FOLKLORE SEBAGIAN LISAN DARI KOTA KUNINGAN
JAWA BARAT
KATA PENGANTAR
Makalah
sejarah berjudul “Folklore sebagian lisan dari Kota Kuningan Jawa Barat,” ini
dapat saya selesaikan dengan baik semata-mata atas rakhmat Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan puji syukur kepada-Nya.
Makalah sejarah
ini ditulis untuk melengkapi kegiatan mata kuliah Sejarah di Universitas Negeri
Jakarta. Penulisan berdasarkan data Sekunder yaitu data yang di dihasilkan dari
sumber teori internet. Makalah ini berisi tentang paparan dari beberapa macam
folklore sebagian lisan dari kota Kuningan Jawa Barat.
Penulis Menyusun
makalah ini dengan sebaik-baiknya. Namun, penulis menyadari kemungkinan adanya
kekurangan atau kesalahan yang tidak disengaja. Oleh karena itu kritik dan
saran dari pembaca akan penulis terima dengan rasa syukur dan semoga
bermanfaat.
Jakarta,
29 Desember 2015
Penyusun,
Ratna
Komala Sari
PEMBAHASAN
Kabupaten Kuningan adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Kuningan. Letak astronomis kabupaten ini
di antara 108°23″ – 108°47″ Bujur Timur dan 6°45″ – 7°13″ Lintang Selatan.
Kabupaten ini terletak di bagian timur Jawa Barat, berbatasan denganKabupaten Cirebon di utara, Kabupaten
Brebes (Jawa Tengah) di timur, Kabupaten
Ciamis di selatan, serta Kabupaten Majalengka di barat.
Kabupaten Kuningan terdiri atas 32kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 361 desa dan 15kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Kuningan.
Bagian timur wilayah kabupaten ini adalah dataran rendah, sedang
di bagian barat berupa pegunungan, dengan puncaknyaGunung Ceremai (3.076 m) yang biasa salah kaprah disebut dengan Gunung
Ciremai, gunung ini berada di perbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Gunung
Ceremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat.
Kabupaten
Kuningan termasuk salah satu daerah tujuan wisata yang berada di dataran yang
relatif lebih tinggi memiliki panorama yang indah bernuansa alam pegunungan.
Didukung oleh sumber daya manusia dan tenaga kerja yang tersedia, seni budaya
yang beraneka ragam, kondisi iklim yang cukup mendukung untuk aktivitas
sepanjang tahun, sikap masyarakat pegunungan yang ramah dan lembut, Kabupaten
Kuningan berpotensi dalam mengembangkan ekotourismnya.
1. Asal Mula Kabupaten Kuningan
Pertama kali diketahui
Kerajaan Kuningan diperintah oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang
Wiragati. Raja ini memerintah sejaman dengan masa pemerintahan Sang
Wretikandayun di Galuh (612-702 M). Sang Pandawa mempunyai putera wanita
bernama Sangkari. Tahun 617 Sangkari menikah dengan Demunawan, putra Danghyang
Guru Sempakwaja, seorang resiguru di Galunggung. Sangiyang Sempakwaja adalah
putera tertua Wretikandayun, raja pertama Galuh. Demunawan inilah yang
disebutkan dalam tradisi lisan masyarakat Kuningan memiliki ajian dangiang
kuning dan menganut agama sanghiyang.
Meskipun Kuningan
merupakan kerajaan kecil, namun kedudukannya cukup kuat dan kekuatan militernya
cukup tangguh. Hal itu terbukti dengan kekalahan yang diderita pasukan Sanjaya
(Raja Galuh) ketika menyerang Kuningan. Kedatangan Sanjaya beserta pasukannya
atas permintaan Dangiyang Guru Sempakwaja, besan Sang Pandawa dengan maksud
untuk memberi pelajaran terhadap Sanjaya yang bersikap pongah dan merasa diri
paling kuat. Sanjaya adalah cicit Sang Wretikandayun, melalui putranya Sang
Mandiminyak yang menggantikannya sebagai Raja Galuh (703-710) dan cucunya Sang
Sena yang menjadi raja berikutnya (710-717).
Di Kerajaan Galuh
terjadi konflik kepentingan, sehingga Resi Guru Sempakwaja mengambil keputusan.
Diantaranya menempatkan Sang Pandawa menjadi guru haji (resiguru) di layuwatang
(sekarang tempatnya di Desa Rajadanu Kecamatan Japara). Sedangkan kedudukan
kerajaan digantikan Demunawan dengan gelar Sanghiyangrang Kuku, tahun 723.
Masa pemerintahan
Rahyangtang Kuku, diberitakan bahwa ibu kota Kerajaan Kuningan ialah
Saunggalah. Lokasinya diperkirakan berada di sekitar Kampung Salia, sekarang
termasuk Desa Ciherang Kecamatan Nusaherang. Seluruh wilayahnya meliputi 13
wilayah diantaranya Galunggung, Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi,
Rahasesa, Kahirupan, Sumanjajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong,
Pegergunung, Muladarma dan Batutihang.
Tahun 1163-1175,
Kerajaan Saunggalah terungkap lagi setelah tidak ada catatan paska Demunawan.
Saat itu tahta kerajaan dipegang oleh Rakean Dharmasiksa, anak dari Prabu
Dharmakusumah (1157-1175) seorang raja Sunda yang berkedudukan di Kawali.
Rakean Dharmasiksa memerintah Saunggalah menggantikan mertuanya, karena ia
menikah dengan putri Saunggalah.
Namun Rakean
Dharmasiksa tidak lama kemudian menggantikan ayahnya yang wafat tahun 1175
sebagai Raja Sunda. Sedangkan kerajaan Saunggalah digantikan puteranya yang
bernama Ragasuci atau Rajaputra. Sebagai penguasa Saunggalah, Ragasuci dijuluki
Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia memperistri Dara Puspa, putri seorang
raja Melayu.
Tahun 1298, Ragasuci
diangkat menjadi Raja Sunda menggantikan ayahnya dengan gelar Prabu Ragasuci
(1298-1304). Kedudukannya di Saunggalah digantikan puteranya bernama
Citraganda. Pada masa kekuasaan Ragasuci, wilayah kekuasaannya bertambah
meliputi Cipanglebakan, Geger Gadung, Geger Handiwung, dan Pasir Taritih di
Muara Cipager Jampang.
2. Masa Keadipatian
Berdasarkan tradisi
lisan, sekitar abad 15 Masehi di daerah Kuningan sekarang dikenal dua lokasi
yang mempunyai kegiatan pemerintahan yaitu Luragung dan Kajene. Pusat
pemerintahan Kajene terletak sekarang di Desa Sidapurna Kecamatan Kuningan.
saat itu, Luragung dan Kajene bukan lagi sebuah kerajaan tapi merupakan buyut
haden. Masa ini, dimulai dengan tampilnya tokoh Arya Kamuning, Ki Gedeng
Luragung dan kemudian Sang Adipati Kuningan sebagai pemipun daerah Kajene,
Luraugng dan kemudian Kuningan.
Mereka secara bertahap
di bawah kekuasaan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Djati (salah satu dari
sembilan wali, juga penguasa Cirebon). Tokoh Adipati Kuningan ada beberapa
versi. Versi pertama Sang Adipati Kuningan itu adalah putera Ki Gedeng Luragung
(unsur lama). Tetapi kemudian dipungut anak oleh Sunan Gunung Djati (unsur
baru).
Dia dititipkan oleh
aya angkatnya kepada Arya Kamuning untuk dibesarkan dan dididik. Kemudian
menggantikan kedudukan yang mendidiknya. Versi kedua, Sang Adipati Kuningan
adalah putera Ratu Selawati, keturunan Prabu Siliwangi (unsur lama), dari
pernikahannya dengan Syekh Maulanan Arifin (unsur baru). Disini jelas terjadi
kearifan sejarah.
Berdasarkan Buku
Pangaeran Wangsakerta yang ditulis abad ke 17, Sang Adipati Kuningan yang
berkelanjutan penjelasanya adalah berita yang menyebutkan tokoh ini dikaitkan
dengan Ratu Selawati. Bahwa agama Islam menyebar ke Kuningan berkat upaya Syek
Maulana Akbar atau Syek Bayanullah. Dia adalah adik Syekh Datuk Kahpi yang
bermukim dan membuka pesantren di kaki bukit Amparan Jati (sekarang Cirebon).
Syekh Maulana Akbar
membukan pesantren pertama di Kuningan yaitu di Desa Sidapurna sekarang, ibu
kota Kajene. Ia menikah dengan Nyi Wandansari, putri Surayana. Ada pun Surayana
adalah putra Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana, Raja Sunda yang
berkedudukan di Kawali (1475-1482) yang menggantikan kedudukan ayahnya Prabu
Niskala Wastu Kancana atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.
Dari pernikahan dengan
Nyi Wandansari berputra Maulana Arifin yang kemudian menikah dengan Ratu
Selawati. Ratu Selawati bersama kakak dan adiknya yaitu Bratawijaya dan
Jayakarsa adalah cucu Prabu Maharaja Niskala Wastu Kancana atau Prabu
Siliwangi. Bratawijaya kemudian memimpin di Kajene dengan gelar Arya Kamuning.
Sedangkan Jayaraksa memimpin masyarakat Luragung dengan gelar Ki Gedeng
Luragung.
Mereka bertiga, yakni
Ratu Selawati, Arya Kamuning (Bratawijaya), Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa)
diIslamkan oleh uwaknya yakni Pangeran Walangsungsang. Adapun Sang Adipati
Kuningan yang sesungguhnya bernama Suranggajaya adalah anak dari Ki Gedeung
Luragung (namun hal itu masih merupakan babad peteng atau masa kegelapan yang
sampai saat ini tidak diketahui kebenarannya sesungguhnya anak siapa Sang
Adipati Kuningan).
Atas prakarsa Sunan
Gunung Djati dan istrinya yang berdarah Cina Ong Tin Nio yang sedang berkunjung
ke Luragung, Suranggajaya diangkat anak oleh mereka. Tetapi pemeliharaan dan
pendidikannya dititipkan pada Arya Kamuning. Sedangkan Arya Kamuning sendiri
dikabarkan tidak memiliki keturunan. Akhirnya Suranggajaya diangkat jadi
adipati oleh Susuhunan Djati (Sunan Gunung Djati) menggantikan bapak asuhnya.
Penobatan
ini dilakukan pada tanggal 4 Syura (Muharam) Tahun 1498 Masehi. Penanggalan
tesebut bertempatan dengan tanggal 1 September 1498 Masehi. Sejak tahun
1978, hari pelantikan Suranggajaya menjadi Adipati Kuningan itu ditetapkan
sebagai Hari Jadi Kuningan sampai sekarang.
3. Sejarah nama
Kuningan
Ada beberapa kemungkinan tentang
asal-usulnya Kuningan dijadikan nama daerah ini. Salah
satu kemungkinan adalah bahwa istilah tersebut berasal dari nama sejenis logam,
yaitu kuningan. Dalam bahasa Sunda (juga bahasa Indonesia), kuningan adalah sejenis logam yang terbuat
dari bahan campuran berupa timah, perak dan perunggu. Jika disepuh (dibersihkan
dan diberi warna indah) logam kuningan itu akan berwarna kuning mengkilap
seperti emas sehingga benda dibuat dari bahan ini akan tampak bagus dan indah.
Memang logam kuningan bisa dijadikan bahan untuk membuat aneka barang keperluan
hidup manusia seperti patung, bokor, kerangka lampu maupun hiasan dinding.
Di Sangkanherang, dekat Jalaksana
sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung kecil terbuat dari kuningan. Paling tidak sampai tahun 1950-an
barang-barang yang terbuat dari bahan logam kuningan itu sangat disukai oleh masyarakat
elit (menak) di daerah Kuningan. Barang-barang yang dimaksud
berbentuk alat perkakas rumah tangga dan barang hiasan di dalam rumah.
Benda-benda dari bahan kuningan itu juga disukai pula oleh sejumlah
masyarakat Sunda, Jawa, Melayu, dan beberapa kelompok masyarakat
di Nusantara umumnya
Di daerah Ciamis dan Kuningan sendiri terdapat cerita legenda
yang bertalian dengan bokor (tempat menyimpan sesuatu di dalam rumah dan
sekaligus sebagai barang perhiasan) yang terbuat dari logam kuningan[. Kedua cerita legenda dimaksud
menuturkan tentang sebuah bokor kuningan yang dijadikan alat untuk menguji
tingkat keilmuan seorang tokoh agama.
4.
Ikan Dewa dan Sumur 7 Cibulan
Objek wisata Cibulan merupakan salah
satu objek wisata tertua di Kuningan. Obyek wisata ini diresmikan pada 27 Agustus 1939 oleh Bupati Kuningan saat itu, yaitu R.A.A. Mohamand Achmad. Kolam
pemandian ini berdiri di atas lahan seluas 5 ha memiliki dua buah kolam besar
berbentuk persegi panjang. Kolam pertama berukuran 35 x 15 meter persegi dengan
kedalaman sekitar 2 m, sedangkan kolam kedua berukuran 45 x 15 meter persegi
yang dibagi menjadi dua bagian, masing-masing dengan kedalaman 60 cm dan 120
cm.
Cibulan merupakan salah satu lokasi
wisata tertua di Kuningan,yang di dalamnya terdapat beberapa kolam pemandian
atau kolam renang besar yang airnya sangat dingin sekali.mungkin kalau anda
berenang ditempat ini akan terasa berbeda,karena selain airnya yang sangat
dingin dan jernih,anda akan ditemani oleh segerombolan ikan dewa. Obyek wisata
yang menyajikan suasana alam berpadu dengan keunikan Ikan Dewa dan Sumur
Tujuh-nya. Cibulan memiliki kekhasan pada kolam ikannya yang dihuni oleh Kanra
Bodas (Labeobarbus doumensis) atau akrab disebut Ikan Dewa.
Konon menurut cerita masyarakat di
daerah tersebut, timbulnya sumber air di Cibulan berasal dari cerita Putri
Buyut Manis yang terkenal dengan kecantikannya dipinang menjadi permaisuri oleh
Putra Buyut Talaga. Tetapi, Putri Buyut Manis telah mempunyai kekasih
pilihannya sendiri, hingga dalam hati Putri Buyut Manis tidak setuju dan tidak
mau atas pinangan Putra Buyut Talaga tersebut. Kemudian dia pergi dan
menghilang, di tempat dimana Putri Buyut Manis menghilang inilah timbul
sumber-sumber mata air, dari situlah muncul nama Cibulan.
Versi selanjutnya mengatakan Pada
waktu para wali menyebarkan agama Islam ratusan tahun yang lalu yang berpusat
di Cirebon, akan mengislamkan daerah Kuningan, maka sampai di daerah Cibulan
para wali menemukan sumber mata air yang selanjutnya dijadikan tempat
peristirahatan. Selanjutnya dibuatlah kolam dan ditanami ikan kancra bodas.
Ikan tersebut sekarang dijadikan ikan keramat dan dinamakan ikan dewa, ikan
jenis ini juga yang terdapat di kolam renang Cigugur, Darmaloka, Linggarjati
dan Situ Pesawahan.
Cerita berikutnya tentang Objek
Wisata Cibulan ini, Tempat ini dahulunya merupakan tempat Patilasan Prabu
Siliwangi di sekitar Patilasan terdapat sumur-sumur kecil, yang terkenal
dengan sebutan “SUMUR TUJUH”. Ditengah-tengah ke tujuh sumur oleh
Prabu Siliwangi dipergunakan sebagai tempat bersemedi. Sumur tersebut juga oleh
Prabu Siliwangi dipergunakan untuk keperluan membasuh muka dikala beliau akan
mensucikan diri dan mengheningkan cipta. Adapun mengenai ikan yang ada di sana
menurut versi ini merupakan penjelmaan dari para pengawal prabu Siliwangi yang
membangkang sehingga berubah menjadi Ikan.
Adapun nama-nama sumurnya ialah
Adapun nama-nama sumurnya ialah
- Sumur Kejayaan;
- Sumur Kemulyaan;
- Sumur Pengabulan,
- Sumur Cisandane;
- Sumur Kemudaan;
- Sumur Keselamatan;
- Sumur Cirancana
Bagaimanapun sejarah
mengenai tempat ini, lebih baik kita menjaganya agar tempat ini tetap lestari
dan terjaga. Untuk
para wisatawan yang ingin berenang sambil bercengkrama dengan ikan dewa atau
sekedar berfoto dengan ikan tersebut.
5.
Sapton dan Panahan Tradisional
Secara
etimologi dan historis, bahwa kegiatan Sapton dan Panahan Tradisional adalah
acara rutin setiap hari sabtu setelah kegiatan serba raga (sidang) yang
dilaksanakan disekitar istana kerajaan Kajene (Kuningan) dan mempunyai makna
yang dalam seperti heroisme, ketangkasan berkuda dan panahan dalam bela negara
serta kebersamaan antara pemerintah dengan rakyatnya. Dalam upaya promosi
kepariwisataan daerah dan pelestarian nilai-nilai budaya tradisional
daerah serta memeriahkan hari jadi Kuningan, setiap tahun pada
bulan September diselenggarakan Saptonan dan Panahan Tradisional
6.
Seren Taun
Upacara
Seren taun merupakan upacara masyarakat agararis adalah penyerahan hasil panen
yang diterima pada tahun yang akan berlalu serta salah satu media dalam
mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah yang
telah diterima seiring dengan harapan agar dimasa yang akan datang, hasil panen
seluruh anggota masyarakat dapat lebih melimpah lagi. Penyelenggaraan
dimulai dengan upacara ngajayuk (menyambut) pada tanggal 18 Rayagung, kemudian
dilanjutkan pada tanggal 22 Rayagung dengan upacara pembukaan padi sebagai
puncak acara, dengan disertai beberapa kesenian tradisional masyarakat agraris
sunda tempo dulu, seperti ronggeng gunung, seni klasik tarawangsa, gending
karesmen, tari bedaya, upacara adat ngareremokeun dari masyarakat kanenes
baduy, goong renteng, tari buyung, angkulung buncis doodog lonjor, reog, kacapi
suling dan lain-lain yang mempunyai makna dan arti tersendiri, khususnya bagi
masyarakat sunda.
7.
Kawin Cai
Upacara
Adat Kawin Cai merupakan tradisi masyarakat Desa Babakanmulya Kecamatan
Jalakasana Kabupaten Kuningan untuk memohon air/turun hujan untuk mengairi
lahan pertaniannya serta kebutuhan hidup lainnya, dilaksanakan apabila terjadi
kemarau panjang atau sangat sulit untuk mendapat air antar bulan September,
dengan mengambil lokasi searah intinya disumber mata air telaga balong Tirta
Yarta pada malam Jum`at Kliwon yang pada pelaksanaannya selain dihadiri dan
diikuti oleh pamong desa. Tokoh masyarakat dan masyarakat desa setempat juga
oleh masyarakat desa tetangga yang lahan pertaniannya terairi atau memanfaatkan
air yang berasal dari sumber mata air telaga/ Balong Dalem Tirta Yarta. Selesai
berdo`a punduh/sesepuh desa mencampurkan air yang diambil dari mata air telaga/
Balong Dalem Tirta Yarta dengan air yang diambil dari mata air Cikembulan
(Cibulan), inilah istilah yang dipakai masyarakat sebagai Upacara Adat Kawin
Cai yang intinya mengambil barokah air dari dua sumber mata air.
8.
Pesta Dadung
Seperti
lazimnya kesenian tradisional lainnya kesenian ini tumbuh dan berkembang secara
turun temurun sejak abad ke XVIII. Kesenian ini lahir di kalangan Budak Angon
(Pengembala) yang intinya mengadakan syukuran setelah panen menjelang musim
tanam tiba, sekitar bulan September. Dikatakan Pesta Dadung karena media yang
digunakan dalam upacara yang sakral tersebut menggunakan Dadung (tali pengikat
leher Kerbau atau Sapi).
9.
Sintren
Sintren
adalah jenis kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang secara turun
temurun sejak tahun 1957. sintren berasal dari kata ‘Sasantrian’ yang pada mulanya
kesenian ini adalah merupakan seni hiburan rakyat yang sering di tampilkan pada
sore hari sambil melepas lelah setelah seharian bekerja keras di sawah. Pada
pertunjukannya peran sintren harus dibawakan oleh seorang gadis yang masih suci
(belum adil balig). Begitu pula dengan pawang sintren tidak boleh diperankan
oleh orang sembarangan, akan tetapi harus dibawakan oleh sesepuh semacam kiyai
sehingga peran sintren yang sudah di ikat dalam kurungan akan dapat berubah
memakai pakaian sintren dalam keadaan Transparan.
10.
Tari Cingcowong
Cingcowong
adalah salah satu Upacara ritual untuk meminta hujan (zaman dulu)upacara
in dilakukan pada saat musim kemarau panjang 3 bulan tardisi awal Cingcowong
atau uapacara ritual ini dipercayi oleh masyarakat khususnya Kecamatan Luragung
setiap datag kemarau upacara ritual Cingcowong selalu dilaksanakan agar
lahan pertanian mereka terhindar dari kemarau dan turun hujan.
11.
Tari Kemprongan
Tari Kemprongan adalah salah satu seni
tradisional asal Kabupaten Kuningan, yang hilang sekitar 30 tahun silam. Tarian ini konon berasal dan pernah ada di desa
Sidaraja dan Citangtu.
Dilakukan oleh masyarakat petani pada malam hari hingga tengah malam atau
menjelang subuh, sebagai ungkapan rasa syukur setelah selesai panen.
Pelaksanaan pertunjukan dilakukan di lapangan atau arena terbuka yang
dikelilingi pepohonan. Sementara untuk menerangi tempat pertunjukan menggunakan
Oncor (Obor / red) dan disimpan di
tengah-tengah lapangan. Namun seiring perkembangan jaman, tarian ini mengalami
kepunahan tergerus arus modernisasi dan sudah lama ditinggalkan pelakunya.
Demikian dikatakan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten
Kuningan, Drs. Tedi Suminar.
Untuk membangkitkan kembali Tari Kemprongan, saat ini
kata Teddy, tengah dilakukan latihan yang diagendakan sebanyak 30 kali latihan
melalui kegiatan Pewarisan Tari
Kemprongan. Kegiatan latihan ini diikuti oleh para pelaku seni tradisional
di Kabupaten Kuningan, bertempat di Gedung Kesenian Kuningan. Sementara latihan
itu sendiri diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat
(BPTB Jabar) bekarjasama dengan Disparbud Kabupaten Kuningan.
12. Tari Buyung
Tari Buyung merupakan tarian khas
masyarakat Cigugur, Kabupaten Kuningan. Tari Buyung ini memiliki keterkaitan
erat dengan upacara seren taun yang telah dikemukakan di atas.
Tarian ini merupakan tarian utama
dalam upacara Seren Taun di Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat. Tarian ini menceritakan
tentang gadis-gadis Desa Cigugur yang sedang mengambil air ke sungai
13.
“Golewang” dalam kegiatan Babarit
Desa
Babarit atau sering pula disebut
hajat bumi, sebenarnya merupakan tradisi yang tumbuh di lingkungan masyarakat
beberapa desa di Kabupaten Kuningan. Tradisi masyarakat ini diadakan satu kali
dalam satu tahun, terutama saat menjelang musim panen padi dan tanaman
lainnya. Sedangkan Golewang dalam acara
babarit merupakan tradisi masyarakat, yang sejak zaman dulu hingga sekarang
rutin dan tak pernah absen digelar satu kali setiap tahun oleh masyarakat
diDusun Dayeuhkolot, di Desa Cageur, Kec. Darma. Diawali dan ditutup dengan doa bersama, acara
tradisi yang disebut-sebut masyarakat setempat dengan istilah golewang itu,
sepintas hanya terlihat berisi lantunan lagu-lagu sunda diiringi tabuhan
gamelan (alat musik) tradisional. Seperti di antaranya, kendang, goong, bonang,
saron, dan gambang.
Selain itu, setiap lantunan lagu
sunda diiringi musik tradisional dalam acara itu, juga diikuti tarian empat
orang laki-laki warga setempat disertai dua orang juru kawih/sinden (penyanyi).
Acara golewang yang hanya berlangsung selama sekitar satu jam itu, tampak
begitu khidmat diikuti penari, penabuh gamelan, dan juru kawih, serta
masyarakat pengunjungnya.
Menurut warga Dusun Dayeuhkolot dan
sekitarnya, acara tradisi golewang pada masa lalu biasa digelar juga masyarakat
di beberapa desa sekitar, termasuk di Blok Desa Cageur. Pada masa lalu
golewang, biasanya digelar bersamaan dengan waktu shalat maghrib. Namun, acara
itu sejak tahun 1981-an di Dusun Dayeuhkolot telah digeser waktu digelar di
antara waktu solat ashar dengan waktu solat magrib, atau pada kurun waktu
antara sekitar pukul 15.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB.
Sebutan “golewang” yang dikenal
masyarakat untuk acara tradisi babarit di dusunnya itu, menurut mereka,
sebenarnya hanya nama satu judul lagu dari tujuh lagu utama yang dilantunkan
dalam acara babarit. Ketujuh lagu utama yang dilantunkan dalam acara babarit
itu, masing-masing berjudul Lahir Batin,
Golewang, Titi Pati, Sali Asih, Renggong Buyut, Goyong-goyong, dan Raja Mulang.
14.
Burokan
Kemunculan
seni Burokan berdasarkan tuturan para senimannya berawal dari sekitar tahun 1934, yaitu
ketika seorang penduduk desa Kalimaro, Kecamatan Babakan bernama abah Kalil
membuat sebuah kreasi baru seni Badawang
(boneka-boneka berukuran besar) yaitu berupa Kuda Terbang Buroq. Konon ia diilhami oleh hikayat yang hidup di
kalangan masyarakat Islam tentang
perjalanan Isra Mi’rajNabi Muhamad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dengan
menunggang hewan
kuda bersayap yang disebut Buroq.
15.
Goong Renteng
Di Kampung Cibogo Desa/Kecamatan
Kadugede, Kabupaten Kuningan, ada satu jenis kesenian yang boleh dibilang
langka. Di katakan langka, tidak banyak desa yang memiliki kesenian yang
merupakan peninggalan Sunan Gunung Djati tersebut. Tidak seperti pergelaran
kesenian lainnya khususnya yang berkembang di daerah ini, pergelaran kesenian
Goong Renteng biasanya pada acara penuh sakral, misalnya pada acara
memperingati hari besar agama Islam.
Pada peringatan Maulid nabi misalnya atau digelar satu tahun sekali
terutama pada saat memperingati hari jadi Kuningan.
Goong Renteng di Desa Kadugede,
tergolong jenis Goong.Renteng Kuning. Sedangkan Goong Renteng di Desa Cikeleng
termasuk jenis Goong Renteng Hitam. Tidak banyak perbedaan antara Goong Kuning
dan Goong hitam, baik ukuran waditra (gamelan), laras dan cara menabuhnya.
Hanya saja Goong Renteng Kuningan terbuat dari bahan Kuningan, sedangkan Goong
Renteng hitam terbuat dari bahan perunggu.
Istilah
"goong renteng" merupakan perpaduan dari kata "goong" dan
"renteng". Kata ‘goong’ merupakan istilah kuno Sunda yang berarti
gamelan, sedangkan kata ‘renteng’ berkaitan dengan penempatan pencon-pencon
kolenang (bonang) yang diletakkan secara berderet/berjejer, atau ngarenteng
dalam bahasa Sunda. Jadi, secara harfiah goong renteng adalah goong (pencon) yang
diletakkan/disusun secara berderet (ngarenteng).
16.
Tari Jaipong Jawa Barat
Jaipongan adalah sebuah jenis tari
pergaulan tradisional masyarakat Sunda, Jawa Barat, yang cukup populer di
Indonesia. Tari ini diciptakan oleh seorang seniman asal Bandung, Gugum
Gumbira, sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk menciptakan suatu jenis
musik dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat
Nusantara, khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang
relatif baru, jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah
berkembang sebelumnya, seperti Ketuk Tilu, Kliningan, serta Ronggeng. Perhatian
Gumbira pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya
mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang
ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan,
nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian menjadi
inspirasi untuk mengembangkan kesenian jaipongan.
17.
Upacara Mengandung Tujuh Bulan/Tingkeban
Upacara Tingkeban
adalah upacara yang diselenggarakan pada saat seorang ibu mengandung 7 bulan.
Hal itu dilaksanakan agar bayi yang di dalam kandungan dan ibu yang melahirkan
akan selamat. Tingkeban berasal dari kata tingkeb artinya tutup, maksudnya si
ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya
sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat
karena bayi yang dikandung sudah besar, hal ini untuk menghindari dari sesuatu
yang tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan pengajian biasanya
membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan surat Maryam. Di
samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil ,
dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari bermacam buah-buahan.
Ibu yang sedang hamil
tadi dimandikan oleh pinisepuh keluarga dekat yang dipimpin seorang paraji
secara bergantian dengan menggunakan beberapa lembar kain batik yang dipakai
bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang. Sesudah
selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju ke tempat rujak
kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu menjual rujak itu
kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam upacara itu, dan mereka membelinya
dengan menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk bundar
seperti koin. Sementara si ibu hamil menjual rujak. Setelah rujak kanistren
habis terjual selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.
18.
Upacara Puput Puseur
Setelah bayi terlepas
dari tali pusatnya, biasanya diadakan selamatan. Tali pusat yang sudah lepas
itu oleh indung beurang dimasukkan ke dalam kanjut kundang. Seterusnya pusar
bayi ditutup dengan uang logaml yang telah dibungkus kasa atau kapas dan
diikatkan pada perut bayi, maksudnya agar pusat bayi tidak dosol, menonjol ke
luar. Ada juga pada saat upacara ini dilaksanakan sekaligus dengan pemberian
nama bayi. Pada upacara ini dibacakan doa selamath.
Ada kepercayaan bahwa
tali pusat (tali ari-ari) termasuk saudara bayi juga yang harus dipelihara
dengan sungguh-sungguh. Adapun saudara bayi yang tiga lagi ialah tembuni,
pembungkus, dan kakawah. Tali ari, tembuni, pembungkus, dan kakawah biasa
disebut dulur opat kalima pancer, yaitu empat bersaudara dan kelimanya sebagai pusatnya
ialah bayi itu. Kesemuanya itu harus dipelihara dengan baik agar bayi itu kelak
setelah dewasa dapat hidup rukun dengan saudara-saudaranya (kakak dan adiknya)
sehingga tercapailah kebahagiaan.
PENUTUP
Kesimpulan
Banyak sekali folklore di indonesia
yang beragam bentuknya mulai dari folklore lisan, sebagian lisan, dan bukan
lisan. Penulis hanya menuliskan folkolore sebagian lisan yang ada di kota kecil
di Jawa barat yaitu Kota Kuningan yang meliputi Kepercayaan dan takhayul
masyarakat, permainan dan hiburan rakyat setempat, teater rakyat, tari rakyat,
adat kebiasaan, dan upacara adat. Didalam setiap
kehidupan bermasyarakat memiliki Adat istiadat yang diwariskan oleh para
leluhurnya, salah satunya pada
masyarakat Sunda yang masih dipelihara dan dihormati dengan baik
Indonesia
memiliki budaya lokal yang bervariasi,
contohnya yaitu di kota Kuningan yang memiliki banyak sekali kebudayaaan khas
sunda. Budaya lokal tersebut harus dijaga agar dapat
memperkokoh ketahanan budaya bangsa. Selain itu kita harus memahami arti
kebudayaan serta menjadikan keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia sebagai
sumber kekuatan untuk ketahanan budaya bangsa. Selain itu diperlukan pula
antisipasi atau cara-cara agar budaya lokal tidak bercampur dengan budaya
asing.
Saran
Tentunya banyak kekurangan dan
kelemahan dalam penulisan ini kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan
atau referensi yang kami peroleh, hubungannya dengan makalah ini Penulis banyak
berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang
membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga dapat bermanfaat.
Aamiin
DAFTAR PUSTAKA
- http://budaya-indonesia.org/Asal-Usul-Kota-Kuningan-Jawa-Barat/ (diakses tanggal 31 Desember 2015)
- http://menyusurijalan.com/2012/08/29/sejarah-objek-wisata-cibulan/ (diakses tanggal 31 Desember 2015)
- http://bappeda.kuningankab.go.id/2011-07-25-15-56-32/seni-budaya.html (diakses tanggal 31 Desember 2015)
- http://kelompolima.blogspot.co.id/ (diakses tanggal 1 Januari 2016)
- http://mooza-alkaz.blogspot.co.id/2012/03/makalah-budaya-kuningan.html (diakses tanggal 1 Januari 2016)
bagus budayanya sangat menarik... seni nya cukup tertuang dalam sejarah
BalasHapusWaaaahh menarik sekali, kuningan memiliki adat budaya serta kesenian yang sangat beragam. Sebagai generasi muda penerus sudah menjadi kewajiban kita untuk melestarikan budaya dan kesenian tersebut. Ayooo bangkitkan pariwisata kuningan :)
BalasHapusWahh. Ternyata indonesia punya banyak budaya yang bagus yg blm kita tau ya..
BalasHapusartikel nya bagus jadi semakin tau pariwisata kuningan. Walaupun eli org kuningan tp minim bgt pengetahuan tentang kuningan😁
BalasHapusArtikelnya sangat membantu untuk lebih mengenal kuningan? Terima kasih
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusbaguss nih. menambwh wawasan tentang seni dan budaya kuningan..
BalasHapus