FOLKLORE
INDONESIA
KEBUDAYAAN
SUKU BADUY
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama
Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas sejarah
ini yang berjudul “ KEBUDAYAAN SUKU BADUY”
Tugas ini telah penulis susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini
terutama kepada dosen sejaran Indonesia ( Bapak Shobirien).
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ilmiah
ini.
Akhir kata penulis berharap semoga tugas
ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Jakarta, Januari 2016
Afifah Nur Faridah
PEMBAHASAN
SEJARAH SUKU BADUY
Sejarah suku baduy menurut para ahli
berdasarkan pada penemuan prasati sejarah kemudian ditelusuri melalui catatan
para pelaut Portugis dan Tiongkok dan dihubungkan dengan cerita rakyat sunda. Menurut
para ahli sejarah masyarakat baduy memiliki hubungan dengan Kerajaan Pajajara.
Pada saat itu Pangeran Pucuk dari Kerajaan Pajajaran memerintahkan prajurit
pilihan untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng. Lalu para prajurit bermukim
dan bertugas disana. Dengan kesimpulan bahwa sejarah suku baduy berasal dari
pasukan yang diutus oleh Pangeran Pucuk dan menutup identitas mereka terhadap
masyarakat luar agar tidak diketahui oleh musuh-musuh dari Kerajaan Pajajaran. Sejarah
suku baduy versi dr. Van Tricht yang berkunjung ke baduy pada tahun 1982 dan
megadakan penelitian kesehatan disana berpendapat bahwa masyarakat suku baduy
sudah ada sejak lama dan merupakan masyarakat asli wilayah tersebut. Dan
dahulunya terdapat Raja yang berkuasa di wilayah tersebut. Bernama Rakeyan
Daramasiska untuk memerintyahkan masyarakat baduy untuk tinggal didaerah
tersebut dengan tujuan memlihara kebuyutan (ajaran nenek moyang) dan menjadikan
kawasan tersebut suci atau mandala. Dan sampai sekarang masyarakat baduy masiyh
memegang teguh kepercayaan tersebut.
Suku Baduy
Provinsi
Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi
yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten
Lebak. Luasnya
5.101,85 hektar, sebagian besar tanahnya merupakan dataran tinggi yang
bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan
hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa
merupakan hutan lindung atau Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan. Sebutan
"Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang
agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau
"orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang
mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Baduy atau biasa disebut juga dengan
masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten.
Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau
oleh kendaraan adalah DESA Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa
memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku
baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro.
Pembagian Kelompok
Masyarakat Kanekes secara umum
terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1.
Tangtu (baduy dalam)
2.
Panamping (baduy luar)
3. Dangka
Kelompok tangtu (baduy dalam).
Suku Baduy Dalam tinggal di
pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.selain itu
orang baduy dalam merupakan yang paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Orang Baduy dalam
tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang
Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai
ikat kepala putih dan golok. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing,
mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki
tanpa alas dan tidak pernah membawa uang. mereka tidak mengenal sekolah, huruf
yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak
boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa di bayangkan mereka
hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal sekolahan.
Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar
adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa menggunakan paku,
untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi
jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam
antara lain:
1. Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana
transportasi
2. Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
3. Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali
rumah sang Pu'un atau ketua
adat)
4. Larangan menggunakan alat elektronik
(samasekali tak tersentuh teknologi)
5. Menggunakan kain berwarna
hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit
sendiri serta tidak
diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat panamping (baduy
Luar),
Mereka tinggal di desa Cikadu,
Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy dalam.
Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna
hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda
lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti
bersekolah.
Ada
beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes
Luar:
1. Mereka telah melanggar adat masyarakat
Kanekes Dalam
2. Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes
Dalam
3. Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri
masyarakat orang Kanekes Luar:
1. Mereka telah mengenal teknologi,
seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan
untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan
peralatan tersebut dengan cara sembunyi- sembunyi agar tidak ketahuan pengawas
dari Kanekes Dalam. Dalam hal ini konsep HAM tidak tercetus sebagai suatu
konsep mandiri dengan definisi yang jelas, karena masing-masing anggota
kelompok berpandangan, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan kedudukan dan
posisinya dalam struktur adat yang sudah mapan*.
2. Proses pembangunan rumah penduduk
Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku,
dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
3. Menggunakan pakaian adat dengan
warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak
suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
4. Menggunakan peralatan rumah tangga
modern, seperti kasur, bantal, piring
& gelas kaca & plastik.
5. Tinggal diluar kenakes dalam.
Kelompok Baduy Dangka,
Mereka tinggal di luar wilayah
Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras
(Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi
sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
Perbedaan suku Baduy Dalam dan Baduy
Luar
Sistem pelapisan sosial yang
terdapat pada setiap masyarakat di dunia ini timbul karena di dalam masyarakat
itu terdapat perbedaan status atau tingkat sosial yang dimiliki oleh setiap
individu. Pada suku Baduy dikenal dua pelapisan sosial, yaitu Baduy Dalam dan
Baduy Luar.
Mata
Penceharian
Mata pencaharian mereka adalah
dengan bertani dan menjual buah-buahan
yang mereka dapatkan sendiri dari hutan. Selain itu Sebagai tanda
kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali
dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.
Dengan adanya tradisi tersebut terciptanya
interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan
mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar
sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan
jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan
tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya
dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy
menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga
membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi
orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung,
dan Ciboleger.
Hasil pertaniannya
adalah beras biasanya mereka menyimpannya di lumbung padi yang ada di setiap
desa. Selain beras meraka juga memabuat kerajinan tangan seperti tas koja
yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang di anyam. Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah
bertani padi huma dan berkebun, mengolah gula aren dan tenun. Selain itu mereka juga
mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan
di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Hukum di dalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan dengan kategori
pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk
pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang
termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut
antara dua atau lebih.
Hukuman Berat biasanya pelaku pelanggaran
yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi
peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke
dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari.
Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau
berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan
para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan
aturan adat dan ketentuan Baduy.
Menariknya, yang namanya hukuman
berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah
setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam
hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara
ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang
memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari
satu. Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan
bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran
ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali
ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun
hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan
dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas
penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas
melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan
dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan
pelanggaran ringan.
Segi Berpakaian
Dari segi berpakain, didalam suku
baduy terdapat perbedaan dalam berbusana yang didasarkan pada jenis kelamin dan
tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy
Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang,
Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong
baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya
menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun
harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung
warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung
tadi diikat dengan selembar kain. Serta pada bagian kepala suku baduy
menggunakan ikat kepala berwarna putih. Ikat
kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang,
kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk. Masyarakat Baduy yakin dengan
pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang
mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna
biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah,
seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya
mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang
kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg
ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam.. Terlihat dari
warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka
sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Sedangkan, untuk busana yang dipakai
di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan
perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah
sama. Mereka mengenakan busana semacam
sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini
biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya
membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya
harus tertutu. Dalam kehidupan keseharian
manusia, berpakaian merupakan salah satu alat untuk melindungi diri dan
menunjukan citra diri terhadap orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan
pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan oleh kaum
wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun
sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk
keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung
atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis
putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna
merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai
sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis
busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang
dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di
antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon
teureup ataupun benang yang dicelup.
Dalam hal ini masyarakat Baduy yang merupakan suku
terasing di Banten sudah memikirkan dalam hal berpakaian dalam
masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah suku yang menetap di ujung Pulau
Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy
Luar, yang tinggal luar daerah Baduy
Dalam,dan baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam
pandangannya mereka yakin berasal dari satu
keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang
dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan
itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja.Baduy Dalam
merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai
budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini
berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan
antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya
berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana
hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu
Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika
hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik
pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang
dicangklek (disandang) di pundaknya. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan
sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang.
Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang
kapas yang ditenun sendiri.
Bahasa
Bahasa
Baduy adalah
bahasa yang digunakan suku Baduy. Penuturnya tersebar di gunung Kendeng, Rangkasbitung,
Lebak; Pandeglang; dan Sukabumi. Dari segi linguistik, bahasa Baduy bukan dialek dari bahasa Sunda, tapi dimasukkan ke dalam
suatu rumpun bahasa Sunda, yang sendirinya merupakan kelompok dalam rumpun
bahasa Melayu-Sumbawa
di cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun
bahasa Austronesia.
Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang
Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat,
kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan
lisan saja.
Orang
Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak
era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk
mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah
mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya,
mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Kepercayaan
Kepercayaan Suku Baduy atau
masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan
pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi
oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan
dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan
konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun. Objek kepercayaan terpenting bagi
masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap
paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan
setahun sekali pada bulan kalima. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu
lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu
lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat
Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak
turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering
atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Hanya ketua adat tertinggi puun dan
rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di
daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh
maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga
sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada
panen.
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang
disambung.
(Panjang
tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di
bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah
kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak
mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya
menanam dengan tugal, yaitu
sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah
dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak
sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi,
bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan
masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan
kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Tarian
Tarian
yang merupakan gambaran dari kebiasaan Suku Badui dalam menyambut musim panen
raya. Para penari menarikan tariannya dengan sangat menjiwai. Ditambah dengan
bau dupa yang menyengat, menambah aura mistik dan sakral tarian yang mereka
bawakan. Diawali dengan seorang penabuh bedug, datanglah seorang penari wanita
membawa sesaji, kemudian ditaruh pada sebuah nampan besar. Setelah itu didoakan
dan dibagikan secara simbolik. Di daerah Baduy, Banten setiap kali musim panen
raya akan diadakan upacara Serentanen, yang merupakan upacara adat sakral di
daerah tersebut.
Macapada
merupakan adaptasi dari upacara Serentanen suku Baduy, Banten.Dalam upacara tersebut suku Baduy luar akan
memberikan persembahan kepada suku Baduy Dalam. Persembahan tersebut nantinya
akan didoakan sesuai adat Baduy dan oleh Baduy Dalam nantinya akan di bawa ke
kota untuk diserahkan kepada pihak pemerintah. Sebagai perwakilan biasanya
diterima oleh Bupati setempat. Upacara Serentanen ini berasal dari suku Baduy
asli.
Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang
dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun,
pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya
pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan
memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan,
kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua
laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah
pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan
gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja
putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan
rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi
dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan
pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal
poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika
salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal
tersebut
Teknologi
Peralatan dan teknologi kehidupan
orang Baduy berpusat pada daur pertanian
yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. Dalam
adapt Baduy terutama Baduy Dalam, masyarakat tidak boleh menggunakan peralatan yang sudah
modern. Mereka mengandalkan peralatan yang masih sangat primitive seperti
bedog, kampak, cangkul, dan lain-lain.
Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem
pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia,
dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua
sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa
yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan
secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu
"Pu'un".
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat
Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan
tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak,
melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak
ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan
tersebut.
Penutup
Kesimpulan
Masyarakat
Baduy dibedakan menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Masyarakat Baduy
Dalam dikenal dengan pakaiannya yang berwarna putih, sedangkan Baduy Luar
berwarna hitam. Orang Baduy Luar awalnya merupakan anggota dari masyarakat
Baduy Dalam. Namun karena mereka kurang menaati peraturan dari Pu’un dan sudah
hidup sedikit lebih
modern
maka mereka berpindah ke Baduy Luar. Orang Baduy Dalam tidak mau di masuki budaya dari luar
sedangkan Baduy Dalam sudah mau mengikuti budaya dari luar meskipun sedikit.
Mereka
amat rukun, damai, dan sangat sejahtera untuk ukuran kecukupan kebutuhan hidup
sehari-hari. Dalam adat suku Baduy, seseorang menikah dengan cara dijodohkan
tanpa ada istilah pacaran. Selain itu, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan
perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu
dari mereka telah meninggal.
Saran
Saran
saya adalah bahwa kita sebagai mahasiswa khususnya penduduk Indonesia wajib
melestarikan kebudayaan Indonesia, agar generasi berikutnya mengetahui
kebudayaan yang ada di setiap masing-masing daerah di Indonesia.
Demikian informasi yang saya
paparkan semoga bisa bermanfaat khususnya untuk Mahasiswa Universitas Negeri
Jakarta ,supaya menambah wawasan mengenai budaya-budaya yang ada indonesia. Mohon maaf bila ada kesalahan
penulisan serta penyusunan informasi ini jauh dari kata sempurna. Terima kasih.
NAMA : AFIFAH NUR FARIDAH
NIM : 4423154630
KELAS : UJP A 2015
NAMA : AFIFAH NUR FARIDAH
NIM : 4423154630
KELAS : UJP A 2015
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar