DAMPAK BENCANA ALAM TERHADAP SEKTOR
PARIWISATA INDONESIA
Pada kesempatan
kali ini saya Muhammad Rama Mulyana akan membahas dampak bencana alam terhadap sector
pariwisata Indonesia,serta memberi solusi dari dampak bencana tersebut,sehingga
sektor pariwisata dapat bangkit kembali.
Pariwisata
merupakan industri yang rentan terhadap berbagai peristiwa bencana. Ia bisa
menjadi “yang terdampak” dari kemunculan bencana atau memicu kemunculan bencana
itu sendiri.
Selain karena pengaruh multi-sektoral
yang meliputi bidang penting kehidupan, industri pariwisata perlu mendapat
perhatian atas manajemen risiko bencana (dan krisis) sebab melibatkan
pergerakan dan jalinan yang luas secara internasional, khususnya terkait
manusia sebagai wisatawan, masyarakat lokal, maupun pengelola destinasi - baik
pemerintah atau sektor swasta.
Desakan manajemen risiko terhadap
bencana dapat dilihat sebagai penggerak keberlangsungan ekonomi, sosial-budaya,
dan lingkungan. Kehadiran pariwisata tak bisa disangkal telah turut ambil
bagian dalam aspek konservasi alam dan budaya. Pariwisata dapat memicu bencana
ketika suatu destinasi tidak mempertimbangkan aspek daya tampung misalnya.
Tetapi pariwisata pun dapat memberikan dukungan, misalnya upaya yang dilakukan
untuk menjaga pelestarian Candi Borobudur ketika terjadi letusan Gunung Merapi.
Kehadiran wisatawan dan industri pariwisata kemudian memberikan kontribusi
besar, seperti kesempatan lapangan kerja, pembiayaan infrastruktur, dan
kampanye-advokasi. Seperti kawasan Borobudur dan sekitarnya yang memiliki
ketergantungan besar pada industri pariwisata, berusaha keras melindungi stupa
serta melakukan upaya pembersihan candi yang tentu memakan biaya tidak sedikit,
hingga setelah bencana letusan gunung berapi, kondisi ekonomi di awasan Merapi
dan Borobudur kemudian pulih dengan dukungan wisatawan. Namun di sisi lain,
perlu juga diakui bahwa kehadiran wisatawan atau komersialisasi terhadap suatu
lokasi pernah mencapai titik alarm yang menimbulkan kerusakan akibat kehadiran
wisatawan secara massal. Maka, diperlukan suatu perencanaan khusus dalam
melihat karakter tersebut bahwa keterkaitan industri pariwisata dengan bencana,
dapat menjadikannya sebagai industri yang sangat rapuh (vulnerable),
di waktu yang bersamaan juga industri yang tangguh (resilient).
Pendekatan
PRB Terhadap Destinasi
Pendekatan pengurangan risiko bencana
(PRB) dalam pengelolaan bencana diperlukan karena bencana bisa terjadi kapan
pun di mana pun. Sementara pariwisata akan menjadi industri yang rentan
terhadap dampak bencana, sehingga untuk meminimalkan dampak, diperlukan suatu
perencanaan dan pengembangan terhadap pendekatan tersebut. Secara terminologi,
“risiko” dapat diterjemahkan sebagai kemungkinan terhadap kerugian atau
keburukan yang timbul di waktu yang akan datang dan bersifat tidak pasti. Dalam
kerangka disaster
risk management, risiko didefinisikan sebagai probabilitas dari
konsekuensi bahaya atau kemungkinan kehilangan atau kerugian akibat terjadinya
bencana dan/atau krisis. United Nations Environment Programme merumuskannya
dengan “risiko = (Probabilitas Bencana x Kerentanan) / Kapasitas.” Artinya,
untuk mengurangi risiko, dibutuhkan kapasitas yang besar untuk merespon risiko
serendah mungkin, maka diperlukan pendekatan yang menurunkan kerentanan (decreasing vulnerability) dan meningkatkan
kapasitas (increasing capacity).
Kapasitas di sini adalah mengenai besaran pengetahuan dan kesadaran manusia
yang menjadi perihal paling krusial dan mendasar untuk pengurangan risiko
bencana.
Bencana dapat berupa apa saja yang tak
mampu ditangani oleh masyarakat, mulai dari bencana alam hingga bencana sosial
atau kecelakaan/penyalahgunaan teknologi. Bencana memiliki potensi untuk dampak
jangka panjang dan mengancam kehidupan manusia serta bisnis, termasuk di
dalamnya adalah infrastruktur, pelayanan, transportasi, akomodasi, dan elemen
pariwisata lainnya. Manajemen risiko bencana dan krisis adalah suatu proses
atau sistem yang terintegrasi (multi-sektor dan stakeholders)
guna meminimalkan kerugian/kehilangan dan memaksimalkan peluang dari kemunculan
bencana dan krisis yang mempengaruhi industri pariwisata secara langsung maupun
tak langsung. Proses atau sistem yang menjadi penekanan yaitu terhadap aspek
keorganisasian dan manusia (pengelola, masyarakat lokal, dan wisatawan).
Inisiatif pariwisata untuk menerapkan
manajemen bencana dan perspektif PRB terhadap suatu destinasi, kini menjadi
lebih besar lagi seiring dengan kian tingginya peluang terjadinya bencana, mulai
dari akibat peningkatan mobilitas/kedatangan wisatawan sampai pada besarnya
tingkat kerusakan lingkungan karena fenomena perubahan iklim (pemanasan
global). Tak cukup hanya dengan menjadikannya sebagai industri yang
berkelanjutan, melainkan bagaimana membuat industri pariwisata di suatu
destinasi menjadi tangguh. Apalagi, biasanya atraksi yang unik dan menarik
wisatawan justru berada di area dengan risiko bencana yang besar, seperti
kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, gunung berapi, dan dataran tinggi.
Untuk menggali potensi ekonomi di area
rentan, pariwisata harus memiliki kemampuan adaptasi dan mitigasi (better prepared and response) agar tidak
membahayakan masyarakat maupun wisatawan serta menimbulkan kerusakan permanen.
Sebisa mungkin, pariwisata mampu memberikan peluang terhadap kontrol bagi
manusia yang berkehidupan di dalamnya serta keberlangsungan keunikan itu
sendiri, baik alam atau sejarah-budaya.
Secara khusus, wisatawan merupakan
objek yang paling berisiko terhadap peristiwa bencana, terutama wisatawan
asing. Kita tentu sering mendengar peristiwa penangkapan atau penyanderaan
wisatawan oleh kelompok separatis bersenjata maupun teroris, bahkan di daerah
yang dianggap aman sekali pun. Sebagai target, wisatawan asing dapat digunakan
untuk mendesak kelompok musuh atau menekan negara asal wisatawan melalui
ancaman hubungan diplomatik antar-negara serta exposure media massa yang besar. Wisatawan
asing begitu mudah menjadi sasaran karena adanya keterkaitan dengan isu
internasional dan juga wisatawan itu sendiri yang cenderung memiliki informasi
terbatas tentang kondisi dan situasi di mana mereka berada. Sebagai contoh
kasus Bom Bali atau bencana pada destinasi wisata di mana wisatawan asing
banyak menjadi korban.
Fase terhadap manajemen risiko bencana
dan krisis, terdiri dari fase pra-bencana, saat bencana, dan paska-bencana.
Pada tahap awal, yang sangat mendasar untuk dilakukan, adalah melakukan
pengumpulan informasi (database) berupa
pengelompokkan risiko bencana yang mungkin terjadi dengan kondisi alam di suatu
destinasi (kerentanan alam) dan sejauh mana tingkat kerentanannya pada
masyarakat yang hidup di sana. Keduanya akan dihubungkan dengan
ketergantungan/jalinan dengan berbagai aktivitas pariwisata, sehingga berbagai
risiko bisa mulai dianalisa. Masih pada tahapan ini, perlu dilakukan
peningakatan kapasitas, khususnya bagi masyarakat lokal dan staf pengelola,
sebelum destinasi dikembangkan. Peningkatan kapasitas (pengetahuan dan
kesadaran) yang sebelumnya telah disinggung, artinya berkaitan dengan kualitas
hidup masyarakat. Banyak kasus membuktikan bahwa tingkat kesejahteraan
masyarakat yang berada di suatu destinasi, berbanding positif dengan tingkat
kesiapsiagaan.(UNEP, 2008) Dengan adanya upaya pembangunan manusia bersamaan
dengan pengembangan infrastruktur mitigasi, maka dapat menguatkan daya adaptasi
suatu destinasi.
Dengan adanya informasi dan
partisipasi, perencanaan terhadap manajemen bencana bisa diformulasikan.
Strategi tidak terbatas pada mekanisme perencanaan penanganan bencana yang
terdiri dari strategi analisa, arahan dan pilihan, implementasi dan kontrol, serta
evaluasi dan feedback, (Mistilis dan Sheldon, 2005)
melainkan juga strategi komunikasi (untuk menghindari terjadinya krisis komunikasi
yang biasa terjadi saat muncul bencana) dan keorganisasian. Strategi
keorganisasian berarti bagaimana kemudian manajemen bencana dapat diserap dan
bersinergi dengan berbagai pihak. Pada destinasi tertentu, pengelola bahkan
mendedikasikan divisi khusus yang menangani bencana sekaligus relasi dengan
masyarakat dan pihak terkait. Jika tidak memungkinkan untuk pembentukkan divisi
khusus, dapat dilakukan dengan melakukan konsensus dan pembentukkan local
working group(kelompok siaga bencana). Mengenai pendekatan, akan lebih
baik untuk menyerap pula kearifan (substansi bermuatan lokal) agar mengurangi
resistensi dan mudah bersinergi, seperti bagaimana masyarakat lokal memiliki
berbagai tradisi membaca tanda-tanda alam atau melakukan ritual/upacara
tertentu sebagai bagian dari budaya dan tradisi, selain tentu saja ditunjang
dengan aspek teknologi mitigasi yang terpantau dan ter-update dengan baik. Tahapan awal ini akan
mampu mendorong tingkat pengetahuan, kesadaran, dan kesiapsiagaan destinasi
menghadapi bencana dan krisis.
Upaya persiapan menghadapi bencana
tidak cukup dengan sekedar memberikan rambu-rambu atau papan informasi. Rencana
dan sistem evakuasi bencana yang sudah dibuat perlu diuji coba (strategi
implementasi). Akan lebih baik lagi jika bisa melibatkan wisatawan dengan
komunikasi yang baik agar mereka tidak terganggu dan malah merasa aman.
Sehingga ketika bencana terjadi, maka seluruh aksi akan terjadi di mana
pengambilan keputusan dilakukan secara cepat dan tepat pada keadaan darurat,
termasuk perihal komunikasi yang memasuki masa krisis.
Setelah bencana dan krisis usai,
tahapan paska-bencana memasuki masa recovery (penyembuhan/pemulihan),
restorasi, dan rekonstruksi. Fokus kepada masyarakat, wisatawan, dan staf
pengelola adalah yang terpenting, baru setelahnya fisik/material (aspek
konservasi alam dan situs sejarah-budaya). Pada fase ini mereka yang menjadi
korban perlu bertahan dan disembuhkan secara emosional dan fisik, tetapi
setelahnya mereka akan kembali menjadi pelaku utama yang akan membangun suatu
destinasi. Proses monitoring dan evaluasi terhadap bencana akan membuat seluruh
perencanaan manajemen risiko bersifat fleksibel, maksudnya kemungkinan untuk
berubah (revisi) mengikuti perubahan ruang dan waktu (adaptif). Pengelolaan
bencana dan pendekatan PRB mensyaratkan keterlibatan berbagai pihak untuk
setiap prosesnya.
Bencana sebagaimana
diulas dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2007 merupakan peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia (Sabir, 2011 : 3).
Seorang ahli antropologi, Bohannan (Miller, 2008 : 120) mengklasifikasi bencana
menjadi dua kategori : 1). bencana yang bersifat fisik seperti banjir, gempa
bumi, 2). bencana sosial seperti perang dan kelaparan. Bohannan berargumentasi
bahwa bencana yang bersifat fisik berbeda dengan bencana
sosial karena tidak mengakibatkan perubahan sistem kebudayaan. Bencana
yang bersifat fisik mengganggu kehidupan namun tidak menghancurkan sistem nilai
dan menciptakan kebudayaan dan aturan baru sebagaimana akibat yang ditimbulkan
oleh bencana sosial. Suatu bencana sosial terjadi ketika sistem sosial dan
infrastruktur umum yang telah dirancang sebagai pendukung gagal memenuhi
harapan masyarakat.
Bencana dalam pandangan Irwan Abdullah (2006 : 142) sebenarnya bukanlah
barang baru karena ia telah muncul sejak puluhan ribu tahun yang lalu di
berbagai tempat dalam berbagai bentuknya. Bencana bukan suatu peristiwa yang
tiba-tiba dan tak terelakkan, tetapi menjadi bagian yang integral dari
kehidupan rutin dan normal yang tanda-tandanya sudah dapat dikenali dan dapat
diprediksi, meskipun dapat saja terjadi “unexamined normality” atas
ketidakmampuan manusia dan sistem didalam mengantisipasi suatu bencana
(Abdullah, 2006 : 14). Oleh karenanya suatu bencana tidak harus mengganggu
stabilitas, menyebabkan ketidakpastian, kekacauan, atau runtuhnya sistem sosial
budaya, merusak kemampuan adaptasi masyarakat, serta membahayakan sistem
pandangan dunia. Bencana bahkan merupakan “peluang” bagi perbaikan dan penataan hidup secara
mendasar. Di satu sisi suatu peristiwa alam menyebabkan trauma, luka,
cacat, ataupun kematian; di sisi lain ia memberikan kesempatan bagi perubahan
kehidupan manusia dalam berbagai aspek.
Keterkaitan antara pariwisata dan bencana merupakan satu hal yang negatif.
Pariwisata seringkali diasosiasikan dengan kesenangan, dan wisatawan melihat
keamanan dan kenyamanan sebagai satu hal yang esensial dalam berwisata.
Bencana merupakan salah satu faktor yang sangat rentan mempengaruhi naik
turunnya permintaan dalam industri pariwisata. Penurunan jumlah wisatawan
sebagai akibat terjadinya tsunami tanggal 24 Desember 2004 dirasakan di
beberapa kawasan wisata seperti di Phuket Thailand, di Langkawi Malaysia,
China, Aceh Indonesia, dan Srilanka. Erupsi Gunung Merapi yang baru saja
terjadi di tahun 2010, telah mengakibatkan penurunan jumlah kunjungan wisatawan
di beberapa obyek wisata di Sleman dan Jawa Tengah mencapai hampir 50
persen. Namun tidak ada yang tidak mungkin dalam pariwisata, karena bisa
saja tempat terjadinya bencana kemudian diekspos menjadi daya tarik
wisata yang eksotis. DeMond Shondell Miller (2008) menyebut wisata
bencana menyajikan kemiskinan dan kesempatan untuk merasakan kesusahan
yang diderita oleh orang lain. Wisatawan puas mengunjungi tempat-tempat dengan
impak emosi yang tinggi karena berhubungan dengan kematian, bencana dan
kekejaman. Komoditisasi tempat dan peristiwa tersebut tidak dikaitkan dengan
sesuatu yang bersifat mistik atau ekologis tetapi lebih merupakan cara untuk
mendekatkan wisatawan pada realita dan mendapatkan pengalaman yang nyata.
Pertanyaan yang muncul kemudian “Apakah bencana merupakan ancaman bagi
pariwisata?”. Banyak perdebatan tentang pariwisata pasca bencana. Selama ini
bencana dianggap sebagai ancaman, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa
banyak orang tertarik untuk melihat dan menikmati dampak bencana. Sebut saja
wajah lereng Merapi dan sebagian Kaliurang yang rusak akibat erupsi justru
semakin menarik minat banyak orang untuk berkunjung. Pasca erupsi Merapi 2010,
kawasan yang terimbas aktivitas Merapi seperti di dusun Bronggang, Ngancar,
Glagah, Malang, Kepuh dan Kinahrejo merupakan tempat yang padat dikunjungi
wisatawan. Tempat yang sebenarnya menyisakan tak lebih hamparan lautan pasir,
bongkahan batu, puing bangunan, serta jejak vegetasi terbakar justru menjadi
“point of interest” yang menarik orang untuk datang berkunjung. Terlebih
eksploitasi alam ini dibarengi dengan sentuhan lain seperti kisah, mitos, dan
sejarah terjadinya letusan serta pengalaman langsung warga yang mengalami
peristiwa letusan Gunung Merapi tahun 2010. Kendati sederhana, kemasan semacam
itu bisa menjadi wajah baru wisata lereng Merapi selain menjual hawa dinginnya.
Namun demikian ada hal-hal yang tetap harus diperhatikan ketika menyuguhkan
wisata bencana terutama sistem mitigasi bencana untuk menjamin keselamatan
wisatawan dan orang-orang yang berada di kawasan wisata tersebut. Masa
pemulihan (recovery) setidaknya tidak hanya dipenuhi dengan kegiatan
pembangunan kembali tetapi juga menciptakan kondisi pra bencana untuk sedini
mungkin mengantisipasi jika terjadi bencana. Sehingga bencana tidak menjadi
ancaman lagi bagi pariwisata, tetapi bisa menjadi peluang. Hal ini menunjukkan
bahwa pariwista merupakan sector yang paling adaptif terhadap segala situasi
baik peristiwa ekonimi atau peristiwa alam.
Dalam
beberapa tahun terakhir, Indonesia sering mengalami bencana. Baik itu bencana alam
ataupun bencana yang disebabkan oleh manusia seperti banjir, gunung
meletus, pengeboman, bahkan tsunami. Hal ini berdampak negative bagi pariwisata
di Indonesia karena jumlah wisatawan yang berkunjung akan berkurang. Jumlah
wisatawan yang berkurang dapat mengakibatkan perekonomian di sekitar kawasan
wisata itu sepi sehingga mata pencaharian orang-orang disekitarnya lumpuh.
Salah satu contohnya adalah saat gunung merapi meletus, abu vulkaniknya bahkan
sampai ke kawasan candi Borobudur. Walaupun penelitian mengungkapkan bahwa debu
ini tidak berbahaya bagi candi, namun berdampak sepinya kawasan wisata ini.
Kasus
bencana yang disebabkan oleh manusia contohnya pengeboman di Bali yang terjadi
pada tahun 2002. Dalam peristiwa ini banyak turis asing yang menjadi korban.
Bahkan sejumlah Negara melarang warganya pergi ke Indonesia karena dianggap
tidak aman. Tentunya ini mengakibatkan turunnya pendapatan Negara dari
wisatawan asing.
Dampak
pada situs pariwisata akibat bencana yaitu kerusakan atau musnahnya bangunan
monumental yang sangat berharga sebagai sumber dan bukti sejarah. Orang-orang
yang menjadi korban banyak kehilangan harta benda bahkan nyawa. Hal ini menjadi
trauma tersendiri bagi korban ataupun wisatawan. Mereka cenderung
mengesampingkan kebutuhan untuk pariwisata.
Upaya
yang dapat dilakukan pemerintah untuk menaikkan kembali citra Indonesia dimata
dunia sebagai Negara yang aman dengan keindahan alam yang menakjubkan dapat
dilakukan dengan cara :
1. meningkatkan
promosi dan layanan objek wisata. Contohnya membuat iklan yang ditayangkan di
media elektronik dan media cetak.
2. Mengundang
wartawan asing untuk meliput kawasan wisata.
3. Manambah
perwakilan biro perjalanan diluar negeri dengan promo-promo yang menarik.
4. Mempermudah
akses ke daerah tujuan wisata, misalnya memperbaiki jalan dan membuka
penerbangan tersendiri khusus menuju daerah tujuan wisata.
DAFTAR
PUSTAKA
M. Rama Mulyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar