Kamis, 07 Januari 2016

Tugas 3 - Foklor Indonesia

Foklor Suku Dayak

Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas ini tentang foklor  Suku Dayak dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima kasih kepada bapak  Shobirien selaku Dosen mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia  yang telah memberikan tugas ini kepada saya.
Saya sangat berharap tugas ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Seluk Beluk Suku Dayak.Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.Semoga artikel ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

                           Jakarta, 04 Januari 2015


Debby Dianasari

Dalam artikel ini saya akan menjelaskan atau memaparkan tentang foklor suku dayak. Sebelumnya saya akan menjelaskan tentang foklor. Foklor adalah tradisi lisan dari suatu masyarakat yang tersebar atau diwariskan secara turun temurun. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Folklor adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan.
Saya akan menjelaskan tentang asal mula suku dayak terlebih dahulu. Suku dayak bermula pada tahun (1977-1978), saat itu benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati.Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit.Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.
Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba
Di suku dayak  masih terdapat adat istiadat yang masih di lakukan oleh penduduk setempat karena mereka  sangat menjaga kelestarian budaya yang berkembang di daerahnya dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang  masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
Ini ada beberapa contoh adat istiadat yang masih berkembang di suku dayak yaitu
·         Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak.Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat.Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
·         Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena.Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
·         Mangkok merah.
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak.Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar.“Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali.Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya. Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia.Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu.Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967.pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” )Setiap hari libur, warga Dayak menggelar berbagai tarian tradisional di Lamin antara lain Tari Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam, Pamung Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.

Selain itu suku dayak memiliki ciri tersendiri pada setiap masyarakatnya, walaupun sampai sekarang masyarakat nya sudah mulai sedikit yang melestarikannya, karena efek globalisasi yang semakin modern, tetapi masih ada masyarakat suku dayak asli yang masih melestarikannya tertutama para penduduk dayak yang memang benar benar suku dayak asli. Salah satu nya yaitu dengan memakai anting yang banyak di kupingnya sehingga dapat memanjangkan kupingnya dan mentato tubuhnya.
Seni tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan.Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku Dayak di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang ada di Indonesa.Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah. Trend dunia fashion telah mengikis budaya tersebut .Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak diatas tahun 80-an bahkan generasi sekarang mengaku malu.

Di Kalimantan Timur untuk bisa menemui wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang sangat sulit.Karena kini hanya bisa ditemui di pedalaman Kalimantan Timur dengan menempuh jalur melewati sungai yang memakan waktu berhari-hari. Karena gaya hidup suku Dayak memang lebih akrab dengan hutan maupun gua.
Untuk melestarikan budaya, tradsi maupun adat suku Dayak Pemerintah Kota Samarinda membangun perkampungan budaya suku Dayak yang diberi nama Kampung Budaya Pampang. Di desa ini ada sekitar 1000 warga suku Dayak yang masih mempertahankan budaya, tradisi maupun adat.

Namun sayangnya khusus untuk budaya telinga panjang hanya sedikit wanita suku Dayak saja yang mempertahankannya.Lainnya telah memotong karena mengaku malu.Wanita suku Dayak yang masih mempertahankan telinga panjang itu dan tidak pernah keluar dari kampong itu, bahkan mereka pun hanya terlihat saat ada kegiatan ataupun ucapacara adat.

Yang masih mempertahankan budaya telinga panjang kini tinggal sedikit.Mereka yang asalnya bertelinga panjang secara sengaja memotong ujung daun telinga mereka.Alasan yang sering dikemukakan, takut dianggap ketinggalan zaman atau khawatir anak-anak mereka merasa malu.Mulai punahnya budaya telinga panjang, menurut cerita ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman kolonial Belanda dulu.
tak tahu persisnya kapan mulai punah, tapi rata-rata yang masih mempertahankan budaya telinga panjang adalah wanita suku Dayak yang berusia di atas 60 tahun. Sedangkan genersi sekarang sudah tidak ada.Budaya ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan.

Saat itu berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern.Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya.Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang.Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern.Hanya sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun telinga panjang, dan itu pun jumlahnya sangat minim.Disebabkan pula karena zaman semakin berkembang. Banyak masyarakat dayak yang sudah merantau ke perkotaan, mereka merasa malu dan tidak percaya diri karena telinga mereka yang panjang tersebut karena di anggap aneh oleh masyarakat sekitar. Oleh sebab itu orang dayak yang merantau ke perkotaan sudah memotong telinga panjangnya. Timbulnya rasa malu tersebut turut disebabkan oleh modernisasi dan globalisasi yang mulai merasuki kehidupan masyarakat Dayak.Globalisasi ini kemudian membuat rakyat Dayak menjadi kurang menghargai nilai-nilai budaya yang mereka miliki, karena mereka menjadi lebih menghargai nilai-nilai yang berlaku di dunia internasional.Kebiasaan memanjangkan telinga yang tidak biasa di dunia internasional membuat warga Dayak menjadi berada dalam kebingungan mengenai haruskah mereka melestarikan nilai-nilai budaya mereka, yang kini diangap sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman.

Dulu, sebelum globalisasi dan modernisasi masuk ke kehidupan masyarakat Dayak, mereka sangat menghargai nilai-nilai budayanya, dalam hal ini memanjangkan daun telinga yang dianggap sebagai pertanda bahwa mereka adalah bangsa yang beradab. Namun sejak globalisasi masuk, muncul anggapan bahwa bangsa yang beradab bukan seperti apa yang mereka pikirkan selama ini. Mereka mulai merasa mereka berbeda dari bangsa atau suku lain,  yang mendapat cap “beradab” lebih dari mereka. Keberbedaan itu lantas menimbulkan keraguan dalam diri mereka, sehingga pada akhirnya mereka menjadi nilai budaya yang mengatakan bahwa memanjangkan daun telinga adalah tanda suatu bangsa yang beradab.Penolakan terhadap nilai budaya inilah yang kemudian menyebabkan hanya sedikit warga Dayak, terutama kalangan muda, yang masih menjalankan kebiasaan memanjangkan daun telinga.Padahal daun telinga yang panjang tersebut merupakan hal yang unik, yang dikagumi oleh masyarakat non-Dayak. Tidak seharusnya masyarakat Dayak malu akan penanda fisik tersebut, karena rasa malu itu pada akhirnya dapat menyebabkan punahnya salah satu nilai budaya di masyarakat Dayak.


PROSES PENINDIKAN / PEMASANGAN ANTING
Proses penindikan daun telinga ini sendiri dimulai sejak masa kanak-kanak, yaitu sejak berusia satu tahun. Kemudian setiap tahunnya mereka menambahkan satu buah anting atau subang perak. Anting atau subang perak yang dipakai pun berbeda-beda, gaya anting yang berbeda-beda ini menunjukkan perbedaan status dan jenis kelamin. Seperti misalnya kaum bangsawan memiliki gaya anting sendiri yang tidak boleh dipakai oleh orang-orang biasa.
Sedangkan menurut penduduk Dayak Kenyah, pemanjangan daun telinga di kalangan masyarakat Dayak secara tradisional berfungsi sebagai penanda identitas kemanusiaan mereka.
            Menurut asal-usulnya ratusan tahun lalu, budaya telinga panjang bukan hanya dilakukan wanita, pria juga ada yang memanjangkan telinga.Dan yang memanjangkan telinga hanya kaum bangsawan suku Dayak.Telinga panjang pada Wanita Dayak menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.bagi suku Dayak Kenyah, antara laki-laki dan perempuan memiliki aturan panjang cuping telinga yang berbeda. Kaum laki-laki tidak boleh memanjangkan cuping telinganya sampai melebihi bahunya, sedangkan perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada. Disamping itu telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang.Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu, jadi orang lain bisa menghitung sendiri berapa umur orang dayak tersebut terlihat dari banyaknya manik-manik , jika usia seseorang  60 tahun, maka manik manik yang berada pada telinga orang dayak tersebut berjumlah 60 manik-manik. Telinga panjang juga memiliki makna dimana untuk melatih kesabaran, karena betapa beratnya manik-manik yang tergantung di telinga, tetapi, karena dipakai setiap hari, kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih.Agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter, selain status sosial, wanita suku Dayak yang memanjangkan telinga  dianggap cantik. Makin panjang telinga, maka akan semakin cantiklah wanita Dayak.
           
Namun walaupun globalisasi yang semakin modern tetap ada saja warga suku dayak yang mempertahankan kebudayaan tersebut, rata – rata yang mempertahankannya itu yang sudah berusia 60 tahun, karena mereka sudah turun temurun melakukan tradisi  dari nenek moyang mereka, mereka tidak perduli apapun yang di kata kan orang lain, sekalinya mereka yang melihatnya secara aneh, mencibir atau membicarakan yang tidak baik, bagi mereka suku dayak yang masih memperthankannya, mereka merasa bangga karena bisa melestarikan warisan leluhur , mereka tidak perduli dengan zaman yang kian kesini makin modern. Justru mereka menganggap hal itu mendatangkan rezeki untuk mereka karena dengan telinganya yang panjang mereka bisa menarik perhatian wisatawan yang ingin melihat mereka yang bertelinga panjang. Sejak Kampung Pampang ditetapkan sebagai desa budaya oleh Pemerintah Kota Samarinda, membawa keuntungan bagi masyarakat dayak yang masih mempertahankan tradisi itu.Pasalnya Pampang setiap hari Minggu selalu didatangi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Setiap hari Minggu, pukul 14.00 hingga 16.00 wita, biasanya digelar acara budaya yang menampilkan berbagai tarian Dayak, bertempat di rumah panjang khas Dayak. Tarian yang biasa ditampilkan, yakni tari Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam, Pamung Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.Kehadiran wisatawan maupun pengunjung itulah yang membawa berkah. Pasalnya setiap pengunjung selalu meminta foto bersama.Kesempatan itulah digunakan mereka untuk meraup rejeki.Tarif yang dipasang untuk sekali berfoto Rp 25 ribu.
Setiap Minggu mereka bisa menghasilkan hingga ratusan ribu rupiah dari hasil foto bersama pengunjung. Selain itu mereka juga mendapat honor dari pertunjukkan menari dihadapan pengunjung.Disamping itu beberapa daerah kerap memakai dirinya saat ada agenda kunjungan pejabat pusat hingga presiden. Begitu juga jika ada acara nasional yang di selenggarakan di Kalimantan Timur, termasuk launching beberapa perusahaan dan produk local.

Selain itu yang unik dari dayak adalah adanya tradisi penguburan yaitu  merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaqyang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/RitualKwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat.Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
·         penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
·         penguburan di dalam peti batu (dolmen)
·         penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
1.     wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
2.     wadah tulang-beluang : tempelaaq(bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
1.     lubekng (tempat lungun)
2.     garai (tempat lungun, selokng)
3.     gur (lungun)
4.     tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1.     penguburan tahap pertama (primer)
2.     penguburan tahap kedua (sekunder).

Penguburan primer

1.     Parepm Api (Dayak Benuaq)
2.     Kenyauw (Dayak Benuaq)

Penguburan sekunder

Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua.Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik.Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
·         dikubur dalam tanah
·         diletakkan di pohon besar
·         dikremasi dalam upacara tiwah.

Prosesi penguburan sekunder

1.     Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2.     Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3.     Marabia
4.     Mambatur (Dayak Maanyan)
5.     Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)
Dayak pada masa kini
Dayak pada masa sekarang ini terdapat dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut,Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis.Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas.Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak.Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Orang Dayak Ngaju menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
·         Dayak Mongoloid,
·         Malayunoid,
·         Autrolo-Melanosoid,
·         Dayak Heteronoid.
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang membuat adanya kelompok manusia.
Agama Suku Dayak
Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah.Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering dinamakan sebagai agama Balian.
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan.Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannyaCandi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha.Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan.Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak
Kesimpulan :
Suku Dayak merupakan suku yang berada di Kalimantan Timur. Suku Dayak memiliki adat istiadat yang sangat unik yaitu dengan memanjangkan telinganya dan mentato badannya karena itu sudah menjadi adat istiadat suku dayak dari nenek moyangnya, menurut suku dayak sendiri memanjangkan telinga dapat membuat mereka merasa cantik dan menjadi ciri khas tersendiri untuk sukunya, agar dapat membedakan dengan suku suku yang lain, namun siring berkembangnya zaman, tradisi tersebut kian hari kian meluntur karena globalisasi yang sudah semakin modern. Mereka di anggap kuno dan masayarakat dayak merasa malu mempunyai kuping panjang seperti itu karena dianggap hal yang sangat aneh di zaman modern seperti ini masih ada saja masayakat yang berkuping panjang. Tetapi tetap saja ada masyarakat dayak yang masih melestarikannya terutama masyarakat dayak yang sudah berusia lebih dari 60 tahun karena merasa itu merupakan peninggalan leluhurnya yang tidak boleh hilang dari peradaban.
Daftar Pustaka :
http://serbasejarah.blogspot.co.id/2011/12/peran-folklore-mitologi-legenda-dan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak
http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/dayak-kuping-panjang


Debby Dianasari
4423154485
Usaha Jasa Pariwisata A 2015
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar