USAHA
PENGEMBANGAN INDUSTRI PARIWISATA
DI INDONESIA
Pada kesempatan kali ini saya Nadia Rizki
Winardi akan memamparkan pandangan saya mengenai keadaan industri pariwisata di
Indonesia pada saat ini.Industri pariwisata merupakan penggerak utama dalam meningkatkan kondisi sosial ekonomi di sebuah negara yang sedang berkembang. Pembangunan dunia pariwisata dapat dijadikan sebagai prioritas utama dalam menunjang pembagunan suatu daerah. Sektor kepariwisataan perlu mendapat penanganaan yang serius, karena kepariwisataan merupakan kegiatan lintas sektoral dan lintas wilayah yang saling terkait, diantaranya dengan sektor industri, pengembangan, pertanian, perhubungan, kebudayaan, sosial ekonomi, politik, keamanan serta lingkungan.
Di Indonesia sendiri pariwisata merupakan bagian dari sektor industri yang memiliki prospek dan potensi yang cukup besar untuk dikembangakan. Peluang tersebut didukung oleh berbagai kondisi seperti letak dan keadaan geografis yang sangat baik, lapisan tanah yang subur,panorama yang indah serta didukung oleh flora dan fauna yang memperkaya pesona dari berbagai objek wisata di Indonesia.
Namun apa yang terjadi pada kondisi
industri pariwisata Indonesia saat ini?. Berbagai macam masalah membuat
industri pariwisata Indonesia menjadi kurang berkembang.
Masalah pariwisata di indonesia
sekarang ini sangat memprihatinkan dimana dengan mengikuti berkembangnya
teknologi yang semakin pesat dapat menyebabkan faktor menurunnya
kepedulian dalam pengembangan objek wisata. Penyebab faktor tersebut adalah dengan
tidak terlaksananya 7 (tujuh) Sapta Pesona yaitu: aman, tertib, bersih, indah,
sejuk,ramah tamah, dan kenangan. Dalam membudidayakan sifat ketujuh sapta
pesona tersebutkadang kala membuat para pengunjung wisata (tourism) kurang
nyaman, dalam hal inidisebabkan karena kekuranghati-hatian. Permasalahan
semacam inilah yang mengakibatkan berkurang/ menurunnya pengunjung wisata
di Indonesia.
Menurunnya
juga para pengunjung wisata di indonesia dikarenakan kurangnya mobilitas dan
kualitas fasilitas yang lengkap. Di tambah lagi dengan kurangnya akses komunikasi
yang baik. Dalam hal ini, dibutuhkan orang-orang yang sangat profesional
dalam bidangnya masing-masing, mulai dari perjalanan asal pengunjung,
bidang transportasi yangcukup memadai dan memiliki ketepatan waktu sesuai yang
telah diatur, dan penginapan yangcukup bagus dengan fasilitas yang sangat
lengkap sehingga pengunjungpun merasa nyaman.
Tujuh sapta pesona dalam bidang
pariwisata merupakan hal yang sangat penting, yang pertama yakni:
keamanan. keamanan seseorang dalam perjalanannya untuk bersenang-senangsangat
penting, jangan sampai ada yang melakukan aksi pencurian apa lagi
sampaimembahayakan nyawa para wisatawan. Kedua, ketertiban. ketertiban dalam
daerah tujuanwisata tersebut juga sangat diperlukan dimana dengan adanya
kebiasaan-kebiasaan yangterampil dan tertib, tidak ada pemberontak atau
pengacau maka dapat menimbulkan nuansahidup baru pengunjung dalam beradaptasi.
Ketiga, kebersihan adalah satu cara untuk membuat hati damai, tidak berantakan,
tidak merasa sedih dalam melihat pemandangan yangkurang memuaskan, contohnya
suatu daerah pantai tidak bersih sehingga membuat parawisatawan yang sebenarnya
ingin menikmati keindahan alam malah melihat pemandangan yang jelek. Empat,
kekayaan keindahan alam yang dimiliki oleh negara indonesia dengan posisi yang
sangat strategis, sebenarnya sudah sangat mendukung kemajuan suatu objek
wisata,akan tetapi dalam pengelolaannya masih sangat kurang sehingga panorama
keindahan alamnya pun semakin menurun. Lima, kesejukan suatu daerah harus
mendukung dalam hal lingkungan yang tertata dengan rapi, banyak pohon-pohon
yang menghijau sehingga ketika ada tiupan angin nafas terasa segar. Enam,
keramahtamahan suatu lingkungan adalah hal yang sangat utama dalam memajukan
kepariwisataan, disebabkan terlihatnya menarik suatu daerah atau betahnya para
wisatawan ditentukan oleh keramahan daerah tersebut dan bagaimana tata
cara menerima orang lain yang masuk dalam daerahnya. Ketujuh adalah kenangan
yang tidak lain adalah kekeluargaan yang sifatnya saling mengingat akan segala sesuatu
apa yang telah dilakukan baik seorang pengunjung (wisatawan) maupun seorang yang
memberi pelayanan. Keharmonisan pun dapat terjalin dengan baik.
Menurut salah
satu blog yang saya baca ” Daya saing Indonesia sebagai destinasi pariwisata
(tourism destination) sangatlah rendah. Sehingga, untuk bisa bersaing
mendatangkan wisatawan mancanegara (wisman, international tourist), kita harus
menjual murah semua destinasi pariwisata yang kita miliki seperti Bali, Lombok,
Batam, flores, Jogja dan potensi pariwisata nasional lainnya.
Dulu, penilaian daya saing pariwisata Indonesia sudah pada ambang SOS alias emergency (gawat darurat) pernah digulirkan oleh Rhenald Kasali di sebuah harian nasional pada akhir tahun 2004. Argumen tersebut didasarkan data ranking dan skor yang dihimpun World Travel & Tourism Council dan World Bank”.
Dulu, penilaian daya saing pariwisata Indonesia sudah pada ambang SOS alias emergency (gawat darurat) pernah digulirkan oleh Rhenald Kasali di sebuah harian nasional pada akhir tahun 2004. Argumen tersebut didasarkan data ranking dan skor yang dihimpun World Travel & Tourism Council dan World Bank”.
Banyak pihak
menilai bahwa strategi pembangunan pariwisata kita selama ini hanya mengejar
pertumbuhan kedatangan wisatawan tanpa diimbangi upaya peningkatan kualitas
(mass tourism). Menurut saya, dengan melihat kenyataan yang ada, sesungguhnya
kita BELUM PERNAH menerapkan strategi semacam itu. Mungkin saja kita memiliki
strategi pengelolaan pariwisata, tetapi strategi tersebut tidak pernah disusun
secara terstruktur dan sistematis berdasarkan database dan research atau audit
yang akurat. Dan pada kenyataannya, kita tidak pernah menerapkan model strategi
apapun dengan benar.
bagaimana bisa? Mari kita buktikan. Kalau toh benar kita menerapkan strategi pertumbuhan kunjungan wisatawan berarti kita berhasil meraup kunjungan wisatawan Internasional hingga lebih dari 15 juta per tahun sebagaimana pesaing kita Malaysia dan thailand yang menerapkan strategi serupa, dapat menerima kunjungan turis Internasional masing-masing 16 dan 17 juta per tahun. Kenyataannya, rekor Indonesia sampai saat ini hanya berkutat pada angka 7.5 juta dan Bali cuma 2 juta per tahun. Di tahun 2012 ini, pemerintah, lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif hanya menargetkan 8 juta wisatawan. Sungguh, suatu angka yang masih jauh dibawah ideal.
Bukti lain bahwa pemerintah kita tidak memiliki perencanaan pariwisata nasional yang baik adalah fakta tentang RAJA AMPAT. Baik pemerintah daerah maupun pusat kecolongan dan tidak tahu menahu bahwa kita punya potensi pariwisata yang luar biasa di wilayah Papua tersebut. Setelah tv Australia dan Perancis gencar memberitakan dan membuat suatu program tayangan adventure ke Raja Ampat, barulah kita sadar dan tergopoh-gopoh membuat perencanaan lalu membuang-buang anggaran negara untuk alasan promosi yang belum tentu efektif. Saya yakin, kalau model pengelolaan pariwisata kita tetap seperti ini, maka selamanya, dimanapun potensi pariwisata kita temukan, maka potensi itu akan cepat rusak karena pembangunan yang tidak terkendali dan eksploitasi justru demi pariwisata yang tidak terencana itu sendiri.
Mari kita berbicara di tingkat Bali. Dengan kondisi alam, budaya, produk wisata dan infrastruktur yang dimiliki Pulau Dewata seperti saat ini, maka selayaknya Bali, jika memang benar menerapkan strategi pertumbuhan kunjungan, haruslah memperoleh minimal 5 juta wisman (wisatawan mancanegara) per tahun. Faktanya? Rekor Bali baru sampai 2 juta wisman per tahun.
Apa yang terjadi saat ini ialah; Paceklik Turis Mancanegara. Bila ada orang berargumen kita perlu membatasi jumlah kunjungan wisatawan ke Bali, maka hal demikian adalah argumen
bagaimana bisa? Mari kita buktikan. Kalau toh benar kita menerapkan strategi pertumbuhan kunjungan wisatawan berarti kita berhasil meraup kunjungan wisatawan Internasional hingga lebih dari 15 juta per tahun sebagaimana pesaing kita Malaysia dan thailand yang menerapkan strategi serupa, dapat menerima kunjungan turis Internasional masing-masing 16 dan 17 juta per tahun. Kenyataannya, rekor Indonesia sampai saat ini hanya berkutat pada angka 7.5 juta dan Bali cuma 2 juta per tahun. Di tahun 2012 ini, pemerintah, lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif hanya menargetkan 8 juta wisatawan. Sungguh, suatu angka yang masih jauh dibawah ideal.
Bukti lain bahwa pemerintah kita tidak memiliki perencanaan pariwisata nasional yang baik adalah fakta tentang RAJA AMPAT. Baik pemerintah daerah maupun pusat kecolongan dan tidak tahu menahu bahwa kita punya potensi pariwisata yang luar biasa di wilayah Papua tersebut. Setelah tv Australia dan Perancis gencar memberitakan dan membuat suatu program tayangan adventure ke Raja Ampat, barulah kita sadar dan tergopoh-gopoh membuat perencanaan lalu membuang-buang anggaran negara untuk alasan promosi yang belum tentu efektif. Saya yakin, kalau model pengelolaan pariwisata kita tetap seperti ini, maka selamanya, dimanapun potensi pariwisata kita temukan, maka potensi itu akan cepat rusak karena pembangunan yang tidak terkendali dan eksploitasi justru demi pariwisata yang tidak terencana itu sendiri.
Mari kita berbicara di tingkat Bali. Dengan kondisi alam, budaya, produk wisata dan infrastruktur yang dimiliki Pulau Dewata seperti saat ini, maka selayaknya Bali, jika memang benar menerapkan strategi pertumbuhan kunjungan, haruslah memperoleh minimal 5 juta wisman (wisatawan mancanegara) per tahun. Faktanya? Rekor Bali baru sampai 2 juta wisman per tahun.
Apa yang terjadi saat ini ialah; Paceklik Turis Mancanegara. Bila ada orang berargumen kita perlu membatasi jumlah kunjungan wisatawan ke Bali, maka hal demikian adalah argumen
yang emosional,
cenderung sangat tidak rasional, dan merupakan kekeliruan besar. Hal ini
pastilah membawa dampak signifikan terhadap sendi-sendi perekonomian Bali
secara luas.
Dalam kondisi seperti ini, maka hanya dengan meningkatkan kedatangan wisatwan Internasional mencapai 20 juta per tahun, maka masyarakat kita baru dapat menikmati manfaat ekonomi pariwisata yang senyatanya. Investasi pariwisata akan makin meningkat seiring dengan tingginya permintaan dibukanya industri serta fasilitas pokok dan penunjang pariwisata. Jumlah peluang kerja di bidang pariwisata akan makin meningkat, jasa transportasi akan bergerak lebih signifikan, hotel-hotel tidak akan gulung tikar (karena occupancy bisa mencapai setidaknya rata-rata 75% sepanjnag tahun), PAD (pendapatan asli daerah) meningkat, bahkan petani bawang merah di kaki gunung Batur, Kintamani, Bali sekalipun akan menerima manfaatnya.
Berdasarkan pengamatan saya, serta studi pengelolaan pariwisata dengan berbagai Tourism Board di negara lain, saya menyimpulkan problem pariwisata Indonesia (dan destinasi unggulan lainnya seperti Bali, Lombok, Jogja, dsb.) pada umumnya terfokus pda tiga hal mendasar, yakni; stakeholders consolidatioin, product development dan destination marketing & maketing communications.
Problem pertama, inkonsolidasi stakeholders merupakan akibat dari apa yang disebut oleh pakar hukum pariwisata asal Bali Ida Bagus Wyasa Putra sebagai kesalahan pendefinisian pariwisata. Pendefinisian dan pengertian pariwisata menurutnya kurang jelas, jika bukan keliru sama sekali. Pariwisata tidak secara tegas didefinisikan sebagai suatu bentuk PERDAGANGAN JASA (trade in services) yang melibatkan hampir segenap sektor industri dan pembangunan. Bagi sebagian kalangan, pariwisata masih dimengerti hanya sebatas kegiatan bisnis akomodasi dan perjalanan semata, dan bagi sebagian kalangan lainnya didefinisikan hanya sebatas kegiatan budaya (agent of cultural process/change). Pemahaman seperti ini tentulah sangat PARSIAL dan BERBAHAYA.
Kesalahan pemahaman ini meluas hingga ke semua level pemerintahan dan masyarakat. Bahwa siapa, menghasilkan apa dan seberapa banyak, hampir sangat jarang digunakan untuk memperhitungkan signifikansi pariwisata di negeri ini. Bahwa pariwisata menghasilkan devisa terbesar setelah sektor migas belum dapat dipahami oleh pejabat elit di pemerintahan pusat sekalipun. Inilah yang menyebabkan banyak pihak tidak bisa memahami the significance of tourism for economic and society welfare.
Jika sudah begini, apa akibatnya? Tentu, yang muncul adalah perlakuan yang salah. Sebagai suatu bentuk perdagangan jasa dan fenomena lintas sektoral, pariwisata memiliki karakteristik tersendiri, lingkungan bisnis tersendiri, dan memerlukan perlakuan-perlakuan yang bersifat khusus pula, baik terhadap komunitas pendukungnya (tourism business community), komponen-komponen lingkungan bisnis-nya (tourism business environment), maupun sektor apa saja yang terkait dengannya.
Masalah konsolidasi ialah problem kunci pariwisata negeri ini. Kita tidak akan pernah melangkah menyelesaikan problem kedua dan ketiga jika masalah konsolidasi lintas sektoral ini tidak pernah terselesaikan. Kita akan terus terpuruk dengan cara kerja yang tidak terintegrasi, tidak terstruktur, tidak satu visi dan berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas.
Stakeholders pariwisata yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni private, public dan consumers/community sector sampai saat ini belum mampu bekerja untuk sebuah agenda pariwisata yang sama. Yang terjadi di Bali (dan juga di Indonesia) selama ini baru keterpaduan di private sector. Itupun sebatas industri inti pariwisata seperti akomodasi, usaha perjalanan wisata dan transportasi, obyek dan atraksi wisata. Belum pernah sekalipun terjadi integrasi kerja lintas sektor di lingkungan swasta, misalnya kerjasama antara pengusaha akomodasi dengan airlines, atau perusahaan transportasi/usaha perjalanan dengan telekomunikasi, perbankan, asuransi, terlebih dengan pengelola industri migas.
Lebih parah lagi, kebijakan pemerintah justru seringkali cenderung merugikan sektor pariwisata sebagai akibat dari lemahnya konsolidasi visi bersama antara private-public. Misalnya regulasi visa (imigrasi) yang jelas-jelas tidak menguntungkan sektor pariwisata. Juga misalnya, terlalu ketatnya clearance bea cukai bagi warga asing yang ingin membuat film promosi pariwisata di suatu destinasi wisata dalam negeri. Lebih jauh lagi, pada kenyataannya kita mengetahui bahwa sistem pengelolaan sampah, listrik, air, transportasi, telekomunikasi dan infrastruktur publik lainnya kurang mendukung bagi pengembangan pariwiasta yang berkualitas.
Setelah kita dapat menyelesaikan problem konsolidasi, maka tentunya dengan mudah kita akan dapat memperbaikai produk destinasi dan pemasarannya. Apa sih yang tidak bisa kita lakukan jika kita sudah bersatu? Solusi bagi problem kedua dan ketiga adalah rumusan masterplan yang holistik, sistematik dan integral, yang dijabarkan dalam sebuah tourism strategic plan berkelanjutan dengan rincian program kerja sesuai dengan potensi dan khasanah masing-masing destinasi. Implikasi dari rumusan strategic plan ini memberikan kejelasan apa dan bagaimana kita mengelola suatu destinasi pariwisata dan seberapa besar anggaran pengelolaannya. Kerjasama private-public sector yang terstruktur dengan baik adalah langkah awal menuju pengelolaan pariwisata yang professional & proportional sesuai dnegan prinsip good & clean governance yang telah lama kita dambakan.
Dalam kondisi seperti ini, maka hanya dengan meningkatkan kedatangan wisatwan Internasional mencapai 20 juta per tahun, maka masyarakat kita baru dapat menikmati manfaat ekonomi pariwisata yang senyatanya. Investasi pariwisata akan makin meningkat seiring dengan tingginya permintaan dibukanya industri serta fasilitas pokok dan penunjang pariwisata. Jumlah peluang kerja di bidang pariwisata akan makin meningkat, jasa transportasi akan bergerak lebih signifikan, hotel-hotel tidak akan gulung tikar (karena occupancy bisa mencapai setidaknya rata-rata 75% sepanjnag tahun), PAD (pendapatan asli daerah) meningkat, bahkan petani bawang merah di kaki gunung Batur, Kintamani, Bali sekalipun akan menerima manfaatnya.
Berdasarkan pengamatan saya, serta studi pengelolaan pariwisata dengan berbagai Tourism Board di negara lain, saya menyimpulkan problem pariwisata Indonesia (dan destinasi unggulan lainnya seperti Bali, Lombok, Jogja, dsb.) pada umumnya terfokus pda tiga hal mendasar, yakni; stakeholders consolidatioin, product development dan destination marketing & maketing communications.
Problem pertama, inkonsolidasi stakeholders merupakan akibat dari apa yang disebut oleh pakar hukum pariwisata asal Bali Ida Bagus Wyasa Putra sebagai kesalahan pendefinisian pariwisata. Pendefinisian dan pengertian pariwisata menurutnya kurang jelas, jika bukan keliru sama sekali. Pariwisata tidak secara tegas didefinisikan sebagai suatu bentuk PERDAGANGAN JASA (trade in services) yang melibatkan hampir segenap sektor industri dan pembangunan. Bagi sebagian kalangan, pariwisata masih dimengerti hanya sebatas kegiatan bisnis akomodasi dan perjalanan semata, dan bagi sebagian kalangan lainnya didefinisikan hanya sebatas kegiatan budaya (agent of cultural process/change). Pemahaman seperti ini tentulah sangat PARSIAL dan BERBAHAYA.
Kesalahan pemahaman ini meluas hingga ke semua level pemerintahan dan masyarakat. Bahwa siapa, menghasilkan apa dan seberapa banyak, hampir sangat jarang digunakan untuk memperhitungkan signifikansi pariwisata di negeri ini. Bahwa pariwisata menghasilkan devisa terbesar setelah sektor migas belum dapat dipahami oleh pejabat elit di pemerintahan pusat sekalipun. Inilah yang menyebabkan banyak pihak tidak bisa memahami the significance of tourism for economic and society welfare.
Jika sudah begini, apa akibatnya? Tentu, yang muncul adalah perlakuan yang salah. Sebagai suatu bentuk perdagangan jasa dan fenomena lintas sektoral, pariwisata memiliki karakteristik tersendiri, lingkungan bisnis tersendiri, dan memerlukan perlakuan-perlakuan yang bersifat khusus pula, baik terhadap komunitas pendukungnya (tourism business community), komponen-komponen lingkungan bisnis-nya (tourism business environment), maupun sektor apa saja yang terkait dengannya.
Masalah konsolidasi ialah problem kunci pariwisata negeri ini. Kita tidak akan pernah melangkah menyelesaikan problem kedua dan ketiga jika masalah konsolidasi lintas sektoral ini tidak pernah terselesaikan. Kita akan terus terpuruk dengan cara kerja yang tidak terintegrasi, tidak terstruktur, tidak satu visi dan berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas.
Stakeholders pariwisata yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni private, public dan consumers/community sector sampai saat ini belum mampu bekerja untuk sebuah agenda pariwisata yang sama. Yang terjadi di Bali (dan juga di Indonesia) selama ini baru keterpaduan di private sector. Itupun sebatas industri inti pariwisata seperti akomodasi, usaha perjalanan wisata dan transportasi, obyek dan atraksi wisata. Belum pernah sekalipun terjadi integrasi kerja lintas sektor di lingkungan swasta, misalnya kerjasama antara pengusaha akomodasi dengan airlines, atau perusahaan transportasi/usaha perjalanan dengan telekomunikasi, perbankan, asuransi, terlebih dengan pengelola industri migas.
Lebih parah lagi, kebijakan pemerintah justru seringkali cenderung merugikan sektor pariwisata sebagai akibat dari lemahnya konsolidasi visi bersama antara private-public. Misalnya regulasi visa (imigrasi) yang jelas-jelas tidak menguntungkan sektor pariwisata. Juga misalnya, terlalu ketatnya clearance bea cukai bagi warga asing yang ingin membuat film promosi pariwisata di suatu destinasi wisata dalam negeri. Lebih jauh lagi, pada kenyataannya kita mengetahui bahwa sistem pengelolaan sampah, listrik, air, transportasi, telekomunikasi dan infrastruktur publik lainnya kurang mendukung bagi pengembangan pariwiasta yang berkualitas.
Setelah kita dapat menyelesaikan problem konsolidasi, maka tentunya dengan mudah kita akan dapat memperbaikai produk destinasi dan pemasarannya. Apa sih yang tidak bisa kita lakukan jika kita sudah bersatu? Solusi bagi problem kedua dan ketiga adalah rumusan masterplan yang holistik, sistematik dan integral, yang dijabarkan dalam sebuah tourism strategic plan berkelanjutan dengan rincian program kerja sesuai dengan potensi dan khasanah masing-masing destinasi. Implikasi dari rumusan strategic plan ini memberikan kejelasan apa dan bagaimana kita mengelola suatu destinasi pariwisata dan seberapa besar anggaran pengelolaannya. Kerjasama private-public sector yang terstruktur dengan baik adalah langkah awal menuju pengelolaan pariwisata yang professional & proportional sesuai dnegan prinsip good & clean governance yang telah lama kita dambakan.
Selain itu
promosi pariwisata juga perlu dikembangkan pada saat ini, dengan kemajuan
teknologi tentu akan sangat menunjang kemajuan pariwisata di Indonesia.
Strategi
Promosi Wisata
Interpretasi
merupakan suatu alat bantu yang data menterjemahkan keindahan dan keunikan
sumberdaya manusia dan alam sehingga bisa dinikmati secara utuh oleh pengunjung
atau wisatawan. Pulau Bawean dengan berbagai keunikan dan keindahan sumberdaya
alam dan manusianya sangat membutuhkan adanya interpretasi. Tujuannya adalah
memberikan pengetahuan lebih kepada wisatawan agar ketika datang ke suatu objek
ada nilai lebih yang diperoleh, baik secara ilmiah maupun tidak. Bahkan sebagai
media promosi bagi calon wisatwan. Interpretasi objek wisata di daerah2 sangat
minim sekali, maka dari itu perlu usaha yang lebih maksimal dan optimal agar
tercipta suatu media interpretasi yang efektif namun tetap efisien. Bisa juga
diwujudkan dalam bentuk website, video yang diupload dalam sebuah website atau
media social seperti twitter dan facebook.
Kita
bisa melihat hampir tidak ada yang tidak membawa gadget yang terhubung dengan
internet, dari tukang ojek hingga eksekutif, dari anak-anak sekolah dasar
hingga mahasiswa, semuanya tidak terlepas dari alat komunikasi bergerak. Membawa
laptop yang terhubung dengan internet menjadi pemandangan lumrah di mal-mal,
kampus, sekolah-sekolah, café, selama disitu ada jaringan wifi pasti ada
segerombol anak muda nongkrong sambil berselancar di internet. Terdapat sekitar
180 juta ponsel yang kini dipakai pelanggan Indonesia, dan 50% di antaranya
dapat mengakses internet. Ketika semua terhubung dalam internet, batas-batas
geografis menjadi hilang.
Adapun
caranya dijelaskan sebagai berikut :
a. Promosi Website
a. Promosi Website
Ada
banyak cara untuk mempromosikan suatu website. Teknik promosi yang sering
digunakan oleh para webmaster adalah optimalisasi SEO (Wahana Komputer, 2010).
Untuk itu, optimalisasi serach engine (SEO) sangat diperlukan karena website
kita bersaing dengan puluhan juta wesite lainnya di seluruh dunia untuk masuk
ke dalam indeks mesin penacri sperti Google, Yahoo, dan lain sebagainya.
b.
Promosi lewat Facebook dan Twitter
Karena
adanya fitur pencariannya yang canggih serta dukungan berbagai aplikasi yang
tersedia, melalui Facebook dengan mudah memperoleh teman, bahkan teman semasa
sekolah yang telah lama tidak berjumpa, sampai dengan teman dari teman, teman
sekerja, atau teman yang ada daftar email-nya pada akun email, semua di-support
oleh Facebook (Yuhefizar, 2009). Begitu pula dengan Twitter. Twitter adalah
sebuah microblog yang dapat mengirimkan status atau pesan dalam 140 karakter.
Twitter menjadi microblog terpopuler di duna karena kemudahan dan tampilan yang
sederhana. Dengan Twitter informasi dapat dengan mudah dan cepat terkirim. Kelebihan
tersebut membuat banyak orang termasuk artis, tokoh politik, organisasi, pelaku
bisnis memanfaatkan Twitter sebagai bagian dari hidup mereka (Pudyastomo,
2010). Keduanya dapat dijadikan media promosi pariwisata di Indonesia.
c.
Promosi lewat Youtube
Jika
kita memiliki dana lebih atau memiliki kreativitas lebih. Kita bisa membuta
sebuah ilklan mini dalam bentuk video. Ikan dalam bentuk video tersebut tidak
selalu harus disiarkan melalaui media televiss yang berbiaya mahal. Ikan video
tersebut bisa kita unggah (upload) ke Facebook dan juga Youtube, supaya banyak
orang bisa melihatnya.
YouTube
merupaka snitus video sharing yang berfungsi sebagai media untuk berbagi video
secara online. Dengan slogan “Broadcast Yourself”, situs ini memberikan
kebebasan dan kemudahan kepada siapa pun untuk meng-upload dan men-download
video yang masuk database-nya. Selain itu, dengan slogan tersebut, YouTube
berusaha meciptakan citra sebagai sebuah situs yang memiliki funsi sama dengan
sebuah televise yang menawarkan beragam video dari beragam acara (Jubilee
Enterprise, 2008).
e.
Promosi lewat Radio Online
Di
sisi lain, teknologi lama yang masih bermanfaat semkain lenyap dengan adanya
kemajuan teknologi, sebgai contoh adalah radio. Radio (istilah secara umum)
dalam kehidupan sehari-hari digunakan sebagai sarana penyampai informasi. Radio
adalah media elektronik termurah, baik pemancar maupaun penerimannya. Namun
sekarang hamper sulit kita jumpai masyarakata yang masih memiliki radio.
Padahal banyak manfaat yang bisa kita peroleh dari mendengarkan radio, sperti :
informasi, berita, hiburan dan lain sebagainya (Raharjo dan Utami, 2012).
Sekarang radio tidak hanya melalui dapat didengar melalui radio-radio, sekarang
teknologi sudah berkembang dengan adanya aplikasi atau software yang diinstal
baik pada computer , laptop, handphone atau terpasang pada website dan blog
dengan memasang kode script radio online, bahkan di dalam mobil pun ada iPhone,
iPod touch, and iPad. Sehingga, masyarakat tidak perlu memiliki radio
elektronik yang terbatas hanay bisa mendengarkan channel radio lokal saja,
melainkan juga channel radio sleuruh dunia. Begitu pula dengan radio online ini
jangkauan meliputi seluruh dunia.
kesimpulannya adalah unutk memajukan industri pariwisata di Indonesia pada saat ini tidak hanya cukup dilakukan oleh masyarakatnya saja, tentu harus ada kerjasama yang baik dengan pemerintah dalam rangka mendorong dengan pembiayaan dalam pembangunan infrakstuktur yang cukup memadai agar kenyamanannya pun sesuai dengan yang diharapkan para tourism.Selain itu juga, bagian terakhir dalam pengembangan pariwisata adalah bagaimana caranya untuk mempromosikan daerah objek wisata tersebut baik di dalam negeri maupun diluar negeri, sehingga daerah tersebut dapat dikenal oleh manca negara dan dunia. Itu merupakan tugas dari pada generasi muda sekarang ini agar pariwisata Indonesia dapat lebih maju di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Nadia Rizki Winardi
UJP B 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar