Foklor
Suku Dayak
Kata Pengantar
Puji
syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas ini
tentang foklor Suku Dayak dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima kasih kepada
bapak Shobirien selaku Dosen mata kuliah
Sejarah Nasional Indonesia yang telah
memberikan tugas ini kepada saya.
Saya
sangat berharap tugas ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Seluk Beluk Suku Dayak.Saya juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.Semoga
artikel ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sebelumnya saya mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Jakarta,
04 Januari 2015
Debby
Dianasari
Dalam
artikel ini saya akan menjelaskan atau memaparkan tentang foklor suku dayak.
Sebelumnya saya akan menjelaskan tentang foklor. Foklor adalah tradisi lisan
dari suatu masyarakat yang tersebar atau diwariskan secara turun temurun.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Folklor adalah adat istiadat tradisional
dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan.
Saya
akan menjelaskan tentang asal mula suku dayak terlebih dahulu. Suku dayak
bermula pada tahun (1977-1978), saat itu benua Asia dan pulau Kalimantan yang
merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid
dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi
pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak
merupakan penduduk Kalimantan yang sejati.Namun setelah orang-orang Melayu dari
Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum
lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan
Kerajaan Majapahit.Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah
Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri
sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.
Suku
ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku
berbeda.Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak,
sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai
yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389
(Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.Arus besar berikutnya terjadi pada
saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian
besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang
Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan
orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke
pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai,
Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi
terus terdesak masuk rimba
Di
suku dayak masih terdapat adat istiadat
yang masih di lakukan oleh penduduk setempat karena mereka sangat menjaga kelestarian budaya yang
berkembang di daerahnya dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu
maupun zaman sekarang masih kuat sampai
sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki
oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari
pedalaman Kalimantan.
Ini
ada beberapa contoh adat istiadat yang masih berkembang di suku dayak yaitu
·
Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan
acara adat suku Dayak.Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk
pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di
buat.Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus
untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku
Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang
sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak
sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai
akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
·
Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi
Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak.
Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai
pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku
yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas
semena-mena.Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya
Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk
seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur
dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
·
Mangkok merah.
Mangkok merah merupakan
media persatuan Suku Dayak.Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa
kedaulatan mereka dalam bahaya besar.“Panglima” atau sering suku Dayak sebut
Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah
yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali.Dari penampilan
sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya
biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar
biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari
apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya. Mangkok merah tidak
sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat
untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat
itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan
menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan
mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa
sakit atau gila bila mendengar tariu.Orang-orang yang sudah dirasuki roh para
leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban
yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang
Dayak makan manusia.Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan
upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan
bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.Mangkok
merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat)
yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat untuk menyertai mangkok ini
disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus
calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan
beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh
(ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia
(metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak
sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu
itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut
cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang
dulu.Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah
Dayak pada tahun 1967.pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang
antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia
sedang konfrontasi dengan Malaysia.Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang
dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada
bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis
mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa
asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke
dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan
ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari
langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” )Setiap hari libur,
warga Dayak menggelar berbagai tarian tradisional di Lamin antara lain Tari
Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam, Pamung
Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.
Selain
itu suku dayak memiliki ciri tersendiri pada setiap masyarakatnya, walaupun
sampai sekarang masyarakat nya sudah mulai sedikit yang melestarikannya, karena
efek globalisasi yang semakin modern, tetapi masih ada masyarakat suku dayak
asli yang masih melestarikannya tertutama para penduduk dayak yang memang benar
benar suku dayak asli. Salah satu nya yaitu dengan memakai anting yang banyak di
kupingnya sehingga dapat memanjangkan kupingnya dan mentato tubuhnya.
Seni tato dan
telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai
penduduk asli Kalimantan.Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat
suku Dayak di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu
kebanggan budaya yang ada di Indonesa.Namun tradisi ini sekarang justru semakin
ditinggalkan dan nyaris punah. Trend dunia fashion telah mengikis budaya
tersebut .Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi
tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak diatas tahun
80-an bahkan generasi sekarang mengaku malu.
Di Kalimantan Timur untuk bisa menemui wanita
suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang sangat sulit.Karena
kini hanya bisa ditemui di pedalaman Kalimantan Timur dengan menempuh jalur
melewati sungai yang memakan waktu berhari-hari. Karena gaya hidup suku Dayak
memang lebih akrab dengan hutan maupun gua.
Untuk melestarikan budaya, tradsi maupun adat suku Dayak
Pemerintah Kota Samarinda membangun perkampungan budaya suku Dayak yang diberi
nama Kampung Budaya Pampang.
Di desa ini ada sekitar 1000 warga suku Dayak yang masih mempertahankan budaya,
tradisi maupun adat.
Namun sayangnya khusus untuk budaya telinga
panjang hanya sedikit wanita suku Dayak saja yang mempertahankannya.Lainnya
telah memotong karena mengaku malu.Wanita suku Dayak yang masih mempertahankan
telinga panjang itu dan tidak pernah keluar dari kampong itu, bahkan mereka pun
hanya terlihat saat ada kegiatan ataupun ucapacara adat.
Yang masih mempertahankan budaya telinga
panjang kini tinggal sedikit.Mereka yang asalnya bertelinga panjang secara
sengaja memotong ujung daun telinga mereka.Alasan yang sering dikemukakan,
takut dianggap ketinggalan zaman atau khawatir anak-anak mereka merasa
malu.Mulai punahnya budaya telinga panjang, menurut cerita ketika mulai
masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman
kolonial Belanda dulu.
tak tahu persisnya kapan mulai punah, tapi rata-rata yang masih
mempertahankan budaya telinga panjang adalah wanita suku Dayak yang berusia di
atas 60 tahun. Sedangkan genersi sekarang sudah tidak ada.Budaya ini pun
semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia
di daerah perbatasan Kalimantan.
Saat itu berkembang stigma di masyarakat,
mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang
dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern.Tidak
tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga
panjangnya.Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang.Kalangan
generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut
dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern.Hanya sebagian kecil masyarakat
Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun telinga panjang, dan itu pun
jumlahnya sangat minim.Disebabkan pula karena zaman semakin berkembang. Banyak
masyarakat dayak yang sudah merantau ke perkotaan, mereka merasa malu dan tidak
percaya diri karena telinga mereka yang panjang tersebut karena di anggap aneh
oleh masyarakat sekitar. Oleh sebab itu orang dayak yang merantau ke perkotaan
sudah memotong telinga panjangnya. Timbulnya
rasa malu tersebut turut disebabkan oleh modernisasi dan globalisasi yang mulai
merasuki kehidupan masyarakat Dayak.Globalisasi ini kemudian membuat rakyat
Dayak menjadi kurang menghargai nilai-nilai budaya yang mereka miliki, karena
mereka menjadi lebih menghargai nilai-nilai yang berlaku di dunia
internasional.Kebiasaan memanjangkan telinga yang tidak biasa di dunia
internasional membuat warga Dayak menjadi berada dalam kebingungan mengenai
haruskah mereka melestarikan nilai-nilai budaya mereka, yang kini diangap sudah
tidak sesuai dengan perkembangan jaman.
Dulu, sebelum
globalisasi dan modernisasi masuk ke kehidupan masyarakat Dayak, mereka sangat
menghargai nilai-nilai budayanya, dalam hal ini memanjangkan daun telinga yang
dianggap sebagai pertanda bahwa mereka adalah bangsa yang beradab. Namun sejak
globalisasi masuk, muncul anggapan bahwa bangsa yang beradab bukan seperti apa
yang mereka pikirkan selama ini. Mereka mulai merasa mereka berbeda dari bangsa
atau suku lain, yang mendapat cap “beradab” lebih dari mereka. Keberbedaan
itu lantas menimbulkan keraguan
dalam diri mereka, sehingga pada akhirnya mereka menjadi nilai budaya yang
mengatakan bahwa memanjangkan daun telinga adalah tanda suatu bangsa yang
beradab.Penolakan terhadap nilai budaya inilah yang kemudian menyebabkan hanya
sedikit warga Dayak, terutama kalangan muda, yang masih menjalankan kebiasaan
memanjangkan daun telinga.Padahal daun telinga yang panjang tersebut merupakan
hal yang unik, yang dikagumi oleh masyarakat non-Dayak. Tidak seharusnya
masyarakat Dayak malu akan penanda fisik tersebut, karena rasa malu itu pada
akhirnya dapat menyebabkan punahnya salah satu nilai budaya di masyarakat
Dayak.
PROSES PENINDIKAN / PEMASANGAN ANTING
Proses penindikan daun telinga ini sendiri
dimulai sejak masa kanak-kanak, yaitu sejak berusia satu tahun. Kemudian setiap
tahunnya mereka menambahkan satu buah anting atau subang perak. Anting atau
subang perak yang dipakai pun berbeda-beda, gaya anting yang berbeda-beda ini
menunjukkan perbedaan status dan jenis kelamin. Seperti misalnya kaum bangsawan
memiliki gaya anting sendiri yang tidak boleh dipakai oleh orang-orang biasa.
Sedangkan menurut penduduk Dayak Kenyah, pemanjangan daun
telinga di kalangan masyarakat Dayak secara tradisional berfungsi sebagai
penanda identitas kemanusiaan mereka.
Menurut
asal-usulnya ratusan tahun lalu, budaya telinga panjang bukan hanya dilakukan
wanita, pria juga ada yang memanjangkan telinga.Dan yang memanjangkan telinga
hanya kaum bangsawan suku Dayak.Telinga panjang pada Wanita Dayak menunjukkan
dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang
dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.bagi suku Dayak Kenyah, antara laki-laki dan
perempuan memiliki aturan panjang cuping telinga yang berbeda. Kaum laki-laki
tidak boleh memanjangkan cuping telinganya sampai melebihi bahunya, sedangkan
perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada. Disamping itu telinga panjang digunakan
sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang.Begitu bayi lahir, ujung
telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik
yang menempel di telinga bertambah satu, jadi orang lain bisa menghitung
sendiri berapa umur orang dayak tersebut terlihat dari banyaknya manik-manik ,
jika usia seseorang 60 tahun, maka manik
manik yang berada pada telinga orang dayak tersebut berjumlah 60 manik-manik.
Telinga panjang juga memiliki makna dimana untuk melatih kesabaran, karena betapa
beratnya manik-manik yang tergantung di telinga, tetapi, karena dipakai setiap
hari, kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih.Agar daun telinga
menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk
lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun
telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter, selain status sosial,
wanita suku Dayak yang memanjangkan telinga
dianggap cantik. Makin panjang telinga, maka akan semakin cantiklah
wanita Dayak.
Namun walaupun globalisasi yang semakin modern tetap ada saja
warga suku dayak yang mempertahankan kebudayaan tersebut, rata – rata yang
mempertahankannya itu yang sudah berusia 60 tahun, karena mereka sudah turun
temurun melakukan tradisi dari nenek
moyang mereka, mereka tidak perduli apapun yang di kata kan orang lain,
sekalinya mereka yang melihatnya secara aneh, mencibir atau membicarakan yang
tidak baik, bagi mereka suku dayak yang masih memperthankannya, mereka merasa
bangga karena bisa melestarikan warisan leluhur , mereka tidak perduli dengan
zaman yang kian kesini makin modern. Justru mereka menganggap hal itu
mendatangkan rezeki untuk mereka karena dengan telinganya yang panjang mereka
bisa menarik perhatian wisatawan yang ingin melihat mereka yang bertelinga
panjang. Sejak Kampung Pampang ditetapkan sebagai desa budaya oleh Pemerintah
Kota Samarinda, membawa keuntungan bagi masyarakat dayak yang masih
mempertahankan tradisi itu.Pasalnya Pampang setiap hari Minggu selalu didatangi
wisatawan domestik maupun mancanegara.
Setiap hari Minggu, pukul 14.00 hingga 16.00
wita, biasanya digelar acara budaya yang menampilkan berbagai tarian Dayak,
bertempat di rumah panjang khas Dayak. Tarian yang biasa ditampilkan, yakni
tari Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam,
Pamung Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.Kehadiran wisatawan maupun
pengunjung itulah yang membawa berkah. Pasalnya setiap pengunjung selalu
meminta foto bersama.Kesempatan itulah digunakan mereka untuk meraup
rejeki.Tarif yang dipasang untuk sekali berfoto Rp 25 ribu.
Setiap Minggu mereka bisa menghasilkan hingga ratusan ribu
rupiah dari hasil foto bersama pengunjung. Selain itu mereka juga mendapat
honor dari pertunjukkan menari dihadapan pengunjung.Disamping itu beberapa
daerah kerap memakai dirinya saat ada agenda kunjungan pejabat pusat hingga
presiden. Begitu juga jika ada acara nasional yang di selenggarakan di
Kalimantan Timur, termasuk launching beberapa perusahaan dan produk local.
Selain
itu yang unik dari dayak adalah adanya tradisi penguburan yaitu merupakan penguburan primer - tempat mayat
melalui Upacara/Ritual Kenyauw.
Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaqyang
merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/RitualKwangkay.
Tradisi
penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam
hukum adat.Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan
manusia di Kalimantan.
Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
·
penguburan
tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
·
penguburan
di dalam peti batu (dolmen)
·
penguburan
dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem
penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi
Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan
dibedakan :
1.
wadah
(peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
2.
wadah
tulang-beluang : tempelaaq(bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta
guci.
berdasarkan tempat
peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
1.
lubekng
(tempat lungun)
2.
garai
(tempat lungun, selokng)
3.
gur
(lungun)
4.
tempelaaq
dan kererekng
Pada umumnya
terdapat dua tahapan penguburan:
1.
penguburan
tahap pertama (primer)
2.
penguburan
tahap kedua (sekunder).
Penguburan primer
1.
Parepm Api (Dayak Benuaq)
2.
Kenyauw (Dayak Benuaq)
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder
tidak lagi dilakukan di gua.Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di
Kecamatan Pujungan,
Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang
merupakan peninggalan megalitik.Perkembangan terakhir, penguburan dengan
menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam
bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak
Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
·
dikubur
dalam tanah
·
diletakkan
di pohon besar
·
dikremasi
dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
1.
Tiwah
adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol
pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun
atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2.
Ijambe
adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi
abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3.
Marabia
4.
Mambatur
(Dayak Maanyan)
5.
Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)
Dayak pada masa kini
Dayak
pada masa sekarang ini terdapat dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut,Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua
mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun
hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang
berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405
sub-etnis.Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki
kesamaan ciri-ciri budaya yang khas.Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu
apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak
atau tidak.Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material
seperti tembikar, mandau, sumpit,
beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem
perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di
Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang
memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Orang Dayak Ngaju
menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan
kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara "rasial",
manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
·
Dayak Mongoloid,
·
Malayunoid,
·
Autrolo-Melanosoid,
·
Dayak Heteronoid.
Namun di dunia
ilmiah internasional, istilah seperti "ras
Australoid", "ras
Mongoloid dan pada umumnya
"ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang
membuat adanya kelompok manusia.
Agama Suku Dayak
Masyarakat rumpun
Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi
nama oleh Tjilik
Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya
pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak
Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah.Bahkan agama leluhur
masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam
kehidupan terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering
dinamakan sebagai agama Balian.
Agama-agama asli
suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan.Sejak abad pertama
Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannyaCandi
Agung sebuah peninggalan
agama Hindu di Amuntai,
Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha.Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya
prasasti peninggalan dari Kerajaan
Kutai yang beragama Hindu di
Kalimantan Timur.Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama
Kaharingan berlaku hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan
pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat
Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai,
Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan
Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat
kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan.Di masa kolonial,
orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di
perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum
golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau
daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani
dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang
Dayak
Kesimpulan :
Suku
Dayak merupakan suku yang berada di Kalimantan Timur. Suku Dayak memiliki adat
istiadat yang sangat unik yaitu dengan memanjangkan telinganya dan mentato
badannya karena itu sudah menjadi adat istiadat suku dayak dari nenek
moyangnya, menurut suku dayak sendiri memanjangkan telinga dapat membuat mereka
merasa cantik dan menjadi ciri khas tersendiri untuk sukunya, agar dapat
membedakan dengan suku suku yang lain, namun siring berkembangnya zaman,
tradisi tersebut kian hari kian meluntur karena globalisasi yang sudah semakin
modern. Mereka di anggap kuno dan masayarakat dayak merasa malu mempunyai kuping
panjang seperti itu karena dianggap hal yang sangat aneh di zaman modern
seperti ini masih ada saja masayakat yang berkuping panjang. Tetapi tetap saja
ada masyarakat dayak yang masih melestarikannya terutama masyarakat dayak yang
sudah berusia lebih dari 60 tahun karena merasa itu merupakan peninggalan
leluhurnya yang tidak boleh hilang dari peradaban.
Daftar Pustaka :
http://serbasejarah.blogspot.co.id/2011/12/peran-folklore-mitologi-legenda-dan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak
http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/dayak-kuping-panjang
Debby Dianasari
4423154485
Usaha Jasa Pariwisata A 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar