Kamis, 07 Januari 2016

Tugas - 3 Folklore Indonesia

Folklore Suku Naga di Tasikmalaya


Sejarah
Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Namun, asal mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah, kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor". Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, Matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya. Masyarakat kampung naga menceritakan bahwa hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/ sejarah mereka pada saat pembakaran kampung naga oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo. Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun 1956.
Adapun beberapa versi sejarah yang diceritakan oleh beberapa sumber diantaranya, pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Namun masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran versi sejarah tersebut, sebab karena adanya "pareumeun obor" tadi.
Kampung Naga , adalah sebuah nama tempat "Lembah" di mana para leluhur pasundan pernah diam disana ribuan tahun yang lalu ketika sebuah pergunjingan sejarah yang penuh dengan misteri terpatri indah di sana . Asal muasal kata NAGA di sini bukan cerita dongeng negri China , hewan bersisik menyerupai Ular berkaki dan sakti mandra guna dan dewa maha dewa , yang di maksud Naga di sini adalah sebuah ungkapan kebiasaan orang sunda dengan dialektika uniknya , kita rinci kata NA adalah kosa kata Dina yang berarti menunjukan sebuah benda atau tempat . GA adalah kepanjangan Gawir (Sunda buhun) Artinya Tebing tinggi menyerupai lembah , jadi "Asal" kata Kampung Naga itu adalah Sebuah kampung yang terletak di sebuah lembah . Hal tersebut menurut penuturan para penduduk di sana dan tidak ada yang istimewa mereka apa adanya . Kampung itu di belah oleh sebuah sungai yang langsung membelah lembah "lembur naga" nama sungai itu Ciwulan yang membentang dari arah perbatasan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut , ciwulan terus mengalirkan airnya tanpa henti dan bermuara pada saksi kebenaran sejarah. Ribuan tahun yang lalu para leluhur Pasundan telah menerapkan system politik gotong royong yang tidak ingin tergugat dan di gugat , karena sebuah ayat hati yang cendrung idealis memprofokasi semua jagat raya dan gejolak tentang hidup dan penghidupan para leluhur itu suci laksana kesuciannya maha "Kitab" , mereka telah mengajarkan untuk saling menghargai , mengasihi , dan saling percaya satu sama lainnya dan menghilangkan sifat paranoid yang kini telah jadi Virus nyata merusak jaringan otak manusia di seluruh dunia . Maha karya pemikiran dan dialektika yang agung itu tertuang dari tatanan bangunan para "Naganer" begitu penulis meng-ibaratkan , karena rumah indah dengan palsafah luhur itu mungkin mengisyaratkan itu semua , di lingkungan kampung naga yang hanya di huni bangunan 114 bangunan semua rumah menghadap ke Utara Barat Daya , dengan tepian pintu yang tidak terlalu jauh dari rumah para saudaranya , mengisyaratkan kehidupan itu harus saling membagi dan jangan jauh dari pintu kekeluargaan dan jangan strerss ketika gejolak hidup menerpa dan kita harus saling bantu sesama keluarga dan tidak ada strata di sana , anatara pangkat,kedudukan, siapa, dan dari mana, semuanya keluarga yang di bangun dari daya cipta sang maha Agung Tuhan semesta alam . 


Lokasi dan topografi
Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa NeglasariKecamatan SalawuKabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota TasikmalayaKampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Ci Wulan (Kali Wulan) yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda : sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.
Menurut data dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur. Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektare setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.
Religi dan sistem pengetahuan
Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jumat. Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari Raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri.
Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam ("leuwi"). Kemudian "ririwa" yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut"kunti anak" yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang SingaparnaBumi ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayangpencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga.
“Sistem kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga termasuk miskin. Seni vokal yang mereka miliki terbatas pada kidung dan pantun, yang melukiskan lalampahan (lelakon kehidupan) dari beberapa tokoh baik yang diambil dari cerita sejarah, babad atau fiktif, yang mengandung suri tauladan untuk kehidupan. Ada dua versi cerita yang ditampilkan dalam bentuk pantun, misalnya lalampahan Achmad Muhammad dan ceritera Syeikh Abdul Kodir Jaelani. Bentuk kesenian ini biasanya ditampilkan pada acara selamatan, misalnya menyambut kelahiran bayi, cukuran, khitanan, dan perkawinan. Seni instrumentalia yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga boleh dibilang juga sangat miskin. Masyarakat Kampung Naga hanya memiliki satu perangkat alat yang disebut terbang gembrung. Perangkat ini hanya terdiri dari beberapa unsur diantaranya: beberapa buah dogdog (genderang kecil) dari berbagai ukuran (yang paling kecil memiliki ukuran diameter sekitar 40 sentimeter), dan unsur lainnya adalah beberapa buah angklung buncis”. (H. M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, hal. 80-83)

Adapun secara rinci jenis-jenis kesenian tersebut adalah:

A.    Terbang atau terbang gembrung
Terbang atau terbang gembrung hampir sama dengan rebana yang biasa dimainkan dalam kasidahan. Alat musik tradisional tersebut terbuat dari dua bahan dasar. Bingkainya yang merupakan tabung suara, terbuat dari bahan kayu yang dibuat sedemikian rupa dengan bentuk pipih dan bundar. Bagian tengahnya dibiarkan kosong. Pada salah satu sisi yang dijadikan muka terbang kemudian ditutup dengan kulit domba. Sekeliling pinggir terbang kemudian dipasang tali melingkar sehingga menyerup gelang. Tali tersebut berfungsi menjadi pengikat sisi-sisi kulit domba.

Untuk memperoleh suara yang diinginkan, di sekeliling tali pengikat tersebut dipasang “pen” yang berfungsi sebagai penahan dan sekaligus pengatur nada suara. Jika akan dimainkan, bagian pada permukaan terbang itulah yang ditepak-tepak oleh telapak tangan para pemain. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal. 101-102)

Terbang dalam kesenian masyarakat Kampung Naga terdiri dari empat buah. Terbang pertama disebut tingting, ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan terbang kedua yang disebut kemprong. Sedangkan kemprong ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan terbang ketiga yang disebut bangpak. Terbang keempat merupakan terbang yang paling besar dan disebut brumbung.

Terbang gembrung biasanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Para pemainnya duduk berjajar berurutan berdasarkan ukuran terbang yang akan dimainkan. Penyajian kesenian tersebut biasanya dimainkan bersama nyanyian yang disesuaikan dengan irama yang dibawakan. Pada umumnya, lagu-lagu yang dibawakan menggunakan Bahasa Arab yang intinya berupa puji-pujian untuk mengagungkan kebesaran Tuhan dan salam serta shalawat untuk Nabi Muhammad saw.

Masuknya terbang gembrung sebagai kesenian masyarakat Kampung Naga diduga kuat berkaitan erat dengan penyebaran Islam di Nusantara. Karena itu, kesenian tersebut biasanya digelar pada saat menyambut hari suci, misalnya hari raya Iedul fitri atau hari raya Iedul Adha. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal 102)

B.    Angklung
Jenis kesenian masyarakat Kampung Naga lainnya adalah angklung. Seperangkat angklung yang dimiliki masyarakat Kampung Naga terdiri dari empat buah dengan ukuran yang berbeda. Bentuknya hampir sama dengan umumnya instrumen angklung di daerah lainnya. Cara memainkannya dilakukan dengan menggoyang-goyang instrumen musik bambu tersebut.

Dalam fungsinya sebagai alat hiburan, kesenian angklung digunakan oleh masyarakat Kampung Naga untuk mengiringi jempana yang memuat hasil pertanian mereka, misalnya saat peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Jempana adalah tempat menyimpan hasil pertanian atau kerajinan yang terbuat dari potongan bambu dengan bentuk menyerupai trapesium. Untuk memudahkan mengangkutnya, pada bagian bawah jempana dipasang bambu yang berfungsi sebagai pikulan.

Selain untuk mengarak jempana angklung juga digunakan untuk mengiringi rombongan peserta upacara gusaran dalam pelaksanaan acara khitanan anak-anak masyarakat Kampung Naga dan Sanaga. Namun karena kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai fungsi religius, kesenian angklung digunakan pula sebagai tradisi untuk menghormati Dewi Sri Pohaci. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal 103-104)

C.    Beluk dan rengkong
Beluk dan rengkong merupakan dua jenis kesenian masyarakat Kampung Naga yang sudah jarang dijumpai. Dilihat dari fungsinya, terutama seni beluk mencerminkan fungsi solidaritas sosial antara satu warga dengan warga lainnya.

Seni beluk merupakan salah satu tembang Sunda yang banyak menggunakan nada-nada tinggi. Para pemainnya terdiri dari empat orang atau lebih. Kesenian ini biasa dimainkan pada malam hari, dan para pemain secara bergiliran membaca syair lagu dan kemudian menyanyikannya. Isi nyanyian biasanya diambil dari wawacan. Wawacan adalah cerita yang menggunakan Bahasa Sunda.

Wawacan dalam seni beluk biasanya ditulis dalam huruf Arab. Sedangkan tema ceritanya diangkat dari kisah-kisah kepahlawanan Shahabat Ali bin Abi Thalib dalam menyebarkan agama Islam. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal105-106)
Adapun pantangan atau tabu yang lainnya yaitu pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Masyarakat kampung Naga dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal usul kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di Tasikmalaya ada sebuah tempat yang bernama Singaparna, Masyarakat Kampung Naga menyebutnya nama tersebut Galunggung, karena kata Singaparna berdekatan dengan Singaparnanama leluhur masyarakat Kampung Naga.
Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker atau sanget. Itulah sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka menyimpan "sasajen" (sesaji).
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap waktu terwujud pada kepercayaan mereka akan apa yang disebut palintangan. Pada saat-saat tertentu ada bulan atau waktu yang dianggap buruk, pantangan atau tabu untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti membangun rumah, perkawinan, hitanan, dan upacara adat. Waktu yang dianggap tabu tersebut disebut larangan bulan. Larangan bulan jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Rhamadhan. Pada bulan-bulan tersebut dilarang atau tabu mengadakan upacara karena hal itu bertepatan dengan upacara menyepi. Selain itu perhitungan menentukan hari baik didasarkan pada hari-hari naas yang ada dalam setiap bulannya, seperti yang tercantum dibawah ini:
1.     Muharam (Muharram) hari Sabtu-Minggu tanggal 11,14
2.     Sapar (Safar) hari Sabtu-Minggu tanggal 1,20
3.     Maulud hari (Rabiul Tsani)Sabtu-Minggu tanggal 1,15
4.     Silih Mulud (Rabi'ul Tsani) hari Senin-Selasa tanggal 10,14
5.     Jumalid Awal (Jumadil Awwal)hari Senin-Selasa tanggal 10,20
6.     Jumalid Akhir (Jumadil Tsani)hari Senin-Selasa tanggal 10,14
7.     Rajab hari (Rajab) Rabu-Kamis tanggal 12,13
8.     Rewah hari (Sya'ban) Rabu-Kamis tanggal 19,20
9.     Puasa/Ramadhan (Ramadhan)hari Rabu-Kamis tanggal 9,11
10. Syawal (Syawal) hari Jumat tanggal 10,11
11. Hapit (Dzulqaidah) hari Jumat tanggal 2,12
12. Rayagung (Dzulhijjah) hari Jumat tanggal 6,20
Pada hari-hari dan tanggal-tanggal tersebut tabu menyelenggarakan pesta atau upacara-upacara perkawinan, atau khitanan. Upacara perkawinan boleh dilaksanakan bertepatan dengan hari-hari dilaksanakannya upacara menyepi. Selain perhitungan untuk menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan seperti upacara perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, dan lain-lain, didasarkan pada hari-hari naas yang terdapat pada setiap bulannya
Hal unik lainnya dari Kampung Naga yakni dari bentuk bangunannya yang sama antara rumah, masjid, balai pertemuan atau patemon dan lumbung padi. Semua bangunan di kampung ini berbentuk panggung. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu atau bilik. Seluruh bahan bangunan hanya menggunakan bambu dan kayu. Lantai rumah juga harus terbuat dari bambu atau papan kayu dan tidak boleh dicat kecuali dikapur. Pemakaian bahan itu merupakan titah adat istiadat yang tidak boleh dilanggar. Sementara itu, pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara atau Selatan. Selain itu, tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gaya arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga. Memasuki Kampung Naga, pengunjung akan disuguhi berbagai macam pantangan yang sama sekali tidak boleh dilanggar. Konon, siapapun yang berani melanggar pantangan tersebut, di kemudian hari bakal mendapatkan musibah yang tidak disangka-sangka sebelumnya.
Selain sangat unik, Kampung Naga juga terkenal dengan keramahan khas Sunda penduduknya dalam menerima tamu atau pendatang yang kebetulan singgah di kampung ini. Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Di bidang kesenian, masyarakat Kampung Naga memiliki pantangan mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar kampung seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian lain yang mempergunakan alat musik sejenis goong. Sedangkan, kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Namun demikian, warga Kampung Naga diperbolehkan menyaksikan pertunjukan wayang atau kesenian lainnya asal berada diluar Kampung Naga.
Seperti juga masyarakat adat lainnya di Jawa Barat, penduduk Kampung Naga tidak memperkenankan barang atau peralatan modern masuk ke Kampung Naga. Sehingga, jika memasuki areal Kampung Naga tidak akan mendengar suara radio atau pemutar musik lainnya yang mengalunkan musik-musik merdu.
Yang dapat didengar di kampung ini hanya suara-suara serangga, burung, ayam  berkokok, katak serta gemericiknya air yang mengalir di samping kampung. Terkait masalah agama dan kepercayaan, penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, namun mereka juga sangat taat memegang adat istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya.
Patuh leluhur
Masyarakat Kampung Naga amat patuh terhadap ajaran yang diwariskan para leluhur mereka, bahkan untuk pelaksanaan ibadah pun dilakukan sesuai yang diajarkan para leluhur mereka.
 Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga hanya dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis saja. Sedangkan, untuk pengajian orang dewasa digelar pada malam Jum’at.
Dalam menunaikan rukun Islam kelima yakni menunaikan ibadah haji, penduduk Kampung Naga beranggapan tidak perlu pergi ke Mekkah , Saudi Arabia . Mereka menggantinya dengan melaksanakan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan hari raya Idul Adha atau hari raya haji.
Menurut Ketua Adat Kampung Naga, Ade Suherlin, kepercayaan tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, karena bagi masyarakat Kampung Naga, menjalankan adat istiadat warisan dari nenek moyang mereka berarti menghormati para leluhur atau karuhun.
Segala sesuatu yang bukan berasal dari leluhur Kampung Naga sangat tabu untuk dilakukan. Jika memaksa berarti melanggar adat dan nantinya bakal ketiban balak. “Semua yang dilakukan disini memang berasal dari para leluhur. Kalau tidak dilaksanakan masyarakat percaya bakal ketiban musibah di kemudian hari,” ujar Ade Suherlin kepada LIBERTY .
Pria yang akrab disapa Kang Ade ini menambahkan, masyarakat Kampung Naga juga sangat mempercayai keberadaan makhluk halus. Mereka percaya adanya jurig cai atau hantu sungai, yakni makhluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang lebar dan airnya mengalir tenang.
Selain itu, mereka juga percaya dengan ririwa, sejenis makhluk halus yang senang mengganggu manusia pada malam hari. Serta makhluk halus kuntilanak berbentuk perempuan hamil yang meninggal dunia. Tempat-tempat yang dianggap sebagai rumah bagi makhluk halus oleh masyarakat Kampung Naga diyakini sebagai tempat angker, termasuk makam Embah Eyang Singaparna, leluhur masyarakat Kampung Naga.
Selain makam, Bumi Ageung dan masjid juga merupakan tempat yang dipandang suci di kampung ini. Termasuk untuk urusan kebutuhan hidup. Walaupun sebagian besar secara materi masyarakat Kampung Naga berkecukupan, namun rumah-rumah mereka tidak dilengkapi dengan perabotan semisal kursi, meja dan tempat tidur. Pintu rumah juga hanya satu. Itu terkait dengan kepercayaan, bakal hilangnya rezeki yang masuk ke dalam rumah.
Selain pantangan tersebut, masyarakat Kampung Naga juga mengenal hari dan bulan yang dianggap tabu untuk membicarakan soal adat. Hari-hari pantangan itu yakni hari Selasa, Rabu dan Sabtu. Sedangkan, bulan Sapar dan Ramadan juga pantang untuk menggelar upacara, pernikahan, sunatan dan kegiatan adat lainnya. Waktu pantangan tersebut bertepatan dengan waktu upacara menyepi.
Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan bahwa  ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker. Itulah sebabnya di daerah itu, masyarakat Kampung Naga suka menyimpan sesaji.

Mitos Anak Tangga
Satu hal yang menarik dari Kampung Naga yakni deretan anak tangga untuk menuju ke kompleks perkampungan. Anak tangga yang menukik turun ke lembah kampung Naga tersebut tak pernah sama jumlah hitungannya. Ada yang menghitung berjumlah kurang dari 360 buah anak tangga, namun banyak juga diantaranya yang menghitung lebih dari itu.
Bahkan, pernah dua orang yang menghitung bersamaan tidak bisa memperoleh jumlah hitungan yang sama. Semua ini masih merupakan sebuah teka-teki bagi pengunjung yang datang kesana.
Menurut Kang Ade, tangga tersebut memang bukan sembarang tangga. Pembuatan tangga itu berdasarkan dari titah leluhur untuk memudahkan akses bagi penduduk Kampung Naga untuk keluar masuk kampong. Sebelum anak tangga itu dibuat, masyarakat Kampung Naga harus bekerja ekstra untuk dapat sampai ke perkampungan penduduk lainnya guna membeli berbagai kebutuhan hidup. Di kampong ini, terdapat 111 jumlah bangunan, yang terdiri dari 109 rumah hunian sebuah mesjid dan sebuah aula pertemuan yang kesemuanya menghadap kearah Timur.
Jumlah rumah di kampong ini tidak bertambah atau berkurang. “Semua bangunan di Kampung Naga tidak boleh ditambah karena memang keterbatasan lahan yang tersedia disini. Itu menyesuaikan dengan hokum adat,” ujar Kang Ade.
Dimana pun berada, masyarakat Kampung Naga selalu terlihat berbeda dengan orang lain pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan mereka selalu membawa falsafah hidup kampung Naga kemanapun mereka pergi. Diantaranya,  Ngalindungna sihung maung, diteuheurna meumenteng, Ulah aya guam, Bisa tuliskeun, teu bisa kanyahokeun serta Sok lamun eling, moal hirup salamet.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.kompasiana.com/nokia.com/kampung-naga-sebuah-legenda-dari-kabupaten-tasikmalaya_54f75c79a333112e358b467e
http://matapriangan.blogspot.co.id/2012/06/sistem-kesenian-masyarakat-kampung-naga.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Kampung_Naga

NAMA     : Andya Nafisa Yasmine
NIM         : 4423154202
KELAS    : UJP A 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar