Selasa, 12 Januari 2016

Tugas 3 - Folklore Indonesia



Suku Amungme dan Gunung Suci Papua


Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tugas ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga artikel ini dapat dipergunakan sebagai salah satu informasi dan pembelajaran.
Harapan saya semoga artikel ini membantu menambah pengetahuan tentang Suku Amungme yang terdapat di Papua bagi para pembaca.
Artikel ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan artikel ini.
Jakarta, Januari 2016
Penyusun



Pendahuluan


Suku Amungme adalah kelompok Melanesia terdiri dari 13.000 orang yang tinggal di dataran tinggi Papua Indonesia.


Mereka menjalankan pertanian berpindah, menambahnya dengan berburu dan mengumpul. Amungme sangat terikat kepada tanah leluhur mereka dan menganggap sekitar gunung suci. Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan nama Nemang Kawi. Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang Kawi artinya panah yang suci (bebas). perang perdamaian Wilayah Amungme di sebut Amungsa.


Pembahasan

menimbulkan gesekan dengan pemerintah Indonesia, yang ingin mendayagunakan persediaan mineral yang luas yang terdapat di sekitarnya. Masalah terbesar yang dihadapi Amungme adalah banyaknya jumlah tambang, dimiliki oleh Amerika Serikat dan Kerajaan Bersatu, terletak di pusat wilayah Amungme. Pertambangan emas dan tembaga besar-besaran telah menghancurkan lansekap dan menuntun ke banyak protes, yang telah banyak ditekan dengan kekerasan oleh militer Indonesia.

Suku Amungme adalah salah satu suku yang tinggal di dataran tinggi Papua. Suku Amungme memiliki tradisi pertanian berpindah, dan berburu.

Mereka mendiami beberapa lembah luas di kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya antara gunung-gunung tinggi yaitu lembah Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti lembah Bella, Alama, Aroanop, dan Wa. Sebagian lagi menetap di lembah Beoga (disebut suku Damal, sesuai panggilan suku Dani) serta dataran rendah di Agimuga dan kota Timika. Amungme terdiri dari dua kata "amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia.

Menurut legenda yang dahulu,konon orang Amungme berasal dari derah Pagema (lembah baleim) Wamena. Hal ini dapat ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan hitigima yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme mendirikan honey dari alang-alang. Orang Amungme memiliki kepercayaan bahwa mereka adalah anak pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju yang dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih).

Suku Amungme menggangap bahwa mereka adalah penakluk, pengusa serta pewaris alam amungsa dari tangan Nagawan Into (Tuhan).

Suku Amungme memiliki dua bahasa, yaitu Amung-kal yang dituturkan oleh penduduk yang hidup disebelah selatan dan Damal-kal untuk suku yang menetap di utara.

Suku Amungme juga memiliki bahasa simbol yakni Aro-a-kal. Bahasa ini adalah bahasa simbol yang paling sulit dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal, bahasa simbol yang hanya diucapkan saat berada di wilayah yang dianggap keramat.

Konsep mengenai tanah, manusia dan lingkungan alam mempunyai arti yang intergral dalam kehidupan sehari-hari. Tanah digambarkan sebagai figure seorang ibu yang memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya mati. Tanah dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu dan pemakaman juga tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur sehingga ada beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan dianggap sebagai tempat keramat. Magaboarat Negel Jombei-Peibei (tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber penghidupan mereka), demikian suku Amungme menyebut tanah leluhur tempat tinggal mereka. Beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.

Suku Amungme saat kontak pertama dengan dunia luar

Kontak pertama dengan dunia luar terjadi pada tahun 1936 ketika ekpedisi Carstensz yang pimpinan Dr.Colijn cs, melalui misi katolik pada 1954 yang dipimpin oleh Pastor Michael Cammerer dibantu penduduk lokal bernama Moses Kilangin dan pemerintah Belanda, sebagian besar masyarakat Amungme dipindahkan ke daerah pesisir, di Akimuga sampai saat ini, alasan pemindahan disebabkan proses penyebaran agama dan pelayanan terhadap masyarakat Amungme tidak mungkin dilakukan di daerah pegunungan.

Suku Amungme sangat terikat kepada tanah leluhur mereka dan menganggap gunung sebagai sesuatu yang sacral. Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan nama Nemang Kawi. Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang Kawi artinya panah yang suci (bebas perang/ perdamaian). Suku Amungme memiliki sebuah lembaga adat bernama Lemasa (Lembaga Adat Suku Amungme) yang memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat Amungme.
Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro

Dua Gunung Suci Suku Amungme Papua

Seorang ibu Amungme berpakaian compang camping bertelanjang kaki duduk sambil mencuci kaki di tepi sungai Aykwa yang telah tercemar tailing tambang sambil meratap dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata : Ayuu...Dorang su Ame kami pung mama pung kepala, semua sudah ancur, kami sedih, kami sakit hati..... (aduh, mereka sudah ambil kepala ibu kami, semua hancur, kami sedih, sakit hati..) ================ Tangisan dan kesedihan ibu ini adalah tangisan orang papua dari suku Amungme. Amungme berasal dari 2 kata, Amung artinya utama dan me artinya manusia. Jadi pengertiannya mereka adalah manusia utama. Menurut cerita dari para leluhur mereka, suku Amungme berasal dari sebuah gua yang sekarang disebut Lembah Baliem atau Mepingama ( tempat manusia keluar pertama kali). Menurut mitos yang mereka yakini, zaman dahulu manusia berdiam di dalam gua. Di dalam gua terdapat semua jenis tumbuhan dan binatang. Alkisah suatu ketika orang-orang berada di dalam gua ingin keluar untuk melihat kehidupan luar di gua. Namun tidak ada seorangpun yang mampu membuka pintu gua kecuali seorang sesepuh adat mereka dengan membaca mantra-mantra tertentu. Saat waktu yang diinginkan mereka ingin keluar, sesepuh tua itu membaca mantra-mantranya dibantu seorang gadis yang masih suci dan mereka pun berhasil membuka pintu gua itu. Akan tetapi masih ada yang menghalangi mereka untuk bisa keluar dari gua. Saat itu permukaan bumi masih tergenang air. Untuk mengetahui kondisi di sekitar lingkungan gua, diutuslah seekor burung nuri dan menanti datangnya kembali sang burung. Ternyata burung nuri tidak kembali juga. Maka diutuslah seekor burung murai atau negelarki. Saat burung murai kembali, paruhnya terbawa lumut dari air yang mulai mengering. Hal ini menandakan bumi sudah mengering. Esok harinya orang-orang mulai keluar dari gua dan berjalan mengikuti arah sinar matahari, arah ke barat. Selama perjalanan, orang-orang menebarkan bibit-bibit tanaman dan melepas semua jenis binatang. Sampailah mereka pada sebuah gunung. Me-arangguma-bugin yang artinya gunung kebahagiaan dan perpisahan. Dan orang Amungme percaya mereka adalah rombongan manusia yang pertama kali keluar dari gua. Disusul rombongan dari suku-suku lain, seperti Ekagi, Moni, Wolani. Orang Amungme percaya mereka adalah intisari dari alam sekitar. Alam memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan sehingga orang Amungme sangat menghargai dan mencintai alam sekitar. Caranya dengan tidak sembarangan merusak lingkungan hidup. Jika ada yang merusak alam, orang Amungme akan berkata : "Enane taram agan iwiatongengee, Em arap nap atendak, mesin arop nap atendak, oleh arap nap atendak, ib arop nan atendak. Kelap arop nan atendak,  iatong heno, Inak juo onen diamo !" (  Anak-anak mengapa berbuat demikian, padahal kamu tahu bahwa pohon itu adalah diriku, anjing itu adalah aku, air itu juga diriku, tanah pun aku, batu itu pun diriku. Berbuatlah semaumu, aku kan mengawasimu") Bagi orang Amungme, tanah bukan hanya bernilai ekonomis, melainkan bermakna magis religius. Tanah ibarat seorang ibu yang memberikan kehidupan bagi anak-anaknya. "Tanah adalah ibu kami", ungkap mereka. Suku Amungme menganggap daerah pegunungan salju termasuk puncak-puncak gunung tertinggi bersemayamlah Jomun-Temun Nerek, para leluhur suku Amungme. Puncak gunung Carstenz, Ertsberg, Grassberg beserta lembah-lembah sekitarnya sebagai wilayah keramat yang suci tidak boleh diganggu gugat. Di kawasan kepala ibu itulah konon mereka berasal dan nenek moyang berada. Daerah asal yang bernilai religius-magis inilah yang saat ini porak poranda oleh kegiatan tambang emas dan tembaga oleh Freeport. Kehadiran Freeport yang mengambil alih seluruh tanah masyarakat ( yang dalam pandangan suku Amungme mengandung kekuatan magis dan mitologis) menyebabkan kosmologi suku tersebut terguncang sampai ke akar-akarnya. Guncangan itu semakin merasuk dan bertambah parah akan kehadiran orang - orang asing yang dipekerjakan di tanah mereka dan dalam perkembangannya suku Amungme  yang dulunya merupakan pemilik tanah , saat ini hanya menjadi penonton di atas tanah uluyat mereka sendiri. Perubahan yang mengguncangkan tersebut dapat terlihat dari lenyapnya beberapa puncak gunung yang bernilai magis dan mitologis bagi mereka, menjadi sumur-sumur raksasa yang menganga lebar. Meskipun masih ada gunung-gunung yang kelihatannya masih utuh, di dalamnya sudah keropos dengan adanya terowongan-terowongan besar yang berlapis-lapis. Ditambah penjagaan militer yang ketat setiap harinya, membuat orang Amungme sama sekali tidak bisa mendekati dan menyentuh wilayah keramat mereka. Terlebih semua daerah konsesi Freeport saat ini dipagari kawat berduri dan penjagaan militer bersenjata lengkap, seperti di pos mile 64 sampai 78. Bahkan untuk masuk wilayah Tembagapura diperlukan surat izin khusus dari kantor Freeport di Jakarta. Belum lagi kawasan keramat yang lainnya disekitar freeport sudah berubah menjadi kawasan pemukiman pekerja freeport dan kawasan transmigrasi program pemerintah. Daerah ini sudah menjadi infrastruktur kota Freeport. Dengan demikian tanah-tanah suci dan dikeramatkan oleh orang suku Amungme sudah berpindah menjadi tanah-tanah milik Freeport. Jadi jangan terkejut bila ibu Amungme selalu menangis dan sakit hati bila melihat orang Freeport yang bekerja di atas tanah keramat mereka. Ditambah sakit hati mereka, keadaan ekonomi yang harusnya mereka ikut merasakan manisnya tembaga, emas, nikel, tapi tidak mereka rasakan. "Kami ingin berada di Irian Jaya lebih dari 100 tahun" (Milton H Ward, Chairman of The Board of Directors Freeport Indonesia Inc, 1991) "Freeport adalah pelopor penanaman modal asing di Indonesia" (Soeharto, 03 Maret 1973) Kedua suara inilah yang menyebabkan gaung ketidakadilan dan ketidakmerataan ekonomi di Papua mulai tumbuh. Yang satu menjual bangsanya sendiri dan yang satu menjajah bangsa orang Amungme. Masihkah Pemerintah terus berdiam diri melihat duka orang Amungme yang bertahan dengan hanya memandang tanah dan gunung keramat mereka sudah berubah ? dan menjadi milik bangsa lain ? Atau kita yang tega menjual tanah mereka dengan segelintir kekayaan ?




Sastra Lisan Suku Amungme

Kadang kata-kata sebagai lambang-lambang bunyi—tidak cukup mampu menggambarkan (me­ng­eks­presikan) secara utuh pengalaman batin manusia tentang rasa sedih, senang, marah, cinta dan takjub.

Arnold Mampioper dalam bukunya “Amung­me, Ma­nusia Utama dari Nemangkawi Pegu­nung­an Car­tenz” menuliskan, orang Amungme akan menge­luar­kan bunyi-bunyian yang khas (siul), ketika ber­diri dari atas sebuah bukit dan me­natap gunung Ne­mangkawi yang dilatarbela­kangi langit bersih dan sedikit awan Cirrus, dan dilerengnya terlihat asap mengepul dari ru­­mah-rumah penduduk. Bunyi-bunyian yang di­lakukan dengan cara melipat lidah ini sebenar­nya merupakan ekspresi dari rasa gembira menyaksikan alam raya yang sangat megah ini. Rasa gembira yang tergugah karena melihat ke­in­­dahan alam biasanya juga diekspresikan orang Amung­me dengan menyanyikan sebuah lagu Tem.

Ter­utama untuk mengingat heroisme laki-laki keti­ka melakukan perburuan dan membawa pulang ha­sil buruan untuk dimasak oleh ibunya dan disan­tap seluruh keluarga besar. Salah satu syair yang bia­sa dinyanyikan untuk menggambar­kan situasi ini adalah Kele Wawunia kele, ae, ao, baa. Niare Waw­nia niare, ae, ao, haa.

Selain itu, menurut Arnold, ada lagu purba Su­ku Amung­me yang mungkin sudah tidak di­pahami lagi oleh orang Amungme generasi se­karang. Misalnya la­gu purba yang syairnya Anga­ye-angaye, No emki un­taye. Angaye bao, aa, bao. Angaye-angaye wagana nikaro. Morae ba­nago, bao, aa, bao. Antok anu ae anago, bao, bao. Jilki untae bawano, bao, bao.

Menurut Kepala Kampung Amkayagama, Eko Ke­­lanangame, syair lagu ini berisi pujian pa­da gu­­nung, lembah, hutan dan rimba tempat Suku Amung­me hidup dan mengembara. Arti­nya dalam Ba­hasa In­do­nesia kurang lebih, “Ku­kasih gunung-gu­­nung, yang agung mulia. Dan awan yang mela­yang, keliling­ puncaknya. Ku­kasih hutan rimba, pe­lindung tanahku, kusuka mengembara di bawah naung­mu.”

Aktifitas Suku Amungme untuk mengekspre­si­kan perasaannya tentang manusia dan alam, tem­pat hidupnya sebenarnya merupakan bentuk-ben­tuk sastra lisan. Dalam bahasa yang sangat se­derha­na, sastra dapat dipahami sebagai cara ma­nusia mengeks­pre­sikan pengalaman batinnya tentang rasa senang, rasa sedih, rasa dicintai, atau merasa marah karena sebuah penolakan atau pengingkaran.

Sastra lisan biasanya mengandung gagasan, pi­kiran, ajaran dan harapan masyarakat yang biasa­nya di­dengarkan dan dihayati bersama-sama. Su­ku Amungme yang sejak dahulu belum menge­nal tulisan menurunkan ajaran-ajaran dan petuah-petuah adat ini secara lisan (dari mulut ke mulut) ke gene­ra­si berikutnya.

Menurut sejarahnya, sastra lisan berkembang le­­bih dahulu daripada sastra tulis. Dalam kese­ha­rian, aktivitas ini terjadi ketika seorang ibu mem­beri nasehat kepada anaknya, atau para tetua adat memberi petuah kepada anggota-anggota masyarakatnya.

Dalam hal ini, bahasa menjadi media untuk me­nya­takan gagasan atau menyampaikan suatu nilai. Menurut seorang filsuf Yunani yang sa­ngat terkenal, Plato, bahasa dipakai untuk mem­buat tiruan (me­nirukan) gambaran dari kenya­ta­an yang sebe­nar­nya. Aktivitas satra (lisan) ju­ga merupakan pe­ne­ladanan alam semesta dan se­kaligus model dari ke­nyataan ideal (yang diharapkan).

Aktivitas sastra lisan dalam Suku Amungme ju­ga dapat diamati pada kebiasaan masyarakat Amung­me menggunakan kiasan untuk menya­takan gagasannya.

Menurut Arnold Mampioper, Mozes Kilangin Ten­­bak yang mendampingi Pater Michael Ka­me­rer untuk menyelesaikan konflik antar warga Amungme di lembah Noemba-Wea-Tsinga pada 1953 pernah menggunakan kiasan, ”Kalian sudah menangkap kuskus di Tsinga dan Wea lantas membunuhnya, se­karang mau menangkap kus­kus di Noemba lagi?”

Kuskus, adalah hewan buruan yang sangat di­sukai kelompok-kelompok masyarakat suku di pegunungan tengah Papua. Mozes Kilangin menggunakan kuskus sebagai personifikasi dari anggota masyarakat yang selalu korban dari konflik antar warga.

Kiasan lainnya, diungkapkan oleh seorang Ke­pa­la Kampung Akimuga menanggapi seruan peti­ng­gi­ militer agar masyarakat tidak mudah dihasut. Ke­pa­la Kampung ini memakai kiasan, “Ba­pak, kami ini seperti ubijalar yang tumbuh antara dua buah ba­tu. Kami ditekan dan dimarahi­ di sini dan di persalahkan di sana. Mendengar di sana, tetapi dihantam di sini, jadi susah kami ini!”

Ubijalar yang termasuk makanan pokok masya­rakat dipakai untuk menggambarkan situasi riil ma­­syarakat Amungme menghadapi tekanan dari ke­lom­pok-kelompok kepentingan. Situasi sulit yang di­hadapi ini digambarkan dengan kiasan “ubijalar yang tumbuh antara dua buah batu”.

Sebagai sastra lisan, banyak syair oleh tokoh-to­koh suku terdahulu kemudian digubah menjadi la­gu untuk menggambarkan suasana sukacita, duka ci­ta, atau penyembahan. Tetapi menurut Arnold Mam­pioper, salah satu syair yang menimbulkan ke­san terdalam adalah syair yang digubah menjadi lagu duka. Berisi syair ratapan dan kesedihan menda­lam dari orang-orang terdekat dan kerabat.

“Nyanyian ratapan itu laksana paduan suara de­ngan harmoni, solo, sopran, alto, tenor dan bas. Ter­dengar sangat merdu dan menyayat hati,” tulis Arnold.

Mozes Kilangin tokoh masyarakat Amungme, termasuk salah tokoh yang me­ngembangkan syair-syair dalam sastra lisan Amung­me untuk lagu-lagu di sekolah dan ibadah natal. Kar­ya sastra, yang lisan maupun yang tulis—memang ha­nya kumpulan dari bunyi dan lambang bunyi, te­tapi dibalik simbol-simbol bunyi ini tersimpan se­mangat, ajaran, dan nasehat yang sangat penting untuk generasi masyarakat berikutnya.(TjahjonoEP)

Beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.
Selain bahasa dan asal muaasal suku Amungme suku Amungme telah menggunakan uang tukar resmi (rupiah) sebagai alat jual-beli, tidak lagi menggunakan sistem barter. Barang-barang yang dijual masih sangat terbatas, seperti: makanan pokok; petatas, keladi, umbi-umbian, minyak goreng, sayur-mayur, alat jahit-menjahit sederhana, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari lainnya seperti garam, sabun dan rokok.
Saat ini budaya barter maupun alat tukar eral sudah tidak pernah lagi digunakan oleh sebagian besar suku Amungme yang tinggal di perkotaan atau berdampingan dengan budaya kota. Berbeda dengan masyarakat suku Amungme yang tinggal di pedalaman bagian Utara, yaitu di daerah pegunungan masih menggunakan eral.
Eral sendiri adalah sistem tukar - menukar barang dengan alat tukar sah yang diakui masyarakat Amungme, berupa kulit bia (siput). Kulit bia ini diperoleh dengan tukar-menukar barang dengan masyarakat yang tinggal di pantai. Setelah kulit bia diperoleh, mereka membawa pulang ke tempat tinggalnya di pedalaman dan membentuknya menjadi alat tukar suku.
Mata pencaharian suku Amungme umumnya berburu karena ditunjang faktor alam dengan berbagai  jenis flora yang tumbuh lebat dan terdapat berbagai jenis fauna seperti babi hutan, burung kasuari, burung mambruk, kakaktua, dll, bertani dan bercocok tanam serta beternak, banyak di antara mereka telah bekerja di kota sebagai pedagang, pegawai  maupun karyawan swasta. 
Penutup
Demikian artikel ini dibuat demi menyelesaikan tugas sejarah dan semoga dengan tulisan ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang Indonesia dan menumbuhkan menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya.

Daftar Pustaka
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Amungme
http://id.mitologi.wikia.com/wiki/Suku_Amungme
http://tabloidjubi.com/home/2014/12/05/sastra-lisan-dalam-tradisi-suku-amungme/

Kelas A - Farah Aulia



Tidak ada komentar:

Posting Komentar