Selasa, 12 Januari 2016

Folklore Indonesia


Folklore Bukan Lisan Kain Tenun Songket 


Pengertian Folklor

Folklor adalah adat-istiadat tradisonal dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, dan tidak dibukukan merupakan kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun menurun.
Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. 
Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah mereka akui sebagai milik bersama. 

Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
  Perkembangan folklor tidak hanya terbatas pada golongan petani desa, tetapi juga nelayan, pedagang, peternak, pemain sandiwara, guru sekolah, mahasiswa, tukang becak, dan sebagainya. Demikian juga penelitian folklor bukan hanya terhadap orang Jawa, tetapi juga orang Sunda, orang Bugis, orang Menado, orang Ambon dan sebagainya. Bukan hanya untuk penduduk yang beragama Islam, melainkan juga orang Katolik, Protestan, Hindu Dharma, Buddha, bahkan juga Kaharingan (Dayak), Melohe Adu (Nias), dan semua kepercayaan yang ada. Folklor juga berkembang baik di desa maupun di kota, di keraton maupun di kampung, baik pada pribumi maupun keturunan asing, asal mereka memiliki kesadaran atas identitas kelompoknya. Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan lainnya, harus diketahui ciri-ciri pengenal utama folklor. Folklor memiliki ciri-ciri sebagai berikut. (a) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya. (b) Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. (c) Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan. (d) Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya. (e) Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut sahibil hikayat (menurut yang empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya dimulai dengan kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari). (f) Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam. (g) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan. (h) Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu. (i) Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya kasar atau terlalu sopan. Hal itu disebabkan banyak folklor merupakan proyeksi (cerminan) emosi manusia yang jujur.

Dalam mempelajari kebudayaan (culture) kita mengenal adanya tujuh unsur kebudayaan universal yang meliputi sistem mata pencaharian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi. 
Menurut Koentjaraningrat setiap unsur kebudayaan universal tersebut mempunyai tiga wujud, yaitu:

(a) wujud sistem budaya, berupa gagasan, kepercayaan, nilainilai, norma, ilmu pengetahuan, dan sebagainya;
(b) wujud sistem sosial, berupa tindakan sosial, perilaku yang berpola seperti upacara, kebiasaan, tata cara dan sebagainya;
(c) wujud kebudayaan fisik.
Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor Amerika Serikat, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan. 

Kain Tenun Songket Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam Bahasa Melayu dan Indonesia, yang berarti "mengait" atau "mencungkil". Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya; mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas. Selain itu, menurut sementara orang, kata songket juga mungkin berasal dari kata songka, songkok khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai. Istilah menyongket berarti ‘menenun dengan benang emas dan perak’.  Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak adalah semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari kain songket yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran serta bangsawan Kesultanan Melayu. Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak dara atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun songket. Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun secara tradisional. Karena penenun biasanya dari desa, tidak mengherankan bahwa motif-motifnya pun dipolakan dengan hewan dan tumbuhan setempat. Motif ini seringkali juga dinamai dengan nama kue khas Melayu seperti serikaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan penganan kegemaran raja.  Sejarah Singkat Kain Songket   Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan budaya Melayu, dan menurut sementara orang teknik ini diperkenalkan oleh pedagang India atau Arab. Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan benang sutera sedangkan orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah songket. Kain songket ditenun pada alat tenun bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper. Tidak diketahui secara pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan teknik tenun seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam yang kemudian berkembang ke selatan di Pattani, dan akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu sekitar tahun 1500-an. Industri kecil rumahan tenun songket kini masih bertahan di pinggiran Kota Bahru dan Terengganu. Akan tetapi menurut penenun Terengganu, justru para pedagang Indialah yang memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali di Palembang dan Jambi, yang mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11). Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya, kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera.  Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak di pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah delima, ang belum diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an masehi. Songket mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera. Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala Kain".Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar anjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai   Dokumentasi mengenai asal usul songket masih tidak jelas, kemungkinan tenun songket mencapai semenanjung Malaya melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan Melayu, karena songket yang berharga kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam suatu perkawinan. Praktik seperti ini lazim dilakukan oleh negeri-negeri Melayu untuk mengikat persekutuan strategis. Pusat kerajinan songket terletak di kerajaan yang secara politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal; benang emas sejatinya memang terbuat dari lembaran emas murni asli. Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir pada tahun 1849. Songket Palembang konon merupakan peninggalan dari kejayaan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-9 Masehi. Kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 ini pada perkembangannya kemudian mampu menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka, hingga mempunyai pengaruh cukup kuat di wilayah India dan Cina. songket,sarung dengan baju kurung. Sebagai wilayah yang dijuluki Swarnadwipa (Pulau emas), di bawah naungan kerajaan yang berkuasa saat itu emas sebagai logam mulia, telah memainkan peranannya yang penting.  Bahkan saking kayanya dengan emas, Raja Sriwijaya tiap harinya membuang sebungkal emas ke sebuah kolam dekat istananya, begitulah menurut kabar dari orang-orang Cina yang waktu itu memang aktif melakukan perdagangan dengan Sriwijaya. Jaringan perdagangan internasional ini membawa pengaruh besar dalam hal pengolahan kain tradisional mereka. Pada perkembangannya dimungkinkan bahan yang digunakan untuk membuat songket telah di kirim dari berbagai daerah. Sebagian emas dan beberapa logam mulai lainnya dari Sumatra, dikirim ke negeri Siam (Thailand) dan wilayah Vietnam —dua wilayah tersebut memang terkenal sebagai tempat pengrajin logam di Asia Tenggara, dari masa perundagian. Di sana, emas mereka jadikan benang, tentunya di wilayah Sumatra juga tradisi membuat benang emas sudah ada. Emas yang telah menjadi benang kemudian dikirim kembali ke kerajaan Sriwijaya untuk ditenun dengan menggunakan jalinan benang sutra berwarna yang sebagian mereka dapatkan dari India dan juga Tiongkok (Cina), tetapi sebagian besar dihasilkan oleh masyarakatnya. Palembang bahkan dikenal dengan pembudidayaan ternak ulat sutera untuk diambil benangnya.
Selain sebagai bandar dagang, wilayah Sumatra masa Sriwijaya juga merupakan pusat dari kegiatan agama Buddha terbesar di zamannya, bahkan tempat singgah para pelancong dari berbagai tempat. Kondisi ini dimungkinkan bahwa wilayah Sumatra kemudian sebagai wilayah yang telah membuka diri terhadap kedatangan “pihak asing”, adanya hubungan interaksi dengan dunia luar secara tidak langsung memengaruhi kebudayaan setempat. Meskipun begitu, Songket tetaplah ciri khas yang tidak ditemukan di wilayah lainnya dan mengisi khazanah kekayaan budaya masyarakat setempat, yang masih bisa dirasakan sampai saat ini.
Mulai melemahnya kerajaan-kerajaan di Nusantara pada akhir bad ke-18 khususnya di Pulau Sumatra dan munculnya kolonial Belanda, secara tidak langsung telah berdampak pada kerajinan tenun songket ini. Sampai menjelang Perang Dunia II, keberadaan songket bahkan mengalami kemunduran karena kesulitan mendapat bahan baku. Berakhirnya pengaruh Belanda di Nusantara karena meluasnya pengaruh Jepang di Asia Pasifik, hingga menjelang masa kemerdekaan sampai dengan tahun 1950, tenunan kain Songket seolah mati suri.

Kesulitan mendapatkan bahan baku dan memasarkan hasil produksi adalah permasalahan terbesar saat itu. Menjelang pertengahan abad ke-20, kerajinan kain songket diperkirakan kembali mulai bergiat terutama karena muncul inisiatif memanfaatkan kembali benang emas dan benang perak dari tenunan kain songket yang lama—yang sudah tidak dipakai, atau benang dasarnya sudah lapuk—untuk dijadikan tenunan kain songket yang baru. Selanjutnya kerajinan songket mulai banyak dikerjakan kembali oleh para pengrajin. Banyaknya bahan baku yang hadir di pasaran baik yang berasal dari Cina, Taiwan, India, Prancis, Jepang dan Jerman menandakan bahwa tenun songket mulai menapaki kejayaannya kembali. Mulai kembali banyak permintaan Songket di masyarakat, mungkin menjadi faktor pendukungnya. Pada akhir abad ke-20 dan menjelang abad ke-21, Songket bahkan telah merambahi dunia fashion sebagai salah satu bahan kain yang mengagumkan.
Keberadaan kain songket memang telah mengalami pasang surut dalam sejarahnya. Seiring dengan usaha masyarakatnya untuk mempertahankan peninggalan kebudayaan masa lampau itu, Songket kemudian dapat melewati tantang dari tiap zamannya. Bertahannya kain songket ini, selain memiliki bentuk yang indah juga karena nilai historis-nya, Songket dipertahankan terutama karena masih mendapatkan tempatnya dalam budaya mereka. Keberadaan kain songket, merupakan salah satu kekayaan bangsa yang harus dijaga keberadaannya agar tetap lestari.
 
Macam dan Jenis Kain Songket  Beberapa pemerintah daerah telah mempatenkan motif songket tradisional mereka. Dari 71 motif songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 22 motif songket Palembang yang telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, Lepus Pulis, Nampan Perak, dan Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar, termasuk motif Berante Berakam pada seragam resmi Sriwijaya Football Club. Selain motif Berante Berakam, beberapa motif lain yang belum terdaftar yakni motif Songket Lepus Bintang Berakam, Nago Besaung, Limar Tigo Negeri Tabur Intan, Limar Tigo Negeri Cantik Manis, Lepus Bintang Penuh, Limar Penuh Mawar Berkandang, dan sejumlah motif  lain.  Songket Lepus Lepus kurang lebih artinya menutupi; Songket yang benang emasnya hampir menutupi seluruh bagian kain. Sesuai motifnya, jenis Songket Lepus ini pun dikenal dengan berbagai macam nama: Lepus Lintang, yang memiliki motif bergambar bintang, Songket Lepus Berantai, Songket Ulir, dan lain-lain.  Songket Tawur Tawur kurang lebih artinya bertaburan atau menyebar. Songket Tawur ini memiliki motif yang tidak menutupi seluruh permukaan kain tetapi berkelompok dan menyebar. Benang pakan pembentuk motifnya juga tidak disisipkan dari pinggir ke pinggir kain. Yang termasuk ke dalam jenis Songket Tawur yaitu songket tawur lintang, songket tawur nampan perak, songket tawur tampak manggis, dan lain-lain.  Songket Tretes Pada kain Songket jenis Tretes ini umumnya tidak dijumpai pola atau motif pada bagian tengah kain. Misalnya motif-motif yang terdapat dalam Songket Tretes Mender yang hanya terdapat pada kedua ujung pangkalnya dan pada pinggir-pinggir kain, bagian tengah dibiarkan polos tanpa motif.  Songket Bungo Pacik Pada kain songket jenis Bungo Pacik, sebagian besar dari motifnya dibuat dari benang kapas putih, sehingga benang emasnya tidak banyak terlihat dan hanya mengisi sebagian motif selingan.   Songket Limar Songket Limar atau kain limar berbeda dengan pengerjaan songket lainnya. Songket ini ditenun dengan corak ikat pakan. Motifnya berasal dari  jalinan benang pakan (benang lungsi) yang diikat dan dicelup pewarna pada bagian-bagian yang diinginkan sebelum ditenun. Kain Limar ini biasanya digunakan untuk kain sarung laki-laki atau perempuan yang disebut sebagai sewet. Biasanya motif dari kain limar dikombinasikan dengan corak songket untuk digunakan wanita. Corak Kain limar pada bagian badan kain dan corak songket diletakan pada kepala kain.   Songket Kombinasi Songket Kombinasi, sesuai namanya merupakan perpaduan dari jenis-jenis songket lainnya, misalnya Songket Bungo Cina yang merupakan gabungan jenis motif songket Bungo Pacik dengan jenis Songket Tawur. Sedangkan jenis Songket Bungo Intan adalah gabungan antara Songket Bungo Pacik dengan jenis Songket Tretes .  Selain jenis songket-songket di atas, masih terdapat jenis songket lainnya yang umumnya dinamakan berdasar pada motifnya, misalnya Songket Pucuk Rebung, Songket Bungo Manggis, Bungo Tanjung, Bungo Melati, Songket Sorong dan lain sebagainya.  Motif kain yang sering menghiasi kain songket adalah motif bunga, ini menandakan bahwa aktivitas menenun memiliki kedekatan dengan dan untuk wanita serta mencerminkan wanita. Pada zaman dahulu songket itu mereka tenun sambil menunggu datangnya lamaran dari laki-laki. Walaupun sejarah telah mencatat bagaimana kain songket ini telah melewati berbagai lintasan zaman, namun kain songket tidak terlalu banyak mengalami penambahan motif. Motif bunga manggis dalam desain kain songket bahkan memperlihatkan persamaan dengan motif bunga yang terdapat pada candi Prambanan. Untuk membuat motif yang berbeda pada kain songket, biasanya ditenunkan dua atau tiga motif kain songket lainnya, sehingga menghasilkan perpaduan yang indah dan menarik tetapi, hal itu tidak keluar dari tata aturan yang mereka yakini. Warna yang digunakan dalam kain songket pada masa lalu didapat dari pewarna-pewarna alam; pohon dan buah kesumba misalnya dapat digunakan untuk campuran yang menghasilkan warna ungu, merah anggur, dan hijau.Warna ungu juga dapat dihasilkan dari kulit buah manggis. Warna kuning dari tanaman kunyit, sedangkan warna merah terang berasal dari kulit kayu sepang yang sudah berumur.
Untuk membuat warna dalam kain tenun jelas memerlukan pengetahuan yang tidak sembarangan dan ketersediaan pewarna-pewarna tersebut yang berasal dari tanaman atau jenis pohon tertentu harus dibudidayakan dekat dengan lingkungan mereka. Berkurangnya lahan untuk membudidayakan atau tanaman tersebut tidak lagi dijumpai menjadi indikasi bahwa bahan pewarna sudah berganti menjadi bahan pewarna tekstil yang umumnya digunakan dengan campuran kimia.



Simbol dan Perlambangan


Manusia sebagai makhluk simbolik atau Homo symbolicum. Simbol atau lambang tersebut sering digunakan manusia sehingga merepresentasikan makna bagi orang lain. Simbol-simbol itu tidak terkecuali juga hadir dan terdapat dalam warna serta motif kain songket



Setiap warna dalam kain songket memiliki makna yang dapat menujukan status dan keadaan dari si pemakainya, kuning sebagai lambang emas telah mewarnai kebesaran dan keagungan yang bukan hanya sebagai status kekayaan namun juga status sosial. Kain songket dengan warna hijau, kuning dan merah padam mungkin dipakai oleh mereka yang “janda”, sedangkan bila hendak menikah lagi mengenakan warna-warna yang terang dan lebih cerah.


 Songket biasanya dipakai sebagai busana pakaian adat untuk menghadiri dan menggelar upacara-upacara adat. Upacara perkawinan merupakan salah satunya. Songket tidak hanya menjadi busana pengantin, tapi mas kawin dan tamu undangan pun kerap menggunakan songket.


Songket umumnya tidak untuk dikenakan sehari-hari, ini menandakan bahwa kain songket tidak untuk dipakai sembarangan, karena selain “terlalu mewah” jika dikenakan sehari-hari, Songket juga mengandung makna-makna tertentu. Makna yang merupakan perlambang dari si pemakainya. Sebagai contoh, songket yang dikenakan untuk upacara perkawinan berbeda dengan Songket yang digunakan dalam upacara adat lainnya.


Seperti sudah menjadi kekhususan bahwa warna merah yang menyala harus dikenakan oleh pengantin sedang untuk upacara adat lainnya ada kelonggaran untuk memilih motif dan warna. Pada masa lalu pemakaian kain songket mungkin  dibedakan antara keluarga kerajaan, pegawai, bangsawan dan rakyat biasa. Perbedaan pemakaian kain songket penting karena dalam kain songket tersebut mempunyai motif-motif yang menyimbolkan “sesuatu”, makna yang coba direfleksikan oleh pemakainya.


Misalnya Songket dengan motif bunga tanjung yang melambangkan keramah-tamahan, dipakai untuk menyambut tamu, khususnya dipakai tua rumah sebagai ungkapan dari selamat datang.Songket dengan motif bunga melati melambangkan keanggunan, kesucian, dan sopan santun. Kain songket dengan motif bunga melati biasanya dikenakan oleh perempuan yang belum menikah.


Songket dengan motif pucuk rebung melambangkan sebuah harapan, sebuah doa dan kebaikan. Motif pucuk rebung selalu mengambil tempatnya dalam setiap perayaan adat, Motif tersebut hadir sebagai kepala kain atau tumpal. Mengenakan motif pucuk rebung dimaksudkan agar si pemakai diberkati dengan keberuntungan dan kemudahan dalam setiap langkah hidupnya.


Maksud dibuatnya sebuah hiasan tidak saja sekedar memperindah penampilan benda yang dihias. Namun, hiasanpun mampu dijadikan sebagai media komunikasi; yang menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada pengamat atau masyarakat di sekitarnya. Melalui motif hias yang ada pada songket dan ukiran kayu suatu rumah gadang dapat diketahui status keluarga pemilik/pemakai kedua jenis barang tersebut; bahwa pada dasarnya songket dan ukiran hanya dimiliki oleh pihak-pihak tertentu saja dan bukan untuk semarangan pakai.








 Jadi, fungsi dari kedua jenis produk ini bersifat sakral. Namun, akhir-akhir ini peranan benda yang disebutkan di atas telah bergeser kepada fungsi yang bersifat profan, yang bisa dimiliki oleh segala lapisan masyarakat dimana ia mampu untuk memperolehnya. Perkembangan fungsi ini dapat dilihat dari munculnya berbagai bentuk songket dan ukiran di Minangkabau selain dari pada struktur songket pada pakaian manusia dan struktur ukiran pada eksterior/interior rumah gadang.




Songket Saat Ini           

Ditinjau dari bahan, cara pembuatan, dan harganya; songket semula adalah kain mewah para bangsawan yang menujukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan tetapi kini songket tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada semata, karena harganya yang bervariasi; dari yang biasa dan terbilang murah, hingga yang eksklusif dengan harga yang sangat mahal.      
Kini dengan digunakannya benang emas sintetis maka songket pun tidak lagi luar biasa mahal seperti dahulu kala yang menggunakan emas asli. Meskipun demikian, songket kualitas terbaik tetap dihargai sebagai bentuk kesenian yang anggun dan harganya cukup mahal.
   
 Sejak dahulu kala hingga kini, songket adalah pilihan populer untuk busana adat perkawinan Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali. Kain ini sering diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin wanita sebagai salah satu hantaran persembahan perkawinan.

Pada masa kini, busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket sebagai kain yang dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala. Sedangkan untuk kaum perempuannya songket dililitkan sebagai kain sarung yang dipadu-padankan dengan kebaya dan baju kurung.         
Meskipun berasal dari kerajinan tradisional, industri songket merupakan kerajinan yang terus hidup dan dinamis. Para pengrajin songket terutama di Palembang kini berusaha menciptakan motif-motif baru yang lebih modern dan pilihan warna-warna yang lebih lembut  .
Hal ini sebagai upaya agar songket senantiasa mengikuti zaman dan digemari masyarakat. Sebagai benda seni, songket pun sering dibingkai dan dijadikan penghias ruangan.

Penerapan kain songket secara modern amat beraneka ragam, mulai dari tas wanita, songkok, dan bahkan kantung ponsel.



Daftar Pustaka
 


                                                                                              




1 komentar:

  1. How to get Titanium White Octane | iTanium Art | TITanium
    Buy online titanium white octane as it is in the price mens wedding bands titanium range from $10-15. Learn about the best 바카라 사이트 Titanium White cerakote titanium on iTanium Art for titanium nail sale. 슬롯

    BalasHapus