Folklore Suku Toraja
Kata Pengantar
Segala puja dan puji syukur
penulis panjatkan kepada Allah SWT, pemilik kesempurnaan dan kemuliaan.
karena berkat rahmat dan karunia-Nya tugas ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tugas ini di bertujuan untuk menyelesaikan mata kuliah Sejarah Indonesia yang
akan membahas tentang “Asal Usul Suku
Toraja”.
Tugas ini berisi tentang kumpulan pengetahuan masyarakat, budaya,
sejarah, asal usul suku Toraja hingga
kebudayaan yang masih ada hingga saat ini. Suku budaya ini sangatlah menarik
sehingga penulis memilih untuk mengambil suku dan budaya ini. Kebudayaan yang
masih sangat kental demgan acara upacara adat hingga ragam dialek dan
tariannya. Dalam penulisan tugas ini penulis memiliki banyak kesulitan tetapi
dengan bantuan dari berbagai pihak akhirnya tugas ini dapat terselesaikan.
Harapan penulis semoga tugas ini bisa bermanfaat kepada
pembaca, terutama demi pengetahuan untuk sejarah Indonesia khususnya di daerah
Toraja yang berada di daerah Sulawesi. Semoga tugas ini dapat menyadarkan
kepada pembaca untuk melestarikan budaya Indonesia.
Pembahasan
Asal usul suku Toraja
Suku Toraja adalah salah satu suku yang
populer di Indonesia sebahai suku yang memiliki ragam budaya yang unik. Suku
Toraja sebagai salah satu suku tertua di Indonesia, yang dikategorikan sebagai
suku bangsa Proto Malayan (Melayu Tua). Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana,
mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan di kalangan
masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang
pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang
kemudian berfungsi sebagai media komunikasi
dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Ketika bangsa
Bugis sekian lama berkembang di daratan Sulawesi, barulah mereka mengetahui
bahwa ada suatu penduduk yang bermukim di sekitar pegunungan, yang memiliki
budaya dan peradaban yang berkembang lebih lama dari kehadiran suku Bugis di
wilayah ini. Menurut cerita Bugis istilah Toraja mulanya diberikan oleh suku
Bugis Sidendereng dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini
dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas
atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah
“orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya
asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang
besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata
Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian
dengan Tana Toraja.
Suku Toraja
adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di
antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja
memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam
dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah
Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu
Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to
riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah
kolonial Belanda menamai suku ini Toraja
pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat
tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang
dan berlangsung selama beberapa hari.
Sejarah Suku Toraja
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam
utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah
terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina.
Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya
pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai
menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah
dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit
dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19,
Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan,
terutama di antara suku Makassar dan Bugis.
Belanda melihat suku Toraja yang
menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun
1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai
dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan
agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah
garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Tor0aja. Tana
Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah
tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap,
dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang
mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan
yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran
rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada
tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit
masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak
budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.
Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah
menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin
beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan
perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap
orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965
setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan
sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15
tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama
Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden
mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima
agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.
Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja
berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia
harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969,
Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Foklor sebagian lisan (Toraja)
Kepercayaan rakyat pada suku Toraja
Berikut ini beberapa kepercayaan masyarakat suku Toraja yang
masih dipercaya, kepercayaan itu meliputi :
a)
Kelahiran,
masa bayi, dan masa kanak-kanak
· Orang
hamil, dilarang duduk dipintu, karena kalau duduk dipintu akan dirong hantu
hingga dia bisa jatuh ke Tanah.
· Ketika
seorang bayi baru lahir tidak boleh di ditegur dengan kata-kata yang
menyindir bahagian tubuhnya.
· Ketika
seorang bayi di tidurkan dalam ayunan,kepalanya harus di tutupi dengan sarung
,kalau tidak di tutupi kepalanya akan di pegang setan.
· Ketika
sang istri sedang mengandung suami tidak boleh cukur rambut,karena apa bila
cukur rambut nanti bayinya lahir botak dan bisa – bisa tidak berambut.
b)
Tubuh manusia,
dan obat obatan rakyat
· Orang yang
mempunyai tahi lalat (tanda lahir) pada telapak tangan,tidak boleh memukul
sembarang,karena dapat menyebabkan orang lain sakit.
· apa bila
seseorang terkena penyakit mata,maka cara mengobatinya ialah ,mata ditutupi
dengan kain hitam kemudian di tiup oleh salah seorang sepupunya,dalam keadaan
dekat panyakitnya akan sembuh.
c)
Rumah dan
pekerjaan rumah tangga
· apa bila
membangun rumah,bagusnya di dirika pada pagi hari ketika ayam bekokok.
· dilarang sapu
rumah kalau malam hari karena akan mambawa sial,dan smua
rejeki yang akan masuk kerumah itu akan keluar.
· ketika
seorang ibuh rumah tangga sedang memasak di dapur tidak boleh ada beras atau
nasi yang jatuh kedalam dapur karena hal ini akan membawa mala petaka dan nasi
yang dimasaknya akan terasa tawar.
Kebudayaan Masyarakat Suku
Toraja
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam
suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap
tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut
memelihara persatuan desa.
Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan
seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku
Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga)
kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan
berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling
menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan
hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan
ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya,
termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar
kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah
meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu,
ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah
kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri.
Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak
bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk
kelompok; kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan
antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah
leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi
dalam ritual.
Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan
politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang
dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat
dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk,
piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang
diperbolehkan untuk masing-masing orang.
1.
Upacara Adat Suku Toraja
Di Tana Toraja tradisi menghormati
kematian dikenal dengan upacara Rambu Solo'. Persamaan dari ketiganya: ritual
upacara kematian dan penguburan jenazah. Di Tana Toraja sendiri memiliki dua
upacara adat besar yaitu Rambu Solo' dan Rambu Tuka. Rambu Solo' merupakan
upacara penguburan, sedangkan Rambu Tuka, adalah upacara adat selamatan rumah
adat yang baru, atau yang baru saja selesai direnovasi.
Rambu Solo' merupakan acara tradisi
yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk
merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari
mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa
sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian
atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To
Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani
dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah
tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke
nirwana. Upacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya
berbeda-beda. Bila bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan
dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang
bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24
sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan
menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara
sekitar 3 hari.
Tapi, sebelum jumlah itu mencukupi
jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di tempat tinggi. Makanya, tak
jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di Tongkonan (rumah adat Toraja)
sampai akhirnya keluarga almarhum/ almarhumah dapat menyiapkan hewan kurban.
Namun bagi penganut agama Nasrani dan Islam kini, jenazah dapat dikuburkan dulu
di tanah, lalu digali kembali setelah pihak keluarganya siap untuk melaksanakan
upacara ini.
Bagi masyarakat Tana Toraja, orang
yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi
mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo' maka orang yang meninggal itu
dianggap sebagai orang sakit karena statusnya masih 'sakit' maka orang yang
sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih
hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih.
Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti
biasanya.
Jenazah dipindahkan dari rumah duka
menuju tongkonan pertama (tongkonan tammuon), yaitu tongkonan dimana ia
berasal. Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau
dalam bahasa Torajanya Ma'tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang
Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang
akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada
mereka yang hadir.
Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon)
hanya sehari, lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan
yang berada agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun
prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan
dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar
tongkonan tersebut.
Seluruh prosesi acara Rambu Solo' selalu dilakukan pada
siang hari. Siang itu sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami
semua tiba di tongkonan barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan
jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara
berlangsung). Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja).
Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya
terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut
ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).
Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju
rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah
ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda
tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba. Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus
dilaksanakan, pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang
sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal
dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan tedong
(kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.
Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus
tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara
yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri
berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena
selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing
tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang
berduka.
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya
akan diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama
prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di
antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon
bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien
sebelum nantinya akan dikubur. Di rantai sudah siap dua ekor kerbau yang akan
ditebas.
Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah
penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada
sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan
bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan
ma'pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena
selama upacara Rambu Solo', adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang
ditunggu-tunggu
Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau
merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai
semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang
berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan
hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari
penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane' (kuburan
dari kayu berbentuk rumah adat).
2. Musik dan Tarian Suku
Toraja
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara,
kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka
cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang
arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama,
sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk
menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut
dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakama. Pada hari kedua
pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian
almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang,
prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen
lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung
padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan
dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju
berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan
hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok
anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang
disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi
dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari
Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang
menumbuk beras. Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang
dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan.
Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang
disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara
Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di
sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling
bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak
tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama
sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku
Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari
daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
3. Ragam Bahasa Suku
Toraja
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja,
dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesiasebagai
bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi
bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' ,
Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia
dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi
membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya
pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh
oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa
penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja
Ciri yang
menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian.
Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat
mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa
tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan
kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat
secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal
tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka
cita itu sendiri.
4. Rumah Adat Tongkonan
Tongkonan
adalah rumah tradisional Toraja
yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah,
hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja
'tongkon' (duduk). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan
sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan
ikut serta karena Tongkonan
melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga
dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja
turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan
tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan
bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat
kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan".
Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang
tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal
di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin
berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang
menguntungkan di daerah lain di Indonesia.
Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang
besar.
5. Ukiran Kayu Toraja
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem
tulisan. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat
ukiran kayu dan menyebutnya Passura' (atau "tulisan"). Oleh karena
itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran
memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang
melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan
seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri
memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel
tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu
keluarga memperoleh banyak kerbau.
Panel tengah
melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga
akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan
dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan
air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti
hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan
akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan
ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran kayu
Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen
Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen
Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur
matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan
taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat ornamen
geometris.
Dalam masyarakat
Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya
mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya
akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak
menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan
biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebuah tempat prosesi
pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang
luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung
padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara
pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk
menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu
yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap
menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah
dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah
orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai,
setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari
pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin
banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan
golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya,
yang sedang dalam "masa tertidur".
Suku Toraja percaya
bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih
cepat sampai di Puyajika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan
ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian
para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian
daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan
dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara
pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua,
atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang
dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu
pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan
untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau
tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau
anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan
selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Penutup
a.
Kesimpulan
Sejarah Suku Tana Toraja dulu ada
yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina
selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebenarnya, orang Toraja hanya salah
satu kelompok penuture bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di
wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Suku Toraja memiliki upacara adat
yang sangat unik khususnya pada saat upacara pemakaman. Suku
Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba
tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau
akhirat). Ada tiga cara dalam pemakaman yaitu peti mati dapat
disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing.
Bagian
lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang
maka semakin banyak kerbau yang disembelih.
Suku Toraja memiliki
banyak ragam dialek yang digunakan sebagai bahasa sehari – hari. Ciri
yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian.
Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat
mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa
tingkatan yang rumit.
Dengan berbagai macam kebudayaan
yang berada di suku Toraja ini semoga masyarakat setempat dapat melestarikan budaya
yang begitu unik dan beragam.
b. Saran
Demikian
tugas ini dibuat dapat diselesaikan
tepat pada waktunya, namun sebagai manusia biasa tidaklah luput dari kesalahan.
Celah yang lepas dari control penulis pastilah ada. Untuk itulah saya nantikan
kritik dan saran dari semua pembaca.
Daftar Pustaka
Banturi Herman, http://pamonaluwu.blogspot.co.id/2012/04/folklor-sabagian-lisan-toraja.html. (Diakses pada tanggal 3 Januari 2015).
http://www.torajaparadise.com/2013/03/sejarah-dan-asal-usul-suku-toraja-bagii.html . (Diakses pada tanggal 2 Januari 2015).
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja . (Diakses pada tanggal 2 Januari 2015).
http://miyandarpl.blogspot.co.id/2013/06/kebudayaan-suku-toraja.html . (Diakses pada tanggal 3 Januari 2015).
http://asiantribal.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-asal-usul-suku-toraja.html.(Diakses pada tanggal 3 Januari 2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar