Kamis, 07 Januari 2016

Tugas - 3 Folklore Indonesia


CERITA PROSA RAKYAT DARI LEGENDA PESUT MAHAKAM


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT dzat yang maha mulia dan pemurah. Begitu banyak nikmat dan rohmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya, semoga kita senantiasa dijadikan sebagai hamba-Nya yang patuh terhadap perintah-perintah-Nya dan selalu berusaha untuk menjauhi semua larangan-Nya yang tiada terhingga besarnya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas folklor dengan judul ” PROSA RAKYAT DARI LEGENDA PESUT MAHAKAM”. mendapatkan bantuan dari berbagai sumber sehingga penyusunan tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.

Meskipun saya berharap isi dari tugas folklor ini tidak memiliki kekurangan dan kesalahan, namun saya menyadari bahwa hal tersebut sangat sulit direalisasikan. Dengan berbesar harti saya mengharapkan kritik dan saran  yang dapat membangun sehingga tugas folklor ini dapat lebih baik lagi.

Akhir kata, saya berharap agar tugas ini dapat memberikan manfaat dan hal-hal positif lainnya untuk semua pembaca.

Jakarta, 7 Januari 2016



PEMBAHASAN

Pengertian Folklore
      Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata folklore adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk sama artinya dengan kata kolektif (collectivity). Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok yang memiliki cirri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu dapat berwujud:
1.      Penanda fisik (warna kulit, bentuk rambut, dan sebagainya)
2.      Penanda sosial (mata pencarian, taraf pendidikan, kegiatan)
3.      Penanda budaya (bahasa, budaya, kegiatan, agama, dan lain-lain.)
 Lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat mnemonic device.
Definisi folklor secara keseluruhan: folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Agar dapat membedakan folklor dari kebudayaan lainnya, harus terlebih dahulu mengetahui ciri-ciri pengenal utama folklor pada umumnya, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
  2. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
  3. Folklore ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut, biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (penambahan atau pengisian unsur-unsur baru pada bahan folklor), folklor dengan mudah mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
  4. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui oleh orang lain.
  5. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis, dan lain-lain.
  6. Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
  7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
  8. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini diakibatkan karena penciptanya sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
  9. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Bentuk-bentuk folklore
1) Folklore lisan adalah folklore yang bentuknya murni secara lisan, yang
terdiri dari:
a) Puisi rakyat, misalnya pantun. Contoh: wajik klethik gula Jawa
(isih cilik sing prasaja)
b) Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki. Contoh: Binatang apa yang
perut, kaki, dan ekornya semua di kepala? jawabnya: kutu kepala.
c) Bahasa rakyat, seperti logat (Jawa, Banyumasan, Sunda, Bugis dan
sebagainya), julukan (si pesek, si botak, si gendut), dan gelar kebangsawanan
(raden masa, teuku, dan sebagainya) dan sebagainya.
d) Ungkapan tradisional, seperti peribahasa/pepatah. Contoh: seperti
telur di ujung tanduk (keadaan yang gawat), koyo monyet keno
tulup (seperti kera kena sumpit) yakni untuk menggambarkan orang
yang bingung.
e) Cerita prosa rakyat, misalnya mite, legenda, dan dongeng.
2) Folklore sebagian lisan
Adalah folklore yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan
unsur bukan lisan, seperti: kepercayaan rakyat/takhayul, permainan
rakyat, tarian rakyat, adat istiadat, pesta rakyat dan sebagainya.
3) Folklore bukan lisan (non verbal folklore)
Adalah folklore yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya
diajarkan secara lisan. Contoh: arsitektur rakyat (bentuk rumah
Joglo, Limasan, Minangkabau, Toraja, dsb); kerajinan tangan, pakaian
dan perhiasan dan sebagainya; di mana masing-masing daerah berbeda
sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
Legenda (bahasa Latin: legere) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda sering kali dianggap sebagai "sejarah" kolektif (folk history). Menurut Pudential, legenda adalah cerita yang dipercaya oleh beberapa penduduk setempat benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci atau sakral yang juga membedakannya dengan mite. Dalam KBBI 2005 legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah.
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang mirip dengan mite, yaitu dianggap
benar-benar terjadi tetapi tidak dianggap suci. Berbeda dengan mite, legenda
ditokohi oleh manusia, ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering kali
juga dihubungkan dengan makhluk ajaib. Peristiwanya bersifat sekuler (keduniawian),
dan sering dipandang sebagai sejarah kolektif.
Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu legenda keagamaan (religious legends) legenda alam gaib (supernatural legends), legenda perseorangan (personal legends), dan legenda setempat (local legends).
a. Legenda Keagamaan
Legenda keagamaan adalah legenda orang-orang yang dianggap suci atau saleh. Karya semacam itu termasuk folklor karena versi asalnya masih tetap hidup di kalangan masyarakat sebagai tradisi lisan. Di Jawa hagiografi menceritakan riwayat hidup para wali penyebar Islam pada masa yang paling awal. Salah satu contohnya adalah legenda Wali Sembilan (Wali Songo) mereka adalah Mau- lana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. 
b. Legenda Alam Gaib
Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran ”takhayul” atau kepercayaan rakyat. Contoh legenda ini yaitu kepercayan terhadap adanya hantu, gendruwo, sundel bolong serta nyi blorong.
c. Legenda Perseorangan
Legenda perseorangan merupakan cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap benar-benar terjadi. Di Indonesia legenda semacam ini banyak sekali. Di Jawa Timur yang paling terkenal prosa rakyat itu sudah diubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan rumus cerita tokoh-tokoh rakyat tradisional. Suatu jenis legenda perseorangan mengenai perampok seperti Robin Hood, yang merampok penguasa korup atau orang kaya untuk didermakan kepada rakyat miskin. Legenda semacam ini di Jakarta pada ”tempo doeloe” adalah kisah petualangan ”Si Pitung”.
d. Legenda Setempat
Legenda setempat adalah cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yaitu bentuk permukaan suatu tempat, berbukit-bukit, berjurang dan sebagainya. Legenda setempat yang berhubungan dengan nama suatu tempat misalnya, legenda Kuningan. Kuningan adalah nama suatu kota kecil yang terletak di lereng Gunung Ceremai, di sebelah selatan kota Cirebon, Jawa Barat. Contoh lain mengenai legenda setempat yang berhubungan erat dengan nama tempat adalah legenda “Anak-anak Dalem Solo yang Mengembara Mencari Sumber Bau Harum”. Legenda ini berasal dari Trunyan, Bali. Legenda ini dapat dimasukkan ke dalam golongan legenda setempat karena menceritakan asal mula nama beberapa desa di sekitar Danau Batur, seperti Kedisan, Abang Dukuh, dan Trunyan. Selain itu contoh-contoh lain legenda setempat ini misalnya ”Asal Mula Nama Banyuwangi”, serta legenda ”Roro Jongrang”, ”Tangkuban Perahu”, ”Asal Mula nama Tengger dan Terjadinya Gunung Batok” serta “asal mula nama kota Bogor”.
Di antara kumpulan Cerita Rakyat Nusantara, Legenda Pesut Mahakam dari Kalimantan Timur (Kaltim) termasuk salah  satu yang cukup dikenal. Menurut cerita, pesut adalah penjelmaan dua anak kecil kakak beradik yang ditelantarkan sang ayahnya hingga berubah menjadi ikan pesut, yang dikenal luas sebagai pesut mahakam. Masyarakat Kutai menyebutnya ‘jelmaan’ tersebut dengan pesut atau pasut, sedangkan masyarakat di pedalaman Mahakam menyebutnya dengan bawoi.
Banyak orang Indonesia yang bahkan belum pernah  mendengar, apalagi melihat pesut mahakam (Orcaella brevirostris). Tidak mengherankan, karena kini populasi pesut Mahakam di habitatnya di Sungai Mahakam diperkirakan tak lebih dari 70 ekor saja dan makin hari makin sulit ditemui. Sebuah angka yang sangat kecil dan mengkhawatirkan, mengingat konon dulunya mamalia air unik ini mudah ditemukan di muara-muara sungai.  Bisa jadi, inilah mamalia air paling langka dan paling terancam di negeri ini.
Pesut mahakam, yang juga kadang disebut lumba-lumba air tawar, hanya bisa ditemukan di Sungai Mahakam, Kaltim dan inilah sebabnya pesut mahakam ditetapkan sebagai fauna identitas provinsi Kaltim. Berbeda dengan lumba-lumba dan paus, pesut hidup di air tawar yang terdapat di sungai-sungai dan danau yang terdapat di daerah tropis dan subtropis.
Ukuran tubuh pesut mahakam dewasa bisa mencapai panjang hingga 2,3 meter dengan berat mencapai 130 kg. Tubuh pesut berwarna abu-abu atau kelabu sampai biru tua dengan bagian bawah berwarna lebih pucat. Pesut bernafas dengan mengambil udara di permukaan air. Mamalia ini dapat juga menyemburkan air dari mulutnya. Pesut bergerak dalam kawanan kecil. Meski pandangannya tidak begitu tajam dan hidup dalam air yang mengandung lumpur, namun mempunyai kemampuan mendeteksi dan menghindari rintangan-rintangan dengan menggunakan gelombang ultrasonik.
ekor pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : WWF
Legenda Ikan Pesut yang ada di Mahakam dihubungkan oleh masyarakat Kalimantan Timur dengan kisah yang akan diceritakan kali ini. Ini dia kisahnya.
Pada jaman dahulu kala di rantau (sungai) Mahakam, terdapat sebuah dusun yang didiami oleh beberapa keluarga.  Mata pencaharian mereka kebanyakan adalah sebagai petani maupun nelayan.  Setiap tahun setelah musim panen, penduduk dusun tersebut biasanya mengadakan pesta adat yang diisi dengan beraneka macam pertunjukan ketangkasan dan kesenian.
Ditengah masyarakat yang tinggal di dusun tersebut, terdapat suatu keluarga yang hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana.  Mereka terdiri dari sepasang suami istri dan dua orang putra dan putri.  Kebutuhan hidup mereka tidak terlalu sukar untuk dipenuhi karena mereka memiliki kebun yang ditanami berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran.  Begitu pula segala macam kesulitan dapat diatasi dengan cara yang bijaksana, sehingga mereka hidup dengan bahagia selama bertahun-tahun.
Pada suatu ketika, sang ibu terserang suatu penyakit.  Walau telah diobati oleh beberapa orang tabib, namun sakit sang ibu tak kunjung sembuh pula hingga akhirnya ia meninggal dunia.  Sepeninggal sang ibu, kehidupan keluarga ini mulai tak terurus lagi.  Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam karena kehilangan orang yang sangat dicintai.  Sang ayah menjadi pendiam dan pemurung, sementara kedua anaknya selalu diliputi rasa bingung, tak tahu apa yang mesti mereka lakukan.  Keadaan rumah dan kebun mereka kini sudah tak terawat lagi.  Beberapa sesepuh desa telah mencoba menasehati sang ayah agar tidak larut dalam kesedihan, namun nasehat-nasehat mereka tak dapat memberikan perubahan padanya dan keadaan ini berlangsung cukup lama.
Suatu Hari di dusun tersebut kembali diadakan pesta panen.  Berbagai pertunjukan dan hiburan kembali digelar.   Dalam suatu pertunjukan ketangkasan, terdapatlah seorang gadis yang cantik dan mempesona sehingga selalu mendapat sambutan pemuda-pemuda dusun tersebut bila beraksi.  Mendengar berita yang demikian itu, tergugah juga hati sang ayah untuk turut menyaksikan bagaimana kehebatan pertunjukan yang begitu dipuji-puji penduduk dusun hingga banyak pemuda tergila-gila dibuatnya.
Malam itu adalah malam ketujuh dari acara keramaian yang dilangsungkan.  Perlahan-lahan sang ayah berjalan mendekati pertunjukan dimana gadis itu akan bermain.  Sengaja ia berdiri di depan agar dapat dengan jelas menyaksikan permainan serta wajah sang gadis.  Akhirnya pertunjukan pun dimulai.  Berbeda dengan penonton lainnya, sang ayah tidak banyak tertawa geli atau memuji-muji penampilan sang gadis.  Walau demikian sekali-sekali ada juga sang ayah tersenyum kecil.  Sang gadis melemparkan senyum manisnya kepada para penonton yang memujinya maupun yang menggodanya.  Suatu saat, akhirnya bertemu jua pandangan antara si gadis dengan sang ayah dari dua anak tersebut.
Demikianlah keadaannya, atas persetujuan kedua belah pihak dan restu dari para sesepuh maka dilangsungkanlah pernikahan antara mereka setelah pesta adat di dusun tersebut usai.  Dan berakhir pula lah kemuraman keluarga tersebut, kini mulailah mereka menyusun hidup baru.  Mereka mulai mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dahulunya tidak mereka usahakan lagi.  Sang ayah kembali rajin berladang dengan dibantu kedua anaknya, sementara sang ibu tiri tinggal di rumah menyiapkan makanan bagi mereka sekeluarga.  Begitulah seterusnya sampai berbulan-bulan lamanya hingga kehidupan mereka cerah kembali.
Dalam keadaan yang demikian, tidak lah diduga sama sekali ternyata sang ibu baru tersebut lama kelamaan memiliki sifat yang kurang baik terhadap kedua anak tirinya.  Kedua anak itu baru diberi makan setelah ada sisa makanan dari ayahnya.  Sang ayah hanya dapat memaklumi perbuatan istrinya itu, tak dapat berbuat apa-apa karena dia sangat mencintainya.  Akhirnya seluruh rumah tangga diatur dan berada dalam tangan sang istri muda yang serakah tersebut.  Kedua orang anak tirinya disuruh bekerja keras setiap hari tanpa mengenal lelah bahkan disuruh mengerjakan hal-hal yang diluar kemampuan mereka.
Pada suatu ketika, sang ibu tiri telah membuat suatu rencana jahat.  Ia menyuruh kedua anak tirinya itu untuk mencari kayu bakar dihutan.
“Kalian berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi” perintah sang ibu, “Jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh kemarin.  Dan ingat! Jangan pulang sebelum kayunya banyak dikumpulkan.  Mengerti?!!
“Tapi, Bu….” Jawab anak lelakinya, “Untuk apa kayu sebanyak itu….? Kayu yang ada saja masih cukup banyak.  Nanti kalau sudah hampir habis, barulah kami mencarinya lagi…”
“Apa?!! Kalian sudah berani membantah ya?!! Nanti kulaporkan ke ayahmu bahwa kalian pemalas! Ayo, berangkat sekarang juga!!!” kata si ibu tiri dengan marahnya.
Anak tirinya yang perempuan kemudian menarik tangan kakaknya untuk segera pergi.  Ia tahu bahwa ayahnya telah dipengaruhi sang ibu tiri, jadi sia-sia saja untuk membantah karena tetap akan dipersalahkan jua.  Setelah membawa beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka menuju hutan.  Hingga senja menjelang, kayu yang dikumpulkan belum mencukupi seperti yang diminta ibu tiri mereka.  Terpaksalah mereka harus bermalam dihutan dalam sebuah bekas pondok seseorang agar dapat meneruskan pekerjaan mereka esok harinya.  Hampir tengah malam barulah mereka dapat terlelap walau rasa lapar masih membelit perut mereka.
Esok paginya, mereka pun mulai mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya.  Menjelang tengah hari, rasa laparpun tak tertahankan lagi, akhirnya mereka tergeletak di tanah selama beberapa saat.  Dan tanpa mereka ketahui, seorang kakek tua datang menghampiri mereka.
“Apakah yang kalian lakukan disini, anak-anak?!! Tanya kakek itu kepada mereka. Kedua anak yang malang tersebut lalu menceritakan semuanya, termasuk tingkah ibu tiri mereka dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan.
“Kalau begitu…., pergilah pergilah kalian kearah sana.” Kata si kakek sambil menunjuk ke arah rimbunan belukar, “Disitu banyak terdapat pohon buah-buahan. Makanlah sepuas-puasnya sampai kenyang.  Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya karena akan sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!”
Sambil mengucapkan terima kasih, kedua kakak beradik tersebut bergegas menuju tempat yang dimaksud.  Ternyata benar apa yang diucapkan kakek tadi, disana banyak terdapat beraneka pohon buah-buahan.  Buah durian, nangka, cempedak, wanyi, mangga dan pepaya yang telah masak dan berserakan di tanah.  Buah-buahan lain seperti pisang, rambutan dan kelapa gading tampak bergantungan dipohonnya.  Mereka kemudian memakan buah-buahan tersebut hingga kenyang dan badan terasa segar kembali.  Setelah beristirahat beberapa saat, mereka dapat kembali melanjutkan pekerjaan mengumpulkan kayu hingga sesuai dengan yang diminta sang ibu tiri.
Menjelang sore, sedikit demi sedikit kayu yang jumlahnya banyak itu berhasil diangsur semuanya ke rumah.  Mereka kemudian menyusun kayu-kayu tersebut tanpa memperhatikan keadaan rumah.  Setelah tuntas barulah mereka naik ke rumah untuk melapor kepada sang ibu tiri, namun alangkah terkejutnya mereka ketika melihat isi rumah yang telah kosong melompong.
Ternyata ayah dan ibu tiri mereka telah pergi meninggalkan rumah itu.  Seluruh harta benda didalam rumah tersebut telah habis dibawa serta, ini berarti mereka pergi dan tak akan kembali lagi ke rumah itu.  Kedua kakak beradik yang malang itu kemudian menangis sejadi-jadinya.  Mendengar tangisan keduanya, berdatanganlah tetangga sekitarnya untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Mereka terkejut setelah mengetahui bahwa kedua ayah dan ibu tiri anak-anak tersebut telah pindah secara diam-diam.
Esok harinya, kedua anak tersebut bersikeras untuk mencari kedua orangtuanya.Mereka memberitahukan rencana tersebut kepada tetangga terdekat.  Beberapa tetangga yang iba kemudian menukar kayu bakar dengan bekal bahan makanan bagi perjalanan kedua anak itu.  Menjelang tengah hari, berangkatlah keduanya mencari ayah dan ibu tiri mereka.
Telah dua hari mereka berjalan namun orangtua mereka belum juga dijumpai, sementara perbekalan makanan sudah habis.  Pada hari yang ketiga, sampailah mereka disuatu daerah yang berbukit dan tampaklah oleh mereka asap api yang mengepul di kejauhan.  Mereka segera menuju ke arah tempat itu sekedar bertanya kepada penghuninya barangkali mengetahui atau melihat kedua orangtua mereka.
Mereka akhirnya menjumpai sebuah pondok yang sudah reot.  Tampak seorang kakek tua sedang duduk-duduk didepan pondok tersebut.  Kedua kakak beradik itu lalu memberi hormat kepada sang kakek tua dan memberi salam.
“Dari mana kalian ini? Apa maksud kalian hingga datang ke tempat saya yang jauh terpencil ini?” tanya sang kakek sambil sesekali batuk kecil.
“ Maaf, Tok.” Kata si anak lelaki, “ Kami ini sedang mencari urangtuha kami.  Apakah Datok pernah melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih muda lewat sini?”
Sang kakek terdiam sebentar sambil mengernyitkan keningnya, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk mengingat-ingat sesuatu.
“Hmmmm…., beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri datang kesini.” Kata si kakek kemudian, “ Mereka banyak sekali membawa barang. Apakah mereka itu yang kalian cari?”
“Tak salah lagi, Tok “ kata anak lelaki itu dengan gembira, “Mereka pasti urangtuha kami! Ke arah mana mereka pergi, Tok?”
“Waktu itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang, mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok dan perkebunan baru. Cobalah kalian cari diseberang sana.”
“Terima kasih, Tok….” Kata si anak sulung tersebut, “Tapi…., bisakah Datok mengantarkan kami ke seberang sungai??”
Datok ini dah tuha…. mana kuat lagi untuk mendayung perahu!” kata si kakek sambil terkekeh, “ Kalau kalian ingin menyusul mereka, pakai sajalah perahuku yang ada ditepi sungai itu.”
Kakak beradik itupun memberanikan diri untuk membawa perahu si kakek.  Mereka berjanji akan mengambalikan perahu tersebut jika telah berhasil menemukan kedua orangtua mereka.  Setelah mengucapkan terima kasih, mereka lalu menaiki perahu dan mendayungnya menuju ke seberang. Keduanya lupa akan rasa lapar yang membelit perut mereka karena rasa gembira setelah mengetahui keberadaan orangtua mereka.  Akhirnya mereka sampai di seberang dan menambatkan perahu tersebut dalam sebuah anak sungai.  Setelah dua hari lamanya mereka berjalan dengan perut kosong, barulah mereka menemui ujung sebuah dusun yang jarang sekali penduduknya.
Tampaklah oleh mereka sebuah pondok yang kelihatannya baru dibangun.  Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu.  Dengan perasaan cemas dan ragu si kakak menaiki tangga dan memanggil-manggil penghuninya, sementara si adik berjalan mengitari pondok hingga ia menemukan jemuran pakaian yang ada di belakang pondok.  Ia pun teringat pada baju ayahnya yang pernah dijahitnya karena sobek terkait duri, setelah didekatinya maka yakinlah ia bahwa baju itu memang baju ayahnya.  Segera ia berlari menghampiri kakaknya sambil menunjukkan baju sang ayah yang ditemukannya di belakang.  Tanpa pikir panjang lagi mereka pun memasuki pondok dan ternyata pondok tersebut memang berisi barang-barang milik ayah mereka.
Rupanya orangtua mereka terburu-buru pergi, sehingga di dapur masih ada periuk yang diletakkan diatas api yang masih menyala.  Diadalam periuk tersebut ada nasi yang telah menjadi bubur.  Karena lapar, si kakak akhirnya melahap nasi bubur yang masih panas tersebut sepuas-puasnya. Adiknya yang baru menyusul ke dapur menjadi terkejut melihat apa yang sedang dikerjakan kakaknya, segera ia menyambar periuk yang isinya tinggal sedikit itu.  Karena takut tidak kebagian, ia langsung melahap nasi bubur tersebut sekaligus dengan perikunya.
Karena bubur yang dimakan tersebut masih panas maka suhu badan mereka pun menjadi naik tak terhingga.  Dalam keadaan tak karuan demikian, keduanya berlari kesana kemari hendak mencari sungai.  Setiap pohon pisang yang mereka temui di kiri-kanan jalan menuju sungai, secara bergantian mereka peluk sehingga pohon pisang tersebut menjadi layu.  Begitu mereka tiba di sungai, segeralah mereka terjun ke dalamnya.  Hampir bersamaan dengan itu, penghuni pondok yang memang benar adalah orangtua kedua anak yang malang itu terheran-heran ketika melihat banyak pohon pisang di sekitar pondok mereka menjadi layu dan hangus.
Namun mereka sangat terkejut ketika masuk kedalam pondok dan menjumpai sebuah bungkusan dan dua buah mandau kepunyaan kedua anaknya.  Sang istri terus memeriksa isi pondok hingga ke dapur, dan dia tak menemukan lagi periuk yang tadi ditinggalkannya.  Ia kemudian melaporkan hal itu kepada suaminya. Mereka kemudian bergegas turun dari pondok dan mengikuti jalan menuju sungai yang kiri-kanannya banyak terdapat pohon pisang yang telah layu dan hangus.
Sesampainya di tepi sungai, terlihatlah oleh mereka dua makhluk yang bergerak kesana kemari di dalam air sambil menyemburkan air dari kepalanya.  Pikiran sang suami teringat pada rentetan kejadian yang mungkin sekali ada hubungannya dengan keluarga.  Ia terperanjat karena tiba-tiba istrinya sudah tidak ada disampingnya.  Rupanya ia menghilang secara gaib.  Kini sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah keturunan manusia biasa.  Semenjak perkawinan mereka, sang istri memang tidak pernah mau menceritakan asal usulnya.
Tak lama berselang, penduduk desa datang berbondong-bondong ke tepi sungai untuk menyaksikan keanehan yang baru saja terjadi.  Dua ekor ikan yang kepalanya mirip dengan kepala manusia sedang bergerak kesana kemari ditengah sungai sambil sekali-sekali muncul dipermukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Masyarakat yang berada di tempat itu memperkirakan bahwa air semburan kedua makhluk tersebut panas sehingga dapat menyebabkan ikan-ikan kecil mati jika terkena semburannya. Oleh masyarakat Kutai ikan yang menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan Pasut atau Pesut.  Sementara masyarakat di pedalaman Mahakam menamakannya ikan Bawoi.
Pesan moral yang terdapat dalam legenda ini adalah akibat buruk dari sifat orang tua yang suka menelantarkan anak-anaknya. Hal ini digambarkan oleh sikap dan perilaku sang ayah yang telah pergi meninggalkan kedua anaknya, karena lebih memilih istri barunya. Akibatnya, kedua anaknya terlantar dan berubah menjadi ikan pesut. Dari sini dapat dipetik suatu pelajaran bahwa berubahnya kedua anak tersebut menjadi seekor ikan adalah akibat kelalaian sang ayah dalam melindungi dan menjaga mereka. Dalam kehidupan orang melayu, orang tua seperti ini, disebut tidak tahu diri, tak bertanggungjawab dan tak beradat, sehingga kelak diakhirat akan menanggung akibat kelalaiannya. Sebelum  melakukan suatu tindakan hendaklah kita memikirkan dan mempertimbangkan masak-masak. Kecerobohan akan menyebabkan kerugian dan penyesalan di kemudian hari.
Pesut mahakam adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa yang wajib kita jaga keberadaannya. Seluruh upaya harus ditempuh untuk menyelamatkan dan  melestarikan satwa  unik ini, kalau kita tak ingin pesut mahakam benar-benar menjadi legenda.

PENUTUP
Kesimpulan
Dari Paparan atau penjelasan di atas, maka saya dapat menyimpulkan bahwa sesuai dengan folklor “CERITA PROSA RAKYAT DARI LEGENDA PESUT MAHAKAM” menyimpulkan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). wisata di Kalimantan Timur memiliki sejarah yang bermakna, seperti sungai mahakam yang memiliki asal usul dan legenda pada ikan pesut. Legenda adalah cerita prosa rakyat yang mirip dengan mite, yaitu dianggap
benar-benar terjadi tetapi tidak dianggap suci. Di antara kumpulan Cerita Rakyat Nusantara, Legenda Pesut Mahakam dari Kalimantan Timur (Kaltim)termasuk salah satu yang cukup dikenal. Pesan moral dari legenda pesut mahakam adalah sebelum  melakukan suatu tindakan hendaklah kita memikirkan dan mempertimbangkan masak-masak. Kecerobohan akan menyebabkan kerugian dan penyesalan di kemudian hari.
Demikianlah tugas folklor yang saya buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Saya mohon  maaf apabila ada kesalahan  ejaan  dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas dan dimengerti. Karena saya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Dan saya juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan tugas ini. Sekian penutup dari saya semoga dapat diterima di hati dan saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Daftar Pustaka:




ANISTYA ARIFIANTI
UJP A 2015
4423154907

Tidak ada komentar:

Posting Komentar