ia sudah siap merelakan jiwanya demi menghindari terjadinya peperangan yang akan memakan korban yang lebih banyak. 
Namun, sebelum melaksanakan niatnya, sang Putri harus melakukan semedi terlebih dahulu. Dalam semedinya, ia mendapat wangsit agar mengundang semua pangeran dalam pertemuan pada tanggal 20, bulan 10 penanggalan Sasak), bertempat di Pantai Seger Kuta, Lombok Tengah. Semua pangeran yang diundang harus disertai oleh seluruh rakyatnya masing-masing. Mereka harus datang ke tempat itu sebelum matahari memancarkan sinarnya di ufuk Timur. 
Hari yang telah ditentukan tiba. Tampaklah pemandangan yang sangat menarik. Para undangan dari berbagai negeri berbondong-bondong datang ke pantai Seger Kuta. Orang yang datang ribuan jumlahnya. Pantai Seger Kuta bak gula yang dikerumuni semut. Bahkan, banyak undangan yang datang dua hari sebelum hari yang ditentukan oleh sang Putri tiba. Mulai dari anak-anak hingga kakek-nenek datang memenuhi undangan sang Putri di tempat itu. Rupanya mereka sudah tidak sabaran ingin menyaksikan bagaimana sang Putri yang cantik jelita itu menentukan pilihannya.
Pantai Seger Kuta sudah penuh sesak oleh para undangan. Tak berapa lama, sang Putri yang sudah tersohor kecantikannya itu pun tiba di tempat dengan diusung menggunakan usungan yang berlapiskan emas. Seluruh undangan serentak memberi hormat kepada sang Putri yang didampingi oleh Ayahanda dan Ibundanya serta sejumlah pengawal kerajaan. Suasana yang tadinya hiruk-pikuk berubah menjadi tenang. Seluruh pasang mata yang hadir tercengang kecantikan wajah sang Putri. Tubuhnya yang dibungkus oleh gaun sutra yang sangat halus itu, menambah keanggunan dan keelokan sang Putri. Para pangeran sudah tidak sabar lagi menanti keputusan dari sang Putri. Masing-masing berharap dirinyalah yang akan dipilih sang Putri. Suasana semakin tegang. Jantung para pangeran berdetak kencang seakan-akan mau copot.
Tidak berapa lama, sang Putri melangkah beberapa kali, lalu berhenti di onggokan batu, membelakangi laut lepas. Di tempat ia berdiri, Putri Mandalika kemudian menebarkan pandangannya ke seluruh undangan yang jumlahnya ribuan itu. Rasa penasaran para hadirin semakin memuncak. Mereka semakin tidak sabaran ingin mendengarkan kata demi kata keluar dari mulut sang Putri yang menyebutkan salah satu nama dari puluhan pangeran yang ada di tempat itu sebagai pilihan hatinya. 
Setelah pandangannya merata ke arah para undangan yang hadir, sang Putri pun berbicara untuk mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru, “Wahai, Ayahanda dan Ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang aku cintai! Setelah aku pikirkan dengan matang, aku memutuskan bahwa diriku untuk kalian semua. Aku tidak dapat memilih satu di antara banyak pangeran. Diriku telah ditakdirkan menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.” 
Mendengar keputusan Putri Mandalika tersebut, para hadirin tersentak kaget, termasuk Ayahanda dan Ibundanya, karena sang Putri tidak pernah memberitahukan keputusannya itu kepada kedua orang tuanya. Belum sempat Ayahanda dan Ibundanya berkata-kata, tiba-tiba sang Putri menceburkan diri ke dalam laut dan langsung ditelan gelombang. Bersamaan dengan itu pula, angin bertiup kencang, kilat dan petir pun menggelegar. Suasana di pantai itu menjadi kacau-balau. Suara teriakan terdengar di mana-mana. Sesekali terdengar suara pekikan minta tolong. Namun, suasana itu berlangsung tidak lama. 
Sesaat kemudian, suasana kembali tenang. Para undangan segera mencari sang Putri di tempat di mana ia menceburkan diri. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sang Putri di tempat itu. Ia menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tak lama kemudian, tiba-tiba bermunculan binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak dari dasar laut. Binatang yang berbentuk cacing laut itu memiliki warna yang sangat indah, perpaduan warna putih, hitam, hijau, kuning dan coklat. Binatang itu disebut dengan Nyale. 
Seluruh masyarakat yang menyaksiksan peristiwa itu meyakini bahwa Nyale tersebut adalah jelmaan Putri Mandalika. Sesuai pesan sang Putri, mereka pun beramai-ramai dan berlomba-lomba mengambil binatang itu sebanyak-banyaknya untuk dinikmati sebagai tanda cinta kasih kepada sang Putri. (Sumber : ceritarakyatnusantara.com)

Bau Nyale selalu dilakukan secara rutin setiap tahun. Tradisi ini sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dan dilakukan secara turun temurun. Sayangnya, kapan kepastian waktu dimulainya tradisi ini masih belum diketahui. Berdasarkan isi babad, Bau Nyale mulai dikenal masyarakat dan diwariskan sejak sebelum abad 16. Bau Nyale berasal dari bahasa Sasak. Dalam bahasa Sasak, Bau artinya menangkap sedangkan Nyale adalah nama sejenis cacing laut. Jadi sesuai dengan namanya, tradisi ini kegiatan menangkap nyale yang ada di laut.
Bau Nyale selalu dilakukan secara rutin setiap tahun. Tradisi ini sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dan dilakukan secara turun temurun. Sayangnya, kapan kepastian waktu dimulainya tradisi ini masih belum diketahui. Berdasarkan isi babad, Bau Nyale mulai dikenal masyarakat dan diwariskan sejak sebelum abad 16.
Cacing laut yang disebut dengan Nyale ini termasuk dalam filum Annelida. Nyale hidup di dalam lubang-lubang batu karang yang ada dibawah permukaan laut. Uniknya, cacing-cacing nyale tersebut hanya muncul ke permukaan laut hanya dua kali setahun.
Tradisi Bau Nyale biasanya dilakukan dua kali setahun. Tradisi ini dilakukan beberapa hari sesuai bulan purnama yaitu pada hari ke-19 dan 20 bulan 10 dan 11 dalam penanggalan suku Sasak. Biasanya tanggal tersebut jatuh pada bulan Februari dan Maret. Upacara penangkapan cacing nyale dibagi menjadi dua yakni dilihat dari bulan keluarnya nyale-nyale dari laut dan waktu penangkapannya. Dilihat dari waktu penangkapan juga masih dibagi lagi menjadi jelo pemboyak dan jelo tumpah. Bulan keluarnya nyale dikenal dengan nyale tunggak dan nyale poto. Nyale tunggak merupakan nyale-nyale yang keluarnya pada bulan kesepuluh sedangkan nyale poto keluarnya pada bulan kesebelas. Kebanyakan nyale-nyale keluar saat nyale tunggak. Oleh sebab itu, banyak masyarakat yang menangkap nyale saat bulan ke-10. Masyarakat menangkap nyale biasanya saat menjelang subuh. Pada saat tersebut, nyale berenang ke permukaan laut. Saat itulah masyarakat menangkap nyale-nyale tersebut. (pusakapusaka.com)

Dalam sebuah buku “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan” yang ditulis oleh Dr. Hans J. Daeng, menggabarkan bahwa: upacaraNyale mulai diadakan setelah penghitungan enam malam terlihat bulan purnama. Dalam melaksanakan upacara Nyale, sejak dahulu setiap kabisu (Klen) sudah diberikan kepercayaan untuk mengerjakan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Menjelang hari yang telah ditetapkan, masyarakat mempersiapkan ketupat beras ketan yang berbentuk kerucut. Di samping ketupat ketan yang juga akan dibagikan kepada para pengunjung, perlengkapan-perlengkapan lainnya, pinang, ayam dan tongkat.
Pada pagi hari yang telah ditetapkan untuk Nyale, berangkatlah Rato (tua-tua adat) Kabisu Ubeweni lebih dahulu ke tepi pantai. Dalam perjalanan kesana, diletakkan ketupat ketan, sirih dan pinang dan di tempat-tempat yang dikeramatkan: mungkin sebagai tanda kulo nuwun kepada roh-roh yang berada disana. Setiba disana, para Ratoberkumpul di bawah sebatang pohon ketapang untuk memperhatikan keadaan cuaca dan menantikan saat yang tepat untuk memanggilNyale. Jika saatnya tiba, sang rato kebisu Ubeweni menuju ke bibir pantai lalu dengan suara nyaring memanggil Nyale yang kemudian berdatangan muncul ke tepi pantai.
Atraksi Bau Nyale yang diadakan di Lombok, pandangan tentang perayaan Bau Nyale sesungguhnya tidak terlepas dari masalah cinta yang menuju ke perkawinan, Bau Nyale bukanlah sebuah ukuran yang mutlak bagi kaum muda-mudi yang bertemu dan menjalin cinta kemudian menuju ke perkawinans, realita yang digambarkan tersebut angatlah jauh dengan realita yang ada,
Perayaan  Nyale atau Bau Nyale (menangkap cacing laut) memberi kesempatan kepada muda-mudi untuk saling mengenal lebih dekat sebagai persiapan untuk membangun keluarga. Pada malam penantian munculnya Nyale pada pagi keesokan harinya, muda-mudi di pulau Lombok semalam suntuk sibuk dengan acara betandak, yaitu saling melempar pantun dalam bahasa sasak. Orang yang tidak dapat membalas pantun yang ditujukan kepadanya menjadi objek ejekan dan bahan tertawaan. Mungkin hal ini dapat dilihat sebagai alasan untuk lebih saling mendekat. Was sicb liebt, das neckt sicb (yang saling kasih, saling mengganggu). Selain acara berandak juga diadakan acara bejambek, yaitu saling menghidangkan sirih pinang sebagai penerimaan seorang gadis pada pemuda pilihannya. Hal yang lazim terjadi ialah kegiatan betandak dan bejambek dilanjutkan dengan pernikahan pada masa pascapanen berikutnya.

Cerita tentang Putri Mandalika tersebut juga merupakan cerita yang begitu melegenda di kalangan masyarakat Lombok yang menceritakan asal usul perayaan Bau Nyale (menangkao cacing. Hingga kini masyarakat Lombok setahun sekali menyelenggarakan perayaan Bau Nyale antara bulan Februari dan Maret. Perayaan Bau Nyale kini sudah menjadi salah satu daya tarik yang begitu ditunggu kedatangannya oleh para wisatawan asing. Oleh karenanya Pemda Lombok Tengah menjadikan upacara sakral ini sebagai aset budaya lokal yang penyelenggaraannya telah menjadi event kegiatan budaya nasional. Tradisi Sakral yang melegenda ini diwariskan sebelum abad 16 masehi secara turun temurun oleh suku asli Sasak, saat event dilangsungkan semenjak sore hari masyarakat setempat dan masyarakat Lombok secara umum akan berdatangan dan ikut serta beramai ramai menagkap Nyale di sepanjang pesisir Pantai Selatan Lombok. Terutama di pantai Seger Kuta Lombok, Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah.
Semenjak berkembangnya dunia pariwisata di Lombok, Event Bau Nyale biasanya dirangkai dengan beragam kesenian lokal tradisional seperti Betandak (berbalas pantun), Berjambik (pemberian cindera mata kepada kekasih), serta Belancaran (pesiar dengan perahu), dan tidak ketinggalan pula pementasan drama kolosal Putri Mandalika, dihadiri oleh pejabat daerah setempat sampai jajaran pemerintah Provinsi NTB dan juga dari petinggi dari luar pulau Lombok.
Kesimpulan
upacara adat yang lebih dikenal dengan sebutan Pesta Bau Nyale ini merupakan salah satu contoh konkret Jejak sejarah yang berbentuk Folklore, khususnya Folklore sebagian lisan. Sedangkan untuk kisah Putri Mandalika dapat dikategorikan sebagai salah satu jejak sejarah dalam bentuk sebuah legenda yang dipercaya benar-benar terjadi oleh masyarakat suku sasak.
Legenda rakyat Putri Mandalika merupakan cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak dan masyarakat Indonesia sekarang ini. Salah satu nilai moral yang sangat menonjol dalam cerita di atas adalah sifat rela berkorban. Sifat ini tecermin pada sifat Putri Mandalika ketika ia rela mengorbankan jiwa dan raganya demi menghindari terjadinya peperangan di antara beberapa kerajaan yang dapat mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa. Ia lebih memilih mengorbankan jiwanya daripada mengorbankan jiwa orang banyak.
Daftar Pustaka
ceritarakyatnusantara.com


Nur Hirmayani Kartika Surizka
Usaha Jasa Pariwisata A 2015
4423154387

Tidak ada komentar:

Posting Komentar