Kamis, 07 Januari 2016

TUGAS 3 - FOLKLORE INDONESIA



FOLKLORE INDONESIA
KEBUDAYAAN SUKU BADUY
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas sejarah ini yang berjudul “ KEBUDAYAAN SUKU BADUY”
    Tugas ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini terutama kepada dosen sejaran Indonesia ( Bapak Shobirien).
    Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
    Akhir kata penulis berharap semoga tugas ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
  
                                                                                                                        Jakarta,  Januari 2016
  


                                                                                                                           Afifah Nur Faridah




PEMBAHASAN
SEJARAH SUKU BADUY
       Sejarah suku baduy menurut para ahli berdasarkan pada penemuan prasati sejarah kemudian ditelusuri melalui catatan para pelaut Portugis dan Tiongkok dan dihubungkan dengan cerita rakyat sunda. Menurut para ahli sejarah masyarakat baduy memiliki hubungan dengan Kerajaan Pajajara. Pada saat itu Pangeran Pucuk dari Kerajaan Pajajaran memerintahkan prajurit pilihan untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng. Lalu para prajurit bermukim dan bertugas disana. Dengan kesimpulan bahwa sejarah suku baduy berasal dari pasukan yang diutus oleh Pangeran Pucuk dan menutup identitas mereka terhadap masyarakat luar agar tidak diketahui oleh musuh-musuh dari Kerajaan Pajajaran. Sejarah suku baduy versi dr. Van Tricht yang berkunjung ke baduy pada tahun 1982 dan megadakan penelitian kesehatan disana berpendapat bahwa masyarakat suku baduy sudah ada sejak lama dan merupakan masyarakat asli wilayah tersebut. Dan dahulunya terdapat Raja yang berkuasa di wilayah tersebut. Bernama Rakeyan Daramasiska untuk memerintyahkan masyarakat baduy untuk tinggal didaerah tersebut dengan tujuan memlihara kebuyutan (ajaran nenek moyang) dan menjadikan kawasan tersebut suci atau mandala. Dan sampai sekarang masyarakat baduy masiyh memegang teguh kepercayaan tersebut.

Suku Baduy
            Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Luasnya 5.101,85 hektar, sebagian besar tanahnya merupakan dataran tinggi yang bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan lindung atau Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah DESA Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro.

Pembagian Kelompok
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1.      Tangtu (baduy dalam)
2.      Panamping (baduy luar)
3.      Dangka

Kelompok tangtu (baduy dalam).
Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.selain itu orang baduy dalam merupakan yang paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih dan golok. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah membawa uang. mereka tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa di bayangkan mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal sekolahan. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.


Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
1. Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
2. Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
3. Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua
     adat)
            4. Larangan menggunakan alat elektronik (samasekali tak tersentuh teknologi)
            5. Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit         
                 sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar),
Mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah.
Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
 1. Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam
 2. Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
 3. Menikah dengan anggota Kanekes Luar

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar:
1.       Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi- sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam. Dalam hal ini konsep HAM tidak tercetus sebagai suatu konsep mandiri dengan definisi yang jelas, karena masing-masing anggota kelompok berpandangan, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan kedudukan dan posisinya dalam struktur adat yang sudah mapan*.
2.       Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
3.       Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
4.       Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur,  bantal, piring & gelas kaca & plastik.
5.       Tinggal diluar kenakes dalam.

Kelompok Baduy Dangka,
Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.

Perbedaan suku Baduy Dalam dan Baduy Luar
            Sistem pelapisan sosial yang terdapat pada setiap masyarakat di dunia ini timbul karena di dalam masyarakat itu terdapat perbedaan status atau tingkat sosial yang dimiliki oleh setiap individu. Pada suku Baduy dikenal dua pelapisan sosial, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Mata Penceharian
Mata pencaharian mereka adalah dengan bertani dan  menjual buah-buahan yang mereka dapatkan sendiri dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.
Dengan adanya tradisi tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Hasil pertaniannya adalah beras biasanya mereka menyimpannya di lumbung padi yang ada di setiap desa. Selain beras meraka juga memabuat kerajinan tangan seperti tas koja  yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang di anyam. Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma dan berkebun, mengolah gula aren dan tenun. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Hukum di dalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran  ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih.
Hukuman Berat biasanya pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu. Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.

Segi Berpakaian
Dari segi berpakain, didalam suku baduy terdapat perbedaan dalam berbusana yang didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian  pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Serta pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih. Ikat  kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk. Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam.. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama.  Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah.  Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutu. Dalam kehidupan keseharian  manusia, berpakaian merupakan salah satu alat untuk melindungi diri dan menunjukan  citra diri terhadap orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Dalam  hal ini masyarakat Baduy yang merupakan suku terasing di Banten sudah memikirkan dalam hal berpakaian dalam masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah suku yang menetap di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal  luar daerah Baduy Dalam,dan baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam pandangannya mereka yakin berasal dari satu  keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah  laku, cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja.Baduy Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. 
Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.

Bahasa
Bahasa Baduy adalah bahasa yang digunakan suku Baduy. Penuturnya tersebar di gunung Kendeng, Rangkasbitung, Lebak; Pandeglang; dan Sukabumi. Dari segi linguistik, bahasa Baduy bukan dialek dari bahasa Sunda, tapi dimasukkan ke dalam suatu  rumpun bahasa Sunda, yang sendirinya merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa di cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.
Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Kepercayaan
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun  inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila  saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan  tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum  masuknya Islam.

Tarian
Tarian yang merupakan gambaran dari kebiasaan Suku Badui dalam menyambut musim panen raya. Para penari menarikan tariannya dengan sangat menjiwai. Ditambah dengan bau dupa yang menyengat, menambah aura mistik dan sakral tarian yang mereka bawakan. Diawali dengan seorang penabuh bedug, datanglah seorang penari wanita membawa sesaji, kemudian ditaruh pada sebuah nampan besar. Setelah itu didoakan dan dibagikan secara simbolik. Di daerah Baduy, Banten setiap kali musim panen raya akan diadakan upacara Serentanen, yang merupakan upacara adat sakral di daerah tersebut.
Macapada merupakan adaptasi dari upacara Serentanen suku Baduy, Banten.Dalam  upacara tersebut suku Baduy luar akan memberikan persembahan kepada suku Baduy Dalam. Persembahan tersebut nantinya akan didoakan sesuai adat Baduy dan oleh Baduy Dalam nantinya akan di bawa ke kota untuk diserahkan kepada pihak pemerintah. Sebagai perwakilan biasanya diterima oleh Bupati setempat. Upacara Serentanen ini berasal dari suku Baduy asli.


Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal tersebut

Teknologi
            Peralatan dan teknologi kehidupan orang Baduy berpusat pada daur  pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. Dalam adapt Baduy terutama Baduy Dalam, masyarakat tidak  boleh menggunakan peralatan yang sudah modern. Mereka mengandalkan peralatan yang masih sangat primitive seperti bedog, kampak, cangkul, dan lain-lain.



Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
Berkas:Struktur pemerintahan baduy.gif
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Penutup
Kesimpulan

Masyarakat Baduy dibedakan menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam dikenal dengan pakaiannya yang berwarna putih, sedangkan Baduy Luar berwarna hitam. Orang Baduy Luar awalnya merupakan anggota dari masyarakat Baduy Dalam. Namun karena mereka kurang menaati peraturan dari Pu’un dan sudah hidup sedikit lebih
modern maka mereka berpindah ke Baduy Luar. Orang Baduy Dalam tidak mau di masuki budaya dari luar sedangkan Baduy Dalam sudah mau mengikuti budaya dari luar meskipun sedikit.
Mereka amat rukun, damai, dan sangat sejahtera untuk ukuran kecukupan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam adat suku Baduy, seseorang menikah dengan cara dijodohkan tanpa ada istilah pacaran. Selain itu, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.

Saran
Saran saya adalah bahwa kita sebagai mahasiswa khususnya penduduk Indonesia wajib melestarikan kebudayaan Indonesia, agar generasi berikutnya mengetahui kebudayaan yang ada di setiap masing-masing daerah di Indonesia.
Demikian informasi yang saya paparkan semoga bisa bermanfaat khususnya untuk Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta ,supaya menambah wawasan mengenai budaya-budaya yang ada  indonesia. Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan serta penyusunan informasi ini jauh dari kata sempurna. Terima kasih.

NAMA : AFIFAH NUR FARIDAH
NIM    : 4423154630
KELAS : UJP A 2015





DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar