Jumat, 08 Januari 2016

Tugas 3 - Folklore Indonesia



Asal Mula Tanjung Lesung

Kata Pengantar

Puji syukur saya  panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas dalam bentuk artikel yang diberikan yaituFolklore Indonesia  ini dengan baik. Dalam bentuk apapun isinya yang sangat sederhana. Semoga artikel ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam sejarah Indonesia.
Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka saya banyak mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.         Bapak Shobirin, selaku dosen mata kuliah saya yang banyak memberikan materi pendukung untuk makalah ini.
Harapan saya semoga artikel ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi artikel ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.









Jakarta, 6 Januari 2016



Sarah Amalia

Pembahasan

Tanjung Lesung adalah sebuah nama kampung di daerah Pandeglang, Provinsi Banten. Jika ingin berkunjung ke pantai ini, Anda memerlukan waktu perjalanan sekitar 3 sampai 4 jam dari Jakarta. Kampung ini terletak di sebuah tanjung atau daratan yang menjorok ke laut. Menurut cerita, kampung ini dinamakan Tanjung Lesung karena sebuah peristiwa yang terjadi di daerah itu pada masa silam. Peristiwa apakah yang menyebabkan kampung ini dinamakan Tanjung Lesung?


Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang pengembara dari Laut Selatan Pantai Jawa yang bernama Raden Budog. Ia adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Suatu siang, seusai mandi di pantai, Raden Budog beristirahat dibawah sebuah pohon ketapang yang rindang. Buaian angin pantai yang sejuk membuat pemuda itu tertidur lelap. Dalam tidurnya, ia mengembara ke Utara dan bermimpi bertemu dengan seorang gadis cantik jelita. Sangat cantik wajah gadis itu. Raden Budog sangat terpesona dan langsung jatuh hati. Ia melihat gadis itu tersenyum manis seraya mengulurkan tangannya. Namun, saat ia hendak menerima uluran tangan gadis itu tiba-tiba sebuah ranting kering jatuh mengenai dahinya. Ia pun terkejut dan langsung terbangun dari tidurnya. Raden Budog membanting ranting itu keras-keras karena merasa geram tidak bias melanjutkan mimpi indahnya. Sejak peristiwa itu, hati Raden Budog tidak tenang karena senyum manis gadis itu selalu terbayang di pelupuk matanya. Walaupun hanya mimpi, namun ia merasa bahwa pertemuannya dengan gadis itu seperti kenyataan. Oleh karena penasaran, Ia lalu memutuskan untuk kembali mengembara untuk mencari keberadaan si gadis berwajah sangat jelita itu.

Dalam pengembaraannya, ia selalu ditemani oleh seekor anjing dan kuda kesayangannya. Dengan menunggangi kuda kesayangannya, Raden Budog menuju arah Utara. Anjing miliknya turut pula menemani kepergiannya yang berjalan didepan sambil menendus-endus mencari jalan bagi tuannya. Setelah berhari-hari berjalan menapaki jalan-jalan terjal, tibalah Raden Budog di tempat tinggi yang bernama Tali Alas atau yang kini disebut Pilar. Dari tempat itulah, Raden Budog dapat melihat pemandangan samudera biru yang membentang luas dan pantai yang indah. Di tempat ini Raden Budog beristirahat sejenak untuk menikmati bekal miliknya yang masih tersisa. Sementara itu, kudanya dibiarkan untuk mencari rumput segar dan anjingnya berburu burung puyuh yang berkeliaran di semak-semak.

Setelah dirasa cukup, Raden Budog melanjutkan perjalananannya menuju ke arah Utara hingga tiba di Gunung Walang. Di tempat ini pelana Raden Bulog robek hingga ia tidak lagi menunggang kuda. Raden Budog menuntun kudanya dan anjingnya tetap setia menemani pengembaraan Raden Budog. Mereka akhirnya tiba di Pantai Cawar. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Raden Budog berniat mandi di pantai yang indah itu.

“Waaaah, sejuk sekali air pantai ini!” ujar Raden Budog sambil membasuh mukanya dengan air laut.

Sejuknya air di Pantai Cawar benar-benar menghilangkan rasa lelah Raden Budog. Setelah badannya kembali segar, pemuda itu pergi ke muara sungai yang ada di sekitar pantai untuk membasuh tubuhnya dengan air tawar. Ia lalu menghampiri kuda dan anjingnya yang duduk ditepi pantai dengan maksud hendak melanjutkan pengembaraan. Tidak seperti biasanya, ketika melihat tuan merekan, kedua binatang tersebut segera menyapa dengan ringkikan atau gonggongannya. Namun, kali ini mereka tidak bergerak sedikitpun seolah tidak perduli ajakan tuan mereka. Raden Budog pun merasa heran melihat perilaku kedua hewan sahabatnya itu. Diajaknya kuda dan anjingnya itu untuk kembali berjalan. Namun, dua hewan yang biasanya sangat setia kepadanya itu seperti enggan meninggalkan Pantai Cawar. Keduanya hanya terdiam dan tidak menuruti perintah Raden Budog.

“Ayo cepat berdiri, kita lanjutkan perjalanan!” seru Raden Budog.

Setelah berulang-ulang ajakannya tidak dipatuhi kuda dan anjingnya. Rupanya kedua hewan tersebut sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang sehingga menggerakan badan pun sulit mereka lakukan. Raden Budog pun menjadi marah. Dikutuknya dua hewan itu menjadi batu karang.

“Baiklah, jika kalian tidak mau menuruti perintahku dan tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian disini” ucap Raden Budog dengan kesal.

Ucapan Raden Budog pun mewujud menjadi kenyataan. Kuda dan anjing itu menjadi batu karang yang diam membisu di pantai Cawar.

Raden Budog meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki seorang diri. Tekadnya tetap membara. Yang ada dalam pikiran Raden Budog hanyalah sang gadis pujaan yang ditemuinya dalam mimpi itu. Raden Budog terus berjalan tanpa mengenal lelah. Ia juga tidak menghiraukan pakaiannya yang lusuh dan badannya kotor berdebu. Dilewatinya berbagai hambatan dan rintangan yang ditemuinya di tengah perjalanan. Ketika tiba disebuah sungai, ia terpaksa menghentikan perjalanannya karena sungai itu sedang banjir besar.

“Ah lebih baik aku beristirahat dulu disini sambil menunggu banjir itu surut” gumam Raden Budog seraya merebahkan tubuhnya di atas sebuah batu besar yang ada di tepi sungai.

Baru saja Raden Budog merebahkan tubuhnya, tiba-tiba terdengar bunyi lesung dari seberang sungai. Ia pun terperanjat dan hatina berdebar kencang.

“Aku yakin, di seberang sungai ini terdapat kampung, tempat tinggal gadis itu” ucapnya dengan penuh keyakinan.

Raden Budog tidak sabar lagi menunggu banjir itu surut karena ingin segera bertemu dengan gadis pujannya. Akhirnya, terpaksa menyebrangi sungai itu walaupun banjir belum surut. Dengan segenap tenaga yang dimiliki, ia pun berhasil menyebrangi sungai itu. Saat tiba di pintu masuk kampung tersebut, Raden Budog memutuskan untuk beristirahat sejenak guna memulihkan tenaganya sambil mengamati keadaan sekitar.

Syahdan, di desa yang didatangi Raden Budog itu berdiam seorang janda bernama Nyi Siti. Ia mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik jelita wajahnya. Sri Poh Haci namanya.

Sri Poh Haci setiap hari menumbuk padi dengan menggunakan antan dan lesung. Antan itu dipukulkannya ke lesung hingga menghasilkan irama tertentu yang terdengar merdu di telinga. Tindakan Sri Poh Haci itu mengundang anak-anak perempuan lain untuk meniru tindakannya. Mereka beramai-ramai menumbuk padi dengan cara seperti yang dilakukan Sri Poh Haci. Anak-anak perempuan itu biasanya meminta Sri Poh Haci memimpin hingga akhirnya tercipta sebuah permainan menyenangkan yang mereka beri nama ngangondang. Warga desa sangat menggemari permainan itu. Sebelum mereka menanam padi, mereka mendahuluinya dengan permainan ngagondang terlebih dahulu. Namun demikian mereka mempunyai pantangan, yaitu tidak bermain ngagondang pada hari Jum’at.

Ketika Raden Budog tiba di desa itu kebetulan permainan ngagondang tengah dilakukan. Raden Budog sangat tertarik ketika mendengarnya. Ia pun datang mendekat. Terbelalaklah ia ketika melihat salah satu seorang pemukul lesung itu. Wajahnya sangat mirip dengan wajah perempuan yang dilihatnya dalam mimpinya. Perempuan itu tidak lain adalah Sri Poh Haci.

“Itulah gadis yang pernah hadir dalam mimpiku” Raden Bulog membatin.

Betapa senangnya hati Raden Budog karena gadis yang selama ini ia cari kini ada didepan matanya. Ia pun terus memandang gadis itu tanpa berkedip sedikit pun. Sementara itu, Sri Poh Haci yang merasa ada memperhatikannya segera memberikan isyarat kepada teman-temannya agar menghentikan permainan ngagondang. Gadis-gadis itu pun berhenti memainkan alu ditangannya seraya bergegas pulang ke rumah masing-masing, termasuk Sri Poh Haci. Setiba dirumahnya, Sri Poh Haci disambut oleh ibunya
.
“Kenapa permainan lesungnya hanya sebentar, anakku?” tanya Sri Poh Haci yang biasa dipanggil Nyi Siti.

“Tadi ada seorang pemuda tampan yang belum pernah aku lihat. Dia memperhatikanku terus saat bermain ngagondang. Aku kan jadi malu, Bu” jelas Sri Poh Haci.

Baru saja mereka membicarakan pemuda asing itu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu da disusul suara seorang laki-laki. Begitu Nyi Siti membuka pintu, tampaklah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa sedang berdiri di depan pintu.

“Maaf kalau kedatangan sya menganggu. Bolehkan saya menginap di rumah Ibu?” pinta pemuda itu yang tak lain adalah Raden Budog.

Betapa terkejut Nyi Siti mendengar permintaan pemuda yang tidak dikenalnya itu.

“Maaf, Anda ini siapa dan berasal dari mana? Mengapa Anda ingin menginap di rumah saya? Kami belum mengenal Anda” tanya Nyi Siti curiga. Raden Budog pun lantas memperkenalkan diri.

“Nama saya Raden Budog, Bu. Saya seorang pengembara dan kebetulan mampir di kampung ini. Jika diperkenankan, izinkanlah saya untuk menginap di rumah ibu” pinta Raden Budog kembali.

“Maaf, Raden. Penghuni rumah ini hanya saya dan anak gadis saya. Saya tidak berani menerima tamu laki-laki, apalagi jika menginap” jawab Nyi Siti tegas seraya menutup pintu.

Rupanya, Nyi Siti tidak senang dengan sikap Raden Budog yang dianggap terlalu lancang ingin menginap di rumahnya. Sementara itu, Raden Budog merasa kesal karena permintannya ditolak oleh perempuan paruh baya itu. Karena hari mulai gelap, ia pun memutuskan untuk beristirahat di bale-bale bambu yang berada di dekat rumah Nyi Siti.

“Ah, sebaiknya aku tidur di sini saja” gumam Raden Budog seraya merebahkan tubuhnya di atas bale-bale bambu itu.

Pemuda pengembara itu pun tertidur pulas. Dalam tidurnya, ia bermimpi diizinkan menginap di rumah itu. Namun, bukan Nyi Siti yang mengizinkannya, melainkan Sri Poh Haci. Ditengah-tengah menikmati mimpi indahnya, tiba-tiba hidungnya merasakan wangi kopi yang menyegarkan. Begitu ia membuka mataya, tampak matahari sudah muncul di ufuk timur dan seorang gadis cantik berdiri di sampingnya.

“Silakan diminum kopinya, Raden!” kata gadi itu.

“Hai, nama kamu siapa? Dan dari mana kamu tahu namaku?” tanya Raden Budog pura-pura tidak tahu bahwa gadis itu pastilah anak Nyi Siti.

“Namaku Sri Poh Haci, anaknya Nyi Siti” jawab sang gadis memperkenalkan diri.

Rupanya, diam-diam Sri Poh Haci pun jatuh hati kepada Raden Budog yang tampan itu. Setelah beberapa hari tinggal di kampung tersebut, Raden Budog berhasil menjalin kasih dengan Sri Poh Haci dan mereka pun bersepakat untuk menikah. Sebenarnya, Nyi Siti tidak setuju jika anaknya menikah dengan pemuda yang tidak diketahui asal-usulnya. Apalagi, ia tahu bahwa pemuda itu keras kepala. Namun, karena tidak ingin mengecewakan hati anaknya, ia pun terpaksa merestui pernikahan mereka.

Setelah menikah dengan Sri Poh Haci, Raden Budog pun menetap di kampung itu. Setiap kali istrinya bermain lesung bersama gadis-gadis kampung, ia selalu datang menyaksikannya karena senang mendengar nada lesung itu dan sesekali belajar memainkan lesung. Semakin lama, Raden Budog semakin senang bermain lesung shingga terkadang lupa waktu. Saking senangnya, ia tetap bermain lesung walaupun pada hari Jumat. Padahal, istrinya sudah memberitahu sebelumnya bahwa bermain lesung pada Jumat sangat dipantangkan.

“Suamiku, hari Jum’at adalah hari yang dikeramatkan warga desa. Sebaiknya engkau tidak ngagondang dahulu” ujar Sri Poh Haci mengingatkan.

Berkali-kali para tetua kampung memperingatkan akan hal itu, namun Raden Budog yang keras kepala itu tidak menghiraukannya dan tetap bermain lesung di hari Jumat. Nyi Siti khawatir juga pada menantunya itu. Nyi Siti mrngingatkan Raden Budog untuk tidak ngagondang pada hari Jum’at.

“Hendaklah engkau menghormati adat dan juga pantangan yang berlaku di desa kita ini. Engkau boleh ngagondang pada hari-hari lain, namun jangan engkau lakukan pada hari Jum’at. Hari Jum’at adalah hari pantangan bagi warga desa untuk ngagondang. Semoga menjadi pantangan pula bagimu untuk bermain ngagondang pada hari Jum’at ini”

Perilaku Raden Budog semakin menjadi-jadi, ia terus menabuh lesung sambil melompat-lompat kegirangan ke sana ke mari seperti seekor lutung (kera hitam berekor panjang). Ia berharap orang-orang yang akan akan datang dan turut bermain bersamanya. Orang-orang hanya memandangnya keheranan dan Raden Budog terus bertambah semangatnya untuk  bermain. Dan keanehan pun terjadi ...

Anak-anak desa berdatangan ke tempat Raden Budog bermain ngagondang. Mereka sangat terheran-heran melihat pemandangan aneh yang terjadi di hadapan mereka. Dalam pemandangan mereka, bukan Raden Budog yang tengah bermain ngagondang, melainkan seekor lutung!

“Ada lutung bermain lesung! Ada lutung bermain lesung!” teriak anak-anak itu seraya menunjuk-nunjuk.
Raden Budog tidak menyadari jika dirinya telah berubah menjadi lutung terus memainkan antan pada lesung. Kian bersemangat ia bermain karena menyangka anak-anak itu terpesona pada permainannya.

Kejadian mengherankan itu cepat menyebar. Warga desa berdatangan ke tempat Raden Budog tengah bermain ngagondang itu. Benar-benar mereka terheran-heran mendapati seekor lutung tengah bermain lesung seraya melompat-lompat penuh suka cita.

“Ada lutung bermain lesung! Ada lutung bermain lesung!”

Teriakan beramai-ramai itu tak urung membuat Raden Budog terkejut. Sejenak dihentikannya permainannya dan ditatapnya orang-orang. Masih didengarnya ada warga desa yang menyatakan ada lutung bermain lesung. Diperhatikannya tempat di sekitarnya. Tidak ada yang bermain ngagondang di tempat itu selain hanya dirinya sendiri. Lantas, mengapa orang-orang itu menyebutkan adanya lutung yang bermain lesung?

Terperanjatlah Raden Budog ketika mengamati dirinya. Kedua tangannya berbulu amat lebat berwarna hitam laksana bulu lutung! Begitu pula dengan bulu-bulu lebat berwarna hitam di kedua kakinya. Dirabanya wajahnya, penuh dengan bulu lebat berwarna hitam pula. Begitu pula dengan tubuhnya. Kian lengkaplah keterjutannya ketika mendapati sebuah ekor panjang berbulu hitam keluar dari bagian belakang tubuhnya.
Raden Budog telah utuh berubah menjadi lutung!

Setelah mendapati dirinya berubah menjadi lutung, Raden Budog segera berlari dari tempat itu. Ia sangat malu. Dengan gerakan gesut, lutung jelmaan Raden Budog lantas memanjat pohon. Gerakan memanjatnya sangat cepat. Tangkas pula ia bergelantungan dari dahan ke dahan serta berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.

“Lutung Kasarung! Lutung Kasarung!” teriak warga ketika melihat lutung jelmaan Raden Budog itu berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.

Teriakan-teriakan itukian membuat malu Raden Budog hingga ia terus berusaha menjauh dari desa itu sejauh jauhnya. Ia memasuki hutan dan terus bergerak menuju tengah hutan. Ia pun memutuskan untuk tinggal di tengah hutan itu untuk seterusnya.

Sri Poh Haci sangat sedih mendapati kenyataan itu. Suaminya telah berubah menjadi seekor lutung. Ia serasa tidak mempunyai keberanian lagi untuk tinggal di desanya. Secara diam-diam ia pun meninggalkan desa kediamannya itu. Entah kemana istri Raden Budog itu pergi, tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan, Nyi Siti sendiri pun tidak mengetahuinya. Konon, Sri Poh Haci kemudian juga menjelma menjadi Dewi Padi.

Desa di mana terjadinya peristiwa yang sangat mengherankan lagi mengejutkan itu kemudian disebut Desa Lesung. Mengingat letaknya berada di sebuah tanjung, maka desa itu pun akhirnya disebut Tanjung Lesung.


Pesan moral :
Pesan moral yang dapat di petik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang keras kepala seperti Raden Budog akan menanggung akibat dari sifat itu. Karena sifat keras kepalanya dan tidak mau mendengar nasehat para tetua kampung untuk berhenti bermain lesung pada hari Jumat yang di keramatkan, akibatnya Raden Budog pun menjelma menjadi seekor lutung. 

Maka dari itu kita harus mendengarkan nasihat orang lain (dengan mempertimbangkannya), apalagi orang tua karena pada dasarnya nasihat itu diberikan agar kita tidak tersesat dalam menjalani kehidupan ini.


Kesimpulan :



Tanjung Lesung sebenarnya merupakan nama kampung di Pandeglang, Banten yang berasal dari terjadinya peristiwa jaman dahulu. Konon, dipesisir laut selatan Jawa ada seorang pengembara bernama Raden Budog yang tampan dan gagah. Raden Budog kemana-mana selalu ditemani  oleh anjing dan kudanya. Suatu hari Ia bermimpi bertemu gadis yang sangat cantik sampai akhirnya Ia berusaha mencari gadis tersebut.

Dalam pencariannya Ia beristirahat sejenak di suatu pantai, namun saat ingin melanjutkan perjalanan kuda dan anjingnya merasa kelelahan. Raden Budog murka dan menganggap anjing dan kudanya tidak setia lalu Raden Budog mengutuknya. Kuda dan anjingnya menjadi batu karang, lalu Raden Budog melanjutkan perjalanan dan tiba-tiba mendengar suara alunan merdu dari music lesung. Ternyata pemimpin lesung tersebut adalah sang gadis idaman dalam mimpi Raden Budog. Nama gadis itu Sri Poh Haci tetapi ibunda Sri Poh Haci yang bernama Nyi Siti melarang hubungannya dengan Raden Budog karena tidak memiliki asal-usul yang jelas.

Raden Budog dan Sri Poh Haci akhirnya tetap menikah, Raden Budog mempelajari lesung dan menggemari lesung sampai akhirnya lupa waktu dan mengabaikan nasihat para leluhur yang melarang bermain lesung pada hari Jumat. Raden Budog pun berubah menjadi lutung, karena malu Sri Poh Haci diam-diam menghilang. Untuk mengenang kepiawaian Sri Poh Haci bermain lesung, pada penduduk setempat menyebut kampung itu dengan Kampung Lesung. Kampung itu terletak disebuah tanjung, kampung tersebut akhirnya diberi nama Tanjung Lesung.


Saran :
Hendaknya kita mematuhi dan menghormati adat istiadat yang berlaku di suatu daerah. Seperti makna peribahasa di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung, yang berarti di mana pun kita berada atau bertempat tinggal, hendaklah kita menuruti adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku di daerah itu.


Penutup

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Negeri Jakarta. Saya sadar bahwa artikel ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pengajar saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan artikel saya dimasa yang akan mendatang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.


Daftar Pustaka :

Nama : Sarah Amalia (4423155135)
UJP B 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar