Minggu, 03 Januari 2016

TUGAS 2 - SOLUSI UNJ UNTUK PARIWISATA INDONESIA

DAMPAK BENCANA ALAM TERHADAP SEKTOR PARIWISATA INDONESIA
Pada kesempatan kali ini saya Muhammad Rama Mulyana akan membahas dampak bencana alam terhadap sector pariwisata Indonesia,serta memberi solusi dari dampak bencana tersebut,sehingga sektor pariwisata dapat bangkit kembali.
Pariwisata merupakan industri yang rentan terhadap berbagai peristiwa bencana. Ia bisa menjadi “yang terdampak” dari kemunculan bencana atau memicu kemunculan bencana itu sendiri.
Selain karena pengaruh multi-sektoral yang meliputi bidang penting kehidupan, industri pariwisata perlu mendapat perhatian atas manajemen risiko bencana (dan krisis) sebab melibatkan pergerakan dan jalinan yang luas secara internasional, khususnya terkait manusia sebagai wisatawan, masyarakat lokal, maupun pengelola destinasi - baik pemerintah atau sektor swasta.
Desakan manajemen risiko terhadap bencana dapat dilihat sebagai penggerak keberlangsungan ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan. Kehadiran pariwisata tak bisa disangkal telah turut ambil bagian dalam aspek konservasi alam dan budaya. Pariwisata dapat memicu bencana ketika suatu destinasi tidak mempertimbangkan aspek daya tampung misalnya. Tetapi pariwisata pun dapat memberikan dukungan, misalnya upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian Candi Borobudur ketika terjadi letusan Gunung Merapi. Kehadiran wisatawan dan industri pariwisata kemudian memberikan kontribusi besar, seperti kesempatan lapangan kerja, pembiayaan infrastruktur, dan kampanye-advokasi. Seperti kawasan Borobudur dan sekitarnya yang memiliki ketergantungan besar pada industri pariwisata, berusaha keras melindungi stupa serta melakukan upaya pembersihan candi yang tentu memakan biaya tidak sedikit, hingga setelah bencana letusan gunung berapi, kondisi ekonomi di awasan Merapi dan Borobudur kemudian pulih dengan dukungan wisatawan. Namun di sisi lain, perlu juga diakui bahwa kehadiran wisatawan atau komersialisasi terhadap suatu lokasi pernah mencapai titik alarm yang menimbulkan kerusakan akibat kehadiran wisatawan secara massal. Maka, diperlukan suatu perencanaan khusus dalam melihat karakter tersebut bahwa keterkaitan industri pariwisata dengan bencana, dapat menjadikannya sebagai industri yang sangat rapuh (vulnerable), di waktu yang bersamaan juga industri yang tangguh (resilient).
Pendekatan PRB Terhadap Destinasi
Pendekatan pengurangan risiko bencana (PRB) dalam pengelolaan bencana diperlukan karena bencana bisa terjadi kapan pun di mana pun. Sementara pariwisata akan menjadi industri yang rentan terhadap dampak bencana, sehingga untuk meminimalkan dampak, diperlukan suatu perencanaan dan pengembangan terhadap pendekatan tersebut. Secara terminologi, “risiko” dapat diterjemahkan sebagai kemungkinan terhadap kerugian atau keburukan yang timbul di waktu yang akan datang dan bersifat tidak pasti. Dalam kerangka disaster risk management, risiko didefinisikan sebagai probabilitas dari konsekuensi bahaya atau kemungkinan kehilangan atau kerugian akibat terjadinya bencana dan/atau krisis. United Nations Environment Programme merumuskannya dengan “risiko = (Probabilitas Bencana x Kerentanan) / Kapasitas.” Artinya, untuk mengurangi risiko, dibutuhkan kapasitas yang besar untuk merespon risiko serendah mungkin, maka diperlukan pendekatan yang menurunkan kerentanan (decreasing vulnerability) dan meningkatkan kapasitas (increasing capacity). Kapasitas di sini adalah mengenai besaran pengetahuan dan kesadaran manusia yang menjadi perihal paling krusial dan mendasar untuk pengurangan risiko bencana.
Bencana dapat berupa apa saja yang tak mampu ditangani oleh masyarakat, mulai dari bencana alam hingga bencana sosial atau kecelakaan/penyalahgunaan teknologi. Bencana memiliki potensi untuk dampak jangka panjang dan mengancam kehidupan manusia serta bisnis, termasuk di dalamnya adalah infrastruktur, pelayanan, transportasi, akomodasi, dan elemen pariwisata lainnya. Manajemen risiko bencana dan krisis adalah suatu proses atau sistem yang terintegrasi (multi-sektor dan stakeholders) guna meminimalkan kerugian/kehilangan dan memaksimalkan peluang dari kemunculan bencana dan krisis yang mempengaruhi industri pariwisata secara langsung maupun tak langsung. Proses atau sistem yang menjadi penekanan yaitu terhadap aspek keorganisasian dan manusia (pengelola, masyarakat lokal, dan wisatawan).
Inisiatif pariwisata untuk menerapkan manajemen bencana dan perspektif PRB terhadap suatu destinasi, kini menjadi lebih besar lagi seiring dengan kian tingginya peluang terjadinya bencana, mulai dari akibat peningkatan mobilitas/kedatangan wisatawan sampai pada besarnya tingkat kerusakan lingkungan karena fenomena perubahan iklim (pemanasan global). Tak cukup hanya dengan menjadikannya sebagai industri yang berkelanjutan, melainkan bagaimana membuat industri pariwisata di suatu destinasi menjadi tangguh. Apalagi, biasanya atraksi yang unik dan menarik wisatawan justru berada di area dengan risiko bencana yang besar, seperti kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, gunung berapi, dan dataran tinggi.
Untuk menggali potensi ekonomi di area rentan, pariwisata harus memiliki kemampuan adaptasi dan mitigasi (better prepared and response) agar tidak membahayakan masyarakat maupun wisatawan serta menimbulkan kerusakan permanen. Sebisa mungkin, pariwisata mampu memberikan peluang terhadap kontrol bagi manusia yang berkehidupan di dalamnya serta keberlangsungan keunikan itu sendiri, baik alam atau sejarah-budaya.
Secara khusus, wisatawan merupakan objek yang paling berisiko terhadap peristiwa bencana, terutama wisatawan asing. Kita tentu sering mendengar peristiwa penangkapan atau penyanderaan wisatawan oleh kelompok separatis bersenjata maupun teroris, bahkan di daerah yang dianggap aman sekali pun. Sebagai target, wisatawan asing dapat digunakan untuk mendesak kelompok musuh atau menekan negara asal wisatawan melalui ancaman hubungan diplomatik antar-negara serta exposure media massa yang besar. Wisatawan asing begitu mudah menjadi sasaran karena adanya keterkaitan dengan isu internasional dan juga wisatawan itu sendiri yang cenderung memiliki informasi terbatas tentang kondisi dan situasi di mana mereka berada. Sebagai contoh kasus Bom Bali atau bencana pada destinasi wisata di mana wisatawan asing banyak menjadi korban.
Fase terhadap manajemen risiko bencana dan krisis, terdiri dari fase pra-bencana, saat bencana, dan paska-bencana. Pada tahap awal, yang sangat mendasar untuk dilakukan, adalah melakukan pengumpulan informasi (database) berupa pengelompokkan risiko bencana yang mungkin terjadi dengan kondisi alam di suatu destinasi (kerentanan alam) dan sejauh mana tingkat kerentanannya pada masyarakat yang hidup di sana. Keduanya akan dihubungkan dengan ketergantungan/jalinan dengan berbagai aktivitas pariwisata, sehingga berbagai risiko bisa mulai dianalisa. Masih pada tahapan ini, perlu dilakukan peningakatan kapasitas, khususnya bagi masyarakat lokal dan staf pengelola, sebelum destinasi dikembangkan. Peningkatan kapasitas (pengetahuan dan kesadaran) yang sebelumnya telah disinggung, artinya berkaitan dengan kualitas hidup masyarakat. Banyak kasus membuktikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di suatu destinasi, berbanding positif dengan tingkat kesiapsiagaan.(UNEP, 2008) Dengan adanya upaya pembangunan manusia bersamaan dengan pengembangan infrastruktur mitigasi, maka dapat menguatkan daya adaptasi suatu destinasi.
Dengan adanya informasi dan partisipasi, perencanaan terhadap manajemen bencana bisa diformulasikan. Strategi tidak terbatas pada mekanisme perencanaan penanganan bencana yang terdiri dari strategi analisa, arahan dan pilihan, implementasi dan kontrol, serta evaluasi dan feedback, (Mistilis dan Sheldon, 2005) melainkan juga strategi komunikasi (untuk menghindari terjadinya krisis komunikasi yang biasa terjadi saat muncul bencana) dan keorganisasian. Strategi keorganisasian berarti bagaimana kemudian manajemen bencana dapat diserap dan bersinergi dengan berbagai pihak. Pada destinasi tertentu, pengelola bahkan mendedikasikan divisi khusus yang menangani bencana sekaligus relasi dengan masyarakat dan pihak terkait. Jika tidak memungkinkan untuk pembentukkan divisi khusus, dapat dilakukan dengan melakukan konsensus dan pembentukkan local working group(kelompok siaga bencana). Mengenai pendekatan, akan lebih baik untuk menyerap pula kearifan (substansi bermuatan lokal) agar mengurangi resistensi dan mudah bersinergi, seperti bagaimana masyarakat lokal memiliki berbagai tradisi membaca tanda-tanda alam atau melakukan ritual/upacara tertentu sebagai bagian dari budaya dan tradisi, selain tentu saja ditunjang dengan aspek teknologi mitigasi yang terpantau dan ter-update dengan baik. Tahapan awal ini akan mampu mendorong tingkat pengetahuan, kesadaran, dan kesiapsiagaan destinasi menghadapi bencana dan krisis.
Upaya persiapan menghadapi bencana tidak cukup dengan sekedar memberikan rambu-rambu atau papan informasi. Rencana dan sistem evakuasi bencana yang sudah dibuat perlu diuji coba (strategi implementasi). Akan lebih baik lagi jika bisa melibatkan wisatawan dengan komunikasi yang baik agar mereka tidak terganggu dan malah merasa aman. Sehingga ketika bencana terjadi, maka seluruh aksi akan terjadi di mana pengambilan keputusan dilakukan secara cepat dan tepat pada keadaan darurat, termasuk perihal komunikasi yang memasuki masa krisis.
Setelah bencana dan krisis usai, tahapan paska-bencana memasuki masa recovery (penyembuhan/pemulihan), restorasi, dan rekonstruksi. Fokus kepada masyarakat, wisatawan, dan staf pengelola adalah yang terpenting, baru setelahnya fisik/material (aspek konservasi alam dan situs sejarah-budaya). Pada fase ini mereka yang menjadi korban perlu bertahan dan disembuhkan secara emosional dan fisik, tetapi setelahnya mereka akan kembali menjadi pelaku utama yang akan membangun suatu destinasi. Proses monitoring dan evaluasi terhadap bencana akan membuat seluruh perencanaan manajemen risiko bersifat fleksibel, maksudnya kemungkinan untuk berubah (revisi) mengikuti perubahan ruang dan waktu (adaptif). Pengelolaan bencana dan pendekatan PRB mensyaratkan keterlibatan berbagai pihak untuk setiap prosesnya.
Bencana sebagaimana diulas dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2007 merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia (Sabir, 2011 : 3). Seorang ahli antropologi, Bohannan (Miller, 2008 : 120) mengklasifikasi bencana menjadi dua kategori : 1). bencana yang bersifat fisik seperti banjir, gempa bumi, 2). bencana sosial seperti perang dan kelaparan. Bohannan berargumentasi bahwa bencana yang bersifat fisik berbeda dengan bencana sosial karena tidak mengakibatkan perubahan  sistem kebudayaan. Bencana yang bersifat fisik mengganggu kehidupan namun tidak menghancurkan sistem nilai dan menciptakan kebudayaan dan aturan baru sebagaimana akibat yang ditimbulkan oleh bencana sosial. Suatu bencana sosial terjadi ketika sistem sosial dan infrastruktur umum yang telah dirancang sebagai pendukung gagal memenuhi harapan masyarakat.
                Bencana dalam pandangan Irwan Abdullah (2006 : 142)  sebenarnya bukanlah barang baru karena ia telah muncul sejak puluhan ribu tahun yang lalu di berbagai tempat dalam berbagai bentuknya. Bencana bukan suatu peristiwa yang tiba-tiba dan tak terelakkan, tetapi menjadi bagian yang integral dari kehidupan rutin dan normal yang tanda-tandanya sudah dapat dikenali dan dapat diprediksi, meskipun dapat saja terjadi “unexamined normality” atas ketidakmampuan manusia dan sistem  didalam mengantisipasi suatu bencana (Abdullah, 2006 : 14). Oleh karenanya suatu bencana tidak harus mengganggu stabilitas, menyebabkan ketidakpastian, kekacauan, atau runtuhnya sistem sosial budaya, merusak kemampuan adaptasi masyarakat, serta membahayakan sistem pandangan dunia. Bencana bahkan merupakan “peluang” bagi perbaikan dan penataan hidup secara mendasar.  Di satu sisi suatu peristiwa alam menyebabkan trauma, luka, cacat, ataupun kematian; di sisi lain ia memberikan kesempatan bagi perubahan kehidupan manusia dalam berbagai aspek.
                Keterkaitan antara pariwisata dan bencana merupakan satu hal yang negatif. Pariwisata seringkali diasosiasikan dengan kesenangan, dan wisatawan melihat keamanan dan kenyamanan sebagai satu hal yang esensial dalam berwisata.  Bencana merupakan salah satu faktor yang sangat rentan mempengaruhi naik turunnya permintaan dalam industri pariwisata. Penurunan jumlah wisatawan sebagai akibat terjadinya tsunami tanggal 24 Desember 2004 dirasakan di beberapa kawasan wisata seperti di Phuket Thailand, di Langkawi Malaysia, China, Aceh Indonesia, dan Srilanka.  Erupsi Gunung Merapi yang baru saja terjadi di tahun 2010, telah mengakibatkan penurunan jumlah kunjungan wisatawan di beberapa obyek wisata di Sleman dan Jawa Tengah mencapai hampir 50 persen.  Namun tidak ada yang tidak mungkin dalam pariwisata, karena bisa saja  tempat terjadinya bencana kemudian diekspos menjadi daya tarik wisata yang eksotis. DeMond Shondell Miller (2008) menyebut wisata bencana  menyajikan kemiskinan dan kesempatan untuk merasakan kesusahan yang diderita oleh orang lain. Wisatawan puas mengunjungi tempat-tempat dengan impak emosi yang tinggi karena berhubungan  dengan kematian, bencana dan kekejaman. Komoditisasi tempat dan peristiwa tersebut tidak dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat mistik atau ekologis tetapi lebih merupakan cara untuk mendekatkan wisatawan pada realita dan mendapatkan pengalaman yang nyata.
                Pertanyaan yang muncul kemudian “Apakah bencana merupakan ancaman bagi pariwisata?”. Banyak perdebatan tentang pariwisata pasca bencana. Selama ini bencana dianggap sebagai ancaman, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak orang tertarik untuk melihat dan menikmati dampak bencana. Sebut saja wajah lereng Merapi dan sebagian Kaliurang yang rusak akibat erupsi justru semakin menarik minat banyak orang untuk berkunjung. Pasca erupsi Merapi 2010, kawasan yang terimbas aktivitas Merapi seperti di dusun Bronggang, Ngancar, Glagah, Malang, Kepuh dan Kinahrejo merupakan tempat yang padat dikunjungi wisatawan. Tempat yang sebenarnya menyisakan tak lebih hamparan lautan pasir, bongkahan batu, puing bangunan, serta jejak vegetasi terbakar justru menjadi “point of interest” yang menarik orang untuk datang berkunjung. Terlebih eksploitasi alam ini dibarengi dengan sentuhan lain seperti kisah, mitos, dan sejarah terjadinya letusan serta pengalaman langsung warga yang mengalami peristiwa letusan Gunung Merapi tahun 2010. Kendati sederhana, kemasan semacam itu bisa menjadi wajah baru wisata lereng Merapi selain menjual hawa dinginnya.
                Namun demikian ada hal-hal yang tetap harus diperhatikan ketika menyuguhkan wisata bencana terutama sistem mitigasi bencana untuk menjamin keselamatan wisatawan dan orang-orang yang berada di kawasan wisata tersebut.  Masa pemulihan (recovery) setidaknya tidak hanya dipenuhi dengan kegiatan pembangunan kembali tetapi juga menciptakan kondisi pra bencana untuk sedini mungkin mengantisipasi jika terjadi bencana. Sehingga bencana tidak menjadi ancaman lagi bagi pariwisata, tetapi bisa menjadi peluang.  Hal ini menunjukkan bahwa pariwista merupakan sector yang paling adaptif terhadap segala situasi baik peristiwa ekonimi atau peristiwa alam.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia sering mengalami bencana. Baik itu bencana alam ataupun bencana yang disebabkan oleh manusia seperti  banjir, gunung meletus, pengeboman, bahkan tsunami. Hal ini berdampak negative bagi pariwisata di Indonesia karena jumlah wisatawan yang berkunjung akan berkurang. Jumlah wisatawan yang berkurang dapat mengakibatkan perekonomian di sekitar kawasan wisata itu sepi sehingga mata pencaharian orang-orang disekitarnya lumpuh. Salah satu contohnya adalah saat gunung merapi meletus, abu vulkaniknya bahkan sampai ke kawasan candi Borobudur. Walaupun penelitian mengungkapkan bahwa debu ini tidak berbahaya bagi candi, namun berdampak sepinya kawasan wisata ini.
Kasus bencana yang disebabkan oleh manusia contohnya pengeboman di Bali yang terjadi pada tahun 2002. Dalam peristiwa ini banyak turis asing yang menjadi korban. Bahkan sejumlah Negara melarang warganya pergi ke Indonesia karena dianggap tidak aman. Tentunya ini mengakibatkan turunnya pendapatan Negara dari wisatawan asing.
Dampak pada situs pariwisata akibat bencana yaitu kerusakan atau musnahnya bangunan monumental yang sangat berharga sebagai sumber dan bukti sejarah. Orang-orang yang menjadi korban banyak kehilangan harta benda bahkan nyawa. Hal ini menjadi trauma tersendiri bagi korban ataupun wisatawan. Mereka cenderung mengesampingkan kebutuhan untuk pariwisata.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menaikkan kembali citra Indonesia dimata dunia sebagai Negara yang aman dengan keindahan alam yang menakjubkan dapat dilakukan dengan cara :
1.       meningkatkan promosi dan layanan objek wisata. Contohnya membuat iklan yang ditayangkan di media elektronik dan media cetak.
2.       Mengundang wartawan asing untuk meliput kawasan wisata.
3.       Manambah perwakilan biro perjalanan diluar negeri dengan promo-promo yang menarik.
4.       Mempermudah akses  ke daerah tujuan wisata, misalnya memperbaiki jalan dan membuka penerbangan tersendiri khusus menuju daerah tujuan wisata.

DAFTAR PUSTAKA

M. Rama Mulyana
 UJP 2015 B


Tidak ada komentar:

Posting Komentar