Sabtu, 09 Januari 2016

Tugas-3 Folklore Indonesia

Upacara Dugderan Semarang


Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga artikel ini dapat tersusun hingga selesai. Tujuan menulis artikel ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia dari bimbingan Bapak Shobirienur Rasyid.
Saya sangat berharap artikel ini dapat berguna dalam rangka menambah pngetahuan kita mengenai. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam tugas ini masih banyak kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang diharapkan dari apa yang ada. Untuk itu, saya berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada yang sempurna tanpa sarana yang membangun.  Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membaca. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan kata yang kurang berkenan.
Jakarta, 6 Januari 2015


Penulis

Pembahasan
            Kata folklore merupakan pengindonesian dari bahasa inggris folklore, berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Kata folk yaitu sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri pengenal itu antara lain: warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, dsb. Kata lore merupakan tradisio dari folk, yaitu sebagian kebudayan yang diwariskan secara lisan atau melalui salah satu contoh yang diserati dengan isyarat atau alat bantu pengingat. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia, folklore itu adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun tetapi tidak dibuktikan.

Folklore dapat digolongkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu:
1.      Folklore lisan, merupakan  folklore yang bentuknya murni lisan, yaitu diciptakan, disebarkan dan diwariskan secara lisan.
a.      Bahasa rakyat adalah bahasa yang dijadikan sebagai alat komunikasi diantara rakyat dalam suatu masyarakat atau bahasa yang dijadikan sebagai sarana pergaulan dalam hidup sehari-hari
b.      Ungkapan tradisional adalah kalimat pendek yang disrikan dari pengalaman yang panjang. Pribahasanya biasanya mengandung kebenaran dan kebijaksanaan.
c.       Pertanyaan tradisional (teka-teki), menurut Alan Dundes teka-teki adalah ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu unsur pelukisan, dan jawabannya harus diterka.
d.      Puisi rakyat adalah kesuastraan rakyat yang sudah memiliki bentuk tertentu.
e.      Cerita prosa rakyat adalah suatu cerita yang disampaikan secara turun-temurun didalam masyarakat.
f.        Nyanyian rakyat adalah sebuah tradisi lisan dari suatu masyarakat yang diungkapkan dari nyanyian atau tembang-tembang tradisional.
2.      Folklore sebagai lisan, merupakan merupakan folklore yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan.
a.      Kepercayaan rakyat (takhayul), kepercayaan ini sering dianggap tidak berdasarkan logika karena tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, menyangkut kepercayaan dan praktek.
b.      Permainan rakyat, disebarkan melalui tradisi lisan dan banyak disebarkan tanpa bantuan orang dewasa.
c.       Teater rakyat, Pesta rakyat, Tari rakyat.
d.      Upacara adat yang berkembang dimasyarakat didasarkan oleh adanya keyakinan agama ataupun kepercayaan masyarakat setempat.
3.      Folklore bukan lisan, merupakan folklore yang bentuknya bukan lisan tetapi cara pembuatannya diajarkan secara lisan.
a.      Arsitektur rakyat (prasasti, bangunan-bangunan suci), arsitektur merupakan sebuah seni atau ilmu merancang bangunan.
b.      Kerajinan tangan rakyat, awalnya dibuat hanya sekedar untuk mengisi waktu senggang dan peralatan rumah tangga.
c.       Pakaian atau perhiasan yang khas dari masing-masing daerah.
d.      Obat-obatan tradisional.
e.      Masakan dan minuman tradisional.
Bulan puasa adalah bulan penuh dengan berkah. Karena penuh dengan keberkahan itu, al-Qur`an menggambarkan nilai kemuliaan bulan suci Ramadhan tersebut sebanding dengan seribu bulan. Tidak salah, kalau umat Islam selalu disergap rasa rindu menyambut kedatangan bulan suci itu dengan penuh kegembiraan yang biasa dirayakan dalam bentuk tradisi, apalagi mengingat bulan puasa itu hanya datang setahun sekali.

Pada tahun 1881 M, di Kota Semarang pada masa Bupati KRMT Purbaningrat, berkembanglah serbuah tradisi berupa arak-arakan menyambut datangnya bulan Ramadlan atau bulan Puasa. Masyarakat Kota Semarang menyebutkanya dengan istilah Dugderan. Setelah sesaat umat Islam melaksanakan shalat Ashar, tepat sehari menjelang bulan Ramadlan, dipukullah bedug Masjid Besar Kauman disusul dengan penyulutan meriam di halaman pendapa kabupaten di Kanjengan. Begud mengeluarkan bunyi “dug” dan meriam mengeluarkan bunyi “der” yang berkali-kali pada akhirnya digabungkan menjadi istilah Dugderan.

Mendengar suara Dug dan Der yang keras dari sekitar alun-alun pusat kota, masyarakat pun berbondong-bondong datang untuk menyaksikan apa yang terjadi. Masyarakat pun berkumpul di alun-alun di depan masjid, keluarlah Kanjeng Bupati dan Imam Masjid Besar memberikan sambutan dan pengumuman. Pada saat itu yang menjadi Imam Masjid Besar Kauman adalah Kyai Tafsir Anom. Salah satu isinya adalah informasi yang pasti tentang penentuan awal bulan puasa bagi masyarakat pelosok dan golongan. Selain itu ada pula ajakan untuk selalu meningkatkan tali silaturrahim atau persatuan dan ajakan untuk senantiasa meningkatkan kualitas ibadah. Tradisi ini pun berjalan berulang-ulang, dari tahun ke tahun dan menjadi sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Semarang.

Bupati RMT Purbaningrat mempunyai tujuan luhur dibalik tradisi baru tersebut. semuanya didasari keprihatinan terhadap kedamaian masyarakat Semarang yang dibangun selama ini. Ketika datang penjajah dari Belanda, ternyata ada gerakan pecah belah yang merusak tatanan masyarakat saat itu. Pembauran masyarakat dari berbagai suku, agama dan golongan, ternyata menjadikan persaingan tidak sehat dengan alasan yang dihembuskan oleh pihak penjajah. Warga Belanda mengemlompok di perkampungan Belanda di wilayah Semarang atas, warga Cina di daerah Pacinan, warga Arab di daerah Pakojan, warta perantauan luar Jawa mengelompok di kampung Melayu dan masyarakat pribumi Jawa menamakan wilayahnya dengan kampung Jawa. Ketegangan tersebut diperparah dengan perbedaan di kalangan umat Islam sendiri dalam menentukan awal bulan puasa yang berujung pada perbedaan hari-hari besar Islam lainnya. Dengan keberanian dan kecerdasan Bupati melakukan usaha untuk memadukan berbagai perbedaan, termasuk salah satunya untuk menyatukan perbedaan penentuan awal bulan Ramadlan. Usaha Bupati ini sangat didukung dari kalangan ulama yang berada di Kota Semarang. Salah satunya yang banyak berperan adalah Kyai Saleh Darat.

Selain itu, tujuan dari diciptakannya tradisi Dugderan tersebut untuk mengumpulkan lapisan masyarakat dalam suasana suka cita untu bersatu, berbaur dan bertegur sapa tanpa pembedaan. Selain itu dapat dipastikan pula awal bulan Ramadlan secara tegas dan serentak untuk semua paham agama Islam berdasarkan kesepakatan Bupati dengan imam Masjid. Sehingga terlihat semangat pemersatu dangat terasa dalam tradisi yang diciptakan tersebut.
Dalam sejarah, Dugderan pertama kali dilaksanakan di Masjid Kauman, Bupati Semarang selaku umara datang ke Masjid Besar Kauman untuk bersama-sama ulama menyampaikan hasil keputusan tantang awal puasa. Dari peristiwa tersebut dapat dipahami bahwa Dugderan merupakan ritual keaagamaan dan masjid merupakan pusat perkumpulan umat.

Proses ritual diawali dengan persiapan peserta arak-arakan Dugderan dan pentas Warak Ngendok serta tari Semarangan di Balaikota. Rombongan yang dipimpin oleh Walikota Semarang yang memerankan Bupati Semarang mulai berangkat dari Balaikota menuju Masjid Besar Kauman sekitar pukul 14.00 WIB dengan rute melewati jalan Pemuda. Rombongan Bupati Semarang dikawal oleh prajurti patang puluh dan arak-arakan Warak Ngendok. Sementara itu di serambi Masjid Besar Kauman telah berkumpul puluhan ulama dan habaib termuka di Semarang. Para ulama dan habaib membahas tentang awal bulan puasa dari berbagai dasar ilmu perhitungan. Musyawarah dipimpin oleh ulama tertua Masjid Besar Kauman. Setelah diambil keputusan bahwa puasa dimulai pada besok hari, maka dibuatlah surat keputusan ualama pada selembar kertas.

Tidak lama kemudian, rombongan Bupati dan hadir pul Gubernur Jawa Tengah yang memerankan pemimpin Kesultanan Mataram atasan dari Bupati Semarang. Para ulama menyambut kedatangan para umara dengan suka cita di pelataran masjid. Setelah itu diteruskan dengan ramah tamah dan penyampaikan keputusan ulama tentang awal bulan puasa di serambi masjid. Dalam hal ini Bupati mengikuti keputusan para ulama dan sebagai pengukuhan atas keputusan ulama, Bupati berdiri dan membacakan teks surat keputusan ulama dimulainya ibadah puasa di bulan Ramadlan. Setelah Bupati selesai membakan surat keputusan, Bupati memukul Bedug Masjid Besar Kauman disaksikan segenap undangan. Bunyi meriam berdentuman dari kawasan Kanjengan seusai tabuhan bunyi gedug. Suasana semakin meriah dengan datangnya arak-arakan Warak Ngendog dan rombongan lainnya.
Pada awalnya, pada saat Bupati membacakan surat keputusan suasana menjadi hehing dan penuh perhatian. Seusai membacakan naskah kemudian Bupati memukul Bedug dan pada saat itu juga disulut meriam sehingga masyarakat merasa gembira dan senang. Dalam suasana bingarnya meriam dan bedug, dikeluarkan sebuah karya fenomenal dan menarik perhatian yang berupa seekor binatang khayal yang selanjutnya disebut dengan Warak Ngendok. Hadirnya Warak Ngendok dalam tradisi tersebut sebagai seekor binatang khayalan yang dapat menarik perhatian masyarakat sekitar. Hingga kemudian disebut dengan Warak Ngendok sebagai simbol tradisi Dugderan yang diadakan setiap menjelang bulan Ramadlan.
Perkembangan selanjutnya tradisi ini tidak lagi menggunakan meriam sebagai penggantinya digunakankanlah bom udara dan sekarang sirene untuk menandai dimulainya tradisi Dugderan. Saat ini, tradisi ini sudah berkembang lebih semarak ditandai dengan datangnya para pedagang “tiban” yang menjajakan aneka permainan anak, makanan dan banyak lagi yang lain. Kondisi demikian memberikan warna baru terhadap trasidi Dugderan.

Kegiatan ini meliputi pasar rakyat yang dimulai sepekan sebelum dugderan, karnaval yang diikuti oleh pasukan merahputih, drumband, pasukan pakaian adat “BINNEKA TUNGGAL IKA” , meriam , warak ngendok dan berbagai potensi kesenian yang ada di Kota Semarang. Ciri Khas acara ini adalah warak Ngendok, binatang imajiner warak ngendhog (warak yang bertelur) selalu muncul di Kota Semarang, Jawa Tengah, bersamaan dengan tradisi dugderan untuk menyambut datangnya Ramadhan. Meski hanya ada dalam mitos, warak ngendhog memiliki makna mendalam bagi mereka yang memulai ibadah puasa. Sejenis binatang rekaan yang bertubuh kambing berkepala naga dengan kulit sisik emas, visualisasi warak ngendok dibuat dari kertas warna – warni. Dugderan, yang menurut tradisi berlangsung satu hari sebelum Ramadhan, senantiasa lekat dengan warak ngendhog. Hal itu direspons warga di Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, yang tinggal di tepi Kali Semarang, tidak jauh dari Masjid Agung Semarang, dengan membuat miniatur warak.

Warak dalam berbagai ukuran diarak dalam karnaval dugderan yang diikuti ribuan warga. Perwujudan binatang yang dikreasikan dalam berbagai bentuk itu tidak lupa ditambah dengan telur di bagian bawah belakang tubuhnya.
Sebelum pelaksanaan dibunyikan bedug dan meriam di Kabupaten, telah dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa :
1. Bendera
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan
dibunyikan.
3. Obat Inggris (Mesiu) dan kertas koran yang merupakan perlengkapan meriam
4. Gamelan disiapkan di pendopo Kabupaten.
Adapun petugas yang harus siap ditempat :
1. Pembawa bendera
2. Petugas yang membunyikan meriam dan bedug
3. Niaga ( Pengrawit)
4. Pemimpin Upacara
Upacara Dugderan dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa tepat pukul 15.30 WIB. Pimpinan Upacara berpidato menetapkan hari dimulainya puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon keselamatan. Kemudian Bedug di Masjid dibunyikan 3 (tiga) kali. Setelah itu gamelan Kabupaten dibunyikan.
Sebagaimana upacara pada umumnya, Dugderan juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) pengadaan pasar malam; (2) tahap upacara untuk menentukan awal puasa; (3) tahap pemukulan beduk dan penyulutan meriam, serta (4) tahap arak-arakan atau karnaval. Sebagai catatan, dahulu penyelenggaraan Dugderan dilakukan satu hari menjelang bulan puasa dan hanya berupa upacara untuk menentukan awa puasa lalu diakhiri dengan pemukulan bedug dan dentuman meriam sebagai pemberitahuan kepada masyarakat luas. Namun saat ini, setelah dikemas untuk kepentingan kepariwisataan, Dugderan diawali dengan pengadaan pasar malam satu minggu menjelang puasa demi untuk menarik minat wisatawan baik asing maupun domestik.

Tempat pelaksanaan Dugderan bergantung pada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk pergelaran pasar malam berlokasi di Pasar Johar yang konon dahulu merupakan pusat kota Semarang5. Untuk prosesi pengambilan keputusan mengenai waktu pelaksanaan puasa diadakan di Balaikota Semarang. Untuk prosesi pemukulan bedug dilakukan di Mesjid Besar Kauman6. Sedangkan untuk prosesi arak-arakan diawali dari halaman Balaikota Semarang menuju Mesjid Besar Kauman (Mesjid Agung Semarang), Mesjid Agung Jawa Tengah (MAJT) atau ke Lapangan Simpang Lima Semarang.

Pemimpin Dugderan juga bergantung pada kegiatan atau tahap yang harus dilakukan. Pada tahap musyawarah menentukan waktu pelaksanaan puasa, yang bertindak sebagai pemimpin adalah imam Masjid Besar Kauman. Pada tahap pengumuman hasil keputusan pada ulama tentang waktu dimulainya puasa dipimpin atau dilakukan oleh Walikota Semarang. Sedangkan yang bertindak sebagai koordinator kegiatan pasar malam maupun arak-arakan atau karnaval budaya adalah pihak Pemerintah Kota Semarang, melalui beberapa dinas yang biasa menangani bidang-bidang tersebut.
Selain pemimpin, ada pula pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Dugderan, yaitu: (1) para ulama penentu awal puasa; (2) petugas yang membunyikan bedug dan meriam; (3) pengrawit; (4) pembawa bendera; (5) beberapa kelompok kesenian yang ada di wilayah Semarang; dan (6) warga masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya upacara.


Pada tahun 1881 an, Warak Ngendok terbuat dari bahan-bahan yang sangat sederhana seperti kayu, bambu dan sabut kelapa. Namun pada sekarang ini, bahan-bahan yang digunakan adalah kayu, kertas minyak ditambah berbagai ornamen dari kertas karton, gabus dan sebagainya. Dalam perkembangannya ditemukan tiga kelompok Warak Ngendok berdasarkan bentuknya, yaitu:
1. Warak Ngendok Klasik, Warak Ngendok yang masi menampilkan unsur dan struktur asli serta diciptakan turun-menurun dalam wujud sama. Kepala terdiri dari bagian mulut bergigi tajam, mata melotot, telinga tegak atau tanduk, jenggot yang panjang lebat. Badan, leher dan keempat kakinya ditutup bulu yang terbalik dengan warna berselang-seling merah, kuning, putih, hijau dan biru. Terdapat ekor panjang, kaku melengkung berbulu serupa badan dan terdapat surai di ujungnya. Bentuk telur atau endhok terletak di antara dua kakai belakangnya.
2. Warak Ngendok Modifikasi, secara umum sama dengan Warak Ngendok Klasik. Perbedaannya hanya dibagian kepala yang mirip dengan kepala naga. Ada kesamaan bentuk naga Cina atau naga Jawa. Mocong yang mirip buaya dengan deretan gigi tajam, lidah bercabang menjulur, mata melotot, berkumis dan berjanggut, bertanduk kecil bercabang seperti rusa, kulit bersisik, bersurai di bagian belakang kepala. Naga Jawa biasanya memakai mahkota di atas kepalanya.
3. Warak Ngendok Kontemporer, secara struktur sama dengan Warak Ngendok Klasik, namun detail-detail kepala dan bulu tidak sesuai. Misalnya kepalanya seperti harimau, bulunya tidak terbalik, tidak berbulu tapi bersisik dan sebagainya.
Ada ragam pendapat mengenai binatang Warak ini. Ada yang berpendapat bahwa binatang Warak ini merupakan perwujudan dari binatang sakti dalam kebudayaan Islam. Ada pula yang mengatakan, karena kota Semarang merupakan kota pelabuhan maka, tidak mustahil terjadi pembauran kebudayaan berbagai bangsa pendatang, di mana Warak ini menyerupai binatang dalam mitos kebudayaan Cina.

Perbedaan pandangan tentang binatang yang disebut Warak ini diakui oleh Supramono dalam penelitiannya. Supramono mengatakan bahwa ada anggapan bahwa Warak ini berasal dari perpaduan beberapa simbol budaya. Binatang itu berkepala Kilin sebagai binatang paling berkuasan dan berpengaruh di Cina dengan badan Buroq sebagai binatang Nabi Muhammad saat Isra’ Mi’raj. Ada juga yang berpendapat bahwa Warak berkepala naga, binatang simbol milik orang cina dengan badan kaming, binatang yang banyak dimiliki orang pribumi Jawa dan sering digunakan untuk berkorban saat Idul Adha.

Selain itu juga ada pendapat yang mengatakan bahwa Warak merupakan hadiah dari warga Cina agar digunakan untuk memeriahkan tradisi ritual Dugderan sebagai bukti ketulusan mereka untuk bersatu dan berdamai guna menebus kesalahannya waktu membakar masjid besar saat pemberontakan warga Pecinan dulu. Namun pendapat tersebut sangat lemah dasarnya, karena hanya mengacu pada pembentukan kepala Kilin atau naga pada Warak Ngendok. Sementara dari unsur nama, bentuk keseluruhan dan makna karya lebih dominan pengaruh kebudayaan Jawa dan Islam.
Sebagaimana yang dikutip dalam buku Semarang Tempo Doeloe menyebutkan bahwa Legirah, seorang pembuat Warak Ngendok dari Kampung Purwodinatan Semarang, tidak mengetahui Warak itu binatang apa, dia hanya bisa membuat. Dia menuturkan bahwa dia juga berpikir terus kenapa binatang kakinya empat dan punya daun telinga tapi bisa memiliki telur.

Selain barang dagangan, pasar malam juga menyajikan permainan-permainan khusus bagi anak-anak maupun orang dewasa, seperti: komidi putar, ombak asmaran, bianglala, rollercoaster mini, rumah hantu, tong setan, pemancingan ikan plastik, dan lain sebagainya. Untuk dapat menikmatinya, pengunjung hanya dikenakan biaya sebesar lima ribu rupah untuk satu kali bermain.
Sehari menjelang Ramadhan, barulah dimulai prosesi dugderan. Dahulu dugderan diawali musyawarah antara Bupati dan para ulama di Masjid Besar Kauman pada malam hari dengan melihat bulan (metode hilal) untuk menentukan awal puasa1. Namun, saat ini dugderan diselenggarakan sore hari sekitar pukul 15.30 WIB ketika bulan belum begitu tampak. Penentuan awal bulan Ramadhan telah berpedoman pada Kebutusan Kementerian Agama RI melalui Sidang Isbat.
Dalam prosesi ini Walikota (selaku umara) yang memerankan tokoh Adipati beserta isteri dan rombongan berjalan dari Balaikota menuju Masjid Besar Kauman. Mereka dikawal oleh prajurit patang puluh dan arak-arakan Warang Ngendok melewati rute Jalan Pemuda. Sesampainya di Masjid, mereka disambut oleh para ulama dan habaib terkemuka di Semarang yang sebelumnya telah bermusyawarah menentukan awal puasa. Keputusan tersebut ditulis dalam secarik kertas (sukuf holakoh) untuk diberikan kepada walikota.

Selanjutnya, usai beramah-tamah sejenak, Walikota berdiri dan membacakan teks (dalam bahasa Jawa) surat keputusan ulama tentang dimulainya ibadah puasa di bulan Ramadhan. Usai pembacaan surat keputusan, dilanjutkan doa bersama dan diakhiri dengan pemukulan bedug Masjid Besar Kauman yang langsung diikuti oleh suara dentuman sebagai penanda dimulainya dugderan. Sebagai catatan, dahulu suara dentuman berasal dari meriam yang berada di kawasan Kanjengan. Namun seiring perkembangan zaman, dentuman meriam digantikan oleh bom udara, mercon, sirine, dan bahkan bleduran terbuat dari bongkahan batang pohon yang bagian tengahnya dilubangi kemudian diisi karbit.

Setelah meriam/mercon berhenti berdentum, acara dilanjutkan dengan pembagian ganjelril dan air khataman Al Quran kepada masyarakat. Prosesi dugderan kemudian ditutup dengan acara arak-arakan atau karnaval/kirab yang diikuti oleh pasukan Merah Putih, prajurit berkuda, kereta kencana, pasukan berpakaian adat Bhinneka Tunggal Ika, drumband dari akpol, barongsai, rombongan bendi yang dikendarai para camat dan pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), rombongan sepeda onthel mobil-mobil hias berbagai tema, dan kesenian tradisional yang ada di Kota Semarang. Dan, dengan berakhirnya tahap arak-arakan ini, berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara dugderan sebagai penanda bahwa esok hari telah memasuki bulan Ramadhan.

Makna Simbolik Upacara Tradisional “ Dugderan “
Dari dasar empirik dan data literature yang ada, makna simbolik dari upacara ini mulai dapat diterjemahkan secara operasional, data literature yang diperoleh diasumsikan sudah dapat mewakili sebuah sumber yang terpercaya karena diterbitkan oleh pemerintah Kota Semarang sebagai refrensi pariwisata Kota Semarang. Terbentuknya sebuah pola kegiatan upacara tradisional dengan segala tahapan dan pendukungnya ternyata sudah ada sejak lama ( berdasar literatur : sejak tahun 1881 ). Tahapan ini diakhiri dengan pemukulan bedug dan membunyikan meriam sebagai tanda bagi umat muslim bahwa esok hari kegiatan puasa di bulan Ramadhan sudah dapat mulai dilaksanakan.
Jadi tahapan pemukulan bedug dan membunyikan meriam ini dapat dikatakan sebagai inti dari kegiatan upacara tradisional ini yaitu sebagai tanda dimulainya puasa bulan Ramadhan.
Namun, upacara adat ini juga dapat dimaknai sebagai kegiatan untuk menjalin tali silaturahmi antara warga Kota Semarang dengan sesama warga, warga Kota Lain, atau bahkan negara lain yang datang untuk menyaksikan kegiatan ini, maupun dengan Pemerintah Kota. Selain itu, pada masa sekarang, upacara adat ini juga digunakan sebagai sarana promosi Kota Semarang karena sudah dijadikan salah satu aset pariwisata budaya Kota Semarang.
Sehingga, upacara tradisional yang pada awalnya hanya bermakna sebagai tanda awal bulan puasa / Ramadhan, kini memiliki makna lain yang tidak menghilangkan makna awal, yakni sebagai sarana silaturahmi, wisata budaya, dan sarana promosi Kota Semarang.

Realitas Ide
Kini jaman telah berubah dan berkembang, namun upacara tradisional ini masih tetap dilestarikan. Dengan adanya berbagai makna yang ” ternyata ” sangat berguna pada masa sekarang, tahapan dan pola upacara tradisional yang terjadi pada masa lalu dijadikan sebuah ide untuk melakukan kegiatan yang sama di masa sekarang. Namun pada masa sekarang, upacara tradisional khas Kota Semarang ini tidak dilaksanakan persis layaknya pada awal upacara ini dilaksanakan. Walaupun demikian, makna dan inti dari upacara tradisional Dugderan ini tetap tidak berubah, dari sinilah dapat terlihat sebuah Realitas Ide.

Perbedaan ini terjadi pada lokasi pelaksanaan upacara tradisional karena kini pusat pemerintahan pindah ke Balaikota di Jl. Pemuda. Upacara ini pada masa sekarang dilaksanakan di halaman Balaikota pada waktu yang sama, yaitu sehari sebelum bulan Ramadhan dan dipimpin oleh Walikota Semarang yang menggantikan peran sebagai Adipati pada masa lalu.
Namun upacara tradisional ini juga masih tetap dilaksanakan sama seperti ketika awal pertama kali dilaksanakan, dengan diringi arak-arakan maskot hewan khas dugderan warak ngendok dan beberapa orang yang bergaya prajurit pada masa lalu. Walikota dan istri yang memerankan tokoh Bupati berjalan menuju Masjid Besar Kauman dimana letak pusat pemerintahan pada masa itu. Setelah tiba di Masjid Besar Kauman, imam Masjid sudah siap untuk menyambut Walikota yang selanjutnya berjalan menemui ulama – ulama yang sebelumnya sudah menentukan awal puasa, lalu beberapa saat kemudian Walikota mengumumkan hasil penentuan awal puasa dengan bahasa Jawa.

Realitas Nilai
Melihat dari penjelasan sebelumnya, pada awalnya, upacara tradisional ini ” hanya ” mengandung nilai keagamaan, dan kebudayaan. Nilai keagamaan dapat terlihat pada makna dan tujuan awal upacara tradisional ini, yakni sebagai penanda awal bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci umat muslim, sedangkan nilai kebudayaan terlihat dari pengiring upacara berupa budaya dan kesenian jawa seperti ; gamelan . Namun pada masa sekarang, seiring dengan kemajuan pola pikir manusia, upacara tradisional ini memiliki nilai yang lebih, diantaranya ; nilai sosial, sebagai sarana silaturahmi antar warga, dan warga dengan Pemerintah ; nilai ekonomi, pasar rakyat dapat digunakan warga ( pedagang ) untuk mengais rezeki, sebagai ajang promosi Kota Semarang.

Penutup
Demikianlah artikel yang saya buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembaca. Saya mohon maaf apabila terdapat ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti dan lugas. Karna saya hanyalah manusia yang tak luput dari kesalahan dan saya juga sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan artikel ini. Sekian penutup dari saya semoga dapat diterima dihati dan saya ucapkan terima kasih yang sebenar-benarnya.

Daftar Pustaka


Darin Nabilah (4423154949)
Kelas B UJP 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar