Mempertahankan pariwisata indonesia tanpa adanya reklamasi
Indonesia mempunyai banyak kekayaan alam yang tersebar dari
sabang sampai merauke, dan indonesia itu sangat kaya akan tempat-tempat wisata
yang menakjubkan dan mempunyai keunikan tersendiri di masing-masing tempat
wisata yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan pariwisata di Indonesia itu
menjadi urutan ketiga penghasilan paling besar untuk Indonesia, banyak sekali
wisatawan domestik untuk melepas penatnya itu dengan berwisata bersama
keluarga, teman, pacar, atau pun saudaranya, bukan hanya wisatawan domestik
tetapi, mancanegara juga sangat banyak yang berkunjung ke Indonesia untuk
berwisata. Tetapi orang Indonesia dan orang luar negeri yang berwisata hanya
tau beberapa destinasi wisata yang berada di Indonesia, karena minimnya promosi
dan aksesbilitas menuju ke tempat wisata tersebut. Siapa yang tak kenal dengan
pulau dewata bali salah satu destinasi wisata yang paling terkenal dan sangat
indah yang dimiliki indonesia. Di bali banyak sekali tujuan tempat wisata yang
menarik, memiliki pantai, gunung, kesenian, dan yang sangat terkenal. Sekarang
banyak sekali pengaruh dari luar yang terjadi pada tempat-tempat wisata seperti
hilangnya keaslian dari tempat wisata tersebut. Untuk itu dibutuhkan sebuah
solusi yang tepat untuk mengatasi hal seperti itu. Pemerintah daerah maupun
pusat seakan tak peduli dan tak mau tahu masalah seperti itu padahal hal itu
menyangkut harga diri dan identitas bangsa Indonesia yang memiliki banyak
budaya dan pesona wisatanya yang indah termasuk Pulau Dewata ini. Siapa
yang tak kenal pulau Dewata Bali ini, banyak wisatawan yang datang untuk
memanjakan diri disini, dari mulai pantai kuta yang terkenal sunsetnya, sanur
yang terkenal sunrisenya, tanah lot, kintamani yang sejuk udaranya, joger dan
sukowati yang banyak cenderamata, jadi bali itu sangat terkenal. Pada saat ini
terdapat masalah pariwisata di Indonesia salah satunya ada di pulau dewata bali
yaitu tentang reklamasi teluk benoa Bali. Definisi ReklamasiReklamasi
adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat
sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU No 27 Thn 2007). Sesuai dengan
definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan kawasan berair yang rusak
atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru tersebut,
biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis dan
pertokoan, pertanian, serta objek wisata. Dalam perencanaan kota, reklamasi
pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota. Reklamasi diamalkan oleh
negara atau kotakota besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya
meningkat demikian pesat tetapi mengalami kendala dengan semakin menyempitnya
lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke
arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru. Babak
Baru Reklamasi Teluk BenoaLahirnya Perpres No. 51 tahun 2014 di akhir Mei tahun
ini seolah menjadi babak baru dalam perjuangan menjaga Bali dari
reklamasi. Bagaimana tidak, dalam Perpres ini wilayah Teluk Benoa
yang dulunya merupakan zona L3 atau konservasi (Perpres No. 45 tahun 2011)
,kini masuk dalam zona P atau penyangga. Dalam zona ini terdapat kegiatan
kegiatan yang di perbolehkan seperti kegiatan kelautan, perikanan, pariwisata,
pengembangan ekonomi, pemukiman bahkan penyelenggaraan reklamasi.Pada Intinya
penerbitan Perpres No. 51 Tahun 2014 ini menghapuskan pasal-pasal yang
menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi sebagaimana yang disebutkan
di dalam pasal 55 ayat 5 Perpres No. 45 Tahun 2011. Serta mengubah kawasan
konservasi perairan pesisir Teluk Benoa menjadi zona penyangga, yang secara
tegas di muat dalam pasal 63A ayat (2) Perpres No. 51 tahun 2014 yang berakibat
pada dapat di reklamasiya teluk benoa (pasal 101A Perpres No. 51 tahun 2014).
Bahkan luas wilayah yang dapat di reklamasipun telah di tentukan, yakni
maksimal seluas 700 hektar.Selain klausul yang mengijinkan kegiatan
revitalisasi termasuk penyelenggaraan reklamasi, Perpres No. 51 tahun 2014 juga
mengurangi luasan kawasan konservasi perairan dengan menambahkan frasa
“sebagian” pada pasal 55 Perpres No. 51 tahun 2014. Lahirnya Perpres No. 51
tahun 2014 ini seolah menjadi jalan bebas hambatan untuk di langsungkanya
reklamasi di Teluk Benoa.
Masalah Banyak orang tidak setuju dengan adanya
reklamasi di teluk benoa, dan beberapa alasan menolak adanya reklamasi di teluk
benoa adalah :Teluk benoa itu merupakan kawasan konservasi, tidak untuk di
reklamasi : dampaknya terhadap ekologi. Pada Pasal 55 ayat (5) Perpres No. 45
Tahun 2011 sebelum diubah menjadi Perpres No. 51 Tahun 2014 disebutkan bahwa
salah satu kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil yakni kawasan konservasi perairan di perairan kawasan Sanur, perairan
kawasan Serangan, perairan kawasan Teluk Benoa yang sebagian di
Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta
Selatan, Kabupaten Badung, perairan kawasan Nusa Dua Badung, dan perairan
kawasan Kuta. Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (3) Perpres No. 122 Tahun 2012
tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa
Reklamasi tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi dan alur laut. Selain
itu, dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali No. 16 Tahun
2009 soal sempadan pantai untuk laut diatur 100 meter. Jika kita selaku
masyarakat Bali sudah menyepakati Perda RTRWP yang menyatakan sempadan pantai
untuk laut yakni 100 meter untuk dapat melakukan aktifitas pembangunan, lalu
yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan pembangunan jika dilakukan di
tengah laut? Hal ini menjadi bukti bahwa terjadi inkonsistensi pemerintah baik
pusat maupun daerah dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan lingkungan.Tentu
sudah sangat jelas bahwa Teluk Benoa yang merupakan kawasan konservasi tidak
layak untuk direklamasi. Namun perubahan Perpres No. 45 Tahun 2011 menjadi
Perpres No. 51 Tahun 2014 mengubah Teluk Benoa untuk tidak lagi dinyatakan
sebagai kawasan konservasi, melainkan sebagai zona P. Sesuai dengan pasal 63A
ayat (1) Perpres No. 51 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Zona P sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 merupakan zona perairan pesisir dengan karakteristik
kawasan teluk yang berhadapan dengan Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3 di
Kawasan Teluk Benoa, yang menjaga fungsi Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3
sebagai kawasan Pemanfaatan umum yang potensial untuk kegiatan kelautan,
perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata, pengembangan ekonomi,
permukiman, sosial budaya, dan agama. Pada pasal 63A ayat (2) Perpres No. 51
Tahun 2014 menyatakan Zona P sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan di
perairan pesisir Teluk Benoa yang berada di sebagian Kecamatan
Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten
Badung.Upaya masyarakat Bali menolak reklamasi Teluk Benoa yang nantinya
mendatangkan bencana ekologi bagi kawasan Bali khususnya di kawasan pantai
timur, sepertinya akan menemui jalan yang terjal. Pihak pemerintah, khususnya
pemerintah pusat tampaknya tetap akan berjalan dengan rencananya melakukan reklamasi
untuk keperluan pembangunan infrastruktur ekonomi. Pemerintah pusat berdalih
bahwa kondisi eksisting Kawasan Teluk Benoa sudah tidak seluruhnya memenuhi
kriteria sebagai kawasan konservasi perairan, dimana secara faktual telah ada
perubahan fisik antara lain jalan tol, jaringan pipa migas, maupun pelabuhan
internasional Benoa. Selain itu, terjadinya pendangkalan, menjadi salah satu
pertimbangan bahwa Kawasan Benoa tersebut tidak lagi tepat untuk dikatakan
sebagai kawasan konservasi. Khusus keberadaan jalan tol layang diatas kawasan
pantai, telah mengubah dinamika ekosistem pantai di Kawasan Teluk Benoa,
sehingga diperlukan penyesuaian peruntukan ruang. Kawasan Teluk Benoa dinilai
dapat dikembangkan sebagai kawasan pengembangan kegiatan ekonomi serta sosial
budaya dan agama, dengan tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi Taman Hutan
Raya Ngurah Rai dan pelestarian ekosistem kawasan sekitarnya, termasuk tanaman
bakau (mangrove), serta keberadaan prasarana dan sarana infrastruktur di
Kawasan Teluk Benoa.Berdasarkan kajian pakar Hidrologi dari Universitas
Udayana, I Nyoman Sunarta, reklamasi Teluk Benoa tentu akan menimbulkan bencana
ekologis. Alasannya jika reklamasi tetap dilaksanakan, maka akan terjadi
perubahan arus air laut di sekitar perairan tersebut. Dampak paling nyata yang
dapat dirasakan adalah semakin memperparah terjadinya abrasi di sejumlah
pantai di sekitar Teluk Benoa. Indonesia Maritime Institute (IMI) menegaskan,
reklamasi di Teluk Benoa berpotensi merusak ekosistem terumbu karang yang selain
sebagai penopang kehidupan jutaan biota laut, juga menjadi andalan wisata
bahari di Pulau Bali, jika reklamasi dilakukan maka tentu sedimentasi yang
ditimbulkan akan mematikan terumbu karang dan biota lainnya. Teluk Benoa
dikelilingi oleh daratan Tanjung Benoa dan Pulau Serangan, kemudian bila latar
belakang reklamasi yang diutarakan untuk menjaga Bali dari bahaya tsunami atau
gelombang pasang, tentunya tidak beralasan karena yang akan lebih dahulu
dihantam oleh tsunami (bila benar terjadi) adalah dua pulau tersebut yaitu
daratan Tanjung Benoa dan Pulau Serangan. Selain itu, kawasan Teluk Benoa juga
merupakan Green Nature Garden, yang berarti bahwa mangrove hanya dapat
tumbuh di kawasan tersebut.Jadi, pelanggaran tata ruang Provinsi Bali yang
memberikan ijin reklamasi kepada PT. Tirta Wahani Bali Internasional (PT. TWBI)
seharusnya dituntaskan melalui penegakan hukum, bukanlah melalui revisi
perpres. Pengakuan yang menyatakan kondisi Teluk Benoa oleh pemerintah pusat
yang tidak lagi sesuai untuk kawasan konservasi seharusnya diikuti penyelamatan
atau rehabilitasi ekosistem tanpa diikuti dengan pembangunan akomodasi
pariwisata secara masif yang tentunya akan menimbulkan dampak kerusakan
lingkungan yang lebih besar. Yang terjadi saat ini membuktikan bahwa pemerintah
tidak lagi berkomitmen dalam menjaga kelestarian lingkungan. Jika Teluk Benoa
tetap direklamasi, maka dapat dipastikan bahwa Bali akan semakin mengalami
penurunan kualitas lingkungan.
BALI TIDAK LAGI MENJADI PARIWISATA BUDAYA SEUTUHNYA
Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan dan pengembangan yang cukup signifikan, namun harus
diakui bahwa persebaran kegiatan pariwisata di Indonesia belum merata.
Meningkatnya pariwisata di Bali, misalnya, tidaklah berarti bahwa seluruh desa
di pulau Bali itu telah tersentuh dan dapat menikmati manfaat dari kegiatan
pariwisata tersebut. Hal ini sangat terkait dengan potensi dan infrastruktur
yang ada dan berkaitan langsung dengan pariwisata, seperti: akomodasi, jasa
transportasi, pelayanan (service), seni dan atraksi, termasuk lingkungan
sosiokulturalnya. Oleh karena itu, masyarakat dari desa-desa yang secara
sosio-kultural berbeda cenderung menunjukkan keterlibatan yang berbeda pula
dalam rangka kegiatan pariwisata.Landasan yuridis pengembangan pariwisata di
daerah Bali adalah Perda Nomor 3 tahun 1974 juncto Perda Nomor 3
tahun 1991 yang menetapkan bahwa konsep pengembangan pariwisata di Bali adalah
pariwisata budaya. Pariwisata budaya merupakan jenis kepariwisataan yang dalam
pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah (Bali) yang dijiwai oleh
nilai-nilai agama Hindu sebagai potensi daerah yang paling dominan, yang di
dalamnya menyiratkan satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara
pariwisata dengan kebudayaan sehingga keduanya dapat meningkat secara serasi,
selaras, dan seimbang.Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengklaim keberadaan
pulau reklamasi akan menjadi destinasi wisata baru. Konsep pariwisata budaya
mutlak diimplementasikan dalam membangun dan mengembangkan kawasan dan atraksi
wisata di kawasan tersebut. Kejenuhan wisatawan asing atas atraksi dan obyek
wisata yang ada saat ini, wajib diantisipasi untuk 5 sampai 10 tahun ke depan.Reklamasi
tentu berdampak terhadap kehidupan adat istiadat beragama di Bali khususnya di
daerah Teluk Benoa. Salah satu contoh yang dapat diambil yakni rentetan upacara
pemakaman di Bali untuk umat Hindu adalah mengembalikan jasad manusia ke lima
unsur pembentuknya, salah satunya adalah air yang dilambangkan dengan membuang
hasil pembakaran jenazah ke laut. Jika reklamasi ini benar dilaksanakan dapat
dibayangkan penduduk lokal yang biasanya melaksanakan upacara “ngaben” harus
mendapat ijin khusus dari pemilik hotel ataupun resort untuk menyelesaikan
rentetan upacara itu akibat wilayah tersebut sudah diprivatisasi. Ataupun jika
tidak, maka ada usaha lebih yang harus dilakukan untuk berpindah tempat ke
pantai lain yang tentunya mobilisasi yang melibatkan banyak orang ini
membutuhkan biaya lebih.Pada hakekatnya, Bali tidak memerlukan wisata
artifisial atau buatan, tetapi yang lebih penting yakni pengembangan pariwisata
budaya yang tentunya menjadi roh pariwisata yang ada di Bali. Bali memang
tidak boleh menutup mata terhadap kemajuan yang dialami pariwisata
negara-negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Namun
Pemerintah tidak seharusnya hanya menyerahkan kepada investor dalam perencanaan
pengembangan pariwisata sehingga harus menempatkan investasinya di wilayah yang
merugikan baik dari segi aspek lingkungan, budaya, sosial dan ekonomi bagi
kelangsungan Bali ke depan. Pembangunan di Bali harus senantiasa berlandaskan
konsep Tri Hita Karana sehingga mampu menjaga keharmonisan jangka panjang yang
mampu dirasakan oleh generasi penerus Bali nantinya. Pengembangan pariwisata
diharapkan dapat lahir langsung dari inisiatif Desa Pakraman maupun krama
banjar melalui pengembangan desa wisata melalui dukungan penuh dari pihak
pemerintah sehingga manfaatnya dapat menyentuh masyarakat secara langsung.
Karena wisatawan datang ke Bali adalah untuk mencari otentisitas (keaslian)
dari kebudayaan Bali itu sendiri.
REKLAMASI TIDAK UNTUK MENSEJAHTERAKAN RAKYAT
Pemerintah
pusat menyatakan bahwa perubahan Perpres Sarbagita dimaksudkan untuk
menyesuaikan dinamika dan perubahan tujuan pembangunan perekonomian nasional,
khususnya yang terkait dengan rencana percepatan pembangunan di Bali, yang
merupakan bagian dari rencana Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguan
Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Dalam hal lapangan kerja, dibangunnya akomodasi
pariwisata dan fasilitas umum akan memberikan peluang lapangan kerja bagi
masyarakat Bali dalam 5 sampai 10 tahun mendatang. Diperkirakan sekitar 200.000
lapangan kerja baru akan tersedia serta akan terjadi peningkatan PAD Bali dari
pajak hotel-hotel yang akan dibangun di kawasan tersebut yang ditegaskan oleh
Gubernur Bali Made Mangku Pastika.Pada dasarnya pariwisata dengan segala
aktivitasnya memang telah mampu memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi
perubahan masyarakat baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Hal itu
menuntut adanya perhatian yang lebih dari para pengambil kebijakan sektor
pariwisata untuk mempertimbangkan kembali pola pengembangan kawasan wisata agar
masyarakat sekitar lebih dapat merasakan manfaatnya. Sekaligus menjadi catatan,
bahwa faktor kemanusiaan dan entitas budaya lokal tidak boleh diabaikan,
artinya kehidupan masyarakat tidak boleh tercabut dari akar budayanya hanya
karena adanya penekanan segi komersial dari tourism. Jangan
sampai penekanan pada aspek ekonomi mengabaikan dimensi lain seperti dimensi
ketahanan sosial budaya, karena perkembangan mutakhir dari dunia kepariwisataan
adalah beralihnya minat wisatawan dari massive tourism ke etnic
tourism, wisata-wisata unik yang sangat peduli pada karakter asli masyarakat
setempat.Dr. Indah Widiastuti, ST, MT selaku dosen Program Studi Pembangunan
ITB menyebutkan bahwa dalam etika pembangunan dan keadilan, pembangunan tidak
hanya cukup mengandalkan indikator PAD, terdapat indikator lain seperti angka
kematian dan harapan hidup. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan, 2
(dua) prinsip keadilan, yaitu setiap orang memiliki hak yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas dan pengaturan ketimpangan sosial agar setiap
orang merasa diuntungkan harus senantiasa diperhatikan.Jika hanya melihat dari
perhitungan normatif terkait dengan keuntungan di bidang ekonomi, tindakan
pemerintah untuk menyetujui reklamasi ini dirasa tidak tepat. Daerah Teluk
Benoa yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dalam Perpres No. 45
tahun 2011 sebelum diubah menjadi Perpres No. 51 tahun 2014 menjadi salah satu
tempat mata pencaharian nelayan setempat. Daratan baru yang akan dibuat
tentunya akan mengorbankan kehidupan para nelayan tersebut, tidak ada lagi
daerah tangkapan ikan yang mudah dijangkau. Akibatnya jika terus dibiarkan,
perubahan struktur masyarakat dengan profesi nelayan pun terjadi, dimana dengan
tantangan yang begitu sulit untuk menangkap ikan, tidak menutup kemungkinan
bahwa tidak ada lagi warga sekitar yang ingin melaut. Pasar-pasar ikan
tradisional disekitar wilayah tersebut juga terancam punah. Tidak ada lagi ikan
segar yang dapat diperjualbelikan. Tingginya harga jual ikan oleh nelayan di
wilayah Benoa akibat peningkatan biaya untuk melaut mendorong terjadinya kebangkrutan
nelayan setempat. Jika mereka yang terancam secara langsung akibat dampak dari
reklamasi ini memiliki modal (keahlian khusus ataupun biaya) untuk ikut ambil
bagian di bidang pariwisata, maka hal tersebut tentunya tidak akan menjadi
beban bagi pemerintah daerah. Umpan balik negatif dengan meningkatnya
pengangguran akibat nelayan berhenti melaut harus mendapat perhatian khusus
dalam pengambilan keputusan mengenai reklamasi ini. Termasuk keturunan dari
nelayan-nelayan tersebut yang belum tentu mampu mengenyam pendidikan seperti
yang diharapkan pemerintah daerah sehingga dapat diserap oleh industri
pariwisata sangat mungkin meningkatkan angka kemiskinan di daerah tersebut.
Ancaman peningkatan pengganguran ini sudah tentu memicu terjadinya angka
kriminalitas yang tinggi. Mereka yang semula berpenghasilan cukup untuk
kebutuhan pangan harus bersaing keras baik oleh sesama ataupun kaum pendatang
(dari luar pulau Bali) yang mencoba mengadu nasib di Pulau Dewata ini. Sehingga
bisa jadi berwisata di Bali tidak seaman dan senyaman sebelumnya.Dalam era
globalisasi ini, daerah manapun di dunia ini tidak akan pernah luput dari
pembangunan, baik itu pembangunan infrastruktur negara maupun pembangunan di
berbagai sektor kehidupan, namun yang menjadi catatan penting dalam perencanaan
dan realisasi percepatan pembangunan ini hendaknya dilakukan dengan
penyesuaian-penyesuaian adat dan istiadat yang ada di Bali. Pemerataan
pembangunan di Bali adalah salah satu indikator untuk memberikan kontribusi
dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan baru dan peningkatan pendapatan asli
daerah di daerahnya masing-masing. Jangan sampai percepatan pembangunan hanya
berfokus pada beberapa tempat khususnya Bali Selatan yang pada akhirnya akan
semakin menambah kesenjangan antar masyarakat khususnya dari aspek
ekonomi. Pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan harus dikedepankan
sebagai embrio pembangunan ekonomi berkelanjutan sesuai dengan pasal 33 UUD
1945.
REKLAMASI BUKAN SOLUSI TERHADAP PERMASALAHAN ALIH FUNGSI
LAHAN DAN KEPADATAN PENDUDUK
Sudah menjadi sejarah dalam proses pembangunan di
Bali, bahwa laju pembangunan sarana kepariwisataan berbanding lurus dengan
lajunya arus alih fungsi lahan sawah. Pada tahun 1980an, kasus yang sama pernah
terjadi. Dalam era itu, pembangunan kepariwisataan sedang di-push. Tercatat
laju alih fungsi lahan sawah pada saat itu seketika melompat menjadi lebih dari
1.000 ha/tahun. Sementara itu, dengan metode analisis spasial, tim Litbang
Kompas (2013) mencatat bahwa, di mana ada pembangunan kawasan wisata, maka di
kawasan itulah berkembang kawasan kumuh. Jadi, ada hubungan yang kuat antara
pembangunan pariwisata dengan kawasan kumuh di Bali. Analogi inilah yang
terjadi antara pembangunan kawasan wisata (reklamasi) dengan alih fungsi lahan
sawah (Bali Express).Guru Besar Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Windia,
MS menegaskan bahwa setiap pembangunan kawasan wisata akan mendorong orang
untuk bekerja di sana, termasuk masuknya kaum migran. Kenapa migran datang ke
Bali? Tentu saja karena di Bali ada pembangunan pariwisata. Kalau pembangunan
pariwisata di Bali tidak dihentikan (sementara), maka migran akan semakin
banyak berdatangan. Migran yang beranak pinak akan memangsa lahan sawah di
Bali. Itulah sebabnya, pembangunan pariwisata telah menjadi kanibal bagi sektor
pertanian. Oleh karenanya, seperti tidak masuk akal kalau dikatakan bahwa
penggunaan reklamasi yang akan dimanfaatkan sebagai sarana kepariwisataan, akan
dapat menghentikan/mengendalikan alih fungsi lahan sawah di Bali. Justru
sebaliknya yang akan terjadi.Pemberian subsidi mutlak harus diberikan oleh
pemerintah kepada para petani agar mampu mengolah lahannya untuk budidaya
pertanian, bukan mengalihfungsikan lahannya pada bisnis yang dinilai lebih
menguntungkan. Baik dalam bentuk peringanan pajak (PBB), subsidi harga gabah
maupun menyangkut modal usaha tani untuk pembelian sarana produksi dan
alat/mesin pertanian demi meningkatkan gairah dalam mengembangkan usaha tani
serta memperoleh produktivitas yang lebih tinggi lagi. Petani sudah saatnya
memiliki harapan yang membanggakan dalam aktivitasnya sebagai petani karena
pada kenyataannya saat ini menunjukan bahwa profesi tani memang benar-benar
mulai dikesampingkan oleh generasi muda. Tentu yang kita harapkan bersama yakni
perkembangan pertumbuhan pariwisata yang sejajar (tanpa saling mengorbankan)
dengan perkembangan pertanian dalam kawasan subak yang ada di Bali. Karena pada
dasarnya, kedua hal tersebut dapat menjadi suatu simbiosis mutualisme dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali tanpa mengusik sedikitpun
nilai-nilai Budaya yang terkandung di dalamnya.
Solusi
Solusi dari masalah
pariwisata yang dialami Indonesia yang terdapat di pulau dewata Bali itu adalah
bisa dimulai dengan cara pemerintah menghapus undang-undang yang diberlakukan
bahwa akan diadakannya reklamasi di teluk benoa Bali dan pemerintah harus tegas
terhadap penolakan reklamasi. Masyarakat teluk benoa Bali dan masyarakat
sekitar di Bali ikut membantu untuk angkat suara bahwa menolak reklamasi
melalui pemerintah setempat sebagai wadah aspirasi rakyat bali bukan malah
mendukung adanya reklamasi. Dengan adanya campur tangan pemerintah setempat
sebagai wadah aspirasi masyarakat sekitar dapat membantu untuk penggagalan
reklamasi yang diadakan di telok benoa Bali, peran pelajar dan mahasiswa sangat
penting di sini yaitu ikut menyampaikan aspirasi masyarakat untuk reklamasi
tersebut dengan melakukan pembelaan bahwa masyarakat teluk benoa itu
mengharapkan bahwa reklamasi itu tidak dilaksanakan, dan disini seharusnya
pemerintah mendengar teriakan masyarakat sekitar terhadap masalah reklamasi
tersebut karena mempertahankan pariwisata dan memajukannya tidak harus
berpengaruh dari luar tapi bagaimana cara kita untuk mempertahankan keaslian
yang ada di Indonesia khususnya di telok benoa Bali. Seharusnya teluk benoa
tetap dijaga keasliaannya, kebersihannya, dan lingkungannya agar tetap
berkembang. Dan di teluk benoa itu masyarakatnya sebagian besar sebagai nelayan
kehidupannya itu bergantung di teluk benoa tersebut. Jika terjadi reklamasi
nelayan akan terancam punah dan tingginya angka pengangguran di daerah tersebut
dan banyaknya pesaing dari luar karena para pendatang juga ingin mengadu nasib
di pulau dewata ini. agar bali tetap terjaga keasliannya dan kenyamanannya
reklamasi tersebut tidak harus dilaksanakan tetapi dengan cara peran pemerintah
dan dengan kerjasama masyarakat sekitar menjaga keaslian teluk benoa bali
seperti kebersihan, kebudayaan masyarakat setempat, serta ciri khas dari daerah
setempat, dan wisatawan yang berkunjung akan ikut merasakan keaslian yang ada
di teluk benoa Bali. Agar terciptanya masyarakat yang sejahtera karena sebagian
besar nelayan tetap bisa berpenghasilan dan bekerja untuk kehidupannya dan
orang-orang yang datang untuk berwisata ataupun berkunjung tetap merasakan
keaslian teluk Benoa Bali dan itu juga berdampak untuk kemajuan pariwisata
Indonesia karena kebanyakan orang mencari keaslian bukan buatan juga
memperkenalkan kebudayaan bali yang terdapat di Indonesia yang utuh tanpa harus
menghilangkan keaslian dari budaya tersebut sehingga tidak perlu adanya
reklamasi di teluk benoa Bali dan masyarakat ataupun wisatawan yang berkunjung
bisa ikut mempromosikan teluk benoa dengan keasliaaannya serta ikut menjaga
kebersihan, kenyamanan yang ada di teluk benoa bali ataupun di tempat-tempat
wisata lain, dengan begitu pariwisata indonesia akan bertahan dengan
keasliaanya tanpa harus ada pengaruh dari luar ataupun reklamasi
tersebut.
Daftar pustaka
https://senandungcita.wordpress.com/2014/07/24/mengapa-kami-menolak-reklamasi-teluk-benoa/ (diakses tanggal 24 juli 2014)
http//www.lautkita.org
Kelas
A-Anugerah dwi Fitriani (4423154842)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar