Sangkuriang dan Dayang Sumbi
Tangkuban Perahu
BAB
I
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur saya
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat serta karunia-Nya
kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Sejarah Indonesia tentang
makalah mengenai Folklore Indonesia yang berjudul “Keunikan dari Legenda
Tangkuban Perahu”.
Makalah ini saya buat
untuk memenuhi tugas 3 mata kuliah Sejarah Indonesia tentang Floklore
Indonesia di Perguruan Tinggi, Universitas Negeri Jakarta. Pada
kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Shobirien,
selaku dosen Pembimbing Mata Kuliah Sejarah Indonesia. Saya menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya
mohon kritik dan saran yang dapat membangun kesempurnaannya makalah ini. Dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
2. Keluarga dan
rekan-rekan usaha jasa pariwisata 2015 yang telah mendukung dan memotivasi
dalam menyusun makalah ini.
3. Google serta penulis
web yang sudah membantu memberikan informasi.
02
Januari 2016
Penyusun
BAB
II
PEMBAHASAN
Kata folklor
berasal dari bahasa inggris, yaitu folk dan lore. Kata Folk memiliki arti sama
dengan kata Kolektif. Menurut Alan Dundes arti kata Folk adalah sekelompok
orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga
dapat di bedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Sementara itu kata lore
berarti tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang di wariskan secara
lisan atau melalui suatu contoh yang di sertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat.
Folklor
mempunyai empat fungsi. Pertama foklor sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai
alat pencerminan angan-angan suatu kelompok kedua folklor sebagai alat
pengesahan pranata-pranata dan Lembaga-lembaga kebudayaan, ketiga folklor
sebagai alat pendidikan anak-anak, contoh foklor Sebagai alat pendidik adalah
foklor lisan (nyanyian anak) dari jawa yaitu wajibe dadi murid, dan ke empat
Folklor sebagai alat pemaksa norma agar masyarakat selalu mematuhinya.
Folklor
memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan kebudayaan lainnya. Ciri-ciri
folklor antara lain :
1)
penyebaran dan pewarisannya secara lisan
2) bersifat
tradisional. Hal ini terlihat dari sistem penyebarannya yang bersifat tetap
3) versinya
berbeda-beda karena penyampaiannya secara lisan memungkinkan adanya perubahan
di dalamnya
4) bersifat
anonim karena tidak di ketahui nama penciptanya
5) memiliki
bentuk yang biasanya mempunyai rumus atau berpola. Hal ini terlihat dalam
cerita rakyat yang selalu mennggunakan kata Klise, seperti “menurut empunya
cerita”... Sebagai kata pembukaan
6) memiliki
suatu fungsi dalan kehidupan masyarakat
7. Bersifat
Pralogis karen logikanya sendiri tidak sesuai dengan logika umum
8. Menjadi
milik bersama masyarakat tertentu hal ini karena penciptanya pertama tidak di
ketahui lagi. Maka semua anggota masyarakat itu merasa memilikinya
9. Pada
umumnya bersifat polos dan lugu meskipun sering kali terlihat kasar atau
terlalu sopan.
Bentuk-bentuk
Folklor dapat di bedakan menjadi tiga sebagai berikut.
1. Folklor
lisan yang bentuknya murni lisan, contoh folklor lisan seperti bahasa rakyat,
puisi rakyat, mite, legenda, dongeng, dan lagu rakyat.
2) Folklor
sebagian lisan yaitu folklor yang merupakan campuran unsur lisan dan bukan
lisan, Contoh folklor sebagian lisan seperti permainan rakyat, tarian rakyat,
dan adat istiadat
3. Folklor
bukan lisan yaitu foklor yang bentuknya bukan lisan walaupun pembuatannya di
ajarkan secara lisan, contoh foklor bukan lisan seperti arsitektur rakyat,
kerajinan tangan, dan pakaian.
BAB
III
ISI
Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung
berapi yang terdapat di Jawa Barat. Gunung ini disebut Tangkuban Perahu karena
bentuknya mirip dengan perahu yang terbalik. Kata “tangkuban“ (bahasa
Sunda) berarti terbalik. Gunung yang memiliki
ketinggian kurang lebih 2.084 meter di atas permukaan laut ini mempunyai
berbagai macam kawasan hutan, yaitu hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp
Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous.
Menurut sejarah, gunung ini pernah meletus pada tahun 1910 dengan kekuatan 2 Skala Richter.
Akibat letusan itu terbentuklah banyak kawah yang sering mengeluarkan asap
belerang ke dataran rendah yang berada di bawahnya.
Menurut cerita masyarakat setempat, asal
muasal terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu berasal dari legenda Sangkuriang,
anak seorang wanita cantik yang bernama Dayang Sumbi. Sewaktu kecil Sangkuriang
diusir oleh ibunya karena telah membunuh seekor anjing (ayah Sangkuriang yang
menjelma/berubah bentuk menjadi anjing). Dayang Sumbi dan Sangkuriang kemudian
berpisah selama bertahun-tahun.
Setelah Sangkuriang dewasa, akhirnya
mereka bertemu. Pertemuan itu membuat Sangkuriang jatuh cinta dan ingin
menikahi Dayang Sumbi. Namun, Dayang Sumbi menolaknya karena ia tahu bahwa
Sangkuriang adalah anak kandungnya. Untuk menolak permintaan itu, Dayang Sumbi
mengajukan syarat untuk dibuatkan perahu dalam waktu semalam. Karena gagal
menyelesaikan perahu itu, Sangkuriang marah lalu menendang perahu itu hingga terlempar
dan kemudian menjadi sebuah gunung yang mirip dengan perahu terbalik.
1. Lokasi Tangkuban Perahu
Tangkuban
Perahu atau Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung aktif yang ada di
Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Tepatnya di Cikole, Bandung Utara atau sekitar
20 km ke arah utara Kota Bandung, dengan ribun pohon pinus dan hamparan kebun
teh disekitarnya. Gunung Tangkuban Perahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084
meter di atas permukaan laut atau sekitar 6.873 kaki. Bentuk gunung ini adalah
Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis
batuan yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur,
mineral yang dikeluarkan adalah sulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat
gunung tidak aktif adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola
oleh Perum Perhutanan. Suhu di gunung ini adalah 17 derajat celcius pada siang
hari dan dapat mencapai 2 derajat celcius pada malam hari.
2. Keunikan dari Gunung Tengkuban
Perahu
Gunung Tangkuban Perahu puncaknya datar dan memanjang mirip dengan perahu
yang terbalik. Bentuk seperti ini jarang terdapat pada gunung-gunung berapi
pada umumnya. Selain bentuknya yang unik, gunung ini juga tampak asri karena di
lereng gunung tersebut terhampar kebun teh yang sangat luas. Dari puncak gunung
ini, pengunjung dapat menikmati indahnya pemandangan alam dan kesejukan udara
sambil melihat suasana Kota Bandung dari ketinggian.
Berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu, wisatawan juga dapat melihat
keindahan sepuluh kawah yang letaknya berdekatan, yaitu Kawah Ratu, Kawah Upas,
Kawah Baru, Kawah Lanang, Kawah Ecoma, Kawah Jurig, Kawah Siluman, Kawah Domas,
Kawah Jarian, dan Pangguyangan Badak. Kawah-kawah itu mengeluarkan asap belerang yang menguap keluar dari sela-sela bebatuan yang berada di bagian
bawah kawah itu.
Kawah Ratu, Kawah Upas, dan Kawah Domas, merupakan tiga kawah Gunung
Tangkuban Perahu yang sering dikunjungi oleh wisatawan. Kawah Ratu bentuknya
seperti mangkuk raksasa yang besar dan dalam. Jika cuaca cerah di kawah ini
pengunjung dapat melihat dinding dan dasar cekungan kawah dengan jelas. Kawah
Ratu merupakan kawah terbesar di gunung ini yang letaknya bersebelahan dengan
Kawah Upas, kurang lebih berjarak sekitar 1.500 meter. Kemudian Kawah Upas
bentuknya cukup dangkal dan datar pada bagian bawahnya, sehingga banyak
ditumbuhi pepohonan liar di salah satu sisi dasar kawah itu. Sedangkan Kawah
Domas bentuknya berupa cekungan yang mengeluarkan sumber air panas. Pada sumber
air panas tersebut, para wisatawan dapat memanfaatkannya untuk membasuh badan,
karena kandungan belerangnya dipercaya dapat menyembuhkan berbagai jenis
penyakit kulit. Banyak juga wisatawan yang memanfaatkan sumber air panas itu
untuk merebus telur ayam dengan cara memasukkan telur itu ke dalam genangan air
panas selama kurang lebih 10 menit. Setelah sepuluh menit, telur tersebut akan
matang dan sudah dapat dimakan.
3. Legenda Sangkuriang dan Dayang
Sumbi (Gunung Tangkuban Perahu)
Seperti
kebanyakan gunung di Indonesia yang memiliki cerita rakyat yang diturunkan dari
generasi ke generasi, Gunung Tangkuban Perahu juga memiliki sebuah cerita yang
dipercayai sebagai asal usul terbentuknya gunung ini. Cerita Sangkuriang dan
Dayang Sumbi tentunya sudah tak asing bagi sebagian besar orang.
Sangkuriang
adalah legenda yang berasal dari Jawa Barat. Legenda tersebut berkisah tentang
terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangran, dan
Gunung Bukit Tunggul.
Awalnya
diceritakan di kahyangan ada sepasang dewa dan dewi yang berbuat kesalahan,
maka oleh Sang Hyang Tunggal mereka dikutuk turun ke Bumi dalam wujud hewan.
Dang dewi berubah menjadi babi hutan (celeng) bernama celeng Wayung Hyang,
sedangkan sang dewa berubah menjadi anjing bernama si Tumang. Mereka harus
turun ke bumi menjalankan hukuman dan bertapa mohon pengampunan agar dapat
kembali ke wujudnya menjadi dewa-dewi kembali.
Diceritakan
bahwa Raja Sungging Perbangkara tengah pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja
membuang seni yang bertampung dalam daun caring (keladi hutan), dlaam versi
lain disebutkan air kemih sang raja tertampung dalam batok kelapa. Seekor babi
hutan betina bernama Celeng Wayung Hyang yang tengah bertapa sedang kehausan,
ia kemudian tanpa sengaja meminum air seni sang raja tadi. Wayung Hyang secara
ajaib hamil dan melahirkan seorang bayi yang cantik, karena pada dasarnya ia
adalah seorang dewi. Bayi cantik itu ditemukan di tengah hutan oleh sang raja
yang tidak menyadari bahwa ia adalah putrinya. Bayi perempuan itu dibawa ke
keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Dayang sumbi
tumbuh menjadi gadis yang amat cantik jelita. Banyak para raja dan pangeran
yang ingin meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang ia terima.
Akhirnya
para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas
permintaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing
jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik menenun kain, terompong (torak)
yang tengah digunakan terjatuh ke bawah bale-bale. Dayang Sumbi karena merasa
malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang
mengambil torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan
suaminya, jika perempuan akan dijadikan saudarinya. Si Tumang mengambilkan
torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Akibat perkataannya itu Dayang Sumbi
harus memegang teguh persumpahan dan janjinya, maka ia pun harus menikahi Si
Tumang. Karena malu, kerajaan mengasingkan Dayang Sumbi ke hutan untuk hidup
hanya ditemani Si Tumang. Pada malam bulan purnama, Si Tumang dapat kembali ke
wujud aslinya sebagai dewa yang tampan, Dayang Sumbi mengira ia bercumbu dengan
dewa yang tampan yang sesungguhnya adalah wujud asli si Tumang. Maka Dayang
Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Sangkuriang.
Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang kuat dan tampan.
Suatu
ketika Dayang Sumbi tengah mengidamkan makan hati menjangan, maka ia
memerintahkan Sangkuriang ditemani si Tumang untuk berburu ke hutan. Setelah
sekian lama Sangkuriang berburu, tetapi tidak nampak hewan buruan seekorpun.
Hingga akhirnya Sangkuriang melihat seekor babi hutan yang gemuk melarikan
diri. Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk mengejar babi hutan yang ternyata
adalah Celeng Wayung Hyang. Karena si Tumang mengenali Celeng Wayung Hyang
adlah nenek dari Sangkuriang sendiri maka si Tumang tidak menurut. Karena kesal
Sangkuriang menakut-nakuti si Tumang dengan panah, akan tetapi secara tak
sengaja anak panah terlepas dan si Tumang terbunuh tertusuk anak panah.
Sangkuriang bingung, lalu karena tak dapat hewan buruan maka Sangkuriang pun
menyembelih tubuh si Tumang dan mengambil hatinya. Hati si Tumang oleh
Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah
Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, suaminya
sendiri, maka kemarahannya pun memuncak serta-merta kepala Sangkuriang dipukul
dengan sendok yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka.
Sangkuriang
ketakutan dan lari meninggalkan rumah. Dayang Sumbi yang menyesali perbuatannya
telah mengusir anaknya, mencari dan memanggil-manggil Sangkuriang ke hutan
memohonnya untuk segera pulang, akan tetapi Sangkuriang telah pergi. Dayang
Sumbi sangat sedih dan memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar kelak
dipertemukan kembali dengan anaknya. Untuk itu Dayang Sumbi menjalankan tapa
dan laku hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan sayuran mentah (lalapan). Sangkuriang
sendiri pergi mengembara mengelilingi dunia. Sangkuriang pergi berguru kepada
banyak pertapa sakti, sehingga Sangkuriang kini bukan bocah lagi, tetapi telah
tumbuh menjadi seorang pemuda yang kuat, sakti, dan gagah perkasa. Setelah
sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan
tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, ibunya berada.
Sangkuriang tidak mengenali bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang
Sumbi - ibunya. Karena Dayang Sumbi melakukan tapa dan laku hanya memakan
tanaman mentah, maka Dayang Sumbi menjadi tetap cantik dan awet muda. Dayang
Sumbi pun mulanya tidak menyadari bahwa sang ksatria tampan itu adalah putranya
sendiri. Lalu kedua insan itu berkasih mesra. Saat Sangkuriang tengah bersandar
mesra dan Dayang Sumbi menyisir rambut Sangkuriang, tanpa sengaja Dayang Sumbi
mengetahui bahwa Sangkuriang adalah putranya, dengan tanda luka di kepalanya,
bekas pukulan sendok Dayang Sumbi. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa
untuk menikahinya. Dayang Sumbi sekuat tenaga berusaha untuk menolak. Maka ia
pun bersiasat untuk menentukan syarat pinangan yang tak mungkin dipenuhi
Sangkuriang. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga
(danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai
Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
Maka
dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur,
tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi
gunung Bukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan menjadi
Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang (makhluk halus), bendungan pun
hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi memohon kepada Sang Hyang
Tunggal agar niat Sangkuriang tidak terlaksana. Dayang Sumbi menebarkan helai
kain boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), maka kain putih itu
bercahaya bagai fajar yang merekah di ufuk timur. Para guriang makhluk halus
anak buah Sangkuriang ketakutan karena mengira hari mulai pagi, maka merekapun
lari menghilang bersembunyi di dalam tanah. Karena gagal memenuhi syarat Dayang
Sumbi, Sangkuriang menjadi gusar dan mengamuk. Di puncak kemarahannya,
bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro
dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan
menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun
menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah
ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang
terus mengejar Dayang Sumbi yang lari menghindari kejaran anaknya yang telah
kehilangan akal sehatnya itu. Dayang Sumbi hampir tertangkap oleh Sangkuriang
di Gunung Putri dan ia pun
memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar menyelamatkannya, maka Dayang Sumbi pun
berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di
sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib
(ngahiyang).
Dari
legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di
dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta
geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu
tahun sebelum Masehi.
Legenda
Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda
ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun lontar
yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah
tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga
Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu
di pulau Jawa
dan pulau Bali
pada akhir abad ke-15.
Setelah
melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang
menjadi kota Bandung.
Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat legendanya.
Laporannya adalah sebagai berikut:
Leumpang
aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
Datang
ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala
Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa
dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung
tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan)
4. Sangkuriang dan Falsafah Sunda
Menurut Hidayat Suryalaga, legenda
atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging
Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang
akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya
(Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata
hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila
tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (torompong), maka
dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus
(digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa
yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh
kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang
hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya
kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula
yang memengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani.
Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan
intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada
akhirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari
dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang
Sumbi).
Walau
demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang
Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan.
Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang)
harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency
– silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga
kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia
dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya
pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu).
Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada
pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari
awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun
harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada
akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang
akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk
tulang-belulang (gunung Burangrang).
Betapa
mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang
Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang
Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan
(boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego
Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”.
Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia
transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung
Tangkubanparahu).
Walau
demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang
Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat
luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang
Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang
pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).
Akhir kisah
yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung).
Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan
rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi
yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; bahasa
Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar
makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan
bermanfaat.
5. Kesesuaian dengan Fakta Geologi
Legenda
Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya Danau Bandung dan Gunung Tangkuban
Parahu. Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa
danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16.000 tahun
yang lalu. Telah terjadi dua letusan Gunung Sunda
purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing 105.000 dan 55.000-50.000 tahun
yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba
sehingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung
Burangrang (disebut juga Gunung Sunda), dan Gunung Bukittunggul. Sangat
mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan
menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat Ci Tarum
(utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55.000-50.000 tahun
yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda
purba. Masa ini adalah masanya Homo sapiens;
mereka telah teridentifikasi hidup di Australia
selatan pada 62.000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar
50.000 tahun yang lalu.
6.
Tiga Kawah
yang ada di Kawasan Gunung Tangkuban Perahu
Letusan gunung yang terjadi
menyebabkan munculnya kawah-kawah di sekitar gunung ini. Dari beberapa kawah
yang dimiliki, ada tiga kawah yang paling terkenal di Gunung
Tangkuban Perahu antara lain: Kawah Upas, Kawah Domas, dan Kawah
Ratu.
a.
Kawah Ratu
Kawah Ratu
merupakan kawah terbesar dari ketiga kawah yang paling terkenal di Gunung
Tangkuban Perahu. Untuk menuju ke kawah ini, Anda bisa menggunakan mobil
pribadi maupun mobil sewaan di lokasi yang akan mengantarkan Anda sampai ke
Kawah Ratu. Jalan menuju ke kawah tidaklah sulit, sehingga banyak wisatawan
yang datang.
Kawah Ratu
dapat dilihat dari dataran yang lebih tinggi dengan pagar pembatas dari kayu
untuk keselamatan wisatawan. Pemandangan yang cantik bisa Anda saksikan di
sini. Tanah di sekitar kawah umumnya berwarna putih dengan batu-batu berwarna
kekuningan karena kandungan belerang. Selain itu juga Anda bisa melihat asap
yang mengepul dari kawah.
Di sekitar
lokasi terdapat banyak toko kecil yang menjual berbagai suvenir seperti topi,
syal, sarung tangan, masker dan juga berbagai kerajinan dari kayu. Tak hanya
suvenir, ada juga warung makan yang menjual mie rebus dan teh hangat atau ketan
bakar yang merupakan makanan khas Lembang.
b.
Kawah Upas
Kawah Upas
berada di sebelah Kawah Ratu. Untuk mencapainya, Anda harus melalui jalan
terjal dan berpasir. Mungkin hal ini yang membuat jumlah wisatawan yang
berkunjung ke sini lebih sedikit bila dibandingkan dengan Kawah Ratu. Selain
itu, Kawah Upas juga lebih kecil dan lebih dangkal.
c.
Kawah Domas
Kawah Domas
berada di dataran yang lebih rendah dari Kawah Ratu. Tidak seperti di Kawah
Ratu yang hanya diperbolehkan melihat dari kejauhan dan dibatasi pagar kayu, di
Kawah Domas, Anda bisa melihat lebih dekat. Bahkan Anda juga bisa melakukan
pengujian panasnya kawah dengan merebus telur di sini. Menarik bukan?
Jika Anda
ingin mengunjungi Kawah Domas di atas jam empat sore, maka Anda harus menyewa
seorang pemandu demi alasan keselamatan.
Selain tiga kawah tersebut, ada lagi yang menarik
dari Gunung Tangkuban Perahu, yaitu Pohon Manarasa. Pohon yang banyak tumbuh di
sekitar tempat wisata ini
mempunyai daun berwarna merah dan jika dimakan rasanya mirip dengan daun jambu.
Menurut warga sekitar, daun pohon ini bisa mengobati diare. Uniknya, mereka
juga percaya bahwa daun ini juga bisa membuat awet muda. Dayang Sumbi dipercaya
selalu makan daun ini, sehingga ia tetap cantik dan awet muda.
BAB III
PENUTUP
Kisah Sangkuriang adalah Bersikaplah untuk jujur
karena kejujuran akan membawa kebaikan dan kebahagiaan di kemudian hari.
Perbuatan curang akan merugikan diri sendiri serta bisa mendatangkan musibah
bagi diri sendiri ataupun orang lain.
Kesimpulan
Walaupun folklor berkembang
secara lisan dan belum pasti pula benar adanya, folklor telah menjadi
bagian dari kebudayaan indonesia yang tak dapat di pisahkan dari kehidupan
masyarakat setempat. Dengan folklor itu pula kita dapat mengetahui
kebudayaan-kebudayaan masa lampau dan dapat memetik hikmah dari
kejadian-kejadian tersebut supaya kejadian tersebut dapat menjadi pelajaran dan
pengalaman berharga kelak di masa yang akan datang.
Oleh karena itu kita sebagai
bangsa indonesia sudah sepantasnya melestarikan budaya indonesia yang salah
satunya ini adalah folklor.
Saran
Menyangkut
hal tersebut, peranan orang tua sangatlah di butuhkan dalam pengembangan
folklor yaitu dengan menjalin komunikasi yang aktif terhadap anaknya. Malui
pendekatan tersebut di harapkan mampu untuk melesatarikan kebudayaan tersebut.
Di samping itu peran guru di sekolah pula sangat di butuhkan untuk melestarikannya
seperti menamkan rasa bangga terhadap kebudayaan bangsa sendiri dan
menceritakan serta menjelaskan kepada murid-muridnya tentang cerita tersebut.
Daftar Pustaka
Rhea Sari Puspita
4423154735
Usaha Jasa Pariwisata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar