NAMA
: DWI RIZKIANTI SAKINAH
KELAS
: A ( UJP 2015)
NIM
: 4423154901
TUGAS
3 : FOKLORE TENTANG PANTAI KETAWANG
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana.Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam
profesi keguruan.
Harapan saya semoga makalah ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya
dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih
baik.
Makalah ini saya akui masih banyak
kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang.Oleh kerena itu
saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Pantai Ketawang terletak di desa
Ketawang, Kecamatan Grabag + 18 km dari Purworejo ini merupakan pantai
tradisional yang sangat indah dengan deburan ombak laut Selatan. Seperti Ciri
khas pantai Pantai Di selatan, pantai Ketawang ini juga memiliki ombak yang
sangat besar, bisa mencapai ketingian 3 meter.Pantai ketawang ini memiliki
bibir pantai yang sangat luas, dengan hamparan pasirnya yang lembut.
Pantai yang berada di sebelah selatan
Kota Kutoarjo ini sangat ramai dikunjungi wisatawan pada saat hari raya idul
fitri, hal ini sudah menjadi tradisi bagi para penduduk di Kabupaten Purworejo
dan sekitarnya.
Terletak di wilayah kecamatan Grabag,
Kabupaten Purworejo.Pintu masuk dari Desa Ketawang, namun wilayah pantai
meliputi garis pantai sepanjang kurang lebih 3 km sampai pantai Pasir Puncu.
Dapat di tempuh dari Kutoarjo 12 km, bisa juga dari arah Jogja dan Kebumen
lewat jalur selatan.Merupakan wilayah pantai pasir hitam dengan ombak dan angin
yang besar. Tiap Idul Fitri, tempat ini dikunjungi banyak wisatawan lokal, baik
dari wilayah Grabag sendiri maupun dari wilayah yang iaju, seperti Bruno,
Winong, Kemiri. Pantai ini ramai karena ada semacam adat, kalau Lebaran, ada
namanya "riyayan", lamanya satu pekan.Pada hari kedelapan dinamakan
syawalan, hari penutup wisata.
Selama 8 hari itu biasanya orang-orang
menggunakannya untuk berwisata pantai bersama keluarga, bagi yang muda-muda,
untuk cari kenalan.Sebenarnya tempat ini biasa saja, masih butuh banyak
penataan untuk dijadikan sebagai tempat wisata modern. Tempat yang panas dan
tidak adanya peneduh menjadi salah satu ketidaknyamanan, namun hembusan angin
pantai yang keras meringankan panasnya matahari.Tak perlu repot membawa
makanan, aneka warung menjual kupat tahu, mie ayam, bakso, sate, atau rames
berjajar sepanjang pantai. Juga aneka minuman seperti dawet, es buah, atau
teh.Pantai Pasir PuncuTerletak sekitar 2.5 km dari pantai Ketawang.Bisa dituju
dengan jalan kaki menyusuri pantai. Bisa juga dengan mobil atau motor, melewati
pinggiran 'hutan' bekas galian penambangan pasir besi.Objek yang menarik,
pantai terletak di muara sungai awu-awu, ada bekas dermaga buatan Belanda yang
tak lagi digunakan. Dari dermaga ini kita akan menyaksikan ombak yang besar
menabrak batu, mengakibatkan air naik ke udara. Di sisni juga tempat yang cocok
buat memancing.Pantai Keburuhanterletak di Desa Keburuhan, Kecamatan Ngombol.Letaknya
berseberangan dengan Pantai Pasir Puncu yang ada di Kecamatan Grabag. Untuk ke
sana bisa menyeberang dengan perahu dari pantai pasir puncu, atau naik mobil
dan motor, kendaraan sudah bisa ke pantai.Pantai Siledok/ genjikberada di muara
sungai rowo yang merupakan perbatasan kabupaten purworejo dengan kabupaten
kebumen. Kalau Pasir puncu di batas timur kecamatan grabag, Siledok di batas
barat kecamatan grabag, juga batas barat Kabupaten purworejo.Objek berupa
pantai pasir hitam, bangunan pengarah arus sungai (jeti).cocok buat
memancing.Aiar payau.Untuk ke silakan susuri jalan daendels dari ketawang
seitar 8 km, sebelum ketemu jembatan, ada jalan masuk.
tari bedhaya amat disakralkan dan
hanya digelar dalam setahun sekali. Konon di dalamnya sang Ratu Kidul ikut
menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus dinasti Mataram.Perbendaharaan
beksan (tarian) tradisi keraton Surakarta Hadiningrat terdiri dari berbagai
ragam. Dilihat dari fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam.Yaitu tari
yang punya sifat magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang
mengandung cerita (drama).
Masing-masing tari tercipta karena ada
sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu.Berbagai macam jenis tari
yang diciptakan oleh pengramu keraton bukan asal buat, melainkan dipadu dengan
masukan dari kalangan lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga
keraton.Sehingga ada muatan mistis dan gaib.
Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 orang, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi.
Asal-usul Tari Bedhaya Ketawang
Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 orang, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi.
Asal-usul Tari Bedhaya Ketawang
Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang
hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja.Dalam perkembangan selanjutnya, karena
tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat
sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang.
Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan)
Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.
Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan)
Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.
Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya
Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih simpang siur.
Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan.Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari.Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan.Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari.Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari
Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu
Panembahan Senapati).Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian
ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram
bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan.Ceritanya, ketika
Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah
gending.Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang
disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya
itu.Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan
kemudian dinamakan tari.
HANYA Ketawang.KERATON Yogyakarta geger. Kabarnya,
Sultan Yogyakarta yang akan datang takkan lagi diemban seorang sultan pria.
Selasa (5/5/2015) yang lalu, Sultan Hamengkubuwono X bersabda tentang penetapan
nama baru bagi putri pertama Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, menjadi
Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.
Masalah pun timbul.Sebab, jika benar
penerus Sultan Hamengkubuwono X adalah perempuan, bagaimana dengan ritual
penobatan yang konon harus pula menjadi suami Ratu Pantai Selatan atau lebih
dikenal dengan Nyai Roro Kidul?Siapa sebenarnya Nyai Roro Kidul?Ada beberapa
versi. Robert Wessing dalam “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro
Kidul,” Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, menyatakan bahwa Ratu
Kidul ini mulanya adalah putri dari Kerajaan Galuh, sekira abad 13. Ada pula
versi yang menyebut dia adalah keturunan penguasa Pajajaran.Kemudian ada yang
mengatakan dia keturunan Raja Airlangga dari Kahuripan, bahkan masih ada yang
mengaitkannya dengan Raja Kediri Jayabaya.
Dikisahkan, Ratu Ayu dari Galuh
melahirkan seorang bayi perempuan. Keanehan muncul, bayi perempuan itu bisa
bicara dan mengatakan bahwa dia adalah penguasa semua lelembut di tanah
Jawa dan akan berdiam di Pantai Selatan. Bersamaan itu pula, roh Raja Sindhula
dari Galuh pun muncul dan bersabda bahwa cucunya tersebut tak akan bersuami
untuk menjaga kesucian dirinya, dan jika bersuami pun kelak adalah hanya bisa
dikawini oleh raja-raja Islam di Jawa.
Ratu Pantai Selatan ini menunggu
suaminya hingga dua abad lamanya. Panembahan Senapati, yang memerintah Mataram
Islam 1585-1601, pergi ke Pantai Selatan untuk bersemedi memohon petunjuk untuk
memenangkan peperangan melawan Sultan Pajang di Prambanan. Konon ketekunannya
membuat Laut Selatan bergolak. Istana ratu Pantai Selatan yang berada
didasarnya porak poranda karena kekuatan doa Panembahan Senapati.Ratu Kidul pun
keluar sarang, muncul di permukaan lautan.Dia tertegun melihat seorang pemuda
gagah tengah bersemedi.Dia langsung jatuh hati dan bersimpuh di kaki Panembahan
Senapati. Setelah bercinta tiga hari tiga malam di istana bawah Laut Selatan,
ratu Pantai Selatan pun berjanji akan membantu Senapati memenangkan peperangan.
Senapati pun bergegas menuju palagan
Prambanan dengan dibantu pasukan arwah dari Pantai Selatan.Panembahan Senapati
menang gemilang.Cucu panembahan senapati, Sultan Agung yang memerintah
1613-1646, membuat tarian bedhaya yang mengisahkan balada cinta kakeknya
dengan Ratu Kidul. Saat terjadi palihan nagari 1755, tulis Nancy K.
Florida dalam “The Badhaya Katawang: A Translation of the Song of Kangjeng Ratu
Kidul,” Indonesia Nomor 53 tahun 1992, keraton Yogyakarta mendapat bagian
bedhaya semang dan keraton Surakarta bedhaya ketawang. Tarian ini
menjadi sakral dan wajib saat upacara penobatan raja baru.
Dalam pidato penerimaan penghargaan
Ramon Magsaysay 1988, sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa cerita
Ratu Laut Kidul itu hanya mitos belaka. Dalam pidato tertulisnya yang berjudul Sastra,
Sensor dan Negara: Seberapa Jauh Bahaya Bacaan?Pram menjelaskan para
pujangga istana Mataram menciptakan mitos Nyi Roro Kidul sebagai kompensasi
kekalahan Sultan Agung saat menyerang Batavia, sekaligus gagal menguasai jalur
perdagangan di Pantai Utara Jawa. (Baca: Serangan Mataram ke Batavia dan Asal
Usul Jakarta Kota Tinja)“Untuk
menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyai Roro
Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan
(Samudera Hindia). Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain: bahwa setiap
raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut,” tulis Pram.
Pram juga mengatakan bahwa mitos tabu
menggunakan pakaian berwarna hijau di wilayah Pantai Selatan karena pujangga
istana Mataram ingin memutuskan asosiasi orang pada warna pakaian tentara
Kompeni yang juga berwarna hijau.Hubungan Sultan Yogyakarta dengan Nyai Roro
Kidul, dalam tulisan Nancy K. Florida, pernah renggang pada saat meninggalnya
Sultan Hamengkubuwono IX, akhir tahun 1988. Namun, saat penobatan Sultan
Hamengkubuwono X, dengan melihat histeria massa dalam penobatannya, konon
dukungan dan hubungan dengan Nyai Roro Kidul baik-baik saja.
Kini mengemuka wacana bahwa Sultan
Hamengkubuwono X akan digantikan oleh anak perempuannya. Dan kedudukan sultan
yang selama berabad-abad diemban oleh lelaki (putra mahkota) kemungkinan besar
akan beralih kepada seorang ratu (putri mahkota). Dengan demikian, hubungannya
dengan Nyi Roro Kidul pun sepertinya harus didefinisi ulang.
Setiap tanggal 5 Oktober diperingati
sebagai Hari Jadi Purworejo.Peringatan Hari Jadi ini berdasarkan Prasasti Boro
Tengah, dimana daerah Arahiwang yang berada di wilayah Bagelen ditetapkan
sebagai daerah Perdikan atau Sima oleh pemerintah Mataram Hindu. Tepatnya oleh
Dyah Sala, putra dari Rakyan Mahamantri I Hino Sri Daksotama Bahubajra
patipaksana, yaitu Putra Mahkota Prabu Dyah Balitung Raja Mataram Kuno.
Tahunnya adalah 823 Saka atau 901 Masehi tanggal 5 Oktober. Untuk memperingati
Hari Jadi Purworejo setiap tanggal 4 dilakukan prosesi mengenang kembali
penetapan Arahiwang menjadi Sima di desa Boro Wetan dan tanggal 5 Oktober
diadakan Kirab Tumpeng Ageng yang dipusatkan di Pendopo Kabupaten.
Tari dolalak merupakan tarian khas
daerah Purworejo.Tari ini merupakan percampuran antar budaya Jawa dan budaya
barat.Pada masa penjajahan Belanda, para serdadu Belanda sering menari-nari
dengan menggunakan seragam militernya dan diiringi dengan nyanyian yang berisi
sindiran sehingga merupakan pantun. Kata dolalak sebenarnya berasal dari notasi
Do La La yang merupakan bagian dari notasi do re mi fa so la si do yang
kemudian berkembang dalam logat Jawa menjadi Dolalak yang sampai sekarang ini
tarian ini menjadi Dolalak. Tarian ini pernah dipentaskan di Istana Negara.
Tarian Dolalak juga sering dipertunjukkan pada even-even hari nasional, hiburan
pada orang yang punya hajat atau menyambut tamu yang datang ke daerah Purworejo.



Hamparan wilayah yang subur di Jawa
Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala
merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh
karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai
wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan.
Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi :Pagelen dan
terakhir menjadi Bagelen.Di kawasan tersebut mengalir sungai yang
besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama “ Watukuro “
sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi
sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten
Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya hidup makmur dengan
mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang maju dengan kebudayaan yang
tinggi.
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari
ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan
Siva, atau tanggal 5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu
peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan
dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah
atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan di bawah pohon
Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan
Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D
78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom
Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu
Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah
diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan
menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah
Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa
yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan
dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan
(Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala
(Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.Pematokan tersebut
menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan
dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci
yang disebutkan sebagai “parahiyangan”.Atau para hyang berada. Dalam
peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di
wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala
Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara
Hiwang watak Watu Tihang …”Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga
meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain
sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan),
sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha”
dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud
adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan
suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat.
Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat
upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang
dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara
Hiwang.Upacara 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri
sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan
nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi,
Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji
Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut
diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan
perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994
dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan
Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal
dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan
pandangan Indonesia Sentris.Perlu dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah
Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang
sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah
tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh
Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari
timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan
Kabupatn Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram
Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang
kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat
bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga
nama Begelen sangat disegani Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang
dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di
Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan
Brengkelan.
Pada periode Karesidenan Begelen ini,
muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh
sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta.Hampir bersamaan dengan
itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor
Gereja Kristen Jawa (GKJ).Dalam perjalanan sejarah, akibat ikut campur
tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram,
maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan.Kasunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755
tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke Surakarta
dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya
sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai campur baur
seperti “rujak”.
Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX,
wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro
mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat.Pada Perang Diponegoro itu,
wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda
dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi
beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten
Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama.
Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk
wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka
panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan
digabungkan pada karesidenan kedu.Kota Purworejo yang semula Ibu Kota
Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia
belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar
dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten
kebumen.Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo,
ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut
Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo.Sedangkan kabupaten Ledok yang semula
bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya
Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal
sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian
dan militer.Tokoh-tokoh yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan
“Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy Wibowo
dan sebagainya.Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan,
militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal
sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam
maupun di luar negeri.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.tiket.com/attractions/indonesia/jawa-tengah/hotel-dekat-pantai-ketawang
Bedhttp://folkloresemarang.blogspot.co.id/2011/09/tari-bedhaya-amat-disakralkan-dan-hanya.html
http://www.purworejokab.go.id/profil-daerah/sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar