Minggu, 10 Januari 2016

Tugas 3 - Folklore Indonesia

Perjuangan Entong Gendut Melengkapi Sejarah Condet

Puji syukur senantiasa saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat, berkah, karuniah dan taufik hidayahNya, Saya sebagai penulis dapat menyelesaikan Tugas 3- Folklore Indonesia ini dengan keadaan baik walaupun diakui masih banyak kekurangan didalamnya. Dan tidak pula dilupakan ucapan terimakasih kepada bapak Drs. M.Shobirienur Rasyid selaku dosen mata kuliah sejarah indonesia yang telah memberikan tugas ini kepada saya.Saya sebagai penulis sangatlah berharap jikalau tugas ini dapat berguna dalam menambah pengetahuan dan wawasan para pembaca mengenai sejarah – sejarah di Indonesia. 

Saya pun juga menyadari bahwa tugas yang saya buat ini masih terdapat kekurangan – kekurangan dan bisa dibilang jauh dari kata sempurna. Saya berharap adanya kesadaran dari para pembaca untuk memberikan saran, kritik yang membangun demi meningkatkan wawasan penulis dalam tugas yang akan dibuat diwaktu yang akan datang.

Saya harap tugas yang sangatlah sederhana ini dapat dimengerti untuk siapapun pembacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan tugas ini di waktu yang akan datang.

Groeneveld Alias Condet

Menurut peta Jakarta lama, Condet termasuk ke dalam distrik Cililitan Besar. Data tertulis pertama yang menyinggung–nyinggung Condet adalah catatan perjalanan Abraham Van Riebeeck, ketika masih menjabat Direktur Jenderal VOC di Batavia (sebelum menjadi Gubernur Jendral). 


Dalam catatan tersebut, pada tanggal 24 September 1709 Van Riebeck beserta rombongannya berjalan melalui anak sungai Ci Ondet menuju Parung: “Over mijin lant Paroeng Combale, Ratudjaja, Depok, Sringsing naar het hooft van de spruijt Tsji Ondet” (De Haan 1911: 320).

Tanah Condet cukup subur, buah-buahannya manis. Salak Condet yang terkenal itu selain manis juga “masir”. Dulu penduduk Condet memang hidup dari pertanian, walau sebagian kecil ada juga yang menjadi kusir delman atau berdagang.

Di abad ke- 18 orang Belanda menyebut Condet dengan sebutan Groeneveld, yang berarti Tanah Hijau. Pada waktu itu Condet termasuk bagian dari tanah partikulir Tandjoeng Oost atau Tanjung Timur milik Peter Van Der Velde asal Amersfoort (De Haan 1910:50).

Sejarah Tanjung Timur

Sejarah landhuis Tanjung Timur tidak bisa dipisahkan dari Willem Vincent Helvetius van Riemsdijk, anak lelaki dari Gubernur Jendral Jeremias van Riemsdijk yang menjadi gubernur jendral pada tahun 1775-1777.

Tetapi kalau ditelusuri siapa yang membangun landhuis Tanjung Timur, kita akan sampai pada Pieter van de Velde, anak dari Amersfoort, yang tahun 1740-an menjabat klerk. Ia kemudian menjadi anggota Dewan Hindia, direktur dari Sositet Amfiun dan pimpinan rumah sakit. Ketika terjadi pembantaian orang Cina pada tahun 1740, ia mengambil alih tanah di sebelah selatan Meester Cornelis, yang sebelumnya dimiliki oleh Kapiten Cina Ni Hu Kong. Sampai tahun 1750 ia menambah penguasaan tanah di situ, antara lain dengan membeli tanah Bupati Cianjur, Aria Wiratanoe Datar. Tanah itulah yang kemudian dikenal sebagai tanah Tanjung Timur atau Groeneveld.

Di atas tanah itu pada tahun 1756 ia membangun rumah besar (landhuis) dengan model berbeda dari rumah-rumah Belanda di kota tua. Bentuknya adalah vila tertutup. Van de Velde tidak lama menikmati rumah besar itu. Ia meninggal pada tahun 1763. Pewarisnya menjualnya pada tahun 1759 pada Adriaan Jubbels, seorang tuan tanah kaya-raya dari usaha penggilingan tebu di sekitar Betawi. Ketika ia meninggal pada tahun 1763, rumah Groeneveld dibeli oleh Jacobus Johannes Craan, yang kemudian memperbaiki bangunan dan mengganti pintu dengan kayu ukiran.
Craan merupakan pemilik tanah yang kaya-raya dengan sejumlah jabatan yang menguntungkan. Ia tidak saja menjadi direktur dari Sositet Amfiun (perkumpulan candu), komisaris dari tanah-tanah milik kumpeni di daerah hulu (udik) Betawi, dan menjadi anggota Dewan Hindia.

Craan yang mengawini gadis berumur 15 tahun itu sempat lama tinggal di situ. Salah seorang anaknya, Catharina Craan, menikah dengan Helvetius van Riemsdijk.
Ketika ayah mertuanya meninggal, Riemsdijk memperoleh warisan tanah luas itu pada tahun 1781. Perjalanan hidup Riemsdijk muda ini dengan jelas menunjukkan adanya KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) di lingkungan kumpeni.
Riemsdijk muda dilahirkan pada tahun 1752. Ayahnya, Jeremias van Riemsdijk, merintis dari bawah. Ia pernah menjadi kapten dalam dinas kumpeni. Pada tahun 1735 dalam usia 23 tahun Jeremias hidup tanpa uang di Hindia Timur. Tetapi hanya dalam waktu sepuluh tahun ia menjadi tokoh yang kaya dan berpengaruh di Betawi. Posisi itu membuat keturunan Riemsdijk mudah mendapatkan jabatan di lingkungan kumpeni.
Helvetius Riemsdijk masuk dengan pangkat asisten. Tujuh tahun kemudian ia mencapai jabatan administratur tingkat satu, dan ditempatkan di pulau Onrust, pulau tempat memperbaiki kapal-kapal kumpeni.

Sejak menduduki jabatan penting, mulai tahun 1790-an ia mengoleksi tanah-tanah di berbagai kawasan penting Betawi. Misalnya Tanah Abang, Cibinong, Cimanggis, Papisangan, Ciampea, Cibubulang, Sadeng, dan terutama sekali Tanjung Timur. Pada tahun 1777 jumlah penghasilannya mencapai 453.000 rijksdaalder (1 rds = 2,5 gulden).

Salah seorang anaknya, Daniel van Riemsdijk (1783-1860) tinggal di tanah itu. Ia seorang petani sukses, yang sempat memiliki 6.000 sapi. Maka sejak tahun 1830 Tanjung Timur dikenal sebagai tempat penghasil susu.
Ketika ia meninggal pada tahun 1860, warisannya jatuh pada anak perempuan Dina Cornelia, yang kemudian menikah dengan Tjaling Ament, seorang Belanda berasal dari Fries.

Landhuis Tanjung Timur juga mencatat peristiwa bersejarah, ketika Gubernur Jendral Van Imhoff bertemu dengan Ratu Syarifa Fatimah, yang menjadi penguasa Banten, setelah suaminya sakit. Mereka merundingkan hubungan yang lebih baik antara kumpeni dan Banten. Tetapi perundingan itu tidak mampu mengubah jalannya sejarah.


Tandjoeng Oost mengalami masa kejayaan ketika dikuasai oleh Daniel Cornelius Helvetius van Riemsdijk yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan. Setelah dia meninggal pada tahun 1860, Groeneveld menjadi milik putrinya yang bernama, Dina Cornelia, yang menikah dengan Tjaling Ament, asal Kota Dokkum, Belanda Utara. Ament melanjutkan usaha mertuanya, meningkatkan usaha pertanian dan peternakan. 

Setelah Tjaling Ament dan istrinya meninggal, Groeneveld dikuasai oleh Lady Rollinson, seorang kaya dari Inggris. Sebagai tuan tanah yang menguasai Condet, bangsawan Inggris tersebut mengharuskan rakyat Condet membayar pajak. Juru tagihnya para mandor dan centeng tuan tanah.


Saksi Bisu Perjuangan Entong Gendut & Rakyat Condet
Gedung Villa Nova atau Groeneveld yang diserang oleh Haji Entong Gendut beserta pemuda Condet itu adalah gedung satu-satunya dan terbesar di daerah Condet ketika itu. Keberadaan gedung tersebut membawa ciri khas bagi daerah tersebut sehingga banyak masyarakat pada waktu itu memberi nama daerah tersebut dengan julukan sebagai Kampung Gedong. Dan penamaan ini masih bertahan hingga sekarang, terbukti dengan adanya kampung Gedong di wilayah Condet.Mengenai sejarah gedung Villa Nova atau Groeneveld yang menjadi asal mula terbentukya kampung Gedong memiliki kisahnya tersendiri. Gedung ini dibangun oleh Vincent Riemsdijk, anggota Dewan Hindia, sebagai perkebunan dan sekaligus peristirahatan. Setelah kematiannya, putranya Daniel van Riemsdijk, seorang petani andal, benar-benar mengurus perkebunan Tanjung Timur dan mengelolanya dengan baik. Pada waktu itu, 6.000 ekor sapi digembalakan di perkebunan ini, tempat yang sekarang berdiri gedung-gedung megah dan jalan raya dari Tanjung Timur ke Terminal Kampung Rambutan.[9]

Di gedung ini pada 1749 pernah berlangsung pertemuan antara Gubernur Jenderal Von Imhoff dan Ratu Syarifah Fatimah, wali sultan Banten. Syarifah, wanita terdidik dan cerdas, pada 1720 menjadi istri Pangeran Mahkota Banten, Zainul Arifin. Ia sangat berpengaruh terhadap suaminya ketika menjadi sultan Banten (1733). Tapi, Syarifah sendiri meninggal dengan merana karena dibuang ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu, akibat pemberontakan Kyai Tapa (1750). Ia ditangkap akibat ambisinya untuk mengangkat Syarif Abdullah, yang menikah dengan keponakannya, untuk dijadikan pangeran mahkota Kesultanan Banten.Gedung yang juga dikenal dengan Villa Nova itu telah beberapa kali berganti pemilik. Menurut Ran Ramelan tiap penggantian tuan tanah ini, diadakan peraturan baru yang memberatkan rakyat Condet. Terhadap tiap pemuda Condet yang telah menginjak dewasa dikeluarkan kompenian atau pajak kepala sebesar 25 sen (nilainya kira-kira 10 liter beras). Karena banyak petani yang tidak sanggup membayar blasting (pajak) yang sangat memberatkan itu, tuan tanah sering membawa petani yang tak sanggup membayar ke landraad (pengadilan). Dan tuan tanah di Condet sering mengeksploitasi masyarakat sehingga akibatnya banyak petani yang bangkrut, rumahnya dirusak, atau tak jarang yang dibakar. Penduduk yang belum membayar blasting hasil sawah dan kebunnya tidak boleh dipanen


Siapa Itu Entong Gendut

Berdasarkan beberapa literatur yang saya baca, Entong Gendut ini digambarkan sebagai sosok yang pemberani dalam melawan kezaliman dan kesewenang-wenangan Tuan Tanah yang didukung oleh Penjajah Belanda.  Dinamakan Gendut karena perawakannya agak gemuk. Panggilan Entong sendiri merupakan panggilan akrab kepada yang muda pada masa itu. Di beberapa wilayah seperti Pondok Gede dan Bekasi, panggilan Entong ini bahkan masih sering saya dapati. Bahkan salah seorang orangtua sahabat saya, kalau ketemu saya selalu memanggil saya Entong...

Keberadaan atau kisah Entong Gendut ini dapat saya katakan sangat minim referensinya dalam sejarah Jakarta, namun bagi orangtua di Condet yang usianya diatas 70 tahun, nama yang satu ini sangatlah melekat dihati mereka. Entong Gendut sendiri kisahnya sudah masuk dalam Forklore (cerita rakyat). Itu artinya keberadaan beliau sudah diakui masyarakat Jakarta baik secara fakta maupun legenda, jadi sangatlah mengherankan jika ada warga Jakarta, apalagi mereka yang senang akan sejarah tidak mengenal sosok Entong Gendut ini.

Entong Gendut memang sosok yang misterius dan cukup menarik untuk dilacak sejarahnya. Beberapa tahun lalu untuk melacak jejak dirinya, saya pernah mendengar jika beliau ini punya keturunan yang tinggal di sekitar Gang Pangeran di samping SMA Global Islamic School. Memang jika saya melihat Gang Pangeran ini masih ada beberapa peninggalan rumah betawi Tua, yang satu berada di samping mushola yang satu dipinggir jalan Gang Pangeran. Insya Allah ke depannya saya akan mencoba mencari jejak keturunan Entong Gendut ini.

Dalam perjalanan hidupnya Entong Gendut adalah sosok pembela rakyat Condet yang telah lama ditindas secara semena-mena oleh Tuan Tanah dan antek-anteknya. Tuan Tanah dari bangsa asing ini serta penjajah Belanda banyak berbuat zalim dengan cara membuat pajak tanah dan pajak tanaman dengan nilai uang yang sangat  tinggi, bahkan mereka tidak segan-segan merampas secara sefihak tanah-tanah pertanian rakyat.  Tanah Condet pada masa lalu memang sangat makmur dan menjanjikan bagi para pemiliknya, apalagi daerah ini merupakan dataran tinggi yang aman dari wilayah banjir serta jauh dari pengawasan pemerintahan Penjajah Belanda yang berada dipusat kota seperti daerah Jakarta Pusat yang sekarang ini.

Perlawanan para pemuda dan pejuang Jakarta terhadap para Tuan Tanah dan Penjajah pada masa lalu memang kebanyakan berawal dari masalah pertanahan. Sejak dahulu masalah tanah selalu menjadi gejolak antara si kaya dan si miskin, antara rakyat dan penguasa. Tanah-tanah rakyat inilah yang akhirnya selalu menjadi penyebab timbulnya perjuangan. Tanah yang harusnya menjadi milik pribumi, justru telah dirampas dan dimiliki oleh Tuan Tanah dari Bangsa Asing. Ironisnya Tuan Tanah dari Bangsa Asing ini banyak juga dibantu oleh para penghianat yang rela mengorbankan darah saudaranya sendiri demi kepuasan harta dunia. Rakyat seperti bukan hidup di negerinya sendiri. Mereka seperti tamu di negerinya sendiri, bangsa asinglah yang justru menjadi Raja. Rakyat betul-betul menderita dan itu juga dialami oleh Entong Gendut. Sekalipun rakyat dicekam ketakutan oleh tindak tanduk Tuan Tanah dan Penjajah Belanda,  namun hampir semua rakyat Condet sangat mendukung dan simpati terhadap perjuangan Entong Gendut ini,  walau mereka hanya bisa mendukung melalui doa. Rakyat memang tidak bisa membantu langsung perjuangan Entong Gendut itu karena mereka selalu  dicekam ketakutan karena telah terus menerus mendapatkan ancaman intel-intel dan pasukan Belanda yang terus mencari keberadaan Entong Gendut dan kawan-kawannya.

Perlawanan Entong Gendut sendiri muncul setelah redupnya perlawanan Pendekar Pitung, dimana satu persatu anggotanya Syahid dan gugur ditangan penjajah Belanda.

Dalam beberapa riwayat, dan ditulis yang kami ketahui beberapa tahun lalu, Perlawanan Entong Gendut ini tidak lama karena keburu “gugur” oleh Penjajah Belanda. Nah pada sisi inilah saya ingin  menjelaskan sejarahnya lebih dalam lagi. Pada beberapa versi yang pernah kami ketahui, Entong Gendut ditulis gugur pada tahun 1916 Masehi setelah tertembak ditepi sungai Ciliwung. Versi kedua Entong Gendut “naas” karena menyalahi pantangan ilmunya yang tidak boleh menyeberangi sungai, sehingga ia akhirnya tertembak dan tewas. Versi ketiga Entong Gendut Gendut terjebak di tepian sungai Ciliwung dan ditembaki oleh pasukan Belanda, namun beliau dikatakan kebal dan tahan peluru, namun akhirnya menyerah karena kalah jumlah, kemudian dia memberi tahu kelemahan ilmu yang dimilikinya. Versi keempat beliau tertembak dan tewas kemudian mayatnya dibawa ke Cililitan namun kemudian ternyata hilang, kemudian tidak lama kemudian terdengar bahwa beliau “hidup” dan muncul di Purwakarta Jawa Barat.

Dari sekian versi tersebut, semua rata-rata menyatakan bahwa Entong Gendut gugur, walaupun ada beberita cerita yang dipengaruhi unsur mistik, dan cerita seperti ini memang biasa disebarkan fihak fihak penjajah kepada rakyat untuk menggambarkan bahwa “sesakti-saktinya” jagonya pribumi, tetap saja ia kalah oleh Penjajah ! Padahal kematian Entong Gendut jauh dari prasangka dari penjajah ini.

Namun berdasarkan keterangan kitab Al-Fatawi dan keterangan KH Ahmas Syar’i Mertakusuma. Entong Gendut ini seperti yang digambarkan diatas. Entong Gendut memang gugur namun caranya tidaklah seperti yang diatas.

Perjuangan Entong Gendut



Menghadapi kebijakan tuan tanah seperti itu, rakyat Condet masih berusaha sabar. Namun, ketika kebun milik seorang penduduk bernama Taba dibakar karena belum membayar pajak, mereka akhirnya bangkit melakukan perlawanan. Pada 5 April 1916 Villa Nova diserang oleh para petani Condet. Pemberontakan itu dipimpin Haji Entong Gendut, seorang jawara yang dikenal saleh.

Para pendekar persilatan yang berada di Tanjoeng Oost khususnya, dan Condet umumnya bersatu melawan para tuan tanah dan centeng-centengnya yang sering menindas rakyat. Teriakan-teriakan “Allahu Akbar! Sabilullah! gua kagak takut!” menggema ke seantero Condet, mewakili genderang perang jihad menegakkan amar makruf nahi munkar.

H Entong Gendut, dibantu oleh beberapa tokoh lainnya seperti Maliki, Modin, Saiprin (Ngkong Prin/Babe Cungok), H. Amat Wahab, Said Kramat, Hadi, Dullah, dan orang-orang keturunan Arab dari Cawang seperti Ahmad Al Hadad, Said Mukhsin Alatas, dan Alaydrus, menentang tuan tanah dan Kompeni Belanda.

Akibat serbuan itu, beberapa keluarga tuan tanah berhasil ditawan. Bahkan bebeapa pejabat Belanda yang datang dari Meester Cornelis untuk memadamkan pemberontakan itu juga ditangkap Haji entong Gendut dan kawan-kawan.

Hal ini membuat pihak Belanda marah dan mengerahkan bala bantuan dari Batavia. Pemberontakan berhasil ditumpas. Haji Entong Gendut gugur. Kelihaiannya bermain jurus silat Sapu Angin, tidak menghalangi hunjaman peluru Belanda yang deras mengarah ke dadanya. 
Dia tersungkur tertembak ketika terpancing Belanda untuk menyeberangi kali Ciliwung. Konon, menurut cerita rakyat, kekebalan Entong Gendut akan luntur apabila terkena air sungai.

Demang Mester Cornelis yang kala itu memimpin penumpasan rakyat Condet, memerintahkan untuk membawa Entong Gendut ke Rumah Sakit Kwini (kini RSPAD). Namun, di tengah perjalanan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Satu persatu para pengikutnya ditangkapi.

Setelah pemberontakan itu, tindakan tuan tanah dan Kompeni terhadap rakyat Condet semakin kejam, sehingga tidak ada seorang pun orang dewasa yang berani tinggal di Condet. Mereka semua melarikan diri dari kejaran Belanda. Beberapa pendekar lain seperti Maliki, Modin, Hadi, dan Dullah melarikan diri ke arah timur, yaitu Rawa Binong (sekarang termasuk Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur).

Bahkan di jalan-jalan Batavia sampai tidak ada yang berani mengaku orang Condet. Kala itu banyak pemuda Condet yang ditangkap dan pulang tinggal nama. Situasi mencekam itu digambarkan dalam pantun rakyat Condet yang cukup terkenal :

Ular kadut mati di kobak, Burung betet makanin laron
Entong gendut mati ditembak, Orang Condet pada buron.


Motif Lain  Dibalik Perjuangan Entong Gendut
Entong Gendut dalam catatan KH Ahmad Syar’i Mertakusuma ternyata adalah merupakan bagian dari strategi perjuangan dari Mujahidin Jayakarta. Entong Gendut ini ternyata masuk dalam jaringan Gerakan Perjuangan KI DALANG yang berpusat di Desa Teluk Naga Kampung Melayu Tangerang, sedangkan Majelisnya berada di Kampung Bambu Larangan Cengkareng, Masjid Kumpi Haji Kuntara Nitikusuma (kini nama Masjid Kuntara berganti menjadi Masjid Safinatul Husna). Pada waktu itu wilayah Tangeran Kampung Naga masuk menjadi wilayah Jayakarta. Dan di wilayah Tangerang dan Cengkareng inilah banyak terdapat Mujahidin Jayakarta.

Gerakan KI DALANG adalah gerakan Perjuangan Mujahidin Jayakarta, setelah redupnya perlawanan 7 Kesatria Jayakarta, Pendekar Pituan Pitulung (Pitulung). Tumbangnya gerakan Pitung di tahun 1905 Masehi setelah gugurnya Penghulu mereka yaitu Radin Muhammad Ali Nitikusuma, setelah itu semua Mujahidin Jayakarta melakukan konsolidasi dibawah tanah hingga kemudian akhirnya pada tahun 1914 muncul Gerakan Perjuangan Ki Dalang.
Gerakan Ki Dalang adalah gerakan perlawanan terhadap kezaliman Tuan Tanah dari bangsa asing ataupun bangsa sendiri yang didukung Penjajah Belanda. KI Dalang ini memang banyak yang terdiri dari Dalang, namun dalam praktek perdalangannya mereka menyebarkan ajaran jihad fisabilillah terhadap pada Tuan Tanah dan Penjajah Belanda. Kata-kata “kafir” sering dikumandangkan untuk membedakan antara Tuan Tanah, penjajah dan rakyat Jayakarta.

Gerakan Ki Dalang dimulai tahun 1914 dan berakhir pada tahun 1926.

Dalam perjuangan KI Dalang ini Entong Gendut mendapatkan tugas  di bagian Timur Jayakarta, termasuk Desa Condet, sedangkan bagian Selatan yang mendapatkan tugas adalah Entong Geger dari Jati Padang Pasar Minggu. Peta pergerakan Entong Gendut adalah dimulai dari Kampung Condet sampai wilayah Tanjung Barat. Setiap beberapa bulan mereka melakukan konsolidasi dan mematangkan strategi dengan para pejuang Jayakarta lainnya.

Perjuangan Entong Gendut ini cukup membuat repot Penjajah Belanda dan membuat ketakutan para Tuan Tanah di kawasan Condet dan Tanjung Barat, apalagi Entong Gendut ini tidak segan-segan memberikan “hukuman” keras kepada mereka yang berfihak kepada Penjajah dan Tuan Tanah, berapa kali ia bersama dengan teman-temannya berhasil memberi pelajaran telak kepada pasukan belanda, Tuan Tanah dan antek-anteknya.

Semangat perjuangan Entong Gendut adalah Jihad Fi Sabilillah, sehingga apabila dia mendengar atau melihat langsung kemungkaran, maka Entong Gendut akan segera bertindak. Semangat Islamnya sangat luar biasa sekali.  

Perjuangan Entong Gendut sendiri harus berakhir pada tahun 1920 Masehi. Pada tahun inilah Entong Gendut tertangkap Belanda. Bersama dengan tokoh KI Dalang lainnya dia tertangkap tangan. Mereka yang tertangkap adalah :

1.                  Radin Abdul Karim bin Daim Nitikusuma
2.                  Entong Geger dari Jati Padang
3.                  Entong Gendut dari Condet
4.                  KH Ahmad Syar’i Mertakusuma
Penutup
Demikianlah sekelumit sejarah Entong Gendut yang ternyata merupakan salah satu Mujahidin Jayakarta dan merupakan satu rekan perjuangan dari Al-Allamah KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang merupakan penulis kitab Al-Fatawi,semoga kisah Entong Gendut ini menjadi inspirasi bagi kita semua dan saya berharap kedepannya, nama Entong Gendut ini bisa diperhatikan untuk diabadikan atau dijadikan nama sebuah jalan atau tempat di sekitar Condet, karena beliau ini adalah seorang pejuang dan mujahidin yang telah berani membela kehormatan rakyat Jakarta dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Mudah-mudahan tokoh masyarakat, ulama dan pemerintah setempat bisa memperhatikan nama pejuang yang satu ini.....

Daftar Pustaka

Fahrul Rozi
4423155443
Usaha Jasa Pariwisata B

3 komentar: