Kata Pengantar
Puji syukur saya
panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas
dalam bentuk artikel yang diberikan yaitu “Folklore Indonesia” ini dengan baik.
Dalam bentuk apapun isinya yang sangat sederhana. Semoga artikel ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam sejarah
Indonesia.
Atas dukungan
moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka saya banyak mengucapkan banyak terima kasih
kepada:
1. Bapak Shobirin, selaku dosen mata kuliah saya yang banyak memberikan materi pendukung
untuk makalah ini.
Harapan saya semoga artikel ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi artikel ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Jakarta, 6
Januari 2016
Sarah Amalia
Pembahasan
Tanjung Lesung adalah sebuah nama
kampung di daerah Pandeglang, Provinsi Banten. Jika ingin berkunjung ke pantai ini, Anda memerlukan
waktu perjalanan sekitar 3 sampai 4 jam dari Jakarta. Kampung ini
terletak di sebuah tanjung atau daratan yang menjorok ke laut. Menurut cerita,
kampung ini dinamakan Tanjung Lesung karena sebuah peristiwa yang terjadi di
daerah itu pada masa silam. Peristiwa apakah yang menyebabkan kampung ini
dinamakan Tanjung Lesung?
Pada zaman dahulu kala, hiduplah
seorang pengembara dari Laut Selatan Pantai Jawa yang bernama Raden Budog. Ia
adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Suatu siang, seusai mandi
di pantai, Raden Budog beristirahat dibawah sebuah pohon ketapang yang rindang. Buaian angin pantai yang
sejuk membuat pemuda itu tertidur lelap. Dalam tidurnya, ia mengembara ke Utara dan bermimpi
bertemu dengan seorang gadis cantik jelita. Sangat cantik wajah gadis itu. Raden
Budog sangat terpesona dan langsung jatuh hati. Ia melihat gadis itu tersenyum manis seraya
mengulurkan tangannya. Namun, saat ia hendak menerima uluran tangan gadis itu
tiba-tiba sebuah ranting kering jatuh mengenai dahinya. Ia pun terkejut dan
langsung terbangun dari tidurnya. Raden Budog membanting ranting itu
keras-keras karena merasa geram tidak bias melanjutkan mimpi indahnya. Sejak peristiwa
itu, hati Raden Budog tidak tenang karena senyum manis gadis itu selalu
terbayang di pelupuk matanya. Walaupun hanya mimpi, namun ia merasa bahwa
pertemuannya dengan gadis itu seperti kenyataan. Oleh karena penasaran, Ia lalu
memutuskan untuk kembali mengembara untuk mencari keberadaan si gadis berwajah
sangat jelita itu.
Dalam pengembaraannya, ia selalu
ditemani oleh seekor anjing dan kuda kesayangannya. Dengan menunggangi kuda
kesayangannya, Raden Budog menuju arah Utara. Anjing miliknya turut pula
menemani kepergiannya yang berjalan didepan sambil menendus-endus mencari jalan
bagi tuannya. Setelah berhari-hari berjalan menapaki jalan-jalan terjal,
tibalah Raden Budog di tempat tinggi yang bernama Tali Alas atau yang kini
disebut Pilar. Dari
tempat itulah, Raden Budog dapat melihat pemandangan samudera biru yang
membentang luas dan pantai yang indah. Di tempat ini Raden Budog
beristirahat sejenak untuk menikmati bekal miliknya yang masih tersisa. Sementara
itu, kudanya dibiarkan untuk mencari rumput segar dan anjingnya berburu burung
puyuh yang berkeliaran di semak-semak.
Setelah dirasa cukup, Raden Budog
melanjutkan perjalananannya menuju ke arah Utara hingga tiba di Gunung Walang.
Di tempat ini pelana Raden Bulog robek hingga ia tidak lagi menunggang kuda.
Raden Budog menuntun kudanya dan anjingnya tetap setia menemani pengembaraan
Raden Budog. Mereka akhirnya tiba di Pantai Cawar. Setelah menempuh perjalanan
yang melelahkan, Raden Budog berniat mandi di pantai yang indah itu.
“Waaaah, sejuk sekali air pantai
ini!” ujar Raden Budog sambil membasuh mukanya dengan air laut.
Sejuknya air di Pantai Cawar
benar-benar menghilangkan rasa lelah Raden Budog. Setelah badannya kembali
segar, pemuda itu pergi ke muara sungai yang ada di sekitar pantai untuk
membasuh tubuhnya dengan air tawar. Ia lalu menghampiri kuda dan anjingnya yang
duduk ditepi pantai dengan maksud hendak melanjutkan pengembaraan. Tidak seperti biasanya, ketika
melihat tuan merekan, kedua binatang tersebut segera menyapa dengan ringkikan
atau gonggongannya. Namun, kali ini mereka tidak bergerak sedikitpun seolah
tidak perduli ajakan tuan mereka. Raden Budog pun merasa heran melihat perilaku
kedua hewan sahabatnya itu. Diajaknya kuda dan anjingnya itu
untuk kembali berjalan. Namun, dua hewan yang biasanya sangat setia kepadanya
itu seperti enggan meninggalkan Pantai Cawar. Keduanya hanya terdiam dan tidak
menuruti perintah Raden Budog.
“Ayo cepat berdiri, kita
lanjutkan perjalanan!” seru Raden Budog.
Setelah berulang-ulang ajakannya
tidak dipatuhi kuda dan anjingnya. Rupanya kedua hewan tersebut sangat
kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang sehingga menggerakan badan pun
sulit mereka lakukan. Raden Budog pun menjadi marah. Dikutuknya dua hewan itu
menjadi batu karang.
“Baiklah, jika kalian tidak mau
menuruti perintahku dan tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian
disini” ucap Raden Budog dengan kesal.
Ucapan Raden Budog pun mewujud
menjadi kenyataan. Kuda dan anjing itu menjadi batu karang yang diam membisu di
pantai Cawar.
Raden Budog meneruskan
perjalanannya dengan berjalan kaki seorang diri. Tekadnya tetap membara. Yang
ada dalam pikiran Raden Budog hanyalah sang gadis pujaan yang ditemuinya dalam
mimpi itu. Raden Budog terus berjalan tanpa mengenal lelah. Ia juga tidak menghiraukan
pakaiannya yang lusuh dan badannya kotor berdebu. Dilewatinya berbagai hambatan
dan rintangan yang ditemuinya di tengah perjalanan. Ketika tiba disebuah
sungai, ia terpaksa menghentikan perjalanannya karena sungai itu sedang banjir
besar.
“Ah lebih baik aku beristirahat
dulu disini sambil menunggu banjir itu surut” gumam Raden Budog seraya
merebahkan tubuhnya di atas sebuah batu besar yang ada di tepi sungai.
Baru saja Raden Budog merebahkan
tubuhnya, tiba-tiba terdengar bunyi lesung dari seberang sungai. Ia pun
terperanjat dan hatina berdebar kencang.
“Aku yakin, di seberang sungai
ini terdapat kampung, tempat tinggal gadis itu” ucapnya dengan penuh keyakinan.
Raden Budog tidak sabar lagi
menunggu banjir itu surut karena ingin segera bertemu dengan gadis pujannya.
Akhirnya, terpaksa menyebrangi sungai itu walaupun banjir belum surut. Dengan
segenap tenaga yang dimiliki, ia pun berhasil menyebrangi sungai itu. Saat tiba
di pintu masuk kampung tersebut, Raden Budog memutuskan untuk beristirahat sejenak
guna memulihkan tenaganya sambil mengamati keadaan sekitar.
Syahdan, di desa yang didatangi
Raden Budog itu berdiam seorang janda bernama Nyi Siti. Ia mempunyai seorang
anak perempuan yang sangat cantik jelita wajahnya. Sri Poh Haci namanya.
Sri Poh Haci setiap hari menumbuk
padi dengan menggunakan antan dan lesung. Antan itu dipukulkannya ke lesung
hingga menghasilkan irama tertentu yang terdengar merdu di telinga. Tindakan
Sri Poh Haci itu mengundang anak-anak perempuan lain untuk meniru tindakannya. Mereka
beramai-ramai menumbuk padi dengan cara seperti yang dilakukan Sri Poh Haci.
Anak-anak perempuan itu biasanya meminta Sri Poh Haci memimpin hingga akhirnya
tercipta sebuah permainan menyenangkan yang mereka beri nama ngangondang. Warga
desa sangat menggemari permainan itu. Sebelum mereka menanam padi, mereka
mendahuluinya dengan permainan ngagondang terlebih dahulu. Namun demikian
mereka mempunyai pantangan, yaitu tidak bermain ngagondang pada hari Jum’at.
Ketika Raden Budog tiba di desa
itu kebetulan permainan ngagondang tengah dilakukan. Raden Budog sangat
tertarik ketika mendengarnya. Ia pun datang mendekat. Terbelalaklah ia ketika
melihat salah satu seorang pemukul lesung itu. Wajahnya sangat mirip dengan
wajah perempuan yang dilihatnya dalam mimpinya. Perempuan itu tidak lain adalah
Sri Poh Haci.
“Itulah gadis yang pernah hadir
dalam mimpiku” Raden Bulog membatin.
Betapa senangnya hati Raden Budog
karena gadis yang selama ini ia cari kini ada didepan matanya. Ia pun terus
memandang gadis itu tanpa berkedip sedikit pun. Sementara itu, Sri Poh Haci
yang merasa ada memperhatikannya segera memberikan isyarat kepada
teman-temannya agar menghentikan permainan ngagondang. Gadis-gadis itu pun
berhenti memainkan alu ditangannya seraya bergegas pulang ke rumah
masing-masing, termasuk Sri Poh Haci. Setiba dirumahnya, Sri Poh Haci disambut
oleh ibunya
.
“Kenapa permainan lesungnya hanya
sebentar, anakku?” tanya Sri Poh Haci yang biasa dipanggil Nyi Siti.
“Tadi ada seorang pemuda tampan
yang belum pernah aku lihat. Dia memperhatikanku terus saat bermain ngagondang.
Aku kan jadi malu, Bu” jelas Sri Poh Haci.
Baru saja mereka membicarakan
pemuda asing itu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu da disusul suara seorang
laki-laki. Begitu Nyi Siti membuka pintu, tampaklah seorang pemuda tampan dan
gagah perkasa sedang berdiri di depan pintu.
“Maaf kalau kedatangan sya
menganggu. Bolehkan saya menginap di rumah Ibu?” pinta pemuda itu yang tak lain
adalah Raden Budog.
Betapa terkejut Nyi Siti
mendengar permintaan pemuda yang tidak dikenalnya itu.
“Maaf, Anda ini siapa dan berasal
dari mana? Mengapa Anda ingin menginap di rumah saya? Kami belum mengenal Anda”
tanya Nyi Siti curiga. Raden Budog pun lantas memperkenalkan diri.
“Nama saya Raden Budog, Bu. Saya seorang
pengembara dan kebetulan mampir di kampung ini. Jika diperkenankan, izinkanlah
saya untuk menginap di rumah ibu” pinta Raden Budog kembali.
“Maaf, Raden. Penghuni rumah ini
hanya saya dan anak gadis saya. Saya tidak berani menerima tamu laki-laki, apalagi
jika menginap” jawab Nyi Siti tegas seraya menutup pintu.
Rupanya, Nyi Siti tidak senang
dengan sikap Raden Budog yang dianggap terlalu lancang ingin menginap di
rumahnya. Sementara itu, Raden Budog merasa kesal karena permintannya ditolak
oleh perempuan paruh baya itu. Karena hari mulai gelap, ia pun memutuskan untuk
beristirahat di bale-bale bambu yang berada di dekat rumah Nyi Siti.
“Ah, sebaiknya aku tidur di sini
saja” gumam Raden Budog seraya merebahkan tubuhnya di atas bale-bale bambu itu.
Pemuda pengembara itu pun
tertidur pulas. Dalam tidurnya, ia bermimpi diizinkan menginap di rumah itu.
Namun, bukan Nyi Siti yang mengizinkannya, melainkan Sri Poh Haci.
Ditengah-tengah menikmati mimpi indahnya, tiba-tiba hidungnya merasakan wangi
kopi yang menyegarkan. Begitu ia membuka mataya, tampak matahari sudah muncul
di ufuk timur dan seorang gadis cantik berdiri di sampingnya.
“Silakan diminum kopinya, Raden!”
kata gadi itu.
“Hai, nama kamu siapa? Dan dari
mana kamu tahu namaku?” tanya Raden Budog pura-pura tidak tahu bahwa gadis itu
pastilah anak Nyi Siti.
“Namaku Sri Poh Haci, anaknya Nyi
Siti” jawab sang gadis memperkenalkan diri.
Rupanya, diam-diam Sri Poh Haci
pun jatuh hati kepada Raden Budog yang tampan itu. Setelah beberapa hari
tinggal di kampung tersebut, Raden Budog berhasil menjalin kasih dengan Sri Poh
Haci dan mereka pun bersepakat untuk menikah. Sebenarnya, Nyi Siti tidak setuju
jika anaknya menikah dengan pemuda yang tidak diketahui asal-usulnya. Apalagi,
ia tahu bahwa pemuda itu keras kepala. Namun, karena tidak ingin mengecewakan
hati anaknya, ia pun terpaksa merestui pernikahan mereka.
Setelah menikah dengan Sri Poh
Haci, Raden Budog pun menetap di kampung itu. Setiap kali istrinya bermain
lesung bersama gadis-gadis kampung, ia selalu datang menyaksikannya karena
senang mendengar nada lesung itu dan sesekali belajar memainkan lesung. Semakin
lama, Raden Budog semakin senang bermain lesung shingga terkadang lupa waktu.
Saking senangnya, ia tetap bermain lesung walaupun pada hari Jumat. Padahal,
istrinya sudah memberitahu sebelumnya bahwa bermain lesung pada Jumat sangat
dipantangkan.
“Suamiku, hari Jum’at adalah hari
yang dikeramatkan warga desa. Sebaiknya engkau tidak ngagondang dahulu” ujar
Sri Poh Haci mengingatkan.
Berkali-kali para tetua kampung
memperingatkan akan hal itu, namun Raden Budog yang keras kepala itu tidak
menghiraukannya dan tetap bermain lesung di hari Jumat. Nyi Siti khawatir juga
pada menantunya itu. Nyi Siti mrngingatkan Raden Budog untuk tidak ngagondang
pada hari Jum’at.
“Hendaklah engkau menghormati
adat dan juga pantangan yang berlaku di desa kita ini. Engkau boleh ngagondang
pada hari-hari lain, namun jangan engkau lakukan pada hari Jum’at. Hari Jum’at
adalah hari pantangan bagi warga desa untuk ngagondang. Semoga menjadi
pantangan pula bagimu untuk bermain ngagondang pada hari Jum’at ini”
Perilaku Raden Budog semakin
menjadi-jadi, ia terus menabuh lesung sambil melompat-lompat kegirangan ke sana
ke mari seperti seekor lutung (kera hitam berekor panjang). Ia berharap
orang-orang yang akan akan datang dan turut bermain bersamanya. Orang-orang
hanya memandangnya keheranan dan Raden Budog terus bertambah semangatnya
untuk bermain. Dan keanehan pun terjadi
...
Anak-anak desa berdatangan ke
tempat Raden Budog bermain ngagondang. Mereka sangat terheran-heran melihat
pemandangan aneh yang terjadi di hadapan mereka. Dalam pemandangan mereka,
bukan Raden Budog yang tengah bermain ngagondang, melainkan seekor lutung!
“Ada lutung bermain lesung! Ada
lutung bermain lesung!” teriak anak-anak itu seraya menunjuk-nunjuk.
Raden Budog tidak menyadari jika
dirinya telah berubah menjadi lutung terus memainkan antan pada lesung. Kian
bersemangat ia bermain karena menyangka anak-anak itu terpesona pada
permainannya.
Kejadian mengherankan itu cepat
menyebar. Warga desa berdatangan ke tempat Raden Budog tengah bermain
ngagondang itu. Benar-benar mereka terheran-heran mendapati seekor lutung
tengah bermain lesung seraya melompat-lompat penuh suka cita.
“Ada lutung bermain lesung! Ada lutung
bermain lesung!”
Teriakan beramai-ramai itu tak
urung membuat Raden Budog terkejut. Sejenak dihentikannya permainannya dan
ditatapnya orang-orang. Masih didengarnya ada warga desa yang menyatakan ada
lutung bermain lesung. Diperhatikannya tempat di sekitarnya. Tidak ada yang
bermain ngagondang di tempat itu selain hanya dirinya sendiri. Lantas, mengapa
orang-orang itu menyebutkan adanya lutung yang bermain lesung?
Terperanjatlah Raden Budog ketika
mengamati dirinya. Kedua tangannya berbulu amat lebat berwarna hitam laksana
bulu lutung! Begitu pula dengan bulu-bulu lebat berwarna hitam di kedua
kakinya. Dirabanya wajahnya, penuh dengan bulu lebat berwarna hitam pula.
Begitu pula dengan tubuhnya. Kian lengkaplah keterjutannya ketika mendapati
sebuah ekor panjang berbulu hitam keluar dari bagian belakang tubuhnya.
Raden Budog telah utuh berubah
menjadi lutung!
Setelah mendapati dirinya berubah
menjadi lutung, Raden Budog segera berlari dari tempat itu. Ia sangat malu.
Dengan gerakan gesut, lutung jelmaan Raden Budog lantas memanjat pohon. Gerakan
memanjatnya sangat cepat. Tangkas pula ia bergelantungan dari dahan ke dahan
serta berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.
“Lutung Kasarung! Lutung
Kasarung!” teriak warga ketika melihat lutung jelmaan Raden Budog itu
berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.
Teriakan-teriakan itukian membuat
malu Raden Budog hingga ia terus berusaha menjauh dari desa itu sejauh jauhnya.
Ia memasuki hutan dan terus bergerak menuju tengah hutan. Ia pun memutuskan
untuk tinggal di tengah hutan itu untuk seterusnya.
Sri Poh Haci sangat sedih
mendapati kenyataan itu. Suaminya telah berubah menjadi seekor lutung. Ia
serasa tidak mempunyai keberanian lagi untuk tinggal di desanya. Secara
diam-diam ia pun meninggalkan desa kediamannya itu. Entah kemana istri Raden
Budog itu pergi, tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan, Nyi Siti sendiri pun
tidak mengetahuinya. Konon, Sri Poh Haci kemudian juga menjelma menjadi Dewi
Padi.
Desa di
mana terjadinya peristiwa yang sangat mengherankan lagi mengejutkan itu
kemudian disebut Desa Lesung. Mengingat letaknya berada di sebuah tanjung, maka
desa itu pun akhirnya disebut Tanjung Lesung.
Pesan moral :
Pesan
moral yang dapat di petik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang keras
kepala seperti Raden Budog akan menanggung akibat dari sifat itu. Karena sifat
keras kepalanya dan tidak mau mendengar nasehat para tetua kampung untuk
berhenti bermain lesung pada hari Jumat yang di keramatkan, akibatnya Raden
Budog pun menjelma menjadi seekor lutung.
Maka dari itu kita harus mendengarkan nasihat
orang lain (dengan mempertimbangkannya), apalagi orang tua karena pada dasarnya
nasihat itu diberikan agar kita tidak tersesat dalam menjalani kehidupan ini.
Kesimpulan :
Tanjung Lesung sebenarnya merupakan nama kampung di
Pandeglang, Banten yang berasal dari terjadinya peristiwa jaman dahulu. Konon,
dipesisir laut selatan Jawa ada seorang pengembara bernama Raden Budog yang
tampan dan gagah. Raden Budog kemana-mana selalu ditemani oleh anjing dan kudanya. Suatu hari Ia
bermimpi bertemu gadis yang sangat cantik sampai akhirnya Ia berusaha mencari
gadis tersebut.
Dalam pencariannya Ia beristirahat sejenak di suatu pantai,
namun saat ingin melanjutkan perjalanan kuda dan anjingnya merasa kelelahan. Raden
Budog murka dan menganggap anjing dan kudanya tidak setia lalu Raden Budog
mengutuknya. Kuda dan anjingnya menjadi batu karang, lalu Raden Budog
melanjutkan perjalanan dan tiba-tiba mendengar suara alunan merdu dari music lesung.
Ternyata pemimpin lesung tersebut adalah sang gadis idaman dalam mimpi Raden
Budog. Nama gadis itu Sri Poh Haci tetapi ibunda Sri Poh Haci yang bernama Nyi
Siti melarang hubungannya dengan Raden Budog karena tidak memiliki asal-usul
yang jelas.
Raden Budog dan Sri Poh Haci akhirnya tetap menikah, Raden
Budog mempelajari lesung dan menggemari lesung sampai akhirnya lupa waktu dan
mengabaikan nasihat para leluhur yang melarang bermain lesung pada hari Jumat.
Raden Budog pun berubah menjadi lutung, karena malu Sri Poh Haci diam-diam
menghilang. Untuk mengenang kepiawaian Sri Poh Haci bermain lesung, pada
penduduk setempat menyebut kampung itu dengan Kampung Lesung. Kampung itu
terletak disebuah tanjung, kampung tersebut akhirnya diberi nama Tanjung
Lesung.
Saran :
Hendaknya kita mematuhi dan menghormati adat istiadat
yang berlaku di suatu daerah. Seperti makna peribahasa di mana tanah dipijak,
di situ langit dijunjung, yang berarti di mana pun kita berada atau bertempat
tinggal, hendaklah kita menuruti adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku di
daerah itu.
Penutup
Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca
khususnya para mahasiswa Universitas Negeri Jakarta. Saya sadar bahwa artikel
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen
pengajar saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan artikel saya dimasa
yang akan mendatang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Daftar Pustaka :
Nama : Sarah Amalia
(4423155135)
UJP B 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar