Suku Amungme dan Gunung Suci Papua
Kata Pengantar
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tugas ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga artikel ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu informasi dan pembelajaran.
Harapan
saya semoga artikel ini membantu menambah pengetahuan tentang Suku Amungme yang
terdapat di Papua bagi para pembaca.
Artikel
ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan artikel ini.
Jakarta, Januari 2016
Penyusun
Pendahuluan

Suku Amungme adalah kelompok
Melanesia terdiri dari 13.000 orang yang tinggal di dataran tinggi Papua
Indonesia.
Mereka menjalankan pertanian
berpindah, menambahnya dengan berburu dan mengumpul. Amungme sangat terikat
kepada tanah leluhur mereka dan menganggap sekitar gunung suci. Gunung yang
dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport Indonesia
merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan
nama Nemang Kawi. Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang Kawi
artinya panah yang suci (bebas). perang perdamaian Wilayah Amungme di sebut
Amungsa.
Pembahasan
menimbulkan gesekan dengan
pemerintah Indonesia, yang ingin mendayagunakan persediaan mineral yang luas
yang terdapat di sekitarnya. Masalah terbesar yang dihadapi Amungme adalah
banyaknya jumlah tambang, dimiliki oleh Amerika Serikat dan Kerajaan Bersatu,
terletak di pusat wilayah Amungme. Pertambangan emas dan tembaga besar-besaran
telah menghancurkan lansekap dan menuntun ke banyak protes, yang telah banyak
ditekan dengan kekerasan oleh militer Indonesia.
Suku Amungme adalah salah
satu suku yang tinggal di dataran tinggi Papua. Suku Amungme memiliki tradisi
pertanian berpindah, dan berburu.
Mereka mendiami beberapa
lembah luas di kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya antara gunung-gunung
tinggi yaitu lembah Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah
kecil seperti lembah Bella, Alama, Aroanop, dan Wa. Sebagian lagi menetap di
lembah Beoga (disebut suku Damal, sesuai panggilan suku Dani) serta dataran
rendah di Agimuga dan kota Timika. Amungme terdiri dari dua kata
"amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia.
Menurut legenda yang dahulu,konon
orang Amungme berasal dari derah Pagema (lembah baleim) Wamena. Hal ini dapat
ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan hitigima
yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme
mendirikan honey dari alang-alang. Orang Amungme memiliki kepercayaan bahwa
mereka adalah anak pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah
utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju yang dalam
bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih).
Suku Amungme menggangap bahwa
mereka adalah penakluk, pengusa serta pewaris alam amungsa dari tangan Nagawan
Into (Tuhan).
Suku Amungme memiliki dua
bahasa, yaitu Amung-kal yang dituturkan oleh penduduk yang hidup disebelah
selatan dan Damal-kal untuk suku yang menetap di utara.
Suku Amungme juga memiliki
bahasa simbol yakni Aro-a-kal. Bahasa ini adalah bahasa simbol yang paling
sulit dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal, bahasa simbol yang
hanya diucapkan saat berada di wilayah yang dianggap keramat.
Konsep mengenai tanah,
manusia dan lingkungan alam mempunyai arti yang intergral dalam kehidupan
sehari-hari. Tanah digambarkan sebagai figure seorang ibu yang memberi makan,
memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya
mati. Tanah dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat
tinggal, berkebun, berburu dan pemakaman juga tempat kediaman roh halus dan
arwah para leluhur sehingga ada beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air
terjun dan kuburan dianggap sebagai tempat keramat. Magaboarat Negel
Jombei-Peibei (tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber penghidupan
mereka), demikian suku Amungme menyebut tanah leluhur tempat tinggal mereka.
Beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat,
wem-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis
keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan
situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku
kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.
Suku Amungme saat kontak
pertama dengan dunia luar
Kontak pertama dengan dunia
luar terjadi pada tahun 1936 ketika ekpedisi Carstensz yang pimpinan Dr.Colijn
cs, melalui misi katolik pada 1954 yang dipimpin oleh Pastor Michael Cammerer
dibantu penduduk lokal bernama Moses Kilangin dan pemerintah Belanda, sebagian
besar masyarakat Amungme dipindahkan ke daerah pesisir, di Akimuga sampai saat
ini, alasan pemindahan disebabkan proses penyebaran agama dan pelayanan
terhadap masyarakat Amungme tidak mungkin dilakukan di daerah pegunungan.
Suku Amungme sangat terikat
kepada tanah leluhur mereka dan menganggap gunung sebagai sesuatu yang sacral.
Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport
Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme,
dengan nama Nemang Kawi. Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang
Kawi artinya panah yang suci (bebas perang/ perdamaian). Suku Amungme memiliki
sebuah lembaga adat bernama Lemasa (Lembaga Adat Suku Amungme) yang
memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat Amungme.
Lembaga Pengembangan
Masyarakat Amungme Kamoro
Dua Gunung Suci Suku Amungme
Papua
Seorang ibu Amungme
berpakaian compang camping bertelanjang kaki duduk sambil mencuci kaki di tepi
sungai Aykwa yang telah tercemar tailing tambang sambil meratap dalam bahasa
Indonesia yang terbata-bata : Ayuu...Dorang su Ame kami pung mama pung kepala,
semua sudah ancur, kami sedih, kami sakit hati..... (aduh, mereka sudah ambil
kepala ibu kami, semua hancur, kami sedih, sakit hati..) ================
Tangisan dan kesedihan ibu ini adalah tangisan orang papua dari suku Amungme.
Amungme berasal dari 2 kata, Amung artinya utama dan me artinya manusia. Jadi
pengertiannya mereka adalah manusia utama. Menurut cerita dari para leluhur
mereka, suku Amungme berasal dari sebuah gua yang sekarang disebut Lembah
Baliem atau Mepingama ( tempat manusia keluar pertama kali). Menurut mitos yang
mereka yakini, zaman dahulu manusia berdiam di dalam gua. Di dalam gua terdapat
semua jenis tumbuhan dan binatang. Alkisah suatu ketika orang-orang berada di dalam
gua ingin keluar untuk melihat kehidupan luar di gua. Namun tidak ada
seorangpun yang mampu membuka pintu gua kecuali seorang sesepuh adat mereka
dengan membaca mantra-mantra tertentu. Saat waktu yang diinginkan mereka ingin
keluar, sesepuh tua itu membaca mantra-mantranya dibantu seorang gadis yang
masih suci dan mereka pun berhasil membuka pintu gua itu. Akan tetapi masih ada
yang menghalangi mereka untuk bisa keluar dari gua. Saat itu permukaan bumi
masih tergenang air. Untuk mengetahui kondisi di sekitar lingkungan gua,
diutuslah seekor burung nuri dan menanti datangnya kembali sang burung.
Ternyata burung nuri tidak kembali juga. Maka diutuslah seekor burung murai
atau negelarki. Saat burung murai kembali, paruhnya terbawa lumut dari air yang
mulai mengering. Hal ini menandakan bumi sudah mengering. Esok harinya
orang-orang mulai keluar dari gua dan berjalan mengikuti arah sinar matahari,
arah ke barat. Selama perjalanan, orang-orang menebarkan bibit-bibit tanaman
dan melepas semua jenis binatang. Sampailah mereka pada sebuah gunung.
Me-arangguma-bugin yang artinya gunung kebahagiaan dan perpisahan. Dan orang
Amungme percaya mereka adalah rombongan manusia yang pertama kali keluar dari
gua. Disusul rombongan dari suku-suku lain, seperti Ekagi, Moni, Wolani. Orang
Amungme percaya mereka adalah intisari dari alam sekitar. Alam memberikan
manfaat yang besar bagi kehidupan sehingga orang Amungme sangat menghargai dan
mencintai alam sekitar. Caranya dengan tidak sembarangan merusak lingkungan
hidup. Jika ada yang merusak alam, orang Amungme akan berkata : "Enane
taram agan iwiatongengee, Em arap nap atendak, mesin arop nap atendak, oleh
arap nap atendak, ib arop nan atendak. Kelap arop nan atendak, iatong heno, Inak juo onen diamo !"
( Anak-anak mengapa berbuat demikian,
padahal kamu tahu bahwa pohon itu adalah diriku, anjing itu adalah aku, air itu
juga diriku, tanah pun aku, batu itu pun diriku. Berbuatlah semaumu, aku kan
mengawasimu") Bagi orang Amungme, tanah bukan hanya bernilai ekonomis,
melainkan bermakna magis religius. Tanah ibarat seorang ibu yang memberikan
kehidupan bagi anak-anaknya. "Tanah adalah ibu kami", ungkap mereka.
Suku Amungme menganggap daerah pegunungan salju termasuk puncak-puncak gunung
tertinggi bersemayamlah Jomun-Temun Nerek, para leluhur suku Amungme. Puncak
gunung Carstenz, Ertsberg, Grassberg beserta lembah-lembah sekitarnya sebagai
wilayah keramat yang suci tidak boleh diganggu gugat. Di kawasan kepala ibu
itulah konon mereka berasal dan nenek moyang berada. Daerah asal yang bernilai
religius-magis inilah yang saat ini porak poranda oleh kegiatan tambang emas
dan tembaga oleh Freeport. Kehadiran Freeport yang mengambil alih seluruh tanah
masyarakat ( yang dalam pandangan suku Amungme mengandung kekuatan magis dan
mitologis) menyebabkan kosmologi suku tersebut terguncang sampai ke
akar-akarnya. Guncangan itu semakin merasuk dan bertambah parah akan kehadiran
orang - orang asing yang dipekerjakan di tanah mereka dan dalam perkembangannya
suku Amungme yang dulunya merupakan
pemilik tanah , saat ini hanya menjadi penonton di atas tanah uluyat mereka
sendiri. Perubahan yang mengguncangkan tersebut dapat terlihat dari lenyapnya
beberapa puncak gunung yang bernilai magis dan mitologis bagi mereka, menjadi
sumur-sumur raksasa yang menganga lebar. Meskipun masih ada gunung-gunung yang
kelihatannya masih utuh, di dalamnya sudah keropos dengan adanya
terowongan-terowongan besar yang berlapis-lapis. Ditambah penjagaan militer
yang ketat setiap harinya, membuat orang Amungme sama sekali tidak bisa
mendekati dan menyentuh wilayah keramat mereka. Terlebih semua daerah konsesi
Freeport saat ini dipagari kawat berduri dan penjagaan militer bersenjata
lengkap, seperti di pos mile 64 sampai 78. Bahkan untuk masuk wilayah
Tembagapura diperlukan surat izin khusus dari kantor Freeport di Jakarta. Belum
lagi kawasan keramat yang lainnya disekitar freeport sudah berubah menjadi
kawasan pemukiman pekerja freeport dan kawasan transmigrasi program pemerintah.
Daerah ini sudah menjadi infrastruktur kota Freeport. Dengan demikian
tanah-tanah suci dan dikeramatkan oleh orang suku Amungme sudah berpindah
menjadi tanah-tanah milik Freeport. Jadi jangan terkejut bila ibu Amungme
selalu menangis dan sakit hati bila melihat orang Freeport yang bekerja di atas
tanah keramat mereka. Ditambah sakit hati mereka, keadaan ekonomi yang harusnya
mereka ikut merasakan manisnya tembaga, emas, nikel, tapi tidak mereka rasakan.
"Kami ingin berada di Irian Jaya lebih dari 100 tahun" (Milton H
Ward, Chairman of The Board of Directors Freeport Indonesia Inc, 1991)
"Freeport adalah pelopor penanaman modal asing di Indonesia"
(Soeharto, 03 Maret 1973) Kedua suara inilah yang menyebabkan gaung
ketidakadilan dan ketidakmerataan ekonomi di Papua mulai tumbuh. Yang satu
menjual bangsanya sendiri dan yang satu menjajah bangsa orang Amungme. Masihkah
Pemerintah terus berdiam diri melihat duka orang Amungme yang bertahan dengan
hanya memandang tanah dan gunung keramat mereka sudah berubah ? dan menjadi
milik bangsa lain ? Atau kita yang tega menjual tanah mereka dengan segelintir
kekayaan ?
Sastra Lisan Suku Amungme
Kadang kata-kata sebagai
lambang-lambang bunyi—tidak cukup mampu menggambarkan (mengekspresikan)
secara utuh pengalaman batin manusia tentang rasa sedih, senang, marah, cinta
dan takjub.
Arnold Mampioper dalam
bukunya “Amungme, Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartenz”
menuliskan, orang Amungme akan mengeluarkan bunyi-bunyian yang khas (siul),
ketika berdiri dari atas sebuah bukit dan menatap gunung Nemangkawi yang
dilatarbelakangi langit bersih dan sedikit awan Cirrus, dan dilerengnya
terlihat asap mengepul dari rumah-rumah penduduk. Bunyi-bunyian yang
dilakukan dengan cara melipat lidah ini sebenarnya merupakan ekspresi dari
rasa gembira menyaksikan alam raya yang sangat megah ini. Rasa gembira yang
tergugah karena melihat keindahan alam biasanya juga diekspresikan orang
Amungme dengan menyanyikan sebuah lagu Tem.
Terutama untuk mengingat
heroisme laki-laki ketika melakukan perburuan dan membawa pulang hasil buruan
untuk dimasak oleh ibunya dan disantap seluruh keluarga besar. Salah satu
syair yang biasa dinyanyikan untuk menggambarkan situasi ini adalah Kele
Wawunia kele, ae, ao, baa. Niare Wawnia niare, ae, ao, haa.
Selain itu, menurut Arnold,
ada lagu purba Suku Amungme yang mungkin sudah tidak dipahami lagi oleh
orang Amungme generasi sekarang. Misalnya lagu purba yang syairnya
Angaye-angaye, No emki untaye. Angaye bao, aa, bao. Angaye-angaye wagana
nikaro. Morae banago, bao, aa, bao. Antok anu ae anago, bao, bao. Jilki untae
bawano, bao, bao.
Menurut Kepala Kampung
Amkayagama, Eko Kelanangame, syair lagu ini berisi pujian pada gunung,
lembah, hutan dan rimba tempat Suku Amungme hidup dan mengembara. Artinya
dalam Bahasa Indonesia kurang lebih, “Kukasih gunung-gunung, yang agung
mulia. Dan awan yang melayang, keliling puncaknya. Kukasih hutan rimba,
pelindung tanahku, kusuka mengembara di bawah naungmu.”
Aktifitas Suku Amungme untuk
mengekspresikan perasaannya tentang manusia dan alam, tempat hidupnya
sebenarnya merupakan bentuk-bentuk sastra lisan. Dalam bahasa yang sangat
sederhana, sastra dapat dipahami sebagai cara manusia mengekspresikan
pengalaman batinnya tentang rasa senang, rasa sedih, rasa dicintai, atau merasa
marah karena sebuah penolakan atau pengingkaran.
Sastra lisan biasanya
mengandung gagasan, pikiran, ajaran dan harapan masyarakat yang biasanya
didengarkan dan dihayati bersama-sama. Suku Amungme yang sejak dahulu belum
mengenal tulisan menurunkan ajaran-ajaran dan petuah-petuah adat ini secara
lisan (dari mulut ke mulut) ke generasi berikutnya.
Menurut sejarahnya, sastra
lisan berkembang lebih dahulu daripada sastra tulis. Dalam keseharian,
aktivitas ini terjadi ketika seorang ibu memberi nasehat kepada anaknya, atau
para tetua adat memberi petuah kepada anggota-anggota masyarakatnya.
Dalam hal ini, bahasa menjadi
media untuk menyatakan gagasan atau menyampaikan suatu nilai. Menurut seorang
filsuf Yunani yang sangat terkenal, Plato, bahasa dipakai untuk membuat
tiruan (menirukan) gambaran dari kenyataan yang sebenarnya. Aktivitas
satra (lisan) juga merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus model
dari kenyataan ideal (yang diharapkan).
Aktivitas sastra lisan dalam
Suku Amungme juga dapat diamati pada kebiasaan masyarakat Amungme menggunakan
kiasan untuk menyatakan gagasannya.
Menurut Arnold Mampioper,
Mozes Kilangin Tenbak yang mendampingi Pater Michael Kamerer untuk
menyelesaikan konflik antar warga Amungme di lembah Noemba-Wea-Tsinga pada 1953
pernah menggunakan kiasan, ”Kalian sudah menangkap kuskus di Tsinga dan Wea
lantas membunuhnya, sekarang mau menangkap kuskus di Noemba lagi?”
Kuskus, adalah hewan buruan
yang sangat disukai kelompok-kelompok masyarakat suku di pegunungan tengah
Papua. Mozes Kilangin menggunakan kuskus sebagai personifikasi dari anggota
masyarakat yang selalu korban dari konflik antar warga.
Kiasan lainnya, diungkapkan
oleh seorang Kepala Kampung Akimuga menanggapi seruan petinggi militer
agar masyarakat tidak mudah dihasut. Kepala Kampung ini memakai kiasan,
“Bapak, kami ini seperti ubijalar yang tumbuh antara dua buah batu. Kami
ditekan dan dimarahi di sini dan di persalahkan di sana. Mendengar di sana,
tetapi dihantam di sini, jadi susah kami ini!”
Ubijalar yang termasuk
makanan pokok masyarakat dipakai untuk menggambarkan situasi riil masyarakat
Amungme menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan. Situasi sulit
yang dihadapi ini digambarkan dengan kiasan “ubijalar yang tumbuh antara dua
buah batu”.
Sebagai sastra lisan, banyak
syair oleh tokoh-tokoh suku terdahulu kemudian digubah menjadi lagu untuk
menggambarkan suasana sukacita, duka cita, atau penyembahan. Tetapi menurut
Arnold Mampioper, salah satu syair yang menimbulkan kesan terdalam adalah
syair yang digubah menjadi lagu duka. Berisi syair ratapan dan kesedihan
mendalam dari orang-orang terdekat dan kerabat.
“Nyanyian ratapan itu laksana
paduan suara dengan harmoni, solo, sopran, alto, tenor dan bas. Terdengar
sangat merdu dan menyayat hati,” tulis Arnold.
Mozes Kilangin tokoh
masyarakat Amungme, termasuk salah tokoh yang mengembangkan syair-syair dalam
sastra lisan Amungme untuk lagu-lagu di sekolah dan ibadah natal. Karya
sastra, yang lisan maupun yang tulis—memang hanya kumpulan dari bunyi dan
lambang bunyi, tetapi dibalik simbol-simbol bunyi ini tersimpan semangat,
ajaran, dan nasehat yang sangat penting untuk generasi masyarakat
berikutnya.(TjahjonoEP)
Beberapa model kepemimpinan suku
Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk
menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat
muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan
ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya
mereka sendiri.
Selain bahasa dan asal muaasal
suku Amungme suku Amungme telah menggunakan uang tukar resmi (rupiah) sebagai
alat jual-beli, tidak lagi menggunakan sistem barter. Barang-barang yang dijual
masih sangat terbatas, seperti: makanan pokok; petatas, keladi, umbi-umbian,
minyak goreng, sayur-mayur, alat jahit-menjahit sederhana, dan kebutuhan rumah
tangga sehari-hari lainnya seperti garam, sabun dan rokok.
Saat ini budaya barter maupun
alat tukar eral sudah tidak pernah lagi digunakan oleh sebagian besar suku
Amungme yang tinggal di perkotaan atau berdampingan dengan budaya kota. Berbeda
dengan masyarakat suku Amungme yang tinggal di pedalaman bagian Utara, yaitu di
daerah pegunungan masih menggunakan eral.
Eral sendiri adalah sistem tukar
- menukar barang dengan alat tukar sah yang diakui masyarakat Amungme, berupa
kulit bia (siput). Kulit bia ini diperoleh dengan tukar-menukar barang dengan
masyarakat yang tinggal di pantai. Setelah kulit bia diperoleh, mereka membawa
pulang ke tempat tinggalnya di pedalaman dan membentuknya menjadi alat tukar
suku.
Mata pencaharian suku Amungme
umumnya berburu karena ditunjang faktor alam dengan berbagai jenis flora
yang tumbuh lebat dan terdapat berbagai jenis fauna seperti babi hutan, burung
kasuari, burung mambruk, kakaktua, dll, bertani dan bercocok tanam serta
beternak, banyak di antara mereka telah bekerja di kota sebagai pedagang,
pegawai maupun karyawan swasta.
Penutup
Demikian artikel ini dibuat demi menyelesaikan tugas sejarah dan semoga dengan tulisan ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang Indonesia dan menumbuhkan menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya.
Daftar Pustaka
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Amungme
http://id.mitologi.wikia.com/wiki/Suku_Amungme
http://tabloidjubi.com/home/2014/12/05/sastra-lisan-dalam-tradisi-suku-amungme/
Kelas A - Farah Aulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar