HISTORY OF SUKU SASAK
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan Tugas tentang Folklore Indonesia yang berjudul ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang
sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan tugas ini dan
yang menjadi tugas di dalam
mata kuliah Sejarah Indonesia. Disamping itu, kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama
pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat
kami sampaikan, semoga
tugas ini bisa bermanfaat dan jangan lupa ajukan kritik dan saran
terhadap tugas ini agar
kedepannya bisa diperbaiki.
SUKU SASAK
SEJARAH DAN ASAL USUL
Suku Sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya
pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang
agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan
praktek ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut
kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama "Sasak Boda".
Asal nama Sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan.
Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau
Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga
setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang
artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang
artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang
lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus. Lombo Mirah
Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakretagama ( Desawarnana
), sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan kepemerintahaan kerajaan
Majapahit, gubanan Mpu Prapanca. kata "lombok" dalam bahasa kawi
berarti lurus atau jujur, "Mirah" berarti permata, "sasak"
berarti kenyataan dan "adi" artinya yang baik atau yang utama. Maka
Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik
atau utama.
Adat istiadat suku sasak dapat anda saksikan pada saat resepsi perkawinan,
dimana perempuan apabila mereka mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang
perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini
yang dikenal dengan sebutan merarik atau pelarian.
Caranya cukup
sederhana, gadis pujaan itu tidak perlu memberitahukan kepada kedua
orangtuanya. Bila ingin menikah, gadis itu dibawa. Namun jangan lupa aturan,
mencuri gadis dan melarikannya biasanya dilakukan dengan membawa beberapa orang
kerabat atau teman. Selain sebagai saksi kerabat yang dibawa untuk mencuri
gadis itu sekalian sebagai pengiring dalam prosesi itu. Dan gadis itu tidak
boleh dibawa langsung ke rumah lelaki, harus dititipkan ke kerabat
laki-laki.Tentu menikahi gadis dengan meminta izin kepada orang tuanya (redaq)
lebih terhaormat daripada mencuri gadis tanpa pemberitahuan terlebih dahulu,
namun proses seperti ini sudah sangat jarang ditemukan karena kebiasaan orang
sasak lebih dominan mencurinya supaya tidak terhambat oleh hal-hal yang tidak
diinginkan seperti tidak disetujui orang tua gadis atau keterbatasan kemampuan
dalam hal materi karena proses "redaq" biasanya menghabiskan biaya
yang lebih besar daripada melarikan gadis (merarik) tanpa izin.
Dalam proses pencurian
gadis, setelah sehari menginap pihak kerabat laki-laki mengirim utusan ke pihak
keluarga perempuan sebagai pemberitahuan bahwa anak gadisnya dicuri dan kini
berada di satu tempat tetapi tempat menyembunyikan gadis itu dirahasiakan,
tidak boleh diketahui keluarga perempuan. 'Nyelabar', istilah bahasa setempat
untuk pemberitahuan itu, dan itu dilakukan oleh kerabat pihak lelaki tetapi
orangtua pihak lelaki tidak diperbolehkan ikut.
Rombongan 'nyelabar'
terdiri lebih dari 5 orang dan wajib mengenakan berpakaian adat. Rombongan tidak
boleh langsung datang kekeluarga perempuan. Rombongan terlebih dahulu meminta
izin pada Kliang atau tetua adat setempat, sekedar rasa penghormatan kepada
kliang, datang pun ada aturan rombongan tidak diperkenankan masuk ke rumah
pihak gadis. Mereka duduk bersila dihalaman depan, satu utusan dari rombongan
itu yang nantinya sebagai juru bicara menyampaikan pemberitahuan.
Suku Sasak telah menghuni Pulau Lombok selama berabad-abad, Mereka telah
menghuni wilayahnya sejak 4.000 Sebelum Masehi. Ada pendapat yang mengatakan
bahwa orang Sasak berasal dari percampuran antara penduduk asli Lombok dengan
para pendatang dari Jawa. Ada juga yang menyatakan leluhur orang sasak adalah
orang Jawa.
Menurut Goris S., “Sasak” secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang
berarti “pergi” dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu Goris
menyimpulkan bahwasasak memiliki arti “pergi ke tanah leluhur”.
Dari pengertian inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa.
Bukti lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak
disebut sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari
tanah Jawa, pada perkembangannya, aksara ini diresepsi dengan baik oleh para
pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusasteraan Sasak.
Pendapat lain menyoal etimologi
Sasak beranggapan bahwa kata itu berasal dari kata sak-sak yang dalam
bahasa sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan dengan kedatangan nenek
moyang orang Sasak dengan menggunakan sampan dari arah barat. Sumber lain yang
sering dihubungkan dengan etimologi Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang
memuat catatan kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca.
Dalam kitab Nagarakertagama terdapat ungkapan “lombok sasak mirah adi”
yang kurang lebih dapat diartikan sebagai “kejujuran adalah permata
yang utama”. Pemaknaan ini merujuk kepada kata sasak (sa-sak) yang
diartikan sebagai satu atau utama; Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang
dapat diartikan sebagai jujur atau lurus; mirah diartikan
sebagai permata dan adi bermakna baik.
Bahasa
Bahasa Sasak, terutama yang berkenaan
dengan sistem aksaranya, memiliki kedekatan dengan sistem aksara Jawa-Bali,
sama-sama menggunakan aksara Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Kendati demikian, secara
pelafalan, bahasa Sasak ternyata lebih memiliki kedekatan dengan bahasa Bali.
Menurut penelitian para etnolog yang mengumpulkan hampir semua bahasa di dunia,
menggolongkan bahasa Sasak kedalam rumbun bahasa Austronesia Malayu-Polinesian,
Juga ada kesamaan ciri dengan rumpun bahasa Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.
Bahasa Sasak yang digunakan di Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya
dapat digolongkan kedalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah
penuturnya; Mriak-Mriku (Lombok Selatan), Meno-Mene dan Ngeno-Ngene (Lombok
Tengah), Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara), dan Kuto-Kute (Lombok
Utara).
Struktur dan Sistem Masyarakat
Suku Sasak pada masa lalu secara sosial-politik, digolongkan dalam dua
tingkatan sosial utama, yaitu golongan bangsawan yang disebut perwangsa dan bangsa
Ama atau jajar karang sebagai golongan masyarakat
kebanyakan.
Golongan perwangsa ini terbagi lagi atas dua tingkatan,
yaitu bangsawan tingi (perwangsa) sebagai penguasa dan bangsawan
rendahan (triwangsa). Bangsawan penguasa (perwangsa) umumnya
menggunakan gelar datu. Selain itu mereka juga disebut Raden untuk
kaum laki-laki dan Denda untuk perempuan. Seorang Raden jika
menjadi penguasa maka berhak memakai gelar datu. Perubahan gelar
dan pengangkatan seorang bangsawan penguasa itu umumnya dilakukan melalui
serangkaian upacara kerajaan.
Bangsawan rendahan (triwangsa) biasanya menggunakan gelar lalu untuk
para lelakinya dan baiq untuk kaum perempuan. Tingkatan
terakhir disebut jajar karang atau masyarakat biasa.Panggilan
untuk kaum laki-laki di masyarakat umum ini adalah loq dan
untuk perempuan adalah le.
Golongan bangsawan baik perwangsa dan triwangsa disebut
sebagai permenak. Para permenak ini biasanya
menguasai sejumlah sumber daya dan juga tanah. Ketika Kerajaan Bali dinasti
Karangasem berkuasa di Pulau Lombok, mereka yang disebut permenak kehilangan
haknya dan hanya menduduki jabatan pembekel (pejabat pembantu
kerajaan).
Masyarakat Sasak sangat menghormati golongan permenak baik
berdasarkan ikatan tradisi dan atau berdasarkan ikatan kerajaan. Di sejumlah
desa, seperti wilayah Praya dan Sakra, terdapat hak tanahperdikan (wilayah
pemberian kerajaan yang bebas dari kewajiban pajak). Setiap penduduk mempunyai
kewajiban apati getih, yaitu kewajiban untuk membela wilayahnya dan
ikut serta dalam peperangan. Kepada mereka yang berjasa, Kerajaan akan
memberikan beberapa imbalan, salah satunya adalah dijadikan wilayah perdikan.
Landasan sistem sosial masyarakat dalam kehidupan suku Sasak umumnya
mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki (patrilineal). Akan tetapi,
dalam beberapa kasus hubungan masyarakatnnya terkesan bilateral atau parental (garis
keturunan diperhitungkan dari kedua belah pihak; ayah dan ibu).
Pola kekerabatan yang dalam tradisi suku sasak disebut Wiring
Kadang ini mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakatnya.
Unsur-unsur kekerabatan ini meliputi Kakek, Ayah, Paman (saudara laki-laki
ayah), Sepupu (anak lelaki saudara lelaki ayah), dan anak-anak mereka.
Wiring Kadang juga mengatur tanggung jawab mereka terhadap
masalah-masalah keluarga; pernikahan, masalah warisan dan hak-kewajiban mereka.
Harta warisan disebut pustaka dapat berbentuk tanah, rumah,
dan juga benda-benda lainnya yang merupakan peninggalan leluhur. Orang-orang
Bali memiliki pola kekerabatan yang hampir sama disebut purusa dengan
harta waris yang disebut pusaka.
Kepercayaan
Boda adalah nama dari kepercayaan asli Suku Sasak, beberapa
menyebutnya Sasak Boda. Walapun ada kesamaan pelafalan dengan
Buddha, Boda tidak memiliki kesamaan dan hubungan dengan
Buddhisme. Orang Sasak yang menganut kepercayaan Boda tidak
mengenal dan mengakui Sidharta Gautama (Sang Buddha) sebagai figur utama.
Agama Boda orang Sasak ini justru ditandai dengan penyembahan
roh-roh leluhur mereka sendiri dan juga percaya terhadap berbagai.
Kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa serta budayanya.
Hindu-Buddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh Suku Sasak. Di akhir abad ke
16 hingga abad ke 17 awal perkembangan agama Islam menyentuh pulau Lombok.
Salah satunya karena peran Sunan Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan
Suku Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi penganut Islam.
Berdasarkan sistem kepercayaan Suku Sasak pada masa-masa selanjutnya,
kemudian dapat diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu,
dan Islam (Wetu Lima).
Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah pegunungan
utara dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini
konon adalah orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa
menganut kepercayaan asli. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan melepaskan
diri dari islamisasi di Lombok.
Sedangkan Agama Wetu telu awalnya memiliki ciri sama
dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Di antara unsur-unsur umum, peran leluhur begitu
menonjol. Hal itu didasarkan pada pandangan yang berakar pada kepercayaan
tentang kehidupan senantiasa mengalir.
Pada perkembangannya Wetu telu justru lebih dekat dengan
Islam. Konon, sekarang hampir semua desa suku Sasak sudah menganut Agama Islam
lima waktu dan meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Sementara
sinkretisme Islam-Wetu telu kini berkembang terbatas di beberapa
bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun,
Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah, dan Tanjung di Lombok Barat.
Istilah Islam-Wetu Telu diberikan karena penganut kepercayaan
ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu waktu Magrib, Isya, dan waktu
Subuh. Di luar bulan puasa, mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan
ibadah, yaitu pada hari Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Untuk urusan
ibadah lainnya biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan
penghulu.
Para penganut Islam-Wetu telu membangun Masjid (tempat ibadah)
mereka dengan gaya arsitektur khas Suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan
bagian atapnya terbuat dari jenis alang-alang atau sirap dari bambu.
Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap seperti piramid
bertumpang yang disangga dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai arsitektur
masjid ini mirip dengan Arsitektur masjid lama di Ternate dan Tidore.
Tata Ruang dan Arsitektur Suku Sasak
Rumah-rumah suku Sasak berbeda dengan arsitektur Bali pada umumnya. Di
dataran, perkampungan suku Sasak cenderung luas dan melintang. Desa-desa Suku
Sasak di wilayah pegunungan tertata rapi mengikuti perencanaan yang pasti. Di
Lombok bagian utara, biasanya perkampungan Suku Sasak terdapat dua baris rumah
tipe bale, dengan sederet lumbung padinya di satu
sisi yang lain. Bangunan lain yang menjadi ciri khas perkampungan orang Sasak
adalah rumah besar (bale bele).
Di antara deretan rumah-rumah itu dibangun balai yang bersisi terbuka (beruga)
sebagai tempat pertemuan. Balai terbuka menyediakan panggung untuk kegiatan
sehari-hari dalam fungsi hubungan sosial masyarakat. Balai ini juga
digunakan untuk urusan keagamaan misalnya upacara penghormatan jenazah sebelum
dikuburkan. Sementara makam leluhur yang terdiri dari rumah-rumah kayu dan
bambu kecil dibangun di wilayah bagian atas dari perkampungan.
Sedikitnya ada empat jenis dasar lumbung dengan ukuran yang berbeda-beda.
Semua lumbung, kecuali jenis lumbung padi yang berukuran kecil, memiliki
panggung di bawah.
Di desa-desa Lombok bagian selatan, panggung yang berada di bagian bawah
lumbung padi berperan sebagai balai. Di Lombok bagian utara,
tidak semua desa memiliki lumbung padi.
Lumbung padi menjadi ciri khas yang sangat menarik dalam arsitektur suku
Sasak. Bangunan Lumbung itu didirikan pada tiang-tiang dengan cara dan ciri
khas yang mirip bangunan-bangunan Austronesia.
Bangunan ini memiliki atap berbentuk “topi” yang ditutup ilalang. Empat
tiang besar menyangga tiang-tiang melintang di bagian atas tempat kerangka
utama dibangun. Bagian atas penopang kayu kemudian menguatkan
rangka-rangka bambunya yang semua bagiannya ditutupi ilalang. Satu-satunya yang
dibiarkan terbuka adalah sebuah lubang persegi kecil yang terletak tinggi di
bagian ujung berfungsi untuk menaruh padi hasil panen. Untuk mencegah hewan
pengerat masuk. Piringan kayu besar yang mereka sebut jelepreng, disusun
di bagian atas puncak tiang dasarnya.
Rumah tradisional Suku Sasak berdenah persegi, tidak berjendela dan hanya
memiliki satu pintu dengan pintu ganda yang telah diukir halus. Di bagian
dalam, tidak terdapat tiang-tiang penyangga atap. Bubungan atapnya curam,
terbuat dari jerami yang memiliki ketebalan kurang lebih 15 centimeter. Atap
itu sengaja dibiarkan menganjur ke bagian dinding dasar yang hampir menutupi
bagian dinding. Dinding terdiri dari dua bagian, bagian tengah yang menyatu
dengan atap dibuat dari bambu, bagian bawah dibuat dari campuran lumpur, dan
jerami yang permukaannya telah dipelitur halus.
Rumah digunakan terutama untuk tempat tidur dan memasak. Masyarakat Sasak
jarang menghabiskan waktu di dalam rumah sepanjang hari. Di sisi sebelah kiri
dibagi untuk tempat tidur anggota keluarga, juga terdapat rak di
langit-langitnya untuk menyimpan pusaka dan benda berharga. Anak laki-laki
tidur di panggung bawah bagian luar; anak perempuan tidur di atas bagian dalam
panggung.
Untuk kegiatan memasak, bagian dalam rumah berisi tungku yang berada di
sisi sebelah kanan yang dilengkapi rak-rak untuk menyimpan dan mengeringkan
jagung. Kayu bakar disimpan di belakang rumah, kadang juga disimpan di bawah
panggung.
Tradisi dan Seni
Dari sejarahnya yang panjang, Suku Sasak bisa saja diidentifikasikan
sebagai budaya yang banyak mendapat pengaruh dari Jawa dan Bali. Pun sejarah
mencatatnya demikian, kenyataannya kebudayaan Suku Sasak memiliki corak dan
ciri budaya yang khas, asli dan sangat mapan hingga berbeda dengan budaya
suku-suku lainnya di Nusantara. Kini, Sasak bahkan dikenal bukan hanya sebagai
kelompok masyarakat tapi juga merupakan entitas budaya yang melambangkan
kekayaan tradisi Bangsa Indonesia di mata dunia.
Berikut beberapa seni dan tradisi yang cukup terkenal dari suku Sasak:
Bau Nyale. Nyale adalah sejenis binatang laut, termasuk jenis cacing (anelida)
yang berkembang biak dengan bertelur. Dalam alam kepercaan Suku Sasak, Nyale bukan
sekedar binatang, beberapa legenda dari Suku ini yang menceritakan tentang
putri yang menjelma menjadi Nyale. Lainnya menyatakan
bahwa Nyale adalah binatang anugerah, bahkan keberadaannya
dihubungkan dengan kesuburan dan keselamatan.
Ritual Bau Nyale atau menangkap nyale digelar setahun sekali. Biasanya pada
tanggal 19 atau 20 pada bulan ke-10 atau ke-11 menurut perhitungan tahun suku
Sasak, kurang lebih berkisar antara bulan Februari atau Maret.
Rebo Bontong. Suku Sasak percaya bahwa hari Rebo
Bontong merupakan hari puncak terjadi bencana dan atau penyakit (Bala)
sehingga bagi mereka sesuatu yang tabu jika memulai pekerjaan tepat pada
hari Rebo Bontong. Kata Rebo dan juga Bontong kurang
lebih artinya “putus” atau “pemutus”.
Upacara Rebo Bontong dimaksudkan untuk dapat menghindari
bencana atau penyakit. Upacara ini digelar setahun sekali yaitu pada hari Rabu
di minggu terakhir bulan Safar dalam kalender Hijriah.
Bebubus Batu. Dari kata “bubus”, yaitu
sejenis ramuan obat berbahan dasar beras yang dicampur berbagai jenis tanaman,
dan dari kata batu yang merujuk kepada batu tempat
melaksanakan upacara.Bebubus Batu adalah upacara yang digelar untuk
meminta berkah kepada sang Kuasa. Upacara ini dilaksanakan tiap tahun, dipimpin
oleh Penghulu (pemangku adat) dan Kiai (ahli agama). Masyarakat ramai-ramai
mengenakan pakaian adat serta membawa dulang, sesajen dari hasil
bumi.
Sabuk Beleq Merujuk kepada sebuah pustaka sabuk yang besar (Beleq)
bahkan panjangnya mencapai 25 meter, masyarakat Lombok khususnya mereka yang
berada di wilayah Lenek Daya akan menggelar upacara pada tanggal 12 Rabiul Awal
tahun Hijriah. Tradisi pengeluaran Sabuk Bleeq ini mereka
awali dengan mengusung Sabuk Beleq mengelilingi kampung diiringi
dengan tetabuhan gendang beleq. Ritual upacara kemudian
dilanjutkan dengan menggelar praja mulud hingga diakhiri
dengan memberi makan berbagai jenis makhluk. Upacara ini dilakukan untuk
mempererat ikatan persaudaraan, persatuan dan gotong royong antar masyarakat,
serta cinta kasih di antara makhluk Tuhan.
Lomba Memaos. Memaos kurang lebih artinya membaca dan orang yang
membaca di sebut pepaos.Lomba memaos adalah lomba untuk membaca
lontar yang menceritakan hikayat dari leluhur mereka. Tujuan lomba pembacaan
cerita ini adalah agar generasi selanjutnya dapat mengetahui kebudayaan dan
sejarah masa lalu. Selain itu, Lomba ini juga dapat berfungsi sebagai regenerasi
nilai-nilai sosia, budaya, dan tradisi pada generasi penerus. Satu
kelompok pepaos biasanya terdiri dari 3-4 orang;
pembaca, pejangga, dan pendukung vokal.
Tandang Mendet. Tandang Mendet adalah tarian perang Suku Sasak. Konon
Tarian ini telah ada sejak zaman Kerajaan Selaparang. Tarian yang menggambarkan
keperkasaan dan perjuangan ini dimainkan oleh belasan orang dengan berpakaian
dan membawa alat-alat keprajuritan lenggap; kelewang (pedang), tameng, tombak.
Tarian diiringi dengan hentakan gendang beleq serta
pembacaan syair-syair perjuangan.
Peresean. Kadang ada yang menulisnya Periseian dan atau Presean
adalah seni bela diri yang dulu digunakan oleh lingkungan kerajaan. Peresean awalnya
adalah latihan pedang dan perisai bagi seorang prajurit. Pada perkembangannya,
latihan ini menjadi pertunjukan rakyat untuk menguji ketangkasan dan
“keberanian”.
Senjata yang digunakan adalah sebilah rotan yang dilapisi pecahan kaca. Dan
untuk menangkis serangan, pepadu (pemain) biasanya membawa
sebuah perisai (ende) yan terbuat dari kayu berlapis kulit lembu atau
kerbau. Setiap pepadu memakai ikat kepala dan mengenakan kain
panjang.
Festival peresean diadakan setiap tahun terutama di
Kabupaten Lombok Timur yang akan diikuti olehpepadu dari seluruh
Pulau Lombok.
Begasingan. Permainan rakyat yang mempunyai unsur seni dan olahraga, bahkan termasuk
permainan tradisional yang tergolong tua di masyarakat Sasak. Permainan
tradisional ini juga dikenal di beberapa wilayah lain di Indonesia. Hanya saja,
Gasing orang sasak ini berbeda baik bentuk maupun aturan permainannya. Gasing
besar, mereka namai pemantok, digunakan untuk menghantam
gasingpengorong atau pelepas yang ukurannya lebih
kecil.
Begasingan berasal dari kata gang yang artinya “lokasi”, dan dari
kata sing artinya “suara”. Permainan tradisional ini tak
mengenal umur dan tempat, bisa siapa saja, bisa di mana saja.
Slober. Alat musik tradisional Lombok yang cukup tua, unik, dan bersahaja. Slober
dibuat dari pelepah enau dan ketika dimainkan alat musik ini biasanya didukung
dengan alat musik lainnya seperti gendang, gambus, seruling, dll. Kesenian yang
masih dapat anda saksikan hingga saat ini, sangat asyik jika dimainkan ketika
malam bulan purnama.
Gendang Beleq. Satu dari kesenian Lombok yang mendunia. Gendang Beleq merupakan
pertunjukan dengan alat perkusi gendang berukuran besar (Beleq) sebagai
ensembel utamanya. Komposisi musiknya dapat dimainkan dengan posisi duduk,
berdiri, dan berjalan untuk mengarak iring-iringan.
Ada dua jenis gendang beleq yang berfungsi sebagai pembawa
dinamika yaitu gendang laki-laki atau gendang mama dan gendang
nina atau gendang perempuan).
Sebagai pembawa melodi adalah gendang kodeq atau gendang
kecil. Sedangkan sebagai alat ritmis adalah dua buah reog, 6-8
buah perembak kodeq, sebuah petuk, sebuah gong besar, sebuah
gong penyentak , sebuah gong oncer, dan dua buah lelontek.
Menurut cerita, gendang beleq dahulu dimainkan bila ada
pesta-pesta yang diselenggarakan oleh pihak kerajaan. Bila terjadi perang
gendang ini berfungsi sebagai penyemangat prajurit yang ikut berperang.
PENUTUP
KESIMPULAN
Kesimpulan yang
dapat diambil dari folklore Indonesia yang berjudul Suku Sasak, dapat diambil
kesimpulan yaitu Suku Sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dan
menggunakan bahasa Sasak. Asal nama Sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan.
Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau
Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga
setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang
artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang
artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang
lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus.
Menurut penelitian para etnolog yang
mengumpulkan hampir semua bahasa di dunia, menggolongkan bahasa Sasak kedalam
rumbun bahasa Austronesia Malayu-Polinesian, Juga ada kesamaan ciri dengan
rumpun bahasa Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak. Suku Sasak pada masa
lalu secara sosial-politik, digolongkan dalam dua tingkatan sosial utama, yaitu
golongan bangsawan yang disebut perwangsa dan bangsa
Ama atau jajar karang sebagai golongan masyarakat
kebanyakan. Boda adalah nama dari kepercayaan asli
Suku Sasak, beberapa menyebutnya Sasak Boda
Demikian, kebudayaan Suku Sasak memiliki corak dan
ciri budaya yang khas, asli dan sangat mapan hingga berbeda dengan budaya
suku-suku lainnya di Nusantara.
SARAN
Banyak suku-suku yang terdapat di Indonesia, dan dapat
diambil Saran mengenai artikel di atas, tugas ini dapat memberikan informasi
kepada kita semua dan menambah pengetahuan agar lebih mengetahui mengenai suku-suku
yang berada di Indonesia. Dan kita sebagai mahasiswa Pariwisata harus lebih
banyak mengetahui mengenai budaya-budaya yang berada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
NAMA : FIRHAN ABRAR
NIM: 4423154635
KELAS: A UJP 2015
Sukaaa banget, membantu nih buat mahasiswa/mahasiswi lainnya. Penyampaiannya detail bgt jadi gaperlu cari info ke yang lain lain. Hebaaat!
BalasHapusMantapp...bahasa yang digunakan mudah dipahami bagi semua pembaca. Pembaca mendapatkan nilai education & wawasan
BalasHapusGood article!
BalasHapusTrimakasih sudah menuliskan artikel "Asal Usul Suku Sasak" Informasi mengenai Bahasa, Sistem Masyarakat Suku Sasak, Kepercayaan, Tata Ruang Suku Sasak membuat pembaca lebih memahami tentang Suku yang terletak di Pulau Lombok ini. Terlebih Penjelasan mengenai Tradisi dan Seni, membuat pembaca ingin datang berkungjung ke Pulau Lombok untuk melihat secara langsung mengenai Adat Istiadat dan peninggalan Suku Sasak ini.
BalasHapus