Selasa, 05 Januari 2016

Tugas 3 - Folklore Indonesia

Asal Usul Kota Banyuwangi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayatnya kepada saya. Sehingga akhirnya saya dapat menyelesaikan tugas ketiga dari mata kuliah sejarah yang isi tugasnya adalah menceritakan kembali folklore Indonesia. Tidak lupa juga saya mengucapkan ucapan terima kasih kepada dosen pengajar mata kuliah sejarah Bapak Moh. Shobirien telah memberikan tugas seperti ini. Karena dengan tugas seperti inilah saya dapat lebih mengetahui secara mendalam tentang subjudul yang saya angkat yaitu Asal Usul Kota Banyuwangi.
          Adapun tulisan ini telah saya kerjakan dengan usaha semaksimal mungkin dan dengan bantuan berbagai pihak serta sumber-sumber referensi yang ada di internet. Selain itu, pengalaman saya menonton film legenda Kota Banyuwangi juga cukup membantu sehingga pembuatan tugas ini menjadi lancar. Untuk itu saya tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan tugas ini.
           Namun saya sadar masih banyak kekurangan dalam pengerjaan tugas ini, dari segi penyusunan bahasa, pemilihan kata, penulisan sumber maupun segi lainnya. Oleh karena itu saya membutuhkan kritik dan saran dari pembaca agar kedepannya saya dapat membuat makalah yang lebih baik dari sebelumnya.
         Harapan saya adalah setelah pembaca membaca tulisan di tugas ini semoga para pembaca dapat mengambil nilai-nilai positif yang ada. Kesempurnaan hanyalah milih Allah SWT dan kekurangan berada di diri saya.







                                                                                    `                       Jakarta, 6 Januari 2016


                                                                                                                                    Penulis






PEMBAHASAN

Cerita rakyat banyak sekali berkembang dan beredar di masyarakat secara bebas. Proses penyampaian yang hanya dari mulut ke mulut dan mungkin tanpa alasan bukti yang kuat sehingga sering kali kita menemui perbedaan jalan cerita, tokoh pelaku ataupun waktu kejadiannya. Entah bentuk ceritanya yang sangat sederhana atau justru sulit dimengerti tetapi setiap cerita rakyat pasti memiliki nilai-nilai moral yang ingin disampaikan dan agar ditiru oleh pendengarnya. Berawal dari cerita turun-temurun mungkin juga suat hal yang menyebabkan suatu jalan ceritanya dapat berubah.
Cerita yang berkembang di kota Banyuwangi adalah cerita rakyat yang berisikan tentang asal usul nama kota Banyuwangi. Ada dua kisah yang sangat terkenal yaitu Sri Tanjung dan kisah lainnya adalah tentang Raden Banterang. Kedua kisah tersebut akan saya paparkan di bawah ini.



KISAH SRI TANJUNG

Ceritanya adalah sebagai berikut. Kisah diawali dengan menceritakan tentang seorang ksatria yang tampan, berani, arif dan gagah perkasa bernama Patih Sidopekso yang merupakan keturunan keluarga Pandawa. Ia mengabdi kepada Prabu Sulahkromo yang berkuasa di Negeri Sindurejo di wilayah ujung timur Pulau Jawa. Sidopekso diutus mencari obat oleh raja kepada kakeknya Bhagawan Tamba Petra yang bertapa di pegunungan. Di sana ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat ayu bernama Sri Tanjung.
Sri Tanjung bukanlah gadis biasa, karena ibunya adalah bidadari yang turun ke bumi dan diperistri seorang manusia. Karena itulah Sri Tanjung memiliki paras yang luar biasa cantik jelita. Patih Sidopekso jatuh hati dan menjalin cinta dengan Sri Tanjung yang kemudian dinikahinya. Setelah menjadi istrinya, Sri Tanjung diboyong ke Kerajaan Sindurejo. Prabu Sulahkromo diam-diam terpesona dan tergila-gila akan kecantikan Sri Tanjung. Sang Raja menyimpan hasrat untuk merebut Sri Tanjung dari tangan suaminya, sehingga ia mencari siasat agar dapat memisahkan Sri Tanjung dari Sidopekso. Lalu tercetuslah ide ia akan menjebak Sidopekso.
Lantas Sidopekso diutus oleh Prabu Sulahkromo dengan akal liciknya pergi ke Swargaloka dengan membawa surat yang isinya "Pembawa surat ini akan menyerang Swargaloka". Atas bantuan Sri Tanjung yang menerima warisan selendang ajaib peninggalan ibunya dari ayahnya, Raden Sudamala, Sidopekso dapat terbang ke Swargaloka. Setibanya di Swargaloka, Sidopekso yang tidak mengetahui apa isi surat itu menyerahkan surat itu kepada para dewa. Akibatnya dia dihajar dan dipukuli oleh para dewa. Namun akhirnya, dengan menyebut leluhurnya adalah Pandawa, maka jelaslah kesalahpahaman itu. Patih Sidopekso kemudian dibebaskan dan diberi berkah oleh para dewa.
Sementara itu di bumi, sepeninggal Sidopekso, Sri Tanjung digoda oleh Prabu Sulahkromo. Sri Tanjung menolak, namun Sulahkromo memaksa, memeluk Sri Tanjung, dan hendak memperkosanya. Mendadak datang Sidopekso yang menyaksikan istrinya berpelukan dengan sang Raja. Prabu Sulahkromo yang jahat dan licik, malah balik memfitnah Sri Tanjung dengan menuduhnya sebagai wanita sundal penggoda yang mengajaknya untuk berbuat zina. Sidopekso termakan hasutan sang Raja dan mengira istrinya telah berselingkuh, sehingga ia terbakar amarah dan kecemburuan.
Sri Tanjung memohon kepada suaminya agar percaya bahwa ia tak berdosa dan selalu setia. Dengan penuh kesedihan Sri Tanjung bersumpah apabila dirinya sampai dibunuh, jika yang keluar bukan darah, melainkan air yang harum, maka itu merupakan bukti bahwa dia tak bersalah. Akhirnya dengan garang Sidopekso yang sudah gelap mata menikam Sri Tanjung dengan keris hingga tewas. Maka keajaiban pun terjadi, benarlah persumpahan Sri Tanjung, dari luka tikaman yang mengalir bukan darah segar melainkan air yang beraroma wangi harum semerbak.
Patih Sidopekso menyadari kekeliruannya dan menyesali perbuatannya. Sementara sukma Sri Tanjung terbang ke Swargaloka dan bertemu Dewi Durga. Setelah mengetahui kisah ketidakadilan yang menimpa Sri Tanjung, Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh Dewi Durga dan para dewa. Sri Tanjung pun dipersatukan kembali dengan suaminya. Para dewa memerintahkan Sidopekso untuk menghukum kejahatan Prabu Sulahkromo. Ia pun membalas dendam dan berhasil membunuh Prabu Sulahkromo dalam suatu peperangan. Konon air yang harum mewangi itu menjadi asal mula nama tempat tersebut. Maka sampai sekarang ibukota kerajaan Blambangan dinamakan Banyuwangi yang bermakna "air yang wangi".


KISAH RADEN BANTERANG

Kisah ini terjadi pada masa pemerintahan Prabu Menak Prakosa ini kerajaan Blambangan mempunyai wilayah kekuasaan yang cukup luas, bahkan sang Prabu berhasil memperluas wilayah kekuasaanya sampai ke Kerajaan Klungkung di Pulau Bali. Armada pasukan kerjaan Blambangan dengan prajurit-prajurit pilihan mendarat di dekat Kusamba, prajurit kerajaan Klungkung yang berada di Kusamba tak mampu membendung serangan prajurit kerajaan Blambangan yang dipimpin oleh Prabu Menak Prakosa sendiri. Setelah memperoleh kemenangan di Kusamba, prajurit Blambangan bergerak ke arah timur menuju Gianyar dan dalam waktu singkat dapat ditaklukkan. Prabu Menak Prakosa berjanji kepada Patih Ragajampi, jika serangan ke kerajaan Klungkung berhasil, maka Patih Ragajampi menjadi wakil Prabu Menak Prakosa dan menjadi Raja di Kerajaan Klungkung.
Sementara itu di istana kerajaan Klungkung, Sri Baginda Raja kerajaan Klungkung mengumpulkan seluruh anggota keluarganya, maka diperintahkannyalah Panglima Cokorde Rai untuk membawa permaisuri dan kedua anaknya mengungsi keluar dari kerajaan malam itu juga, dan anak laki-laki sang raja Bagus Tantra diwariskan keris pusaka sakti kerajaan Klungkung. Sementara sang Baginda Raja Klungkung dengan gagah berani memimpin langsung prajurit kerajaan Klungkung menghadang serbuan kerajaan Blambangan.
Prabu Menak Prakosa dan Patih Ragajampi terkejut bukan main, matahari baru saja mengintip di ufuk timur dan keadaan belumlah terlalu terang, suasana masih remang-remang tetapi prajurit kerajaan Klungkung sudah datang menyerang.  Sungguh diluar dugaan sang Prabu dan Patihnya, prajurit Blambangan yang masih tertidur dibuat kalang kabut kebingungan. Akibat serangan mendadak tersebut hampir sepertiga dari seluruh prajurit Blambangan telah gugur dan terluka parah, hal ini membuat mereka terbakar api semangat untuk membalas rekan-rekan mereka yang telah gugur, mereka geram dan marah.

Ketika sang surya sudah menampakkan sinarnya dan bumi telah terang benderang Sang Prabu dan Patihnya meneriakkan pasukannya untuk balik menyerang. Maka terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Blambangan dan pasukan Klungkung, prajurit-prajurit Blambangan begitu membara semangat dengan amarah dan dendam akibat gugurnya rekan mereka, mereka menyerang dengan begitu sengit dan dengan sepenuh tenaga mereka menghunuskan pedang dan tombak menyerang prajurit-prajurit Klungkung. Tidak berapa lama saja, jumlah pasukan Klungkung dan Blambangan sudah seimbang.  Sang Prabu melihat peluang untuk menuntaskan serangan dan memenangkan pertempuran Sang Prabu mengincar Sang Baginda Raja Klungkung, Sang Prabu melompat tinggi dan tepat mendarat dihadapan Sang Baginda, mereka bertempur dengan sengit, saling mengeluarkan jurus-jurus saktinya sampai-sampai debu berterbangan disekeliling mereka terhempas angin tenaga dalam.

Keris Sang Prabu berkali-kali berhasil mengenai tubuh Sang Baginda, akan tetapi sedikitpun tak melukai Sang Baginda. Prabu kebingungan dan ditengah kebingungannya tiba-tiba " dessssss!!!!" telapak Sang Baginda Raja Klungkung yang sakti tersebut menghantam dada Sang Prabu, tubuh Sang Prabu terlempar dan terjengkang jatuh ke tanah beberapa meter dan darah segar keluar dari mulut Sang Prabu.
Sang Prabu Menak Prakosa memegang Kerisnya erat-erat dan menghunuskannya ke langit dan kemudian menghujamkan keris tersebut ketanah, lalu menarik keris tersebut dan meludahinya tiga kali, melihat hal tersebut Sang Baginda Raja Klungkung menjadi ciut nyalinya dan pucat pasi karena itu adalah kelemahannya. Sang Prabu melompat mendekati Sang Baginda dan menghunuskan serta menyabet-nyabet kerisnya ke arah tubuh Sang Baginda. Karena usia Sang Baginda Raja Klungkung yang sudah renta dan kurus, tenaganya mulai berkurang dan gerakannya pun mulai lamban, hal ini diketahui oleh Sang Prabu Menak Prakosa yang jauh lebih muda dan badannya lebih tegap, Sang Prabu memanfaatkan keadaan tersebut, tidak berapa lama Sang Baginda Raja mulai terdesak kemudian dengan segenap kesaktiannya Sang Prabu Menak Prakosa berhasil menghujamkan kerisnya ke dada Sang Baginda Raja Klungkung dan tepat mengenai jantungnnya. Raja Pulau Dewata tersebut berteriak keras dan akhirnya Sang Baginda Raja Klungkung roboh bersimbah darah.
Pada saat yang bersamaan Patih Ragajampi juga berhasil mengalahkan Senopati Klungkung, akibatnya prajurit-prajurit Klungkung mulai tercerai berai dan kerepotan menghadapi serangan pedang dan tombak prajurit Blambangan karena kehilangan Raja dan Senopatinya.
dan akhirnya semua prajurit Klungkung pun menyerah dan melemparkan pedang, keris dan tombak serta tamengnya ke tanah. Sesampainya di istana kerajaan Klungkung, ternyata Permaisuri Raja Klungkung tidak ikut mengungsi bersama putranya Bagus Tantra dan putrinya Dewi Supraba bersama Panglima Cokorde Rai, permaisuri tetap di istana menanti Sang Baginda Raja Klungkung, air mata dan tangis sang permaisuri pun terdengar disegenap ruangan kerajaan dan membuat sedih seluruh pengawal dan dayang-dayang yang tinggal bersama sang permaisuri.
Sesuai dengan Kepercayaan Agama Hindu, maka jenazah Sang Baginda Raja dan Senopatinya kemudian dibakar (Ngaben) dengan upacara Pritayadya yang dipimpin oleh seorang Pendeta Agung, karena kesetian sang permaisuri kepada Sang Baginda Raja Klungkung Sang Permaisuripun melompat kedalam pembakaran Sang Baginda Raja Klungkung disaksikan Prabu Menak Prakosa dan Patih Ragajampi serta prajurit Blambangan juga seluruh rakyat kerajaan Klungkung.
Sesuai dengan janji sang Prabu Menak Prakosa kepada Patih Ragajampi, maka Patih Ragajampi diangkat menjadi Adipati atau Raja Muda sebagai wakil Kerajaan Blambangan di Klungkung Pulau Dewata-Bali. Setelah beberapa hari Sang Prabu pun membagi dua pasukan kerajaan Blambangan, separuh tinggal bersama Adipati Ragajampi di Klungkung dan separuhnya ikut kembali bersama Sang Prabu ke Blambangan bersama harta benda rampasan perang dari Kerajaan Klungkung. Bahkan untuk merangkul masyarakat Klungkung agar tak mendendam, sang Adipati Ragajampi memerintahkan seluruh prajurit dan rakyat Klungkung mencari Bagus Tantra dan Dewi Supraba agar dibawa ke istana kadipaten Klungkung menjadi Patih dan Anggota kadipaten Klungkung. Tetapi setelah beberapa lama mencari Bagus Tantra dan Dewi Supraba serta Panglima Cokorde Rai tidak dapat ditemukan, mereka seperti hilang ditelan bumi Klungkung.

Prabu Menak Prakosa mempunyai seorang putra bernama Raden Banterang, wajahnya tampan, dia juga cerdas dan pintar serta memiliki badan yang tegap dan gagah perkasa. Raden Banterang dikenal oleh rakyat kerajaan Blambangan sebagai pemuda yang pemberani dan baik hati juga adil dan ramah serta mudah bergaul dengan rakyat jelata, oleh sebabnya rakyat sangat mencintai dan menyegani juga takut kepada Raden Banterang, terutama oleh meraka yang berbuat kejahatan. Bila Raden Banterang melihat seseorang berbuat kejahatan, tanpa pandang bulu dan pikir panjang Raden Banterang pasti akan menegur dan menghukum siapa saja. Tetapi hal inilah yang menjadi titik kelemahan sang raden, dia tidak mendengar terlebih dahulu keterangan dari semua orang tentang kesalahan atau siapa yang sebenarnya berbuat salah atau kejahatan, dia lebih mendengar dari siapa saja yang berbicara langsung kepadanya dan lebih percaya pada instingnya sendiri.

Banyak sekali gadis-gadis kerajaan dan rakyat jelata yang berharap sekali menjadi istri atau selir sang Pangeran. Tetapi sang Pangeran belum juga tertarik dengan wanita manapun, dia lebih suka melajang tanpa ikatan dan menimba ilmu kanuragan dan kesaktian setingi-tingginya. Bila Pangeran mendengar kabar adanya seorang guru atau pertapa sakti, dia pasti akan datang menyambangi dan berguru kepadanya. Dengan usianya yang masih muda, sang Pangeran muda tidak bisa lagi dilawan oleh orang-orang yang hanya memiliki ilmu pencak silat yang biasa-biasa saja. Bahkan Sang Prabu Menak Prakosa dan juga Patih Ragajampi kewalahan jika beradu kesaktian dengan sang pangeran Raden Banterang.

Pada suatu hari Raden Banterang mendengar kabar tentang hadirnya seoramg pendekar sakti di sebelah utara ibukota kerajaan Blambangan. Ki Bantaran pun menjelaskan dengan sejelas-jelasnya keberadaan si pendekar tanpa nama tersebut berada,dan tanpa menunggu lama dan tanpa pamit kepada ayahandanya sang Prabu Menak Prakosa, Raden Banterang langsung memacu kudanya ke lembah temu guru, tempat sang pendekar tanpa nama tersebut berada. Raden Banterang berdiri di tengah rerumputan, matahari pun hampir berada diatas kepala, dia kemudian berteriak :  " hai pendekar tanpa nama.....!!! keluarlah ...., berilah aku pelajaran barang satu atau dua jurus..!" Setelah menunggu, belum terdengar ada jawaban, hanya keheningan dan suara lembah yang saling bersahutan.

Sesaat kemudian tiba-tiba melesat bayangan hitam dari dalam goa. Raden Banterang terkejut bukan kepalang karena tiba-tiba tepat dihadapannya telah berdiri sesosok pria dengan tubuh yang kurus dan tinggi. Rambutnya sudah hampir memutih semua, meski usianya sudah tergolong tua, tapi si pendekar ini terlihat bersih dan rapi. Raden Banterang menarik nafas dalam-dalam, jauh-jauh dia datang ketempat sunyi ini untuk mengadu kesaktian, malahan diajak ngobrol-ngobrol di dalam goa... ini sungguh suatu penghinaan, Raden Banterang marah sekali merasa di remehkan. Tiba-tiba Raden Banterang mengeluarkan pukulan tenaga dalam yang cepat dan keras ke tubuh si pendekar tanpa nama, dan bagaikan selembar daun yang kering, si pendekar tanpa nama terdorong kebelakang dengan ringannya, tapi anehnya posisinya masih tetap tegap berdiri diatas kaki kurusnya yang sudah keriput.

Raden Banterang geram dan terus menyerang pendekar tanpa nama itu. Lalu hanya dengan satu balasan pukulan “Jaladha Meru”, membuat Raden Banterang pingsan tak sadarkan diri. Selang beberapa saat, Raden Banterang pun tersadar, dia mendapati dirinya ada di mulut goa, tubuhnya sudah sehat dan tidak ada sedikitpun rasa sakit akibat pukulan si pendekar tanpa nama. Lalu ditengah kebingungannya, dia melihat ada guratan tulisan di batu goa tersebut, lalu Raden Banterang pun membacanya ...
"Raden Banterang.... Saya sudah pergi dari tempat ini untuk menghindari pertarungan-pertarungan yang hanya akan saling menyakiti, Raden tak sadarkan diri sehari semalam, aku sudah mengobati luka dalam Raden, dan aku memberikan tenaga dalam Hawa Sakti ke tubuh Raden. Pulanglah Raden.... hentikan kebiasaan Raden untuk menantang para pendekar, uruslah Ayahandamu yang sudah tua... DIATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT .. jangan sombong dan takabur dengan sedikit kesaktian yang Raden miliki, lebih baik Raden segera berumah tangga dan pelajarilah ilmu tentang kehidupan yang lebih berguna untuk rakyatmu, sehingga negeri Blambangan akan menjadi lebih makmur sentosa "
Raden Banterang pun termenung sejenak dan menyadari kekhilafannya. Raden Banterang pun memacu kudanya secepat mungkin, dia khawatir Ayahanda dan Bundanya akan kebingungan mencarinya.
Saat melewati pinggiran sungai di tepi hutan, tiba-tiba Raden Banterang mendengar jeritan seorang wanita. Raden Banterang pun turun dari kudanya dan mencoba mencari sumber suara itu. Kemudian ia menyelinap di antara rerimbunan pepohonan dan akhirnya dia menemukan asal suara tersebut, dan ternyata ada seorang wanita yang sedang dikejar oleh dua orang pria. Raden Banterang yang melihat perbuatan kedua pria tersebut pun melompat setingi-tingginya dan dengan dua kali tendangan kaki kiri dan kanannya Raden Banterang langsung berhasil melepaskan si wanita dan membuat kedua pria tersebut jatuh tersungkur dipinggiran sungai.
Si Wanita berdiri tak jauh dari Raden Banterang dan wajahnya masih pucat pasi ketakutan bukan kepalangan. Lalu terjadilah percakapan di antara mereka, dari mulai perkenalan  hingga pada saat itu juga Raden Banterang mengajak si wanita yang bernama Dewi Surati untuk tinggal bersamanya dan menjadi istrinya. Raden Banterang adalah seorang pemuda yang cepat dalam mengambil keputusan. Ia begitu terpesona dengan Dewi Surati yang memang berwajah cantik jelita.
Raden Banterang tidak menelusuri asal-usul Dewi Surati, siapakah nama ayah-ibunya, apakah nama desanya, semuanya diabaikan oleh Raden Banterang, yang ia tahu saat ini adalah Dewi Surati yang ia cintai dan merasa cocok menjadi istrinya.
Maka ketika Dewi Surati diperkenalkan kepada sang Prabu dan permaisuri, alangkah senangnya mereka, sang prabu dan permaisuripun langsung setuju, kerena melihat kecantikan, dan tutur kata Dewi Surati yang lemah lembut laksana putri raja. Akhirnya dilangsungkanlah pernikahan Raden Banterang dan Dewi Surati dengan upacara yang sangat meriah dan melibatkan seluruh rakyat kerajaan Blambangan, rakyatpun bersuka-cita dan pesta meriah tersebut diadakan selama tiga hari tiga malam.

Selanjutnya hari-hari Raden Banterang pun selalu bersama Dewi Surati dan hidup harmonis dan penuh dengan kebahagian. Prabu Menak Prakosa dan permaisuri pun sangat menyayangi Dewi Surati sebagai menantunya. Tetapi kebahagian itu tidak berlangsung lama, dua tahun kemudian timbul masalah, karena selama dua tahun ini pula Dewi Surati belum juga mengandung. Prabu Menak Prakosa dan Permaisuri yang sejak awal ingin sekali menimang cucu kini menjadi kecewa. Dewi Surati pun mulai merasa resah dan sering melamun, duduk menyendiri di tempat sunyi, merenungi nasibnya karena Ibu Suri mulai terlihat kurang senang dengan Dewi Surati.

Dewi Surati terkenal sebagai seorang yang baik hati, ia sering bergaul dengan masyarakat dan menolong rakyat yang kesusahan, hampir setiap hari ada saja rakyat yang di derma tolong oleh sang dewi. Pada suatu hari datanglah seorang pengemis yang berpakaian compang camping, pengemis itu belumlah terlihat tua dan tubuhnyapun tegap hanya pakaiannya yang terlihat kotor dan robek serta penuh tambalan disana-sini, anehnya sang dewi mulai merasa seperti mengenali pengemis tersebut.
"Supraba ....!!!! sekarang kau berganti nama menjadi Dewi Surati ?  meskipun aku berpakaian compang-camping seperti ini, aku yakin kau tidak akan lupa dengan wajahku ini !" ujar si pengemis itu. Dewi Surati pun segera mengenali suara tersebut, tidak salah lagi si pengemis itu adalah Bagus Tantra putra mahkota kerajaan Klungkung, kakandanya.
Bagus Tantra sangat marah karena pada kenyataannya adiknya justru menikah dengan anak musuh keluarganya selama ini. Terjadilah perbincangan untuk sebuah kesepakatan agar Dewi Supraba atau Dewi Surati mau membunuh suami dan mertuanya sebagai pembalasan dendam keluarganya selama ini. Tentunya Dewi Surati menolak permintaan kakandanya tersebut. Dengan amarah yang sangat memuncak Bagus Tantra meninggalkan adiknya dengan kecewa dan mengancam akan menghukum Dewi Surati atas pengkhianatannya kepada kerajaan dan rakyat Klungkung.
Raden Banterang meninggalkan istana Blambangan, bermaksud menghibur hatinya yang sedang resah dengan berburu di hutan. Pikirannya kacau, Ibunda permaisuri memaksanya agar segera mencari wanita lain untuk diperistri agar permaisuri dan prabu bisa segera menimang cucu. Tetapi hari itu, baru saja Raden Banterang sampai di pinggir hutan, ada seorang pengemis berpakaian compang-camping yang menghalangi laju kudanya, si pengemis itu duduk bersimpuh di tengah jalan. Pengemis itu tidak lain adalah Bagus Tantra yang memfitnah Dewi Surati adalah Dewi Supraba putri dari Raja Baginda Klungkung dan ingin membalas dendam dengan cara membunuh Raden Banterang dan Baginda Prabu Menak Prakosa lalu merebut kembali kekuasaan di kerajaan itu.
Untuk lebih meyakinkan Raden Banterang, pengemis itu juga mengatakan “jika tuanku tidak percaya, tuanku bisa mendapatkan bukti bahwa istri tuanku sedang meletakkan keris pusaka kerajaan Klungkung dibawah bantalnya, dan sepulang tuanku berburu, istri tuanku  akan membunuh tuanku dalam tidur dan jika hamba berbohong pada tuanku, maka hamba siap dipenggal kepala, tuanku dapat mencari dan menemukan hamba di pasar kerajaan Blambangan”.

Raden Banterang yang pikirannya sedang kacau jadi naik pitam dan emosi, tanpa berfikir panjang ia memacu kudanya kembali ke istana Blambangan, sepanjang jalan kembali ke istana Blambangan pikirannya berkecamuk antara percaya dan ragu apakah benar istri yang sangat ia sayangi, ternyata adalah musuh ayahandanya sendiri. Tak berapa lama, Raden Banterang pun sampai di istana Blambangan, dengan tergesa-gesa ia masuk ke kamar dan tak melihat keberadaan istrinya. Raden Banterang pun menuju pembaringan dan bermaksud memeriksa dibawah bantal istrinya. Baetapa tercengangnya Raden Banterang, ternyata benar dibawah bantal istrinya tergeletak sebilah keris dan pada sarung keris tersebut tertulis aksara-aksara tulisan bali.

Raden Banterang kecewa dan sedih sekaligus marah. Dengan geram diambilnya keris tersebut dan menyembunyikan di selipan kain pengikat pinggangnya. Kemudian dia berjalan ke taman istana mencari Dewi Surati. Tanpa banyak bicara lagi dan ditengah kebingungan Dewi Surati penuh tanya keheranan dan terkejut melihat wajah suaminya yang merah padam tanda sedang memendam amarah, Raden Banterang pun mengajak istrinya naik kuda meninggalkan lingkungan istana Blambangan entah kemana. Ternyata Raden Banterang mengajak Dewi Surati ke sebuah sungai di tengah hutan tempat pertama kali mereka bertemu.
Di tempat itu Raden Banterang mengeluarkan keris peninggalan Raja Klungkung dan Dewi Surati pun kaget. Disitu Raden Bnaterang menyuruh Dewi Surati berterus terang dan akhirnya terjadilah pengakuan. Ia berkata “Sesungguhnya saya adalah Dewi Supraba, saya adalah putri kerajaan Klungkung, saya menyamar sebagai Dewi Surati untuk menghindari kejaran prajurit Adipati Ragajampi yang hendak memaksa saya menjadi istrinya” (padahal Adipati Ragajampi mencari Dewi Supraba dan Bagus Tantra serta Panglima Cokorde Rai, hanya untuk dijadikan sebagai anggota tetap kerajaan Klungkung/ Kadipaten dari wilayah kekuasaan kerajaan Blambangan, dan Dewi Supraba bukan untuk dijadikan istri).
Raden Banterang tetap tidak percaya dengan semua penjelasan dari Dewi Supraba karena yang ia percaya hanyalah fitnah dari si pengemis tadi alias Bagus Tantra. Dewi Supraba mencoba menjelaskan bahwa sesungguhnya pengemis tadi adalah kakaknya yang memang membujuknya untuk membunuh suami serta mertuanya. Tapi ia menolak dan justru kini kakaknyalah yang memfitnah dirinya. Ia menjelaskan bahwa ia benar-benar menyayangi Raden Banterang dan tidak ada sedikitpun niat membalas dendam.
Raden Banterang merasa bahwa Dewi Supraba harus mati dengan keris peninggalan ayahnya. Dengan memelas Dewi Supraba memohon agar tidak dibunuh namun amarah Raden Banterang telah menutupi mata hatinya. Kemudian Dewi Supraba pun berkata kepada suaminya Raden Banterang setelah selesai berdoa "saksikanlah kakanda, saya akan terjun ke sungai ini, jika nanti sungai ini menjadi harum wangi, itu tandanya saya istrimu yang setia, tetapi bila berbau busuk itu tandanya saya bersalah dan khianat kepada kakanda... selamat tinggal kakanda ..." belum sempat Raden Banterang berkata-kata lagi, Dewi Supraba pun terjun ke sungai yang sangat dalam dan berair deras tersebut dan tak muncul-muncul lagi.

Raden Banterang pun terpaku berdiri di tempatnya beberapa saat, dipandanginya sungai tersebut dan berharap Dewi Supraba muncul kembali ke permukaan... tetapi selang beberapa saat hidungnya mencium aroma wangi semerbak yang begitu tajam dan tak henti-hentinya meski angin bertiup cukup kencang, aroma wangi tersebut tidak juga sirna. "Banyuwangi...." gumam Raden Banterang lemas (Banyuwangi = Air yang wangi dalam bahasa Jawa). Kini Raden Banterang menyadari bahwa istrinya Dewi Surati atau Dewi Supraba adalah istri yang setia kepadanya, dan istrinya tersebut tidak bersalah dan juga tidak memiliki maksud khianat kepadanya. Tetapi apa daya, meski sesal berkalpa-kalpa istri yang setia dan cantik telah pergi dengan meninggalkan aroma wangi yang tiada hentinya.

Sejak itu daerah tersebut dinamakan Banyuwangi, yang saat ini merupakan wilayah kabupaten yang termasuk dalam provinsi Jawa Timur.


KESIMPULAN

            Siapapun tokoh yang menjadi pelaku di dalam cerita yang ada di Banyuwangi, tetap menggambarkan kisah yang sama dengan focus utama adalah kesetiaan dan kejujuran seorang istri yang tulus yang rela dibunuh oleh suaminya untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dan benar-benar mencintai suaminya. Kisah Sri Tanjung sendiri ada sekitar 1500-1600 SM sedangkan kisah Raden Banterang setelah 1500-1600 SM.
            Namun tanpa memikirkan yang mana kisah yang benar, saya rasa keduanya sama-sama memiliki maksa yang tersirat. Dari kedua kisah itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa kita sebagai manusia :
1.      Harus memiliki sifat seperti Raden Banterang yang pemberani, baik hati, adil, ramah dan  mudah bergaul serta berani menindak orang yang salah.
2.      Dengan kelebihan yang kita miliki, bukan berarti kita dapat merasa bangga dan menyombongkan diri. Perlu diingat seperti yang dikatakan pendekar tanpa nama bahwa “di atas langit masih ada langit”.
3.      Jangan mudah mengambil keputusan yang gegabah tanpa mau memerhatikan, mendengarkan dan menimbang atas penjelasan dari kejadian yang ada. Bila kita gegabah mungkin kita akan menyesal seperti Raden Banterang yang kehilangan istrinya karena tidak mau mendengarkan penjelasan yang sebenarnya.
4.      Meniru sikap jujur dan setia seperti yang dilakukan oleh Sri Tanjung dan Dewi Supraba dalam kisah di atas. Kesetiaan mereka kepada suaminya yang dibuktikan dengan keberanian untuk dibunuh di tangan suaminya sendiri.


SARAN

            Terus kembangkan dan sebarkan cerita rakyat karena itu merupakan bagian dari kebudayaan yang harus terus kita lestarikan. Setiap daerah pasti memiliki sejarahnya masing-masing dan orang bijak tidak pernah melupakan sejarah. Selain itu, dalam penyampaian cerita semoga si pencerita selalu menjelaskan hal-hal positif atau pelajaran moral yang dapat diambil dari kisah tersebut. Jangan sampai ada kesalahpahaman dalam cerita yang diterima oleh pendengar atau pembaca.
            Pada akhirnya, sebagai pembaca kita harus cerdik memilah mana sikap, perilaku dan perbuatan yang harus kita tiru dan mana yang harus kita buang jauh-jauh. Jika perlu kita menguji sendiri kebenaran kisah tersebut dengan berusaha bertanya ataupun mencari di sumber-sumber referensi lainnya. Kurang lebihnya mohon dimaafkan dan terima kasih telah membaca.

DAFTAR PUSTAKA
http://agathanicole.blogspot.co.id/2013/09/raden-banterang-asal-mula-kota_6682.html














Tidak ada komentar:

Posting Komentar