Upacara Dugderan Semarang
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmatNYA sehingga artikel ini dapat tersusun hingga selesai. Tujuan menulis
artikel ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia dari bimbingan
Bapak Shobirienur Rasyid.
Saya sangat berharap artikel ini dapat berguna dalam rangka
menambah pngetahuan kita mengenai. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam
tugas ini masih banyak kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang diharapkan
dari apa yang ada. Untuk itu, saya berharap adanya kritik dan saran demi
perbaikan dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada yang sempurna tanpa
sarana yang membangun. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi yang membaca. Sebelumnya saya mohon maaf apabila
terdapat kesalahan-kesalahan kata yang kurang berkenan.
Jakarta, 6 Januari 2015
Penulis
Pembahasan
Kata
folklore merupakan pengindonesian dari bahasa inggris folklore, berasal dari
dua kata yaitu folk dan lore. Kata folk yaitu sekelompok orang yang memiliki
ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayan sehingga dapat dibedakan dari
kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri pengenal itu antara lain: warna kulit,
bentuk rambut, mata pencaharian, dsb. Kata lore merupakan tradisio dari folk,
yaitu sebagian kebudayan yang diwariskan secara lisan atau melalui salah satu
contoh yang diserati dengan isyarat atau alat bantu pengingat. Sedangkan
menurut kamus besar Bahasa Indonesia, folklore itu adalah adat istiadat
tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun tetapi tidak
dibuktikan.
Folklore dapat digolongkan kedalam tiga kelompok besar,
yaitu:
1.
Folklore
lisan, merupakan folklore yang bentuknya
murni lisan, yaitu diciptakan, disebarkan dan diwariskan secara lisan.
a. Bahasa rakyat adalah bahasa yang
dijadikan sebagai alat komunikasi diantara rakyat dalam suatu masyarakat atau
bahasa yang dijadikan sebagai sarana pergaulan dalam hidup sehari-hari
b. Ungkapan tradisional adalah kalimat
pendek yang disrikan dari pengalaman yang panjang. Pribahasanya biasanya
mengandung kebenaran dan kebijaksanaan.
c. Pertanyaan tradisional (teka-teki),
menurut Alan Dundes teka-teki adalah ungkapan lisan tradisional yang mengandung
satu unsur pelukisan, dan jawabannya harus diterka.
d. Puisi rakyat adalah kesuastraan
rakyat yang sudah memiliki bentuk tertentu.
e. Cerita prosa rakyat adalah suatu
cerita yang disampaikan secara turun-temurun didalam masyarakat.
f.
Nyanyian
rakyat adalah sebuah tradisi lisan dari suatu masyarakat yang diungkapkan dari
nyanyian atau tembang-tembang tradisional.
2.
Folklore
sebagai lisan, merupakan merupakan folklore yang bentuknya merupakan campuran
unsur lisan dan bukan lisan.
a. Kepercayaan rakyat (takhayul),
kepercayaan ini sering dianggap tidak berdasarkan logika karena tidak bisa
dipertanggung jawabkan secara ilmiah, menyangkut kepercayaan dan praktek.
b. Permainan rakyat, disebarkan melalui
tradisi lisan dan banyak disebarkan tanpa bantuan orang dewasa.
c. Teater rakyat, Pesta rakyat, Tari
rakyat.
d. Upacara adat yang berkembang dimasyarakat
didasarkan oleh adanya keyakinan agama ataupun kepercayaan masyarakat setempat.
3.
Folklore
bukan lisan, merupakan folklore yang bentuknya bukan lisan tetapi cara
pembuatannya diajarkan secara lisan.
a. Arsitektur rakyat (prasasti,
bangunan-bangunan suci), arsitektur merupakan sebuah seni atau ilmu merancang
bangunan.
b. Kerajinan tangan rakyat, awalnya
dibuat hanya sekedar untuk mengisi waktu senggang dan peralatan rumah tangga.
c. Pakaian atau perhiasan yang khas dari
masing-masing daerah.
d. Obat-obatan tradisional.
e. Masakan dan minuman tradisional.
Bulan puasa adalah
bulan penuh dengan berkah. Karena penuh dengan keberkahan itu, al-Qur`an
menggambarkan nilai kemuliaan bulan suci Ramadhan tersebut sebanding dengan
seribu bulan. Tidak salah, kalau umat Islam selalu disergap rasa rindu
menyambut kedatangan bulan suci itu dengan penuh kegembiraan yang biasa
dirayakan dalam bentuk tradisi, apalagi mengingat bulan puasa itu hanya datang
setahun sekali.
Pada tahun 1881 M, di Kota Semarang pada masa Bupati KRMT
Purbaningrat, berkembanglah serbuah tradisi berupa arak-arakan menyambut
datangnya bulan Ramadlan atau bulan Puasa. Masyarakat Kota Semarang
menyebutkanya dengan istilah Dugderan. Setelah sesaat umat Islam melaksanakan shalat
Ashar, tepat sehari menjelang bulan Ramadlan, dipukullah bedug Masjid Besar
Kauman disusul dengan penyulutan meriam di halaman pendapa kabupaten di
Kanjengan. Begud mengeluarkan bunyi “dug” dan meriam mengeluarkan bunyi “der”
yang berkali-kali pada akhirnya digabungkan menjadi istilah Dugderan.
Mendengar suara Dug dan Der yang keras dari sekitar alun-alun
pusat kota, masyarakat pun berbondong-bondong datang untuk menyaksikan apa yang
terjadi. Masyarakat pun berkumpul di alun-alun di depan masjid, keluarlah
Kanjeng Bupati dan Imam Masjid Besar memberikan sambutan dan pengumuman. Pada
saat itu yang menjadi Imam Masjid Besar Kauman adalah Kyai Tafsir Anom. Salah
satu isinya adalah informasi yang pasti tentang penentuan awal bulan puasa bagi
masyarakat pelosok dan golongan. Selain itu ada pula ajakan untuk selalu
meningkatkan tali silaturrahim atau persatuan dan ajakan untuk senantiasa
meningkatkan kualitas ibadah. Tradisi ini pun berjalan berulang-ulang, dari
tahun ke tahun dan menjadi sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat
Semarang.
Bupati RMT Purbaningrat mempunyai tujuan luhur dibalik
tradisi baru tersebut. semuanya didasari keprihatinan terhadap kedamaian
masyarakat Semarang yang dibangun selama ini. Ketika datang penjajah dari
Belanda, ternyata ada gerakan pecah belah yang merusak tatanan masyarakat saat
itu. Pembauran masyarakat dari berbagai suku, agama dan golongan, ternyata
menjadikan persaingan tidak sehat dengan alasan yang dihembuskan oleh pihak
penjajah. Warga Belanda mengemlompok di perkampungan Belanda di wilayah
Semarang atas, warga Cina di daerah Pacinan, warga Arab di daerah Pakojan,
warta perantauan luar Jawa mengelompok di kampung Melayu dan masyarakat pribumi
Jawa menamakan wilayahnya dengan kampung Jawa. Ketegangan tersebut diperparah
dengan perbedaan di kalangan umat Islam sendiri dalam menentukan awal bulan
puasa yang berujung pada perbedaan hari-hari besar Islam lainnya. Dengan
keberanian dan kecerdasan Bupati melakukan usaha untuk memadukan berbagai
perbedaan, termasuk salah satunya untuk menyatukan perbedaan penentuan awal
bulan Ramadlan. Usaha Bupati ini sangat didukung dari kalangan ulama yang berada
di Kota Semarang. Salah satunya yang banyak berperan adalah Kyai Saleh Darat.
Selain itu, tujuan dari diciptakannya tradisi Dugderan
tersebut untuk mengumpulkan lapisan masyarakat dalam suasana suka cita untu
bersatu, berbaur dan bertegur sapa tanpa pembedaan. Selain itu dapat dipastikan
pula awal bulan Ramadlan secara tegas dan serentak untuk semua paham agama
Islam berdasarkan kesepakatan Bupati dengan imam Masjid. Sehingga terlihat
semangat pemersatu dangat terasa dalam tradisi yang diciptakan tersebut.
Dalam sejarah, Dugderan pertama kali dilaksanakan di Masjid
Kauman, Bupati Semarang selaku umara datang ke Masjid Besar Kauman
untuk bersama-sama ulama menyampaikan hasil keputusan tantang awal
puasa. Dari peristiwa tersebut dapat dipahami bahwa Dugderan merupakan ritual
keaagamaan dan masjid merupakan pusat perkumpulan umat.
Proses ritual diawali dengan persiapan peserta arak-arakan
Dugderan dan pentas Warak Ngendok serta tari Semarangan di Balaikota. Rombongan
yang dipimpin oleh Walikota Semarang yang memerankan Bupati Semarang mulai
berangkat dari Balaikota menuju Masjid Besar Kauman sekitar pukul 14.00 WIB
dengan rute melewati jalan Pemuda. Rombongan Bupati Semarang dikawal oleh prajurti
patang puluh dan arak-arakan Warak Ngendok. Sementara itu di serambi
Masjid Besar Kauman telah berkumpul puluhan ulama dan habaib termuka
di Semarang. Para ulama dan habaib membahas tentang awal bulan puasa
dari berbagai dasar ilmu perhitungan. Musyawarah dipimpin oleh ulama tertua
Masjid Besar Kauman. Setelah diambil keputusan bahwa puasa dimulai pada besok
hari, maka dibuatlah surat keputusan ualama pada selembar kertas.
Tidak lama kemudian, rombongan Bupati dan hadir pul Gubernur
Jawa Tengah yang memerankan pemimpin Kesultanan Mataram atasan dari Bupati
Semarang. Para ulama menyambut kedatangan para umara dengan suka cita
di pelataran masjid. Setelah itu diteruskan dengan ramah tamah dan penyampaikan
keputusan ulama tentang awal bulan puasa di serambi masjid. Dalam hal ini
Bupati mengikuti keputusan para ulama dan sebagai pengukuhan atas keputusan
ulama, Bupati berdiri dan membacakan teks surat keputusan ulama dimulainya
ibadah puasa di bulan Ramadlan. Setelah Bupati selesai membakan surat
keputusan, Bupati memukul Bedug Masjid Besar Kauman disaksikan segenap
undangan. Bunyi meriam berdentuman dari kawasan Kanjengan seusai tabuhan bunyi
gedug. Suasana semakin meriah dengan datangnya arak-arakan Warak Ngendog dan
rombongan lainnya.
Pada awalnya, pada saat Bupati membacakan surat keputusan
suasana menjadi hehing dan penuh perhatian. Seusai membacakan naskah kemudian
Bupati memukul Bedug dan pada saat itu juga disulut meriam sehingga masyarakat
merasa gembira dan senang. Dalam suasana bingarnya meriam dan bedug,
dikeluarkan sebuah karya fenomenal dan menarik perhatian yang berupa seekor
binatang khayal yang selanjutnya disebut dengan Warak Ngendok. Hadirnya Warak
Ngendok dalam tradisi tersebut sebagai seekor binatang khayalan yang dapat
menarik perhatian masyarakat sekitar. Hingga kemudian disebut dengan Warak
Ngendok sebagai simbol tradisi Dugderan yang diadakan setiap menjelang bulan
Ramadlan.
Perkembangan selanjutnya tradisi ini tidak lagi menggunakan
meriam sebagai penggantinya digunakankanlah bom udara dan sekarang sirene untuk
menandai dimulainya tradisi Dugderan. Saat ini, tradisi ini sudah berkembang
lebih semarak ditandai dengan datangnya para pedagang “tiban” yang menjajakan
aneka permainan anak, makanan dan banyak lagi yang lain. Kondisi demikian
memberikan warna baru terhadap trasidi Dugderan.
Kegiatan ini meliputi pasar rakyat yang dimulai sepekan
sebelum dugderan, karnaval yang diikuti oleh pasukan merahputih, drumband,
pasukan pakaian adat “BINNEKA TUNGGAL IKA” , meriam , warak ngendok dan
berbagai potensi kesenian yang ada di Kota Semarang. Ciri Khas acara ini adalah warak
Ngendok, binatang imajiner warak ngendhog (warak yang bertelur) selalu
muncul di Kota Semarang, Jawa Tengah, bersamaan dengan tradisi dugderan untuk
menyambut datangnya Ramadhan. Meski hanya ada dalam mitos, warak ngendhog
memiliki makna mendalam bagi mereka yang memulai ibadah puasa. Sejenis binatang
rekaan yang bertubuh kambing berkepala naga dengan kulit sisik emas,
visualisasi warak ngendok dibuat dari kertas warna – warni. Dugderan, yang
menurut tradisi berlangsung satu hari sebelum Ramadhan, senantiasa lekat dengan
warak ngendhog. Hal itu direspons warga di Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan
Semarang Tengah, Kota Semarang, yang tinggal di tepi Kali Semarang, tidak jauh
dari Masjid Agung Semarang, dengan membuat miniatur warak.
Warak dalam berbagai ukuran diarak dalam karnaval dugderan yang diikuti ribuan
warga. Perwujudan binatang yang dikreasikan dalam berbagai bentuk itu tidak
lupa ditambah dengan telur di bagian bawah belakang tubuhnya.
Sebelum pelaksanaan dibunyikan bedug dan meriam di Kabupaten,
telah dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa :
1. Bendera
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan
dibunyikan.
3. Obat Inggris (Mesiu) dan kertas koran yang merupakan perlengkapan meriam
4. Gamelan disiapkan di pendopo Kabupaten.
3. Obat Inggris (Mesiu) dan kertas koran yang merupakan perlengkapan meriam
4. Gamelan disiapkan di pendopo Kabupaten.
Adapun
petugas yang harus siap ditempat :
1. Pembawa bendera
2. Petugas yang membunyikan meriam dan bedug
3. Niaga ( Pengrawit)
4. Pemimpin Upacara
1. Pembawa bendera
2. Petugas yang membunyikan meriam dan bedug
3. Niaga ( Pengrawit)
4. Pemimpin Upacara
Upacara Dugderan dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa
tepat pukul 15.30 WIB. Pimpinan Upacara berpidato menetapkan hari dimulainya
puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon keselamatan. Kemudian Bedug di Masjid
dibunyikan 3 (tiga) kali. Setelah itu gamelan Kabupaten dibunyikan.
Sebagaimana upacara pada umumnya, Dugderan juga dilakukan
secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai
berikut: (1) pengadaan pasar malam; (2) tahap upacara untuk menentukan awal
puasa; (3) tahap pemukulan beduk dan penyulutan meriam, serta (4) tahap
arak-arakan atau karnaval. Sebagai catatan, dahulu penyelenggaraan Dugderan
dilakukan satu hari menjelang bulan puasa dan hanya berupa upacara untuk
menentukan awa puasa lalu diakhiri dengan pemukulan bedug dan dentuman meriam
sebagai pemberitahuan kepada masyarakat luas. Namun saat ini, setelah dikemas
untuk kepentingan kepariwisataan, Dugderan diawali dengan pengadaan pasar malam
satu minggu menjelang puasa demi untuk menarik minat wisatawan baik asing
maupun domestik.
Tempat pelaksanaan Dugderan bergantung pada tahapan-tahapan
yang harus dilalui. Untuk pergelaran pasar malam berlokasi di Pasar Johar yang
konon dahulu merupakan pusat kota Semarang5. Untuk prosesi pengambilan
keputusan mengenai waktu pelaksanaan puasa diadakan di Balaikota Semarang.
Untuk prosesi pemukulan bedug dilakukan di Mesjid Besar Kauman6. Sedangkan
untuk prosesi arak-arakan diawali dari halaman Balaikota Semarang menuju Mesjid
Besar Kauman (Mesjid Agung Semarang), Mesjid Agung Jawa Tengah (MAJT) atau ke
Lapangan Simpang Lima Semarang.
Pemimpin Dugderan juga bergantung pada kegiatan atau tahap
yang harus dilakukan. Pada tahap musyawarah menentukan waktu pelaksanaan puasa,
yang bertindak sebagai pemimpin adalah imam Masjid Besar Kauman. Pada tahap pengumuman
hasil keputusan pada ulama tentang waktu dimulainya puasa dipimpin atau
dilakukan oleh Walikota Semarang. Sedangkan yang bertindak sebagai koordinator
kegiatan pasar malam maupun arak-arakan atau karnaval budaya adalah pihak
Pemerintah Kota Semarang, melalui beberapa dinas yang biasa menangani
bidang-bidang tersebut.
Selain pemimpin, ada pula pihak-pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan Dugderan, yaitu: (1) para ulama penentu awal puasa; (2) petugas
yang membunyikan bedug dan meriam; (3) pengrawit; (4) pembawa bendera; (5)
beberapa kelompok kesenian yang ada di wilayah Semarang; dan (6) warga
masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun
menyaksikan jalannya upacara.
Pada tahun 1881 an, Warak Ngendok terbuat dari bahan-bahan
yang sangat sederhana seperti kayu, bambu dan sabut kelapa. Namun pada sekarang
ini, bahan-bahan yang digunakan adalah kayu, kertas minyak ditambah berbagai
ornamen dari kertas karton, gabus dan sebagainya. Dalam perkembangannya
ditemukan tiga kelompok Warak Ngendok berdasarkan bentuknya, yaitu:
1. Warak Ngendok Klasik, Warak Ngendok yang masi menampilkan
unsur dan struktur asli serta diciptakan turun-menurun dalam wujud sama. Kepala
terdiri dari bagian mulut bergigi tajam, mata melotot, telinga tegak atau
tanduk, jenggot yang panjang lebat. Badan, leher dan keempat kakinya ditutup
bulu yang terbalik dengan warna berselang-seling merah, kuning, putih, hijau
dan biru. Terdapat ekor panjang, kaku melengkung berbulu serupa badan dan
terdapat surai di ujungnya. Bentuk telur atau endhok terletak di antara
dua kakai belakangnya.
2. Warak Ngendok Modifikasi, secara umum sama dengan Warak
Ngendok Klasik. Perbedaannya hanya dibagian kepala yang mirip dengan kepala
naga. Ada kesamaan bentuk naga Cina atau naga Jawa. Mocong yang mirip buaya
dengan deretan gigi tajam, lidah bercabang menjulur, mata melotot, berkumis dan
berjanggut, bertanduk kecil bercabang seperti rusa, kulit bersisik, bersurai di
bagian belakang kepala. Naga Jawa biasanya memakai mahkota di atas kepalanya.
3. Warak Ngendok Kontemporer, secara struktur sama dengan
Warak Ngendok Klasik, namun detail-detail kepala dan bulu tidak sesuai.
Misalnya kepalanya seperti harimau, bulunya tidak terbalik, tidak berbulu tapi
bersisik dan sebagainya.
Ada ragam pendapat mengenai binatang Warak ini. Ada yang
berpendapat bahwa binatang Warak ini merupakan perwujudan dari binatang sakti
dalam kebudayaan Islam. Ada pula yang mengatakan, karena kota Semarang
merupakan kota pelabuhan maka, tidak mustahil terjadi pembauran kebudayaan
berbagai bangsa pendatang, di mana Warak ini menyerupai binatang dalam mitos
kebudayaan Cina.
Perbedaan pandangan tentang binatang yang disebut Warak ini
diakui oleh Supramono dalam penelitiannya. Supramono mengatakan bahwa ada
anggapan bahwa Warak ini berasal dari perpaduan beberapa simbol budaya.
Binatang itu berkepala Kilin sebagai binatang paling berkuasan dan berpengaruh
di Cina dengan badan Buroq sebagai binatang Nabi Muhammad saat Isra’ Mi’raj.
Ada juga yang berpendapat bahwa Warak berkepala naga, binatang simbol milik
orang cina dengan badan kaming, binatang yang banyak dimiliki orang pribumi
Jawa dan sering digunakan untuk berkorban saat Idul Adha.
Selain itu juga ada pendapat yang mengatakan bahwa Warak
merupakan hadiah dari warga Cina agar digunakan untuk memeriahkan tradisi
ritual Dugderan sebagai bukti ketulusan mereka untuk bersatu dan berdamai guna
menebus kesalahannya waktu membakar masjid besar saat pemberontakan warga Pecinan
dulu. Namun pendapat tersebut sangat lemah dasarnya, karena hanya mengacu pada
pembentukan kepala Kilin atau naga pada Warak Ngendok. Sementara dari unsur
nama, bentuk keseluruhan dan makna karya lebih dominan pengaruh kebudayaan Jawa
dan Islam.
Sebagaimana yang dikutip dalam buku Semarang Tempo
Doeloe menyebutkan bahwa Legirah, seorang pembuat Warak Ngendok dari
Kampung Purwodinatan Semarang, tidak mengetahui Warak itu binatang apa, dia
hanya bisa membuat. Dia menuturkan bahwa dia juga berpikir terus kenapa
binatang kakinya empat dan punya daun telinga tapi bisa memiliki telur.
Selain barang dagangan, pasar malam juga menyajikan
permainan-permainan khusus bagi anak-anak maupun orang dewasa, seperti: komidi
putar, ombak asmaran, bianglala, rollercoaster mini, rumah hantu, tong setan,
pemancingan ikan plastik, dan lain sebagainya. Untuk dapat menikmatinya,
pengunjung hanya dikenakan biaya sebesar lima ribu rupah untuk satu kali
bermain.
Sehari menjelang Ramadhan, barulah dimulai prosesi dugderan.
Dahulu dugderan diawali musyawarah antara Bupati dan para ulama di Masjid Besar
Kauman pada malam hari dengan melihat bulan (metode hilal) untuk menentukan
awal puasa1. Namun, saat ini dugderan diselenggarakan sore hari sekitar pukul
15.30 WIB ketika bulan belum begitu tampak. Penentuan awal bulan Ramadhan telah
berpedoman pada Kebutusan Kementerian Agama RI melalui Sidang Isbat.
Dalam prosesi ini Walikota (selaku umara) yang memerankan
tokoh Adipati beserta isteri dan rombongan berjalan dari Balaikota menuju
Masjid Besar Kauman. Mereka dikawal oleh prajurit patang puluh dan arak-arakan
Warang Ngendok melewati rute Jalan Pemuda. Sesampainya di Masjid, mereka
disambut oleh para ulama dan habaib terkemuka di Semarang yang sebelumnya telah
bermusyawarah menentukan awal puasa. Keputusan tersebut ditulis dalam secarik
kertas (sukuf holakoh) untuk diberikan kepada walikota.
Selanjutnya, usai beramah-tamah sejenak, Walikota berdiri dan
membacakan teks (dalam bahasa Jawa) surat keputusan ulama tentang dimulainya
ibadah puasa di bulan Ramadhan. Usai pembacaan surat keputusan, dilanjutkan doa
bersama dan diakhiri dengan pemukulan bedug Masjid Besar Kauman yang langsung
diikuti oleh suara dentuman sebagai penanda dimulainya dugderan. Sebagai
catatan, dahulu suara dentuman berasal dari meriam yang berada di kawasan
Kanjengan. Namun seiring perkembangan zaman, dentuman meriam digantikan oleh
bom udara, mercon, sirine, dan bahkan bleduran terbuat dari bongkahan batang
pohon yang bagian tengahnya dilubangi kemudian diisi karbit.
Setelah meriam/mercon berhenti berdentum, acara dilanjutkan
dengan pembagian ganjelril dan air khataman Al Quran kepada masyarakat. Prosesi
dugderan kemudian ditutup dengan acara arak-arakan atau karnaval/kirab yang
diikuti oleh pasukan Merah Putih, prajurit berkuda, kereta kencana, pasukan
berpakaian adat Bhinneka Tunggal Ika, drumband dari akpol, barongsai, rombongan
bendi yang dikendarai para camat dan pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD), rombongan sepeda onthel mobil-mobil hias berbagai tema, dan kesenian
tradisional yang ada di Kota Semarang. Dan, dengan berakhirnya tahap
arak-arakan ini, berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara dugderan sebagai
penanda bahwa esok hari telah memasuki bulan Ramadhan.
Makna Simbolik Upacara
Tradisional “ Dugderan “
Dari dasar empirik dan data literature yang ada, makna
simbolik dari upacara ini mulai dapat diterjemahkan secara operasional, data
literature yang diperoleh diasumsikan sudah dapat mewakili sebuah sumber yang
terpercaya karena diterbitkan oleh pemerintah Kota Semarang sebagai refrensi
pariwisata Kota Semarang. Terbentuknya sebuah pola kegiatan upacara tradisional
dengan segala tahapan dan pendukungnya ternyata sudah ada sejak lama (
berdasar literatur : sejak tahun 1881 ). Tahapan ini diakhiri dengan pemukulan
bedug dan membunyikan meriam sebagai tanda bagi umat muslim bahwa esok hari
kegiatan puasa di bulan Ramadhan sudah dapat mulai dilaksanakan.
Jadi tahapan pemukulan bedug dan membunyikan meriam ini dapat
dikatakan sebagai inti dari kegiatan upacara tradisional ini yaitu sebagai
tanda dimulainya puasa bulan Ramadhan.
Namun, upacara adat ini juga dapat dimaknai sebagai kegiatan
untuk menjalin tali silaturahmi antara warga Kota Semarang dengan sesama warga,
warga Kota Lain, atau bahkan negara lain yang datang untuk menyaksikan kegiatan
ini, maupun dengan Pemerintah Kota. Selain itu, pada masa sekarang, upacara
adat ini juga digunakan sebagai sarana promosi Kota Semarang karena sudah
dijadikan salah satu aset pariwisata budaya Kota Semarang.
Sehingga, upacara tradisional yang pada awalnya hanya
bermakna sebagai tanda awal bulan puasa / Ramadhan, kini memiliki makna lain
yang tidak menghilangkan makna awal, yakni sebagai sarana silaturahmi, wisata
budaya, dan sarana promosi Kota Semarang.
Realitas Ide
Kini jaman telah berubah dan berkembang, namun upacara
tradisional ini masih tetap dilestarikan. Dengan adanya berbagai makna yang ”
ternyata ” sangat berguna pada masa sekarang, tahapan dan pola upacara
tradisional yang terjadi pada masa lalu dijadikan sebuah ide untuk melakukan
kegiatan yang sama di masa sekarang. Namun pada masa sekarang, upacara
tradisional khas Kota Semarang ini tidak dilaksanakan persis layaknya pada awal
upacara ini dilaksanakan. Walaupun demikian, makna dan inti dari upacara
tradisional Dugderan ini tetap tidak berubah, dari sinilah dapat terlihat
sebuah Realitas Ide.
Perbedaan ini terjadi pada lokasi pelaksanaan upacara
tradisional karena kini pusat pemerintahan pindah ke Balaikota di Jl. Pemuda.
Upacara ini pada masa sekarang dilaksanakan di halaman Balaikota pada waktu
yang sama, yaitu sehari sebelum bulan Ramadhan dan dipimpin oleh Walikota
Semarang yang menggantikan peran sebagai Adipati pada masa lalu.
Namun upacara tradisional ini juga masih tetap dilaksanakan
sama seperti ketika awal pertama kali dilaksanakan, dengan diringi arak-arakan
maskot hewan khas dugderan warak ngendok dan beberapa orang yang bergaya
prajurit pada masa lalu. Walikota dan istri yang memerankan tokoh Bupati
berjalan menuju Masjid Besar Kauman dimana letak pusat pemerintahan pada masa
itu. Setelah tiba di Masjid Besar Kauman, imam Masjid sudah siap untuk
menyambut Walikota yang selanjutnya berjalan menemui ulama – ulama yang sebelumnya
sudah menentukan awal puasa, lalu beberapa saat kemudian Walikota mengumumkan
hasil penentuan awal puasa dengan bahasa Jawa.
Realitas Nilai
Melihat dari penjelasan sebelumnya, pada awalnya, upacara
tradisional ini ” hanya ” mengandung nilai keagamaan, dan kebudayaan. Nilai
keagamaan dapat terlihat pada makna dan tujuan awal upacara tradisional ini,
yakni sebagai penanda awal bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci umat
muslim, sedangkan nilai kebudayaan terlihat dari pengiring upacara berupa budaya
dan kesenian jawa seperti ; gamelan . Namun pada masa sekarang, seiring
dengan kemajuan pola pikir manusia, upacara tradisional ini memiliki nilai
yang lebih, diantaranya ; nilai sosial, sebagai sarana silaturahmi antar warga,
dan warga dengan Pemerintah ; nilai ekonomi, pasar rakyat dapat digunakan warga
( pedagang ) untuk mengais rezeki, sebagai ajang promosi Kota Semarang.
Penutup
Demikianlah artikel yang saya buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembaca. Saya mohon maaf apabila terdapat ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti dan lugas. Karna saya hanyalah manusia yang tak luput dari kesalahan dan saya juga sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan artikel ini. Sekian penutup dari saya semoga dapat diterima dihati dan saya ucapkan terima kasih yang sebenar-benarnya.
Penutup
Demikianlah artikel yang saya buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembaca. Saya mohon maaf apabila terdapat ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti dan lugas. Karna saya hanyalah manusia yang tak luput dari kesalahan dan saya juga sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan artikel ini. Sekian penutup dari saya semoga dapat diterima dihati dan saya ucapkan terima kasih yang sebenar-benarnya.
Daftar Pustaka
Darin Nabilah (4423154949)
Kelas B UJP 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar