Selasa, 12 Januari 2016

Tugas 2 - Solusi UNJ Untuk Pariwisata Indonesia


Memperbaiki Fasilitas Tempat Wisata


Buruknya Pariwisata Indonesia
Beragam produk wisata bisa dikembangkan di Indonesia ini dari Panorama Alam hingga budaya tradisional, satu daerah dengan daerah lainnya tradisi dan budayanya berbeda, bahasanya pun berbeda dalam satu propinsi saja bisa bermacam – macam tradisi, budaya, bahasa berbeda, jadi pengembangan wisata di Tanah air kita ini sangat potensial karena bukan wisata asing saja yang menjadi sasaran konsumennya wisatawan domestikpun menjadi sasaran yang potensial karena melihat jumlah penduduk di Indonesia yang sudah diatas 245 jutaan.

Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh World Economic Forum yang berkedudukan di Swiss, yang diberi nama Travel and Tourism Competitiveness Report 2009, Indonesia menempati peringkat dunia nomor 81. Ada kenaikan satu tingkat dari ranking tahun 2008 yaitu, 82. Negara-negara yang menduduki tiga besar top-ranking pariwisata dunia adalah Swiss, Austria dan Jerman. Padahal jumlah kekayaan pariwisata dan kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia begitu banyak.

Negara tetangga kita Singapura berada pada peringkat 10, sementara Malaysia nomor 32, Thailand nomor 39 dan Brunei pada nomor 69. Negara-negara Asean yang berada dibawah peringkat Indonesia adalah Filipina nomor 86, Vietnam nomor 89 dan Kamboja nomor 108.

Singapura, negara mungil yang jumlah penduduknya setara dengan Yogyakarta ternyata memiliki Gross National Product (GNP) yang lebih tinggi daripada negara-negara di sekitarnya seperti Malaysia, Filipina, dan Vietnam. GNP Singapura mencapai 95,5 miliar USD, sementara Malaysia, Filipina, dan Vietnam masing-masing hanyalah 81,3, 78,9 dan 26,5 miliar USD. Pencapaian GNP Singapura yang cukup memadai itu tidak terlepas dari keberhasilannya menangani sektor pariwisata. Pariwisata di Singapura dikembangkan dalam dua jalur, masing-masing jalur pariwisata alami (natural tourism) serta pariwisata budaya (cultural tourism); meskipun penekanannya lebih ke pariwisata kultural. Di samping mengembangkan pariwisata di kawasan darat (main land), Singapura sengaja membangun pulau khusus sebagai taman rekreasi. Pulau Sentosa namanya, dibangun dan diperluas dengan tanah yang dibeli dari Riau, Indonesia. Banyak devisa diraup oleh pemerintah Singapura sehingga ketika tetangganya, Malaysia, Thailand dan Indonesia meraung disambar krisis maka Singapura tenang-tenang saja.

Tidak perlu belajar dari Singapura, yang berada diurutan 10, tetapi setidaknya kita bisa belajar dari Malaysia. Malaysia adalah negara serumpun dengan Indonesia, Malaysia mungkin tak terlalu unik bagi bangsa kita. Hampir tak ada jenis kebudayaan Malaysia yang tak kita miliki. Karena hal itu pula, beberapa kali kita harus bersitegang dengan Malaysia. Perdebatan yang akhirnya menggiring kita untuk kembali berintrospeksi tentang kekayaan budaya yang dimiliki selama ini.

Dengan luas wilayah daratan dan lautan sebesar 329.750 km persegi, wilayah Malaysia tujuh belas kali lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia. Demikian juga dengan jumlah sumber daya manusianya yang sangat minim dari segi kuantitas dibandingkan dengan Indonesia.

Kemajuan dalam hal kepariwisataan Malaysia terlihat secara nyata dalam bentuk angka kunjungan wisatawan ke negeri itu. Data Kementerian Pelancongan Malaysia mencatat, sepanjang April 2008 saja telah tercatat sebanyak 1.760.326 wisatawan ke Malaysia. Jumlah itu sangat fantastis jika dilihat dari rekapitulasi jumlah wisatawan dalam empat bulan terakhir selama tahun 2008 (Januari-April) yang mencapai angka 7.102.617 orang. Jumlah itu meningkat sebesar 0,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal, musim liburan baru akan dimulai pada akhir Juni sampai Juli mendatang. Sepanjang tahun 2008 ini, Malaysia telah menargetkan kedatangan wisatawan asing sebanyak 22,5 juta orang.

Ironisnya, wisatawan dari Indonesia menempati urutan kedua yang telah menyumbang devisa bagi negara jiran ini setelah Singapura. Jumlah wisatawan Indonesia ke Malaysia rentang Januari-April 2008 tercatat sebanyak 697.339 orang. Wisatawan Indonesia ke Malaysia berada di peringkat kedua pada satu tahun terakhir, menggeser kedudukan wisatawan Thailand. Bahkan, Kementerian Pelancongan Malaysia menargetkan wisatawan Indonesia sebanyak 2 juta orang sepanjang tahun ini. Miriskan...!!!!!!!!!!!Orang Indonesia lebih suka melancong ke negara lain dibandingkan berpelancong ke negara sendiri.

Malaysia sendiri sangat konsen membangun pariwisatanya. Ini terlihat dari seringnya mereka mengikuti berbagai event berskala internasional sengaja digelar untuk menarik minat wisatawan asing ke Malaysia. Keadaan itu didukung oleh keadaan keamanan yang stabil serta mudahnya aksesibilitas penerbangan ke Malaysia.

Keseriusan pemerintah Malaysia dalam menggenjot angka kunjungan wisata itu berbeda jauh dengan Indonesia yang sama-sama menetapkan tahun ini sebagai tahun kunjungan wisata. Jangan dulu bangga kalau Indonesia memiliki Pulau Bali sebagai tujuan wisata paling eksotis di dunia karena angka statistik justru berkata lain. Sepanjang tahun 2007 lalu, tercatat hanya sekitar 5,5 juta wisatawan asing yang datang ke Indonesia. Jika Malaysia menetapkan target 22,5 juta wisatawan selama tahun 2008, Indonesia hanya mematok angka 7 juta! Atau setara dengan jumlah wisatawan asing ke Malaysia dalam empat bulan terakhir tahun ini.

Untuk tahun 2009 ini Depbudpar hanya mampu memenuhi target wisatawan sejumlah 6,5 juta wisman saja. Dan Depbudpar bersama stakeholder pariwisata menetapkan target jumlah kunjungan wisman dalam lima tahun mendatang adalah 7 juta wisman (tahun 2010), 7,7 juta wisman (tahun 2011), 8,5 juta wisman (tahun 2012,) 9,3 juta wisman (tahun 2013), dan 10,3 juta (tahun 2014). Hanya segitu saja yang ditargetkan oleh Depbudpar. Jauh sekali jika dibandingkan dengan Malaysia sudah menargetkan 22,5 juta wisatawan selama tahun 2008.


Saat ini Malaysia yang berpenduduk 25 juta jiwa mampu mendatangkan 20 juta turis. Logikanya Indonesia dengan 245 juta penduduk, harus mampu mendatangkan 200 juta wisatawan. Masak gak bisa sih?????

Untuk itu Indonesia tak perlu malu dalam belajar meninggatkan dan memperbaiki pariwisatanya dari negara lain walaupun juga harus belajar dari negara tetangga sendiri. Salah satu contoh yang bisa kita pelajari dari Malaysia adalah program promosi pariwisata Malaysia yang cukup meriah dan menghabiskan anggaran cukup besar adalah program "Mega Familiarisation" (Mega Fam) untuk event "Colours of Malaysia" yang semula dikenal dengan nama Citrawarna Malaysia. Dalam program ini, sebanyak 675 orang perwakilan jurnalis dan agen wisata dari 45 negara di dunia dikumpulkan di Dataran Perdana Putrajaya, 30 km sebelah selatan Kuala Lumpur, untuk menyaksikan secara langsung acara "Colours of Malaysia".

Tak kurang dari 50.000 penonton menyaksikan langsung pertunjukan ini di Putrajaya. Malaysia sengaja menyediakan shuttle bus gratis dari berbagai tempat menuju tempat pertunjukan "Colours of Malaysia" di Putrajaya. Kota pusat pemerintahan Malaysia ini pun digubah menjadi sangat indah dengan tampilan artistik di setiap sudutnya.

Wow Amazingkan. Malaysia mau mengeluarkan dana yang cukup besar untuk mengembangkan pariwisatanya dan tidak takut rugi untuk itu. Karena dilihat dari hasilnya yaitu jumlah wisman yang datang ke Malaysia mencapai 22 juta orang.

Ini merupakan salah satu pelajaran berharga yang harus mau dipelajari oleh Indonesia untuk meningkatkan pariwisatanya agar mampu menaikkan jumlah devisa negara, gak ada ruginya untuk mengeluarkan dana yang cukup besar tetapi nanti akan dapat yang lebih besar lagi.



Beberapa Permasalahan Tentang Buruknya Fasilitas 

1.Permasalahan Di Bandung
“Kendala utama yakni kecilnya kapasitas bandara Husein Sastranegara sebagai pintu masuk wisatawan. Bandara tidak mendukung pertumbuhan jumlah wisatawan mancanegara ke Jabar,” ucapnya kepada Bisnis, Senin (30/12 Bisnis.jabar.com, BANDUNG  - Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Jawa Barat meminta pemerintah provinsi Jabar untuk memerbaiki seluruh kendala pariwisata Jabar pada 2014 unutk meningkatkan jumlah wisatawan ke Jabar .
Ketua BPPD Jabar Cecep Rukmana mengatakan kendala yang menjadi penghambat pertumbuhan jumlah wisatawan ke Jabar yakni buruknya infrastruktur, seperti bandara, jalan, hingga fasilitas di dalam tempat wisata.
Menurutnya, kecilnya kapasitas bandara Husein Sastranegara  tidak mendukung pertumbuhan jumlah wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Selain masalah kapasitas, tingkat kenyamanan bandara pun dinilai buruk sehingga dapat membuat wisatawan enggan berkunjung ke Jabar.
).                                                                  
Masalah infrastruktur lainnnya yakni kondisi banyak ruas jalan di Jabar yang rusak. Padahal tahun depan BPPD Jabar berencana melakukan diferensiasi tujuan wisata dengan mempromosikan beberapa wilayah yang belum tergali.
“Kami melihat para wisatawan sudah mulai jenuh dengan wisata belaja di Bandung sehingga kami harus membuat variasi tujuan wisata dengan mempromosikan daerah-daerah selain Bandung,” katanya.
Cecep menambahkan diferensiasi tujuan wisata tersebut dengan mengembangkan wisata pegunungan dan olahraga air di Jabar. Objek wisatawan yang dinilai berpotensi menarik wisatawan mancanegara yakni diantaranya arung jeram di Sukabumi dan Gunung Papandayan di Harut.
Namun Cecep menilai banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mengembangkan wisata di beberapa wilayah di Jabar. Tantangan tersebar, katanya, adalah kondisi jalan menuju tempat wisata yang rusak.
“Kami minta perbaikan jalan ini sudah dilakukan pemprov Jabar paling lambat pertengahan 2014 sehingga kami dapat segera mempromosikan potensi wisata di berbagai daerah,” katanya.
Pada 2014, BPPD Jabar berencana membidik pasar wisatawan China serta meningkatkan pasar wisatawan dari Singapura dan Malaysia. (k10/ija)

2.Permasalahan di Pulau Karimun
Ketika Sabtu (02/01) pagi saya iseng menulis status di facebook begini, "Bagi masyarakat Karimun dan sekitarnya, berlibur --akhir tahun-- ke negeri tetangga, tidak sekadar sok ke Luar Negeri yang sesungguhnya menguras devisa negara juga tapi selain jaraknya yang dekat juga ada rasa aman dan nyaman. Sudah saatnya pemerintah menciptakan rasa aman dan nyaman juga jika berlibur di dalam negeri. Dan trevel-trevel dalam negeri harus pula gencar mempromosikan tour dalam negeri untuk para pencinta wisata itu," ternyata dari pagi hingga siang, sambutan komentar dari para teman sangat beragam. Pokoknya sangat antusias mereka mengomentari perihal kurangnya orang kita berwisata di negeri sendiri karena lebih memilih ke luar negeri.

Di komentar-komentar itu muncul berbagai pernyataan kekecewaan menyaksikan buruknya fasilitas umum di lokasi-lokasi wisata kita, khususnya di Karimun. Karimun yang jaraknya sangat berdekatan dengan Singapura dan Malaysia, ternyata tidak mampu mendatangkan wisata dari dua negara itu secara signifikan ke negeri berazam ini. Bahkan aneka komentar itu juga menyentil rendahnya minat wisatawan lokal (daerah sendiri) untuk mengunjungi lokasi wisata kita sendiri. Ada juga yang jujur mengakui bahwa fasilitas pendukung kepariwisataan kita memang masih sangat kurang. Intinya betapa masih minimnya kunjungan turis ke daerah kita.
                                   
Apakah obyek wisata kurang jumlahnya, atau kurang menariknya, baik bagi warga kita maupun bagi warga negara Asing? Ternyata tidak. Untuk Provinsi Kepri hampir di semua kabupaten terdapat banyak obyek wisata yang sangat menjanjikan. Saat ini, baru Bintan yang sudah tampil agak meyakinkan dan ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara selain Kota Batam. Dengan fasilitas yang agak lengkap di Lagoi, para turis asing memang cukup ramai datang ke sana. Salain Lagoi ada juga Pantai Trikora serta beberapa obyek wisata lainnya. Yang pasti, pengelolaan yang lebih apik oleh investor bersama pemerintahnya, telah menjadikan wisata Lagoi dan lainnya di Bintan menjadi lebih baik.

Tentang Batam? Batam pun begitu juga dengan kelengkapan yang sudah dipersiapkannya di Kota yang menamakan drinya Kota Madani itu. Dan tidak heran, dua daerah ini menempati tempat teratas jumlah pengunjung turisnya di Provinsi Kepri. Daerah-daerah lainnya seperti Karimun, Natuna, Anambas, Lingga dan Tanjungpinang sebagai Ibu Kota Provinsi, bukan tidak ada obyek wisata yang hebat-hebatnya. Justeru yang tidak hebat itu adalah fasiltas umum dan pelayanannya.

Selain di Pulau Moro atau Kundur Kembali ke Karmun, tidak kurang 40-an obyek wisata yang ada di kabupaten pemekaran ini. Obyek-obyek wsata itu sudah dibeberkan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Karimun di website Pemda Karimun. Semua obyek wisata itu dapat ditelusuri di alamat http://kab-karimun.go.id/index.php/info-tempat-wisata  yang merupakan website resmi Pemda Karimun. Ternyata begitu banyaknya obyek wisata yang perlu ditawarkan ke para turis, terutama dari manca negara. Di Pulau Buru ada masjid tertua kedua provinsi, Masjid Besar Raja Abdul Gani. Ada juga sumber air panas, makam orang kuat. Bahwa obyek-obyek wisata itu belum terkelola dengan baik, itulah sebenarnya masalah utamanya.

juga ada obyek wisata di pulau-pulau lainnya. Di Moro ada pantai Air Dagang, Pantai Moro dan ada pula Pantai Telunas yang sudah terkenal ke manca negara di Pulau Sugi, Moro. Pokok eprsoalan dari semua obyek wisata itu adalah fasilitas pendukungnya. Seperti di Pulau Karimun, Ibu Kota Kabupaten, fasilitas umumnya sangat menyedihkan.

Jika kita ke Pantai Pongkar (Tebing) atau ke Pantai Pelawan (Meral) kita akan melihat pantai yang tidak kalah indahnya dengan pantai-panta yang sudah terkenal di luar sana. Tapi jangan tanya musolla yang bagus (bersih, terawat, air cukup, dll) di lokasi wisata. Jika ada musolla seperti di Pantai Pelawan, sangat menyedihkan ketika kita akan solat. Di Bongkar malah harus solat jauh keluar untuk numpang di masjid masyarakat. Begitu jua keadaan di lokasi wisata Coastal Area. Walaupun miliaran rupiah sudah ditanam di pantai yang dulu bernama Tanjung Gelam itu, tapi untuk sebuah musolla yang representatif sebagai kebutuhan wisatawan, ternyata tidak ada.

Begitu pula untuk bidang pelayanan. Kita belum tahu siapa atau perusahaan trevel mana yang sudah menyediakan pemandu wisata di Karimun seperti yang sudah disediakan negara tetangga sana. Untuk mempromosikan dan menjelaskan 40-an obyek wisata itu tentu deperlukan orang yang mengerti dan mampu menjelaskannya kepada wisatwan. Tapi siapa? Tentu Dinas Pariwisata. Selama ini sudah bekerja dan melaksanakan tugasnya. Hanya masih jauh dari harapan. Jika kunjungan wisatawan diinginkan lebih ramai, Pemerintah perlu segera menggandeng swasta (investor) untuk ikut serta. Pemerintah saja jelas tidak akan kuat. Ayo, mari bersama kita dukung dan majukan pariwisata daerah kita agar fasiltasnya lengkap dan tidak terus-menerus menyedihkan.***

3.Permasalahan di Pulau Anambas
 Sejumlah tempat wisata di Kepulauan Anambas memang memikat pelancong. Sayangnya, pemerintah daerah terkesan belum serius mengelola sektor pariwisata. Infrastruktur di sejumlah lokasi wisatanya masih buruk, bahkan minim fasilitas umum.

Seperti lokasi wisata air terjun Temburun yang berada di Desa Temburun, Kecamatan Siantan Selatan. Selain akses jalur darat yang masih sangat sulit untuk dilalui, fasilitas lainnya seperti WC juga tidak terawat, dan bahkan dibiarkan begitu saja menjadi bangunan yang terkesan mistis.

"Alamak, nggak ada lagi WC lain, Bang? Masa kayak gini WC di sini? Jangan salahkan kami kalau buang air sembarangan," kata Bowo, pelancong dari Jakarta, kepada BATAMTODAY.COM di Desa Temburun, Kamis (5/3/2015).

Hal serupa juga disampaikan Herfa, warga Desa Tarempa Timur, Kecamtan Siantan. Menurutnya WC di tempat wisata seperti ini seharusnya terawat, sehingga para wisatawan lokal maupun asing tidak perlu bingung untuk buang air.

"Ini nggak, sudahlah WC-nya tak ada air, angker pula tuh," ujar Herfa.

Minimnya fasilitas ini juga terdapat di beberapa lokasi wisata lainnya seperti Pulau Durai. Air Terjun Neraja yang berada di Kecamatan Jemaja Timur ini juga tidak terdapat WC yang memadai sehingga beberapa pengunjung lebih memilih tempat sekitar yang aman untuk buang air.

"Kalau tak ada WC, mau gimana lagi. Yaa terpaksalah di semak-semak dulu, atau di batu-batu ini," ujar Herfa.

Sementara hingga Kamis petang pukul 18.32 WIB, Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kepulauan Anambas, Iwan K Roni,tidak dapat dikonfirmasi dikarenakan sedang menjalankan dinas luar. "Sedang dinas luar, Bang," ujar salah seorang staf di dinas tersebut.

Solusi
Sudah waktunya diprioritaskan pengadaan fasilitas umum seperti WC, musolla, kamar mandi, dll di titik-titik lokasi wisata kita. Kurangnya kunjungan, baik oleh wisatawan dalam negeri (daerah) sendiri maupun dari luar negeri, sudah diketahui umum. Penyebabnya adalah karena kita memang belum bisa melengkapkan berbagai fasiltas pokok dan bersifat umum itu. Selain itu, kebutuhan pendukung lainnya juga belum sebagaimana harapan.

Adanya gotong royong dari semua pihak dapat memperbaiki fasilitas yang buruk sehingga dapat memajukan pariwisata Indonesia di mata dunia internasional.


Daftar Pustaka
http://www.kompasiana.com/nanaarif/buruknya-pariwisata-indonesia_54ff4602a33311ad4c50fa13
http://batamtoday.com/berita54537-Lokasi-Wisata-di-Anambas-Minim-Infrastruktur-dan-Fasum-Buruk.html
http://www.kompasiana.com/nanaarif/buruknya-pariwisata-indonesia_54ff4602a33311ad4c50fa13

Kelas A - Farah Aulia

Tugas 3 - Folklore Indonesia



Suku Amungme dan Gunung Suci Papua


Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tugas ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga artikel ini dapat dipergunakan sebagai salah satu informasi dan pembelajaran.
Harapan saya semoga artikel ini membantu menambah pengetahuan tentang Suku Amungme yang terdapat di Papua bagi para pembaca.
Artikel ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan artikel ini.
Jakarta, Januari 2016
Penyusun



Pendahuluan


Suku Amungme adalah kelompok Melanesia terdiri dari 13.000 orang yang tinggal di dataran tinggi Papua Indonesia.


Mereka menjalankan pertanian berpindah, menambahnya dengan berburu dan mengumpul. Amungme sangat terikat kepada tanah leluhur mereka dan menganggap sekitar gunung suci. Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan nama Nemang Kawi. Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang Kawi artinya panah yang suci (bebas). perang perdamaian Wilayah Amungme di sebut Amungsa.


Pembahasan

menimbulkan gesekan dengan pemerintah Indonesia, yang ingin mendayagunakan persediaan mineral yang luas yang terdapat di sekitarnya. Masalah terbesar yang dihadapi Amungme adalah banyaknya jumlah tambang, dimiliki oleh Amerika Serikat dan Kerajaan Bersatu, terletak di pusat wilayah Amungme. Pertambangan emas dan tembaga besar-besaran telah menghancurkan lansekap dan menuntun ke banyak protes, yang telah banyak ditekan dengan kekerasan oleh militer Indonesia.

Suku Amungme adalah salah satu suku yang tinggal di dataran tinggi Papua. Suku Amungme memiliki tradisi pertanian berpindah, dan berburu.

Mereka mendiami beberapa lembah luas di kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya antara gunung-gunung tinggi yaitu lembah Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti lembah Bella, Alama, Aroanop, dan Wa. Sebagian lagi menetap di lembah Beoga (disebut suku Damal, sesuai panggilan suku Dani) serta dataran rendah di Agimuga dan kota Timika. Amungme terdiri dari dua kata "amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia.

Menurut legenda yang dahulu,konon orang Amungme berasal dari derah Pagema (lembah baleim) Wamena. Hal ini dapat ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan hitigima yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme mendirikan honey dari alang-alang. Orang Amungme memiliki kepercayaan bahwa mereka adalah anak pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju yang dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih).

Suku Amungme menggangap bahwa mereka adalah penakluk, pengusa serta pewaris alam amungsa dari tangan Nagawan Into (Tuhan).

Suku Amungme memiliki dua bahasa, yaitu Amung-kal yang dituturkan oleh penduduk yang hidup disebelah selatan dan Damal-kal untuk suku yang menetap di utara.

Suku Amungme juga memiliki bahasa simbol yakni Aro-a-kal. Bahasa ini adalah bahasa simbol yang paling sulit dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal, bahasa simbol yang hanya diucapkan saat berada di wilayah yang dianggap keramat.

Konsep mengenai tanah, manusia dan lingkungan alam mempunyai arti yang intergral dalam kehidupan sehari-hari. Tanah digambarkan sebagai figure seorang ibu yang memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya mati. Tanah dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu dan pemakaman juga tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur sehingga ada beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan dianggap sebagai tempat keramat. Magaboarat Negel Jombei-Peibei (tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber penghidupan mereka), demikian suku Amungme menyebut tanah leluhur tempat tinggal mereka. Beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.

Suku Amungme saat kontak pertama dengan dunia luar

Kontak pertama dengan dunia luar terjadi pada tahun 1936 ketika ekpedisi Carstensz yang pimpinan Dr.Colijn cs, melalui misi katolik pada 1954 yang dipimpin oleh Pastor Michael Cammerer dibantu penduduk lokal bernama Moses Kilangin dan pemerintah Belanda, sebagian besar masyarakat Amungme dipindahkan ke daerah pesisir, di Akimuga sampai saat ini, alasan pemindahan disebabkan proses penyebaran agama dan pelayanan terhadap masyarakat Amungme tidak mungkin dilakukan di daerah pegunungan.

Suku Amungme sangat terikat kepada tanah leluhur mereka dan menganggap gunung sebagai sesuatu yang sacral. Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan nama Nemang Kawi. Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang Kawi artinya panah yang suci (bebas perang/ perdamaian). Suku Amungme memiliki sebuah lembaga adat bernama Lemasa (Lembaga Adat Suku Amungme) yang memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat Amungme.
Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro

Dua Gunung Suci Suku Amungme Papua

Seorang ibu Amungme berpakaian compang camping bertelanjang kaki duduk sambil mencuci kaki di tepi sungai Aykwa yang telah tercemar tailing tambang sambil meratap dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata : Ayuu...Dorang su Ame kami pung mama pung kepala, semua sudah ancur, kami sedih, kami sakit hati..... (aduh, mereka sudah ambil kepala ibu kami, semua hancur, kami sedih, sakit hati..) ================ Tangisan dan kesedihan ibu ini adalah tangisan orang papua dari suku Amungme. Amungme berasal dari 2 kata, Amung artinya utama dan me artinya manusia. Jadi pengertiannya mereka adalah manusia utama. Menurut cerita dari para leluhur mereka, suku Amungme berasal dari sebuah gua yang sekarang disebut Lembah Baliem atau Mepingama ( tempat manusia keluar pertama kali). Menurut mitos yang mereka yakini, zaman dahulu manusia berdiam di dalam gua. Di dalam gua terdapat semua jenis tumbuhan dan binatang. Alkisah suatu ketika orang-orang berada di dalam gua ingin keluar untuk melihat kehidupan luar di gua. Namun tidak ada seorangpun yang mampu membuka pintu gua kecuali seorang sesepuh adat mereka dengan membaca mantra-mantra tertentu. Saat waktu yang diinginkan mereka ingin keluar, sesepuh tua itu membaca mantra-mantranya dibantu seorang gadis yang masih suci dan mereka pun berhasil membuka pintu gua itu. Akan tetapi masih ada yang menghalangi mereka untuk bisa keluar dari gua. Saat itu permukaan bumi masih tergenang air. Untuk mengetahui kondisi di sekitar lingkungan gua, diutuslah seekor burung nuri dan menanti datangnya kembali sang burung. Ternyata burung nuri tidak kembali juga. Maka diutuslah seekor burung murai atau negelarki. Saat burung murai kembali, paruhnya terbawa lumut dari air yang mulai mengering. Hal ini menandakan bumi sudah mengering. Esok harinya orang-orang mulai keluar dari gua dan berjalan mengikuti arah sinar matahari, arah ke barat. Selama perjalanan, orang-orang menebarkan bibit-bibit tanaman dan melepas semua jenis binatang. Sampailah mereka pada sebuah gunung. Me-arangguma-bugin yang artinya gunung kebahagiaan dan perpisahan. Dan orang Amungme percaya mereka adalah rombongan manusia yang pertama kali keluar dari gua. Disusul rombongan dari suku-suku lain, seperti Ekagi, Moni, Wolani. Orang Amungme percaya mereka adalah intisari dari alam sekitar. Alam memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan sehingga orang Amungme sangat menghargai dan mencintai alam sekitar. Caranya dengan tidak sembarangan merusak lingkungan hidup. Jika ada yang merusak alam, orang Amungme akan berkata : "Enane taram agan iwiatongengee, Em arap nap atendak, mesin arop nap atendak, oleh arap nap atendak, ib arop nan atendak. Kelap arop nan atendak,  iatong heno, Inak juo onen diamo !" (  Anak-anak mengapa berbuat demikian, padahal kamu tahu bahwa pohon itu adalah diriku, anjing itu adalah aku, air itu juga diriku, tanah pun aku, batu itu pun diriku. Berbuatlah semaumu, aku kan mengawasimu") Bagi orang Amungme, tanah bukan hanya bernilai ekonomis, melainkan bermakna magis religius. Tanah ibarat seorang ibu yang memberikan kehidupan bagi anak-anaknya. "Tanah adalah ibu kami", ungkap mereka. Suku Amungme menganggap daerah pegunungan salju termasuk puncak-puncak gunung tertinggi bersemayamlah Jomun-Temun Nerek, para leluhur suku Amungme. Puncak gunung Carstenz, Ertsberg, Grassberg beserta lembah-lembah sekitarnya sebagai wilayah keramat yang suci tidak boleh diganggu gugat. Di kawasan kepala ibu itulah konon mereka berasal dan nenek moyang berada. Daerah asal yang bernilai religius-magis inilah yang saat ini porak poranda oleh kegiatan tambang emas dan tembaga oleh Freeport. Kehadiran Freeport yang mengambil alih seluruh tanah masyarakat ( yang dalam pandangan suku Amungme mengandung kekuatan magis dan mitologis) menyebabkan kosmologi suku tersebut terguncang sampai ke akar-akarnya. Guncangan itu semakin merasuk dan bertambah parah akan kehadiran orang - orang asing yang dipekerjakan di tanah mereka dan dalam perkembangannya suku Amungme  yang dulunya merupakan pemilik tanah , saat ini hanya menjadi penonton di atas tanah uluyat mereka sendiri. Perubahan yang mengguncangkan tersebut dapat terlihat dari lenyapnya beberapa puncak gunung yang bernilai magis dan mitologis bagi mereka, menjadi sumur-sumur raksasa yang menganga lebar. Meskipun masih ada gunung-gunung yang kelihatannya masih utuh, di dalamnya sudah keropos dengan adanya terowongan-terowongan besar yang berlapis-lapis. Ditambah penjagaan militer yang ketat setiap harinya, membuat orang Amungme sama sekali tidak bisa mendekati dan menyentuh wilayah keramat mereka. Terlebih semua daerah konsesi Freeport saat ini dipagari kawat berduri dan penjagaan militer bersenjata lengkap, seperti di pos mile 64 sampai 78. Bahkan untuk masuk wilayah Tembagapura diperlukan surat izin khusus dari kantor Freeport di Jakarta. Belum lagi kawasan keramat yang lainnya disekitar freeport sudah berubah menjadi kawasan pemukiman pekerja freeport dan kawasan transmigrasi program pemerintah. Daerah ini sudah menjadi infrastruktur kota Freeport. Dengan demikian tanah-tanah suci dan dikeramatkan oleh orang suku Amungme sudah berpindah menjadi tanah-tanah milik Freeport. Jadi jangan terkejut bila ibu Amungme selalu menangis dan sakit hati bila melihat orang Freeport yang bekerja di atas tanah keramat mereka. Ditambah sakit hati mereka, keadaan ekonomi yang harusnya mereka ikut merasakan manisnya tembaga, emas, nikel, tapi tidak mereka rasakan. "Kami ingin berada di Irian Jaya lebih dari 100 tahun" (Milton H Ward, Chairman of The Board of Directors Freeport Indonesia Inc, 1991) "Freeport adalah pelopor penanaman modal asing di Indonesia" (Soeharto, 03 Maret 1973) Kedua suara inilah yang menyebabkan gaung ketidakadilan dan ketidakmerataan ekonomi di Papua mulai tumbuh. Yang satu menjual bangsanya sendiri dan yang satu menjajah bangsa orang Amungme. Masihkah Pemerintah terus berdiam diri melihat duka orang Amungme yang bertahan dengan hanya memandang tanah dan gunung keramat mereka sudah berubah ? dan menjadi milik bangsa lain ? Atau kita yang tega menjual tanah mereka dengan segelintir kekayaan ?




Sastra Lisan Suku Amungme

Kadang kata-kata sebagai lambang-lambang bunyi—tidak cukup mampu menggambarkan (me­ng­eks­presikan) secara utuh pengalaman batin manusia tentang rasa sedih, senang, marah, cinta dan takjub.

Arnold Mampioper dalam bukunya “Amung­me, Ma­nusia Utama dari Nemangkawi Pegu­nung­an Car­tenz” menuliskan, orang Amungme akan menge­luar­kan bunyi-bunyian yang khas (siul), ketika ber­diri dari atas sebuah bukit dan me­natap gunung Ne­mangkawi yang dilatarbela­kangi langit bersih dan sedikit awan Cirrus, dan dilerengnya terlihat asap mengepul dari ru­­mah-rumah penduduk. Bunyi-bunyian yang di­lakukan dengan cara melipat lidah ini sebenar­nya merupakan ekspresi dari rasa gembira menyaksikan alam raya yang sangat megah ini. Rasa gembira yang tergugah karena melihat ke­in­­dahan alam biasanya juga diekspresikan orang Amung­me dengan menyanyikan sebuah lagu Tem.

Ter­utama untuk mengingat heroisme laki-laki keti­ka melakukan perburuan dan membawa pulang ha­sil buruan untuk dimasak oleh ibunya dan disan­tap seluruh keluarga besar. Salah satu syair yang bia­sa dinyanyikan untuk menggambar­kan situasi ini adalah Kele Wawunia kele, ae, ao, baa. Niare Waw­nia niare, ae, ao, haa.

Selain itu, menurut Arnold, ada lagu purba Su­ku Amung­me yang mungkin sudah tidak di­pahami lagi oleh orang Amungme generasi se­karang. Misalnya la­gu purba yang syairnya Anga­ye-angaye, No emki un­taye. Angaye bao, aa, bao. Angaye-angaye wagana nikaro. Morae ba­nago, bao, aa, bao. Antok anu ae anago, bao, bao. Jilki untae bawano, bao, bao.

Menurut Kepala Kampung Amkayagama, Eko Ke­­lanangame, syair lagu ini berisi pujian pa­da gu­­nung, lembah, hutan dan rimba tempat Suku Amung­me hidup dan mengembara. Arti­nya dalam Ba­hasa In­do­nesia kurang lebih, “Ku­kasih gunung-gu­­nung, yang agung mulia. Dan awan yang mela­yang, keliling­ puncaknya. Ku­kasih hutan rimba, pe­lindung tanahku, kusuka mengembara di bawah naung­mu.”

Aktifitas Suku Amungme untuk mengekspre­si­kan perasaannya tentang manusia dan alam, tem­pat hidupnya sebenarnya merupakan bentuk-ben­tuk sastra lisan. Dalam bahasa yang sangat se­derha­na, sastra dapat dipahami sebagai cara ma­nusia mengeks­pre­sikan pengalaman batinnya tentang rasa senang, rasa sedih, rasa dicintai, atau merasa marah karena sebuah penolakan atau pengingkaran.

Sastra lisan biasanya mengandung gagasan, pi­kiran, ajaran dan harapan masyarakat yang biasa­nya di­dengarkan dan dihayati bersama-sama. Su­ku Amungme yang sejak dahulu belum menge­nal tulisan menurunkan ajaran-ajaran dan petuah-petuah adat ini secara lisan (dari mulut ke mulut) ke gene­ra­si berikutnya.

Menurut sejarahnya, sastra lisan berkembang le­­bih dahulu daripada sastra tulis. Dalam kese­ha­rian, aktivitas ini terjadi ketika seorang ibu mem­beri nasehat kepada anaknya, atau para tetua adat memberi petuah kepada anggota-anggota masyarakatnya.

Dalam hal ini, bahasa menjadi media untuk me­nya­takan gagasan atau menyampaikan suatu nilai. Menurut seorang filsuf Yunani yang sa­ngat terkenal, Plato, bahasa dipakai untuk mem­buat tiruan (me­nirukan) gambaran dari kenya­ta­an yang sebe­nar­nya. Aktivitas satra (lisan) ju­ga merupakan pe­ne­ladanan alam semesta dan se­kaligus model dari ke­nyataan ideal (yang diharapkan).

Aktivitas sastra lisan dalam Suku Amungme ju­ga dapat diamati pada kebiasaan masyarakat Amung­me menggunakan kiasan untuk menya­takan gagasannya.

Menurut Arnold Mampioper, Mozes Kilangin Ten­­bak yang mendampingi Pater Michael Ka­me­rer untuk menyelesaikan konflik antar warga Amungme di lembah Noemba-Wea-Tsinga pada 1953 pernah menggunakan kiasan, ”Kalian sudah menangkap kuskus di Tsinga dan Wea lantas membunuhnya, se­karang mau menangkap kus­kus di Noemba lagi?”

Kuskus, adalah hewan buruan yang sangat di­sukai kelompok-kelompok masyarakat suku di pegunungan tengah Papua. Mozes Kilangin menggunakan kuskus sebagai personifikasi dari anggota masyarakat yang selalu korban dari konflik antar warga.

Kiasan lainnya, diungkapkan oleh seorang Ke­pa­la Kampung Akimuga menanggapi seruan peti­ng­gi­ militer agar masyarakat tidak mudah dihasut. Ke­pa­la Kampung ini memakai kiasan, “Ba­pak, kami ini seperti ubijalar yang tumbuh antara dua buah ba­tu. Kami ditekan dan dimarahi­ di sini dan di persalahkan di sana. Mendengar di sana, tetapi dihantam di sini, jadi susah kami ini!”

Ubijalar yang termasuk makanan pokok masya­rakat dipakai untuk menggambarkan situasi riil ma­­syarakat Amungme menghadapi tekanan dari ke­lom­pok-kelompok kepentingan. Situasi sulit yang di­hadapi ini digambarkan dengan kiasan “ubijalar yang tumbuh antara dua buah batu”.

Sebagai sastra lisan, banyak syair oleh tokoh-to­koh suku terdahulu kemudian digubah menjadi la­gu untuk menggambarkan suasana sukacita, duka ci­ta, atau penyembahan. Tetapi menurut Arnold Mam­pioper, salah satu syair yang menimbulkan ke­san terdalam adalah syair yang digubah menjadi lagu duka. Berisi syair ratapan dan kesedihan menda­lam dari orang-orang terdekat dan kerabat.

“Nyanyian ratapan itu laksana paduan suara de­ngan harmoni, solo, sopran, alto, tenor dan bas. Ter­dengar sangat merdu dan menyayat hati,” tulis Arnold.

Mozes Kilangin tokoh masyarakat Amungme, termasuk salah tokoh yang me­ngembangkan syair-syair dalam sastra lisan Amung­me untuk lagu-lagu di sekolah dan ibadah natal. Kar­ya sastra, yang lisan maupun yang tulis—memang ha­nya kumpulan dari bunyi dan lambang bunyi, te­tapi dibalik simbol-simbol bunyi ini tersimpan se­mangat, ajaran, dan nasehat yang sangat penting untuk generasi masyarakat berikutnya.(TjahjonoEP)

Beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.
Selain bahasa dan asal muaasal suku Amungme suku Amungme telah menggunakan uang tukar resmi (rupiah) sebagai alat jual-beli, tidak lagi menggunakan sistem barter. Barang-barang yang dijual masih sangat terbatas, seperti: makanan pokok; petatas, keladi, umbi-umbian, minyak goreng, sayur-mayur, alat jahit-menjahit sederhana, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari lainnya seperti garam, sabun dan rokok.
Saat ini budaya barter maupun alat tukar eral sudah tidak pernah lagi digunakan oleh sebagian besar suku Amungme yang tinggal di perkotaan atau berdampingan dengan budaya kota. Berbeda dengan masyarakat suku Amungme yang tinggal di pedalaman bagian Utara, yaitu di daerah pegunungan masih menggunakan eral.
Eral sendiri adalah sistem tukar - menukar barang dengan alat tukar sah yang diakui masyarakat Amungme, berupa kulit bia (siput). Kulit bia ini diperoleh dengan tukar-menukar barang dengan masyarakat yang tinggal di pantai. Setelah kulit bia diperoleh, mereka membawa pulang ke tempat tinggalnya di pedalaman dan membentuknya menjadi alat tukar suku.
Mata pencaharian suku Amungme umumnya berburu karena ditunjang faktor alam dengan berbagai  jenis flora yang tumbuh lebat dan terdapat berbagai jenis fauna seperti babi hutan, burung kasuari, burung mambruk, kakaktua, dll, bertani dan bercocok tanam serta beternak, banyak di antara mereka telah bekerja di kota sebagai pedagang, pegawai  maupun karyawan swasta. 
Penutup
Demikian artikel ini dibuat demi menyelesaikan tugas sejarah dan semoga dengan tulisan ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang Indonesia dan menumbuhkan menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya.

Daftar Pustaka
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Amungme
http://id.mitologi.wikia.com/wiki/Suku_Amungme
http://tabloidjubi.com/home/2014/12/05/sastra-lisan-dalam-tradisi-suku-amungme/

Kelas A - Farah Aulia



Folklore Indonesia


Folklore Bukan Lisan Kain Tenun Songket 


Pengertian Folklor

Folklor adalah adat-istiadat tradisonal dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, dan tidak dibukukan merupakan kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun menurun.
Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. 
Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah mereka akui sebagai milik bersama. 

Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
  Perkembangan folklor tidak hanya terbatas pada golongan petani desa, tetapi juga nelayan, pedagang, peternak, pemain sandiwara, guru sekolah, mahasiswa, tukang becak, dan sebagainya. Demikian juga penelitian folklor bukan hanya terhadap orang Jawa, tetapi juga orang Sunda, orang Bugis, orang Menado, orang Ambon dan sebagainya. Bukan hanya untuk penduduk yang beragama Islam, melainkan juga orang Katolik, Protestan, Hindu Dharma, Buddha, bahkan juga Kaharingan (Dayak), Melohe Adu (Nias), dan semua kepercayaan yang ada. Folklor juga berkembang baik di desa maupun di kota, di keraton maupun di kampung, baik pada pribumi maupun keturunan asing, asal mereka memiliki kesadaran atas identitas kelompoknya. Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan lainnya, harus diketahui ciri-ciri pengenal utama folklor. Folklor memiliki ciri-ciri sebagai berikut. (a) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya. (b) Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. (c) Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan. (d) Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya. (e) Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut sahibil hikayat (menurut yang empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya dimulai dengan kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari). (f) Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam. (g) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan. (h) Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu. (i) Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya kasar atau terlalu sopan. Hal itu disebabkan banyak folklor merupakan proyeksi (cerminan) emosi manusia yang jujur.

Dalam mempelajari kebudayaan (culture) kita mengenal adanya tujuh unsur kebudayaan universal yang meliputi sistem mata pencaharian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi. 
Menurut Koentjaraningrat setiap unsur kebudayaan universal tersebut mempunyai tiga wujud, yaitu:

(a) wujud sistem budaya, berupa gagasan, kepercayaan, nilainilai, norma, ilmu pengetahuan, dan sebagainya;
(b) wujud sistem sosial, berupa tindakan sosial, perilaku yang berpola seperti upacara, kebiasaan, tata cara dan sebagainya;
(c) wujud kebudayaan fisik.
Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor Amerika Serikat, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan. 

Kain Tenun Songket Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam Bahasa Melayu dan Indonesia, yang berarti "mengait" atau "mencungkil". Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya; mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas. Selain itu, menurut sementara orang, kata songket juga mungkin berasal dari kata songka, songkok khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai. Istilah menyongket berarti ‘menenun dengan benang emas dan perak’.  Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak adalah semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari kain songket yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran serta bangsawan Kesultanan Melayu. Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak dara atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun songket. Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun secara tradisional. Karena penenun biasanya dari desa, tidak mengherankan bahwa motif-motifnya pun dipolakan dengan hewan dan tumbuhan setempat. Motif ini seringkali juga dinamai dengan nama kue khas Melayu seperti serikaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan penganan kegemaran raja.  Sejarah Singkat Kain Songket   Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan budaya Melayu, dan menurut sementara orang teknik ini diperkenalkan oleh pedagang India atau Arab. Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan benang sutera sedangkan orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah songket. Kain songket ditenun pada alat tenun bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper. Tidak diketahui secara pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan teknik tenun seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam yang kemudian berkembang ke selatan di Pattani, dan akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu sekitar tahun 1500-an. Industri kecil rumahan tenun songket kini masih bertahan di pinggiran Kota Bahru dan Terengganu. Akan tetapi menurut penenun Terengganu, justru para pedagang Indialah yang memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali di Palembang dan Jambi, yang mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11). Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya, kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera.  Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak di pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah delima, ang belum diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an masehi. Songket mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera. Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala Kain".Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar anjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai   Dokumentasi mengenai asal usul songket masih tidak jelas, kemungkinan tenun songket mencapai semenanjung Malaya melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan Melayu, karena songket yang berharga kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam suatu perkawinan. Praktik seperti ini lazim dilakukan oleh negeri-negeri Melayu untuk mengikat persekutuan strategis. Pusat kerajinan songket terletak di kerajaan yang secara politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal; benang emas sejatinya memang terbuat dari lembaran emas murni asli. Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir pada tahun 1849. Songket Palembang konon merupakan peninggalan dari kejayaan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-9 Masehi. Kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 ini pada perkembangannya kemudian mampu menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka, hingga mempunyai pengaruh cukup kuat di wilayah India dan Cina. songket,sarung dengan baju kurung. Sebagai wilayah yang dijuluki Swarnadwipa (Pulau emas), di bawah naungan kerajaan yang berkuasa saat itu emas sebagai logam mulia, telah memainkan peranannya yang penting.  Bahkan saking kayanya dengan emas, Raja Sriwijaya tiap harinya membuang sebungkal emas ke sebuah kolam dekat istananya, begitulah menurut kabar dari orang-orang Cina yang waktu itu memang aktif melakukan perdagangan dengan Sriwijaya. Jaringan perdagangan internasional ini membawa pengaruh besar dalam hal pengolahan kain tradisional mereka. Pada perkembangannya dimungkinkan bahan yang digunakan untuk membuat songket telah di kirim dari berbagai daerah. Sebagian emas dan beberapa logam mulai lainnya dari Sumatra, dikirim ke negeri Siam (Thailand) dan wilayah Vietnam —dua wilayah tersebut memang terkenal sebagai tempat pengrajin logam di Asia Tenggara, dari masa perundagian. Di sana, emas mereka jadikan benang, tentunya di wilayah Sumatra juga tradisi membuat benang emas sudah ada. Emas yang telah menjadi benang kemudian dikirim kembali ke kerajaan Sriwijaya untuk ditenun dengan menggunakan jalinan benang sutra berwarna yang sebagian mereka dapatkan dari India dan juga Tiongkok (Cina), tetapi sebagian besar dihasilkan oleh masyarakatnya. Palembang bahkan dikenal dengan pembudidayaan ternak ulat sutera untuk diambil benangnya.
Selain sebagai bandar dagang, wilayah Sumatra masa Sriwijaya juga merupakan pusat dari kegiatan agama Buddha terbesar di zamannya, bahkan tempat singgah para pelancong dari berbagai tempat. Kondisi ini dimungkinkan bahwa wilayah Sumatra kemudian sebagai wilayah yang telah membuka diri terhadap kedatangan “pihak asing”, adanya hubungan interaksi dengan dunia luar secara tidak langsung memengaruhi kebudayaan setempat. Meskipun begitu, Songket tetaplah ciri khas yang tidak ditemukan di wilayah lainnya dan mengisi khazanah kekayaan budaya masyarakat setempat, yang masih bisa dirasakan sampai saat ini.
Mulai melemahnya kerajaan-kerajaan di Nusantara pada akhir bad ke-18 khususnya di Pulau Sumatra dan munculnya kolonial Belanda, secara tidak langsung telah berdampak pada kerajinan tenun songket ini. Sampai menjelang Perang Dunia II, keberadaan songket bahkan mengalami kemunduran karena kesulitan mendapat bahan baku. Berakhirnya pengaruh Belanda di Nusantara karena meluasnya pengaruh Jepang di Asia Pasifik, hingga menjelang masa kemerdekaan sampai dengan tahun 1950, tenunan kain Songket seolah mati suri.

Kesulitan mendapatkan bahan baku dan memasarkan hasil produksi adalah permasalahan terbesar saat itu. Menjelang pertengahan abad ke-20, kerajinan kain songket diperkirakan kembali mulai bergiat terutama karena muncul inisiatif memanfaatkan kembali benang emas dan benang perak dari tenunan kain songket yang lama—yang sudah tidak dipakai, atau benang dasarnya sudah lapuk—untuk dijadikan tenunan kain songket yang baru. Selanjutnya kerajinan songket mulai banyak dikerjakan kembali oleh para pengrajin. Banyaknya bahan baku yang hadir di pasaran baik yang berasal dari Cina, Taiwan, India, Prancis, Jepang dan Jerman menandakan bahwa tenun songket mulai menapaki kejayaannya kembali. Mulai kembali banyak permintaan Songket di masyarakat, mungkin menjadi faktor pendukungnya. Pada akhir abad ke-20 dan menjelang abad ke-21, Songket bahkan telah merambahi dunia fashion sebagai salah satu bahan kain yang mengagumkan.
Keberadaan kain songket memang telah mengalami pasang surut dalam sejarahnya. Seiring dengan usaha masyarakatnya untuk mempertahankan peninggalan kebudayaan masa lampau itu, Songket kemudian dapat melewati tantang dari tiap zamannya. Bertahannya kain songket ini, selain memiliki bentuk yang indah juga karena nilai historis-nya, Songket dipertahankan terutama karena masih mendapatkan tempatnya dalam budaya mereka. Keberadaan kain songket, merupakan salah satu kekayaan bangsa yang harus dijaga keberadaannya agar tetap lestari.
 
Macam dan Jenis Kain Songket  Beberapa pemerintah daerah telah mempatenkan motif songket tradisional mereka. Dari 71 motif songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 22 motif songket Palembang yang telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, Lepus Pulis, Nampan Perak, dan Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar, termasuk motif Berante Berakam pada seragam resmi Sriwijaya Football Club. Selain motif Berante Berakam, beberapa motif lain yang belum terdaftar yakni motif Songket Lepus Bintang Berakam, Nago Besaung, Limar Tigo Negeri Tabur Intan, Limar Tigo Negeri Cantik Manis, Lepus Bintang Penuh, Limar Penuh Mawar Berkandang, dan sejumlah motif  lain.  Songket Lepus Lepus kurang lebih artinya menutupi; Songket yang benang emasnya hampir menutupi seluruh bagian kain. Sesuai motifnya, jenis Songket Lepus ini pun dikenal dengan berbagai macam nama: Lepus Lintang, yang memiliki motif bergambar bintang, Songket Lepus Berantai, Songket Ulir, dan lain-lain.  Songket Tawur Tawur kurang lebih artinya bertaburan atau menyebar. Songket Tawur ini memiliki motif yang tidak menutupi seluruh permukaan kain tetapi berkelompok dan menyebar. Benang pakan pembentuk motifnya juga tidak disisipkan dari pinggir ke pinggir kain. Yang termasuk ke dalam jenis Songket Tawur yaitu songket tawur lintang, songket tawur nampan perak, songket tawur tampak manggis, dan lain-lain.  Songket Tretes Pada kain Songket jenis Tretes ini umumnya tidak dijumpai pola atau motif pada bagian tengah kain. Misalnya motif-motif yang terdapat dalam Songket Tretes Mender yang hanya terdapat pada kedua ujung pangkalnya dan pada pinggir-pinggir kain, bagian tengah dibiarkan polos tanpa motif.  Songket Bungo Pacik Pada kain songket jenis Bungo Pacik, sebagian besar dari motifnya dibuat dari benang kapas putih, sehingga benang emasnya tidak banyak terlihat dan hanya mengisi sebagian motif selingan.   Songket Limar Songket Limar atau kain limar berbeda dengan pengerjaan songket lainnya. Songket ini ditenun dengan corak ikat pakan. Motifnya berasal dari  jalinan benang pakan (benang lungsi) yang diikat dan dicelup pewarna pada bagian-bagian yang diinginkan sebelum ditenun. Kain Limar ini biasanya digunakan untuk kain sarung laki-laki atau perempuan yang disebut sebagai sewet. Biasanya motif dari kain limar dikombinasikan dengan corak songket untuk digunakan wanita. Corak Kain limar pada bagian badan kain dan corak songket diletakan pada kepala kain.   Songket Kombinasi Songket Kombinasi, sesuai namanya merupakan perpaduan dari jenis-jenis songket lainnya, misalnya Songket Bungo Cina yang merupakan gabungan jenis motif songket Bungo Pacik dengan jenis Songket Tawur. Sedangkan jenis Songket Bungo Intan adalah gabungan antara Songket Bungo Pacik dengan jenis Songket Tretes .  Selain jenis songket-songket di atas, masih terdapat jenis songket lainnya yang umumnya dinamakan berdasar pada motifnya, misalnya Songket Pucuk Rebung, Songket Bungo Manggis, Bungo Tanjung, Bungo Melati, Songket Sorong dan lain sebagainya.  Motif kain yang sering menghiasi kain songket adalah motif bunga, ini menandakan bahwa aktivitas menenun memiliki kedekatan dengan dan untuk wanita serta mencerminkan wanita. Pada zaman dahulu songket itu mereka tenun sambil menunggu datangnya lamaran dari laki-laki. Walaupun sejarah telah mencatat bagaimana kain songket ini telah melewati berbagai lintasan zaman, namun kain songket tidak terlalu banyak mengalami penambahan motif. Motif bunga manggis dalam desain kain songket bahkan memperlihatkan persamaan dengan motif bunga yang terdapat pada candi Prambanan. Untuk membuat motif yang berbeda pada kain songket, biasanya ditenunkan dua atau tiga motif kain songket lainnya, sehingga menghasilkan perpaduan yang indah dan menarik tetapi, hal itu tidak keluar dari tata aturan yang mereka yakini. Warna yang digunakan dalam kain songket pada masa lalu didapat dari pewarna-pewarna alam; pohon dan buah kesumba misalnya dapat digunakan untuk campuran yang menghasilkan warna ungu, merah anggur, dan hijau.Warna ungu juga dapat dihasilkan dari kulit buah manggis. Warna kuning dari tanaman kunyit, sedangkan warna merah terang berasal dari kulit kayu sepang yang sudah berumur.
Untuk membuat warna dalam kain tenun jelas memerlukan pengetahuan yang tidak sembarangan dan ketersediaan pewarna-pewarna tersebut yang berasal dari tanaman atau jenis pohon tertentu harus dibudidayakan dekat dengan lingkungan mereka. Berkurangnya lahan untuk membudidayakan atau tanaman tersebut tidak lagi dijumpai menjadi indikasi bahwa bahan pewarna sudah berganti menjadi bahan pewarna tekstil yang umumnya digunakan dengan campuran kimia.



Simbol dan Perlambangan


Manusia sebagai makhluk simbolik atau Homo symbolicum. Simbol atau lambang tersebut sering digunakan manusia sehingga merepresentasikan makna bagi orang lain. Simbol-simbol itu tidak terkecuali juga hadir dan terdapat dalam warna serta motif kain songket



Setiap warna dalam kain songket memiliki makna yang dapat menujukan status dan keadaan dari si pemakainya, kuning sebagai lambang emas telah mewarnai kebesaran dan keagungan yang bukan hanya sebagai status kekayaan namun juga status sosial. Kain songket dengan warna hijau, kuning dan merah padam mungkin dipakai oleh mereka yang “janda”, sedangkan bila hendak menikah lagi mengenakan warna-warna yang terang dan lebih cerah.


 Songket biasanya dipakai sebagai busana pakaian adat untuk menghadiri dan menggelar upacara-upacara adat. Upacara perkawinan merupakan salah satunya. Songket tidak hanya menjadi busana pengantin, tapi mas kawin dan tamu undangan pun kerap menggunakan songket.


Songket umumnya tidak untuk dikenakan sehari-hari, ini menandakan bahwa kain songket tidak untuk dipakai sembarangan, karena selain “terlalu mewah” jika dikenakan sehari-hari, Songket juga mengandung makna-makna tertentu. Makna yang merupakan perlambang dari si pemakainya. Sebagai contoh, songket yang dikenakan untuk upacara perkawinan berbeda dengan Songket yang digunakan dalam upacara adat lainnya.


Seperti sudah menjadi kekhususan bahwa warna merah yang menyala harus dikenakan oleh pengantin sedang untuk upacara adat lainnya ada kelonggaran untuk memilih motif dan warna. Pada masa lalu pemakaian kain songket mungkin  dibedakan antara keluarga kerajaan, pegawai, bangsawan dan rakyat biasa. Perbedaan pemakaian kain songket penting karena dalam kain songket tersebut mempunyai motif-motif yang menyimbolkan “sesuatu”, makna yang coba direfleksikan oleh pemakainya.


Misalnya Songket dengan motif bunga tanjung yang melambangkan keramah-tamahan, dipakai untuk menyambut tamu, khususnya dipakai tua rumah sebagai ungkapan dari selamat datang.Songket dengan motif bunga melati melambangkan keanggunan, kesucian, dan sopan santun. Kain songket dengan motif bunga melati biasanya dikenakan oleh perempuan yang belum menikah.


Songket dengan motif pucuk rebung melambangkan sebuah harapan, sebuah doa dan kebaikan. Motif pucuk rebung selalu mengambil tempatnya dalam setiap perayaan adat, Motif tersebut hadir sebagai kepala kain atau tumpal. Mengenakan motif pucuk rebung dimaksudkan agar si pemakai diberkati dengan keberuntungan dan kemudahan dalam setiap langkah hidupnya.


Maksud dibuatnya sebuah hiasan tidak saja sekedar memperindah penampilan benda yang dihias. Namun, hiasanpun mampu dijadikan sebagai media komunikasi; yang menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada pengamat atau masyarakat di sekitarnya. Melalui motif hias yang ada pada songket dan ukiran kayu suatu rumah gadang dapat diketahui status keluarga pemilik/pemakai kedua jenis barang tersebut; bahwa pada dasarnya songket dan ukiran hanya dimiliki oleh pihak-pihak tertentu saja dan bukan untuk semarangan pakai.








 Jadi, fungsi dari kedua jenis produk ini bersifat sakral. Namun, akhir-akhir ini peranan benda yang disebutkan di atas telah bergeser kepada fungsi yang bersifat profan, yang bisa dimiliki oleh segala lapisan masyarakat dimana ia mampu untuk memperolehnya. Perkembangan fungsi ini dapat dilihat dari munculnya berbagai bentuk songket dan ukiran di Minangkabau selain dari pada struktur songket pada pakaian manusia dan struktur ukiran pada eksterior/interior rumah gadang.




Songket Saat Ini           

Ditinjau dari bahan, cara pembuatan, dan harganya; songket semula adalah kain mewah para bangsawan yang menujukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan tetapi kini songket tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada semata, karena harganya yang bervariasi; dari yang biasa dan terbilang murah, hingga yang eksklusif dengan harga yang sangat mahal.      
Kini dengan digunakannya benang emas sintetis maka songket pun tidak lagi luar biasa mahal seperti dahulu kala yang menggunakan emas asli. Meskipun demikian, songket kualitas terbaik tetap dihargai sebagai bentuk kesenian yang anggun dan harganya cukup mahal.
   
 Sejak dahulu kala hingga kini, songket adalah pilihan populer untuk busana adat perkawinan Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali. Kain ini sering diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin wanita sebagai salah satu hantaran persembahan perkawinan.

Pada masa kini, busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket sebagai kain yang dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala. Sedangkan untuk kaum perempuannya songket dililitkan sebagai kain sarung yang dipadu-padankan dengan kebaya dan baju kurung.         
Meskipun berasal dari kerajinan tradisional, industri songket merupakan kerajinan yang terus hidup dan dinamis. Para pengrajin songket terutama di Palembang kini berusaha menciptakan motif-motif baru yang lebih modern dan pilihan warna-warna yang lebih lembut  .
Hal ini sebagai upaya agar songket senantiasa mengikuti zaman dan digemari masyarakat. Sebagai benda seni, songket pun sering dibingkai dan dijadikan penghias ruangan.

Penerapan kain songket secara modern amat beraneka ragam, mulai dari tas wanita, songkok, dan bahkan kantung ponsel.



Daftar Pustaka