Kamis, 07 Januari 2016

folklore tugas 3 kota magelang

floklore kota megelang jawa tengah
 
nama :fadhel musi syauqi
nim :   4423155616
kelas :  pariwisata B
 
 
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT. Begitu banyak nikmat dan rohmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya, semoga kita senantiasa dijadikan sebagai hamba-Nya yang patuh terhadap perintahNya dan selalu berusaha untuk menjauhi semua laranganNya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas folklor dengan judul KOTA MAGELANG . mendapatkan bantuan dari berbagai sumber sehingga penyusunan tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.
Meskipun saya berharap isi dari tugas folklor ini tidak memiliki kekurangan dan kesalahan saya mohon maaf sebesar besarnya kepada bapak SHOBIRIEN
Akhir kata, saya berharap agar tugas ini dapat memberikan manfaat dan hal-hal positif lainnya untuk semua pembaca.
 
pembahasan :
 
Wilayah Magelang terletak di daerah pedalaman yang mempunyai tanah yang subur. Letak geografis Magelang berada di tengah-tengah wilayah Jawa Tengah. Dilihat dari segi astronomis, Magelang terletak antara 110 12’ 52” BT dan 110 12’ 30” LS. Hal itu menyebabkan Magelang terletak di jalur strategis antara Yogyakarta, Semarang, dan Purworejo. Luas wilayah Kota Magelang kurang lebih sekitar 18,12 km2 dan hanya memiliki tiga kecamatan, yaitu Magelang Utara, Magelang Tengah, dan Magelang Selatan. Magelang merupakan kota dengan wilayah terkecil di Jawa Tengah.
      Wilayah Magelang menurut letak geologis dikelilingi oleh pegunungan berapi. Di sebelah barat terdapat Gunung Sumbing dan di sebelah timur terdapat Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Di tengah Kota Magelang terdapat Gunung Tidar. Gunung Tidar merupakan bukit tertinggi di lembah Sungai Progo dan Sungai Elo.
       Topografi Magelang yang terletak di daerah dan dikelilingi oleh pegunungan, menyebabkan Magelang memiliki ketinggian antara 375-500 mdpl (meter diatas permukaan air laut). Wilayah dengan ketinggian 380 m seperti Magelang, memiliki curah hujan yang tinggi ±2952 mm per tahun dengan suhu yang relatif dingin. Iklim Magelang cukup lembab antara 25-27° celcius dengan kelembaban udara 60%.
       Orang-orang Eropa menyukai udara di Magelang yang memiliki iklim sejuk dan panorama indah. Keindahan Magelang telah dicatat oleh seorang peneliti alam di Jawa dan Tapanuli, Frans W. Juhnhuhn (1804-1864) dalam perjalanannya dari Semarang ke Yogyakarta pada tahun 1836. Perjalanan Juhnhuhn melewati Ungaran, Ambarawa, Magelang, dan Muntilan. Pada saat berada di Magelang, Juhnhuhn sempat bermalam di hotel kecil milik orang Inggris. Panorama keindahan Magelang juga tercatat dalam Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 dan menyebut nama Raja Sanjaya. Terjemahannya kurang lebih sebagai berikut:
“ Ada sebuah pulau yang mulia bernama Jawa, tak ada bandingannya,            
 kaya padi dan emas, penuh tempat suci, terutama tempat pemujaan lingga    ...
      Di Pulau Jawa tersebut, yang dimuliakan sebagai mustika diantara              
tempat kediaman manusia lainnya, memerintahkan seorang raja ...
      Sri Sanjaya namanya ...”
      Lokasi ditemukannya prasasti Canggal yaitu di Desa Canggal, Kecamatan Ngluwar (sebelah selatan Muntilan). Berdasarkan letak penumuan prasasti tersebut dapat ditafsirkan bahwa daerah yang dimaksud dengan Jawa adalah daerah sekitar lembah Sungai Progo dan Sungai Elo. Daerah lembah itu merupakan daerah Kedu. 
 
Kerajaan Mataram Hindu berdiri sekitar abad ke 8. Kerajaan Mataram Hindu dikenal melalui prasasti yang ditemukan di Desa Canggal (Barat daya Magelang). Prasasti Canggal berangka tahun 732 M, ditulis dengan huruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta. Isi dari prasasti Canggal yaitu untuk memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) diatas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja (di Gunung Wukir) oleh raja Sanjaya. Daerah Kunjarakunja terletak di pulau yang bernama Yawadwipa. 
       Munculnya Kerajaan Mataram Kuno berawal dari Cerita ParahyanganDalam kitab ini diceritakan bahwa, Sanna melarikan diri setelah dikalahkan oleh Purbasora dari Galuh yang berada di Jawa Barat. Akhirnya Sanna menyingkir ke daerah Lereng Gunung Merapi. Awalnya Yawadwipa diperintah oleh Sanna, namun setelah Sanna wafat pecahlah perang karena kerajaan kehilangan pelindung. Peperangan tersebut dapat diselesaikan dengan naiknya Sanjaya menduduki tahta kerajaan. Sanjaya berhasil menaklukan Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali. Ia membawa kemakmuran dan ketentraman bagi rakyatnya. Hal tersebut menjadi awal dari perkembangan sejarah Magelang. 
       Pada masa Kerajaan Mataram Hindu, dapat diperkirakan Magelang mulai dikenal sejak pemerintahan Raja Sanjaya melalui Prasasti Canggal. Kemudian lebih dikenal lagi saat pemerintahan Raja Balitung yang bergelar Rake Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawotsawatungga. Raja Balitung memerintah dari tahun 898 sampai 910 Masehi. Dimasa pemerintahannya, daerah timur Mataram dapat ditaklukan. Daerah kekuasaan Mataram meliputi Bagelan (Jawa Tengah) sampai daerah Malang (Jawa Timur). Pusat pemerintahan Raja Balitung berada di daerah MedangI Poh Pitu (Kedu).
      Keberadaan Magelang pada masa kerajaan Mataram Hindu dapat diketahui berdasarkan Prasasti Poh, Prasasti Mantyasih dan Prasasti Gilikan. Prasasti Poh terdiri atas dua lempengan (lembaran) tembaga, berukuran panjang 50 cm dan lebar 20, 5 cm. Prasasti Poh ditulis pada Rabu Pon tanggal 17 juli 907 M. Prasasti Poh ditemukan di Desa Plembon, Kelurahan Randusari,Kecamatan Gondangwinangun, Kabupaten Klaten. Prasasti Poh ditulis pada tahun 827 Saka, bulan Srawana, tanggal 13 paro-terang (suklapaksa), Paringkelan Paniruan (sadwara), pasaran Pon (pancawara), hari Budhawara (saptawara).
       Isi dari prasasti Poh yaitu menyebutkan nama desa Poh yang ditetapkan oleh raja Balitung menjadi daerah sima (daerah bebas pajak) untuk keperluan bangunan suci di Pastika. Dalam prasasti Poh disebutkan  adanya desa Glam, desa Glang-glang dan Mantyasih, penyebutan nama desa tersebut menjadi asal-usul nama Magelang.
       Prasasti Mantyasih I terdiri atas dua lempengan tembaga berukuran panjang 49, 3 cm dan 22,2 cm. Prasasti Mantyasih ditulis pada 11 April 907 M. Isi dari prasasti Mantyasih yakni menyebutkan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung. Dalam prasasti tersebut juga menyebut angka-tahun 829 Saka, bulan caitra (Kesanga, Maret-April), tanggal 11 paro-gelap (kranapaksa), peringkelan Tungle, pasaran Umanis hari Sanaiscara, Yoga Indra (menurut perhitungan Demais tarih prasasti Mantyasih I bertepatan dengan tanggal 11 April 907 M, hari Sabtu Legi/Umais).
       Prasasti Mantyasih juga menyebutkan tentang ditetapkannya desa Mantyasih oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung menjadi desa pardikan (sima kepatihan) yang dipimpin oleh lima patih secara bergiliran dalam kurun waktu tiga tahun. Selain itu juga menyebutkan hutan di gunung Susundra dan wukir Sumwing (sekarang disebut Sindara-Sumbing). Gunung Sindara dan Gunung Sumbing merupakan gunung yang mengelilingi wilayah Magelang di sebelah barat.
      Prasasti gilikan tidak diketahui pasti dimana tempat ditemukannya. Prasasti tersebut saat ini berada di museum Jakarta. Prasasti Gilikan I diperkirakan berasal dari zaman Empu Sindok sekitar tahun 924 M. Isi pokok dari prasasti gilikan yaitu menyebutkan sebidang tanah seluas empat tampah yang dijadikan persembahan untuk bahtera di Glam. Selain itu juga menyebutkan tentang adanya kutukan bagi siapa saja yang berani melanggar perintah pemerintah kerajaan, dan menyebut pejabat Wahuta (jabatan setelah Patih), Patih, dan kepala desa (Rama) desa Gilikan.   
      Telah disebutkan dalam sumber prasasti bahwa, awalnya Magelang merupakan desa pardikan (bebas pajak) yang bernama Mantyasih. Pada jaman dahulu, penduduk Mantyasih pernah berhasil menumpas gerombolan pengacau di jalan raya (hawan) dan Kuning Kegunturan. Jalan raya yang dimaksud adalah jalan melewati daerah Magelang yang menghubungkan antara pantai utara Jawa Tengah atau Pegunungan Dieng dengan daerah Ponorogo di Jawa Timur.  Pegunungan Dieng dianggap tempat yang suci bagi peribadatan umat Hindu pada waktu itu. Pada saat raja Balitung melangsungkan perkawinan, penduduk Mantyasih banyak memberikan bantuan dan partisipasinya. Penduduk Mantyasih juga berkewajiban untuk menjaga dan memelihara (melakukan kebaktian) terhadap bangunan suci atau candi sebanyak lima buah yang ada di daerah sekitarnya.
       Setelah mengalami kejayaan selama dua abad kerajaan Mataram Hindu menghilang akibat letusan gunung Merapi. Kerajaan ini akhiranya dipindahkan ke Jawa Timur pada abad ke-10 M. Wilayah Magelang juga ikut menghilang dari catatan sejarah selama beberapa ratus tahun akibat letusan itu. Letusan Gunung Merapi disertai hujan material vulkanik menyebabkan gempa yang besar. Letusan tersebut membentuk Gunung Gendol dan Pegunungan Menoreh.
C. Magelang Masa Mataram 1755-1810 M
Nama Magelang muncul kembali saat Kerajaan Mataram Yogyakarta terbentuk setelah menghilang akibat letusan Gunung Merapi pada tahun 1006. Awalnya, tahun 1546 M Kedu dan Bagelan diwariskan kepada Mas Adipati Timoer (putera Sultan Demak). Pada saat terbentuknya kekuasaan baru di Mataram awal abad ke-17, Kedu dan Bagelan menjadi bagian dari wilayah Mataram. Sebelum itu Kedu dan Bagelan adalah wilayah kekuasaan Pajang dibawah Arya Pangiri, namun Panembahan Senopati berhasil membujuk penguasa Kedu dan Bagelan untuk membangkang kepada penguasa Pajang dan memihak kepada Mataram.
       Keberadaan Magelang pada masa Panembahan Senopati berkuasa atas Mataram dapat diperoleh dari berbagai sumber, salah satunya adalah sumber folklore. Menurut legenda, Panembahan Senopati berniat untuk membuka alas Kedu karena penduduk di Mataram sudah semakin padat. Panembahan Senopati mengutus Mandaraka dan prajuritnya untuk melaksanakan tugas itu. Hutan Kedu pada waktu itu dikuasai oleh raja jin yang bernama Gandarwa Kedu. Raja jin itu tidak mau jika wilayahnya diusik dengan adanya pembukaan lahan hutan. Raja jin itu memerintahkan kepada pasukannya untuk menyebarkan penyakit dan penderitaan kepada para prajurit Mataram. Hal itu membuat banyak prajurit yang meninggal dan terkena penyakit.
       Mandaraka melaporkan kejadian itu kepada Panembahan Senopati. Panembahan Senopati lalu pergi ke laut Kidul dan bersemedi disana. Ratu Kidul yang mengetahui hal itu segera menemui Panembahan Senopati. Ratu Kidul mengatakan bahwa raja jin yang berkuasa di hutan Kedu dulunya adalah anak buahnya. Panembahan Senopati lalu diberi penangkal untuk mengalahkan raja jin itu dan segera membanya kembali ke laut Kidul. Penangkal itu diberikan kepada Mandara, lalu Panembahan Senopati menyuruh beberapa pengawalnya untuk membantu Mandaraka. Pertempuran hebat antara prajurit Mataram dan pasukan raja jin terjadi. Dalam pertempuran tersebut terjadi pengepungan raja jin oleh prajurit Mataram secara atepung “Temu Gelang”.  Kata “temugelang” dapat menjadi asal mula dari nama Magelang.
       Pertempuran itu juga banyak menelan korban, diantaranya Kyai Keramat yang tewas di daerah utara (menjadi nama desa Keramat), Nyai Bogem tewas di daerah selatan (menjadi nama Bogeman), Tumenggung Mertoyuda (menjadi Mertoyudan) dan Raden Krincing (anak Panembahan Senopati) namanya menjadi daerah Krincing.
       Walaupun menurut berbagai sumber mengatakan Magelang merupakan bagian dari kerajaan Mataram, namun catatan Dr. De Haan pada saat mengunjungi Karta, ibukota Mataram pada tahun 1622 tidak menyebutkan nama Magelang. Perjalanan itu justru menyebutkan nama Payaman dan Tidar. Nama Tidar ternyata lebih dikenal daripada nama Magelang. Kedatangan Dr. De Haan ke Karta bertujuan untuk mengunjungi Sultan Agung.  Perjalanan Dr. De Haan diawali dari Batam dilakukan dengan kapal hingga Tegal, dan dilanjutkan naik kuda melintasi daerah Kedu menuju ke Karta. Laporan perjalanan De Haan berisi tentang keadaan desa-desa, penduduk, komunikasi dan berbagai hal mengenai wilayah kerajaan Mataram. 
Memasuki pertengahan abad ke-18 Kerajaan Mataram mengalami peperangan untuk memperebutkan kekuasaan sebanyak tiga kali. Kerajaan Mataram akhirnya pecah dan wilayahnya menjadi semakin sempit. Sekitar tahun 1743 wilayah Mataram terdiri atas, Bagelan, Kedu, Yogyakarta, dan Surakarta. Pada tanggal 13 Febuari tahun 1755, terjadi penandatanganan perjanjian Giyanti oleh Sunan Pakubuwono III serta Nicolas Hartinghdi satu pihak dan Pangeran Mangkubumi di pihak lain. Isi dari perjanjian tersebut yaitu wilayah Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Hamengkubuwono I dan kasunanan Surakarta diperintah oleh Paku Buwono III. Perjanjian Giyanti telah mengakhiri peperangan antara Pangeran Mangkubumi dan Sunan Pakubuwono III.
Wilayah Magelang, yang termasuk ke dalam bagian dari Kedu menjadi milik kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Dalam kerajaan Mataram terdapat tiga pembagian wilayah, yakni:

  1. Negara, kota tempat kediaman raja (hofstad), pusat dari semua pemerintahan.
  2. Negaragung, daerah sekitar kota (ommelanden).
  3. Mancanegara, daerah-daerah yang jauh letaknya (buiten gewesten).
Kedu menjadi wilayah yang diperintah oleh dua kerajaan, yaitu kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Kedu menjadi nagaragung, daerah inti kerajaan yang diperintah oleh pusat (Mataram). Selain Kedu, wilayah nagaragung Mataram adalah Pajang, Bangwetan/Sukawati, Bagelan, dan Bumi Gede.
       Magelang pada masa Mataram menjadi wilayah kebon dalem milik Sri Sunan Pakubuwono dari keraton Surakarta. Luas daerah kebon dalem itu membujur dari Selatan, mulai dari kampong Potrobangsan sampai kampong Banyeman. Deretan kebun itu antara lain, kebun kopi (Botton Koppen), kebun pala (Kebonpolo), kebun kemiri (kemirikerep), kebun jambu (Jambon), dan kebun bayam (Bayeman). 

Dahulu kala tersebutlah seorang janda yang tinggal di wilayah Purwokondo. Ia memiliki seorang putra bernama Joko Teguh. Terkisahkan, Joko Teguh berparas dungu dan sering mendapat ejekan dari teman-teman sebayanya karena tingkahnya yang menggelikan. Akan tetapi, sebenarnya banyak orang yang menyukai Joko Teguh karena luhur budi dan santun tingkah lakunya. Joko Teguh juga memiliki kepintaran dalam hal obat-obatan. Ia mengenal berbagai jenis tumbuhan yang dapat menyembuhkan penyakit.
Ketika usianya menginjak dewasa, Joko Teguh berniat mengembara meninggalkan desanya. Betapa sedih sang ibu mendengar rencana anak satu-satunya itu. Akan tetapi kemudian ibunya menyadari bahwa anaknya harus mencari ilmu dan pengalaman agar hidupnya di masa depan lebih baik. Untuk itu ia harus pergi jauh dari desanya.
“Baiklah, ngger! Kau boleh pergi mencari keutamaan. Akan tetapi, hendaknya kepergianmu tidak sia-sia. Maka sebaiknya tuntutlah ilmu kebaikan, dan petiklah segala pengalaman baik”, pesan sang ibu.
Joko Teguh bersujud kepada ibunya, lalu berangkat pergi. Sebagai tanda kasih sayang, sang ibu memberikan sebutir telur burung pipit sebagai bekal anaknya.
Sebelum Joko Teguh pergi, sang ibu berpesan, “Ngger, jika engkau hendak menuntut ilmu, maka mengabdilah kepada Panembahan Hardo Pikukuh di wilayah Ngargo Sari. Di sana engkau insya Allah dapat memperoleh apa yang kau angan-angankan.”
Joko Teguh menuruti nasehat sang ibu, maka berangkatlah ia ke Ngargo Sari. Dengan berjalan kaki ia tempuh perjalanan itu berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Menyeberangi sungai, melewati lereng-lereng gunung, menuruni jurang.
Namun, betapa kecewanya hatinya ketika Joko Teguh menghadap sang panembahan. Hasratnya untuk mengabdi kepada Panembahan dengan satu syarat, yaitu Joko Teguh harus mempersembahkan seekor kuda sembrani. Kuda sembrani adalah seekor kuda yang dapat terbang dengan sayapnya. Hal itu sebagai syarat untuk mengobati sakit putri Panembahan Hardo Pikukuh, yaitu Dewi Sri Lintang Katon. Joko Teguh merasa kecil hati, mungkinkah ia bisa mendapatkan kuda sembrani.
Akan tetapi, demi niatnya yang luhur, Joko Teguh tidak takut untuk mencari ke manapun bisa diperoleh kuda sembrani itu.
Adapun bagi Panembahan, kuda sembrani dimaksudkan sebagai syarat untuk kesembuhan putrinya. Dewi Sri Lintang Katon yang berparas cantik jelita itu, tengah menderita kebutaan. Sakit itu hanya bisa disembuhkan dengan datangnya kuda sembrani.
Dengan perasaan kecewa, Joko Teguh melanjutkan pengembaraannya. Tujuannya tiada lagi jelas. Namun, dalam hatinya mendamba agar dapat bertemu dengan kuda yang diinginkan sang putri.
Tidak lama kemudian, ia bertemu dengan seorang saudagar kaya dari Ngembuh Kawuryan. Saudagar kaya itu ternyata juga sedang melakukan pengembaraan. Namun, tujuannya adalah untuk mencari pengobatan bagi kedua putrinya yang sedang sakit lumpuh. Kedua putri itu bernama Endang Gadung Melati dan Endang Rantam Sari.
“Insya Allah saya tahu bagaimana mengobati lumpuh,”kata Joko Teguh.
“Duh, beruntung benar saya ini,”kata saudagar itu.
“Jika demikian, sudilah Anda mengobati kedua putri saya,”ujarnya kemudian.
Joko Teguh berpikir sejenak.
“Jika sakit anakku dapat tersembuhkan olehmu, maka saya bersedia memberi hadiah apapun yang engkau minta,”katanya.
Joko Teguh lalu tersadar. Maka ia minta hadiah seekor kuda sembrani jika dapat menyembuhkan dua anak perempuan saudagar kaya itu. Di luar dugaan, permintaan itu akan dipenuhi. Maka berangkatlah Joko Teguh ke Ngembuh Kawuryan.
Joko Teguh punya keyakinan bahwa telur burung pipit dapat menyembuhkan sakit lumpuh. Dengan bekal itu sajalah Joko Teguh mengobati sakit lumpuh yang diderita putri saudagar itu.
Dengan sungguh-sungguh dan disertai doa memohon rahmat Allah, Joko Teguh mengobati Endang Gadung Sari dan Endang Rantam Sari. Betapa bahagia saudagar kaya itu dan keluarganya melihat kedua putrinya sembuh dari kelumpuhan. Maka dihadiahilah Joko Teguh seekor kuda sembrani yang indah. Bahkan atas kebahagiaan itu maka oleh saudagar itu Endang Gadung Sari dan Endang Rantam Saripun diserahkan kepada Joko Teguh untuk dijadikan istri.
Dengan bahagia, Joko Teguh dan kedua putri cantik jelita itu meninggalkan Ngembuh Kawuryan. Mereka mengendarai kuda sembrani menuju ke Ngargo Sari menghadap Panembahan Hardo Pikukuh.
Mendengar datangnya kuda sembrani, Dewi Sri Lintang Katonpun terhenyak. Ajaib, sakit penglihatan yang dideritanya berangsur membaik. Akan tetapi, kesembuhan itupun berkat kepandaian Joko Teguh akan ilmu pengobatan.
Diterimalah Joko Teguh mengabdi pada Panembahan Hardo Pikukuh. Namun, Endang Gadung Sari dan Endang Rantam Sari memilih meninggalkan Joko Teguh.
Namun, Panembahan Hardo Pikukuh menghadiahkan Dewi Sri Lintang Katon untuk dijadikan istri Joko Teguh. Merekapun kemudian diberi tanah perdikan bernama Kembang Madu. Panembahan Hardo Pikukuh juga memberi gelar Joko Teguh dengan Panembahan Makukuhan. Dan selama beberapa waktu, Joko Teguh diajarkan berbagai kepandaian dalam hal olah tani.
Tanah perdikan yang pada mulanya kering dan tandus, berkat keuletan Panembahan Makukuhan berubah menjadi tanah yang subur makmur. Demikian juga rakyat di daerah itu bersatu saling membantu.
Panembahan Makukuhanpun akhirnya hidup bahagia di daerah Kembang Madu itu bersama istrinya, Dewi Sri Lintang Katon dan para selirnya Endang Gadung Sari dan Endang Rantam Sari. Berkat kewibawaan dan kearifannya dalam memimpin masyarakat, maka tempat itu menjadi daerah yang terkenal sangat subur. Karena itu, banyak pengikut yang berguru kepada Panembahan Makukuhan.
Ketika Panembahan Makukuhan meninggal dunia, jasadnya diperebutkan oleh para siswanya untuk dimakamkan di daerah mereka. Namun, salah seorang muridnya ingat akan pesan Panembahan Makukuhan yang ingin dimakamkan di puncak Gunung Sumbing. Dengan begitu, kewibawaannya akan tersebar merata di semua daerah Kembang Madu.
 
penutup: 
cukup sekian dari saya mengenai tugas ini apabila ada kekurangan dan kesalaha saya mohon maaf yang sebesarnya
 
                                                 daftar pustaka :

from : http://pendekartidar.org/babad-bhumi-kedu.php
http://sastiadamara.blogspot.co.id/2014/02/sejarah-bedirinya-kota-magelang.html
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar