Jumat, 08 Januari 2016

Tugas 3 - Folklore Indonesia



BAB I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dalam rangka memenuhi tugas 3 ‘FOLKLORE INDONESIA’ dalam bentuk apapun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam folklore indonesia.
Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami banyak mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1.      Bapak Drs. M. Shobirienur Rasyid., selaku dosen mata kuliah kami yang banyak memberikan materi kepada kami.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik lagi.


BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN FOLKLORE
            Folklore meliputi legenda, music, sejarah lisan, pepatah, lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau kelompok. Folklore juga merupakan serangkaian praktik yang menjadi sarana penyebaran berbagai tradisi budaya. Bidang studi yang mempelajari folklore disebut folkloristika. Istilah folklore berasal dari bahasa inggris, folklore, yang pertama kali dikemukakan oleh sejarawan inggris yang bernama William Thoms dalam sebuah surat yang diterbitkan oleh London Journal pada tahun 1846. Folklore berkaitan erat dengan mitologi.
            Kata folklore merupakan pengindonesiaan dari bahasa inggris, folklore, berasal dari dua kata, yaitu folk dan lore. Kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, social, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok kelompok social lainnya. Cirri pengenal itu antara lain, warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, dan sebagainya. Kata lore merupakan tradisio dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui salah satu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
            Folklore adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan atau diwariskan secara tradisional baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai isyarat atau alat bantu mengingat. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia, folklore adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun menurun, tetapi tidak dibukukan.

Adapun ciri-ciri folklor adalah sebagai berikut:
1.       Folkor diciptakan, disebarkan, dan diwariskan secara lisan (dari mulut ke mulut) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2.       Folklor bersifat tradisional, tersebar di wilayah (daerah tertentu) dalam bentuk relatif tetap, disebarkan diantara kelompok tertentu dalam waktu yang cukup lama(paling sedikit 2 generasi).
3.       Folklor menjadi milik bersama dari kelompok tertentu, karena pencipta pertamanya sudah tidak diketahui sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya (tidak diketahui penciptanya)
4.       Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama. Diantaranya sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendam.
Folklor terdiri atas banyak versi
1.       Mengandung pesan moral
2.       Mempunyai bentuk/berpola
3.       Bersifat pralogis
4.       Lugu, polos

Menurut Jan Harold Brunvard, ahli folklor dari Amerika Serikat, folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu:
1) Folklor Lisan
Merupakan folkor yang bentuknya murni lisan, yaitu diciptakan, disebarluaskan, dan diwariskan secara lisan.
Folkor jenis ini terlihat pada:
(a) Bahasa rakyat adalah bahasa yang dijadikan sebagai alat komunikasi diantara rakyat dalam suatu masyarakat atau bahasa yang dijadikan sebagai sarana pergaulan dalam hidup sehari-hari. Seperti: logat,dialek, kosa kata bahasanya, julukan.
(b) Ungkapan tradisional adalah kelimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang. Peribahasa biasanya mengandung kebenaran dan kebijaksanaan. Seperti, peribahasa, pepatah.
(c) Pertanyaan tradisional (teka-teki)
Menurut Alan Dundes, teka-teki adalah ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih unsur pelukisan, dan jawabannya harus diterka.

(d) Puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang sudah memiliki bentuk tertentu. Fungsinya sebagai alat kendali sosial, untuk hiburan, untuk memulai suatu permainan, mengganggu orang lain. Seperti: pantun, syair, sajak.
(e) Cerita prosa rakyat, merupakan suatu cerita yang disampaikan secara turun temurun (dari mulut ke mulut) di dalam masyarakat.Seperti: mite, legenda, dongeng.
(f) Nyanyian rakyat, adalah sebuah tradisi lisan dari suatu masyarakat yang diungkapkan melalui nyanyian atau tembang-tembang tradisional. Berfungsi rekreatif, yaitu mengusir kebosanan hidup sehari-hari maupun untuk menghindari dari kesukaran hidup sehingga dapat manjadi semacam pelipur lara. Seperti: lagu-lagu dari berbagai daerah.




2) Folklor Sebagian Lisan
Merupakan folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial. Yang termasuk dalam folklor sebagian lisan, adalah:

(a) Kepercayaan rakyat (takhyul), kepercayaan ini sering dianggap tidak berdasarkan logika karena tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, menyangkut kepercayaan dan praktek (kebiasaan). Diwariskan melalui media tutur kata.
(b) Permainan rakyat, disebarkan melalui tradisi lisan dan banyak disebarkan tanpa bantuan orang dewasa. Contoh: congkak, teplak, galasin, bekel, main tali,dsb.
(c) Teater rakyat
(d) Tari Rakyat
(e) Pesta Rakyat
(f) Upacara Adat yang berkembang dimasyarakat

3) Folklor Bukan Lisan
Merupakan folklor yang bentuknya bukan lisan tetapi cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Biasanya meninggalkan bentuk materiil(artefak). Yang termasuk dalam folklor bukan lisan:

(a) Arsitektur rakyat (prasasti, bangunan-banguna suci)
Arsitektur merupakan sebuah seni atau ilmu merancang bangunan.

(b) Kerajinan tangan rakyat
Awalnya dibuat hanya sekedar untuk mengisi waktu senggang dan untuk kebutuhan rumah tangga.

(c) Pakaian/perhiasan tradisional yang khas dari masing-masing daerah
(d) Obat-obatan tradisional (kunyit dan jahe sebagai obat masuk angin)
(e) Masakan dan minuman tradisional


SURABAYA
           Kota Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur, Indonesia sekaligus menjadi kota metropolitan terbesar di provinsi tersebut. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Kota Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di Jawa Timur. Kota ini terletak 789 km sebelah timur Jakarta, atau 426 km sebelah barat laut Denpasar, Bali. Surabaya terletak di tepi pantai utara pulau Jawa dan berhadapan dengan Selat Madura serta Laut Jawa.

Surabaya memiliki luas sekitar 333,063 km² dengan penduduknya berjumlah 2.813.847 jiwa (2014). Daerah metropolitan Surabaya yaitu Gerbangkertosusila yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, adalah metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. Surabaya dilayani oleh Bandar Udara Internasional Juanda, Pelabuhan Tanjung Perak, dan Pelabuhan Ujung.

Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. Kata Surabaya konon berasal dari cerita mitos pertempuran antara sura (ikan hiu) dan baya (buaya) dan akhirnya menjadi kota Surabaya
.
Surabaya adalah sebuah kota besar di Indonesia yang sekaligus sebagai ibukota Provinsi Jawa TImur. Asal usul nama kota pahlawan yang berjuluk “Kota Pahlawan” ini memiliki banyak versi, mulai dari versi cerita mitos hingga versi sejarah. Menurut sejarah, nama kota ini sudah muncul sejak awal kerajaan Majapahit, yakni dikenal dengan nama Ujung Galuh. Namun karena sebuah peristiwa, makan daerah itu dinamakan “Surabaya’ yang berarti “selamat dari bahaya”. ‘Surabaya” sendiri diambil dari symbol ikan Sura atau Hiu (selamat) dan Buaya (bahaya) untuk menggambarkan kepahlawanan tentara Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya melawan pasura Tar Tar atau Mongol. Lalu, jika menurut versi mitos, Surabaya digambarkan dengan ikan Hiu Sura dan Buaya.
Dahulu, di perairan sebelah utara Jawa Timur, hiduplah seekor baya atau buaya dan seekor sura atau hiu yang saling bermusuhan. Kedua binatang buas tersebut sama-sama tangkas, kuat, dan ganas. Kedua binatang ganas tersebut hampir setiap saat berkelahi untuk memperebutkan mangsa. Mereka kerap bertarung hingga berhari-hari lamanya, namun tidak ada yang pernah kalah maupun menang. Meskipun perilaku kedua binatang buas ini kerap dan selalu mengganggu ketentraman hewan hewan lain, namun tidak ada satu pun hewan yang berani menghentikan pertikaian mereka.
Suatu ketika, si Baya dan si Sura merasa bosan terus menerus berkelahi. Mereka pun akhirnya setuju dan sepakat untuk berdamai.
“hai, Baya. Aku sudah bosan terus menerus berkelahi denganmu”, kata si Sura
“benar katamu. Aku pun juga merasa demikian.” Jawab si Baya.
“lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan permusuhan kita selama ini?”Tanya si Sura
“hmmm… bagaimana jika kita membagi daerah kekuasaan kita menjadi dua. Aku sepenuhnya berkuasa didalam air. Semua mangsa yang ada didalam air sepenuhnya menjadi milikku. Sementara kamu sepenuhnya berkuasa didaratan. Jadi, mangsamu hanya ada yang berada didaratan. Berarti kau tidak boleh memangsa yang ada di didalam air”, Usul Sura. “tapi, perlu kamu ketahui bahwa antara darat dan air yaitu adalah tempat yang dicapai air laut pada waktu akan pasang’.
“baik, Sura. Aku setuju dengan usulanmu”, jawab si Baya.
Sejak itulah, si Sura dan si Baya tidak pernah lagi berkelahi. Binatang-binatang lain yang ada disekitar mereka pun hidup tentram dan damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Itu terjadi karena si Sura beberapa kali mencari mangsa di sungai bukan dilaut, sangat sering sekali. Hal itu terus dilakukan si Sura. Si Sura melakukan itu karena dia merasa bahwa sungai adalah wilayah kekuasaannya. Suatu hari, si Baya akhirnya memergokinya. Tentu saja si Baya marah sekali melihat perilaku si Sura.
“hai, Sura. Berani-beraninya kamu memasuki wilayah kekuasaanku. Mengapa kamu melanggar perjanjian kita?”Tanya si Baya dengan kesal.
“siapa yang melanggar perjanjian?hai Baya, apakah kamu ingat isi perjanjian kita dulu bahwa akulah yang berkuasa di wilayah air? Bukankah sungai ini juga ada airnya?” Kata si Sura.
Benar apa yang dikatakan si Sura. Tapi, si Baya tetap bersikeras ingin mempertahankan daerah kekuasaannya.
“hai Sura. Aku tahu kalau sungai ini ada airnya. Tapi bukankah kau lihat sendiri bila sungai ini berada di darat?” Tanya si Baya. “itu berarti sungai ini daerah kekuasaanku, sedangkan daerah kekuasaanmu ada di laut.”
Namun, si Sura tetap merasa bahwa alasannya yang paling kuat.
“tidak bisa, Baya! Aku tidak pernah mengatakan bahwa air itu hanya ada di laut, tetapi air itu juga ada di sungai.”
“hai, Sura. Kamu memang sengaja mencari gara-gara. Aku tidak sebodoh yang kamu kira.” Kata si Baya.
“ha.ha.ha…” si Sura tertawa terbahak-bahak. “hai Baya. Aku tidak perduli kamu bodoh atau pintar. Yang jelas sungai ini adalah wilayah kekuasaanku.”
Merasa ditipu, si baya pun meminta agar perjanjian itu dibatalkan dan menantang si Sura untuk saling mengadu kekuatan.
“baiklah kalau begitu, Sura. Perjanjian kita batal! Yang penting sekarang, siapa yang lebih kuat diantara kita, dialah yang akan menjadi penguasa tunggal di wilayah ini,” tegas si Baya.
“kamu menantangku berkelahi lagi, Baya? Siapa takut!.” Jawab si Sura.
Akhirnya, pertarungan sengit pun kembali terjadi antara kedua binatang buas itu. Kali ini, mereka bertarung mati-matian karena siapa pun di antara mereka yang kalah, dia harus meninggalkan wilayah tersebut.
Akhirnya, pertarungan sengit pun kembali terjadi antara kedua binatang buas itu. Kali ini, mereka bertarung mati-matian karena siapa pun di antara mereka yang kalah, dia harus meninggalkan wilayah tersebut.
Tanpa menunggu waktu lama lagi, si Baya langsung menerjang si Sura yang berada di dalam air. Sementara itu, si Sura yang sudah bersiap siap dengan cepat berkelit menghindari serangan si Baya.
Si Sura dan si Baya masih saling menerkam dan menggigit. Dalam suatu serangan, si Sura berhasil menggigit pangkal ekor si Baya. Air sungai yang semula jernih pun langsung dengan sekejap langsung berubah menjadi merah akibat darah yang keluar dari luka si Baya. Meskipun dalam keadaan yang terluka parah, si Baya terus berupaya melakukan perlawanan. Namun, usahanya pun tidak sia-sia karena si Baya berhasil menggigit ekor si Sura hingga hampir terputus. Tak ayal, si Sura pun menjerit kesakitan seraya melarikan diri menuju lautan.
Si Baya merasa puas karena mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya. Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat setempat menamakan daerah tersebut menjadi “SURABAYA”, yaitu diambil dari gabungan kata Sura dan Baya. Oleh karena pemerintah setempat, gambar ikan Sura dan Buaya dijadikan sebagai lambang kota yang hingga kini masih dipakai menjadi lambang kota hingga sekarang.
Pertarungan antaran ikan hiu yang bernama Sura dan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya sealalu dikait kaitkan dengan peristiwa ini. Dari peristiwa inilah kemudian dibuat lambang kota Surabaya yaitu gambar “ikan Sura dan Buaya”.
Namun, ada juga sebagian masyarakat yang berpendapat, asal usil Surabaya berasal dari kata Jaya atau Selamat. Baya berarti bahaya, jadi Surabaya berarti selama menghadapi bahay. Bahaya yang dimaksud adalah serangan tentara Tar Tar yang hendak menghukum Raja Jawa. Seharusnya yang dihukum adalah Kartanegara, karena Kartanegara sudah tewas terbunuh, maka Jayakatwang lah yang diserbu oleh tentara Tar Tar tersebut. Setelah mengalahkan Jayakatwang, orang orang Tar Tar tersebut merampas harta benda dan puluhan gadis gadis cantik untuk dibawa ke Tiongkok. Raden Wijaya tidak terima diperlakukan seperti itu. Dengan siasat yang sangat jitu, Raden Wijaya menyerang tentara Tar Tar di pelabuhan Ujung Galuh hingga mereka kembali menyingkir ke Tiongkok.
Selanjutnya, dari hari peristiwa kemenangan Raden Wijaya tersebut inilah ditetapkan sebagai hari jadi kota Surabaya. Surabaya sepertinya sudah ditakdirkan untuk terus bergejolak. Tanggal 10 November 1945 adalah bukti jati diri warga Surabaya yaitu berani menghadapi bahaya serangan Inggris dan Belanda.
Di zaman sekarang, setelah ratusan tahun dari cerita asal usul Surabaya tersebut, ternyata pertarungan memperebutkan wilayah air dan wilayah darat terus berlanjut. Di kala musim penghujan tiba, kadangkala banjir menguasai kota Surabaya. Pada musim kemarau kadangkala tempat tempat genangan air tersebut menjadi daratan kering. Itulah Surabaya.

Sejarah Sebelum kedatangan Belanda
            Surabaya dulunya merupakan gerbang Kerajaan Majapahit, yakni di muara Kali Mas. Bahkan hari jadi Kota Surabaya ditetapkan sebagai tanggal 31 Mei 1293. Hari itu sebenarnya merupakan hari kemenangan pasukan Majapahit yang dipimpin Raden Wijaya terhadap pasukan kerajaan Mongol utusan Kubilai Khan. Pasukan Mongol yang datang dari laut digambarkan sebagai ikan SURO (ikan hiu/berani) dan pasukan Raden Wijaya yang datang dari darat digambarkan sebagai BOYO (buaya/bahaya), jadi secara harfiah diartikan berani menghadapi bahaya yang datang mengancam. Maka hari kemenangan itu diperingati sebagai hari jadi Surabaya.

            Pada abad ke-15, Islam mulai menyebar dengan pesat di daerah Surabaya. Salah satu anggota Wali Songo, Sunan Ampel, mendirikan masjid dan pesantren di daerah Ampel. Tahun 1530, Surabaya menjadi bagian dari Kerajaan Demak.

           
            Menyusul runtuhnya Demak, Surabaya menjadi sasaran penaklukan Kesultanan Mataram, diserbu Panembahan Senopati tahun 1598, diserang besar-besaran oleh Panembahan Seda ing Krapyak tahun 1610, diserang Sultan Agung tahun 1614. Pemblokan aliran sungai Brantas oleh Sultan Agung akhirnya memaksa Surabaya menyerah. Suatu tulisan VOC tahun 1620 menggambarkan Surabaya sebagai negara yang kaya dan berkuasa. Panjang lingkarannya sekitar 5 mijlen Belanda (sekitar 37 km), dikelilingi kanal dan diperkuat meriam. Tahun tersebut, untuk melawan Mataram, tentaranya sebesar 30 000 prajurit[1].

            Dalam perjanjian antara Paku Buwono II dan VOC pada tanggal 11 November 1743, Surabaya diserahkan penguasaannya kepada VOC.

Zaman Hindia Belanda
            Pada zaman Hindia Belanda, Surabaya berstatus sebagai ibu kota Karesidenan Surabaya, yang wilayahnya juga mencakup daerah yang kini wilayah Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang. Pada tahun 1905, Surabaya mendapat status Kotamadya (Gemeente). Pada tahun 1926, Surabaya ditetapkan sebagai ibu kota provinsi Jawa Timur. Sejak itu Surabaya berkembang menjadi kota modern terbesar kedua di Hindia-Belanda setelah Batavia.

            Sebelum tahun 1900, pusat kota Surabaya hanya berkisar di sekitar Jembatan Merah saja. Sampai tahun 1920-an, tumbuh pemukiman baru seperti daerah Darmo, Gubeng, Sawahan, dan Ketabang. Pada tahun 1917 dibangun fasilitas pelabuhan modern di Surabaya.

            Tanggal 3 Februari 1942, Jepang menjatuhkan bom di Surabaya. Pada bulan Maret 1942, Jepang berhasil merebut Surabaya. Surabaya kemudian menjadi sasaran serangan udara Sekutu pada tanggal 17 Mei 1944.
Pertempuran mempertahankan Surabaya
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peristiwa 10 November

            Setelah Perang Dunia II usai, pada 25 Oktober 1945, 6000 pasukan Inggris-India yaitu Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby mendarat di Surabaya dengan perintah utama melucuti tentara Jepang, tentara dan milisi Indonesia. Mereka juga bertugas mengurus bekas tawanan perang dan memulangkan tentara Jepang. Pasukan Jepang menyerahkan semua senjata mereka, tetapi milisi dan lebih dari 20000 pasukan Indonesia menolak.
Tentara Britania menembaki 'sniper' dalam pertempuran di Surabaya



            26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara Bapak Suryo, Gubernur Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison.

            27 Oktober 1945, jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan milisi Indonesia marah waktu membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal 26 Oktober 1945.

            28 Oktober 1945, pasukan Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar Presiden RI Sukarno dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.

            29 Oktober 1945, Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.

            Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditanda-tangani oleh Presiden RI Sukarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya. Mayjen Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta.

            Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio, dekat Jembatan merah, mobil Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.
           
           

            Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris kompi D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk membubarkan para milisi. Para milisi mengira mereka diserang / ditembaki tentara Inggris dari dalam gedung Internatio dan balas menembak. Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil Brigjen Mallaby.

            Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan sopirnya tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia.

            Letjen Sir Philip Christison marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby dan mengerahkan 24000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya.

            9 November 1945, Inggris menyebarkan ultimatum agar semua senjata tentara Indonesia dan milisi segera diserahkan ke tentara Inggris, tetapi ultimatum ini tidak diindahkan.

            10 November 1945, Inggris mulai membom Surabaya dan perang sengit berlangsung terus menerus selama 10 hari. Dua pesawat Inggris ditembak jatuh pasukan RI dan salah seorang penumpang Brigadir Jendral Robert Guy Loder-Symonds terluka parah dan meninggal keesokan harinya.

            20 November 1945, Inggris berhasil menguasai Surabaya dengan korban ribuan orang prajurit tewas. Lebih dari 20000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk Surabaya tewas. Seluruh kota Surabaya hancur lebur.

            Pertempuran ini merupakan salah satu pertempuran paling berdarah yang dialami pasukan Inggris pada dekade 1940an. Pertempuran ini menunjukkan kesungguhan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah.

            Karena sengitnya pertempuran dan besarnya korban jiwa, setelah pertempuran ini, jumlah pasukan Inggris di Indonesia mulai dikurangi secara bertahap dan digantikan oleh pasukan Belanda. Pertempuran tanggal 10 November 1945 tersebut hingga sekarang dikenang dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.



Arti Sebenarnya dari Surabaya

Ada berbagai versi mengenai asal-usul Ibukota Jawa Timur ini, mulai dari kisah ikan sura dan baya yang berebut kekuasaan darat dan air, ada juga versi yang mengisahkan perkelahian antara Adipati Jayengrono yang menguasai ilmu baya dan Sawunggaling yang menguasai ilmu sura.
Penyerangan pasukan Tar Tar
Penyerangan pasukan Tar Tar [imagesource]
Pemerintah Kota Surabaya sendiri tak tinggal diam mengatasi ketidak jelasan mengenai Arti nama Surabaya. Akhirnya ditetapkanlah 31 Mei 1293 sebagai hari jadi kota Surabaya . Dalam segi arti nama, Surabaya terdiri dari gabungan dua kata yaitu Sura yang berarti keberanian dan Baya yang artinya Bahaya, dua kata ini dihubungkan dengan keberanian pasukan Majapahit di bawah kepemimpinan Raden Wijaya mengalahkan Pasukan Tar-Tar yang berlabuh di Ujung Galuh karena ingin menguasai Nusantara.
Itulah makna lain di balik berdirinya kota Surabaya. Memang ada berbagai versi tentang asal usulnya. Tapi walaupun begitu, semuanya mensiratkan pesan moral yang baik, mulai dari keberanian, hingga kepahlawanan.




BAB III
Kesimpulan

Kesimpulan dari tugas ini adalah Perkelahian dan perselisihan hanya akan merugikan kedua belah pihak. Dan juga bahwa sifat serakah seperti yang dimiliki si Sura dapat mendatangkan kerugian. Akibat keserakahannya, si Sura hampir kehilangan ekornya akibat gigitan si Baya.

BAB IV
PENUTUP
Semoga dengan adanya tugas ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan memberikan informasi kepada pembaca khususnya mahasiswa Universitas Negeri  Jakarta. Maaf apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini. Untuk itu,  mohon kepada dosen pengajar saya untuk memberi masukannya demi perbaikan pembuatan tugas saya dimasa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.











DAFTAR ISI
http://id.wikipedia.org>wiki>folklore.com

1 komentar:

  1. Materinya cukup bagus menambah pengetahuan tentang kota surabaya. Good job!

    BalasHapus