Sabtu, 02 Januari 2016

Folklore Indonesia

Rumah Joglo Folklore Bukan Lisan

Orang yang pertama kali memperkenalkan folklore adalah William John Thoms, seorang ahli kebudayaan antik (antiquarian), Inggris. Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada waktu ia menerbitkan sebuah artikelnya dalam majalah The Athenaeum no 982, tanggal 22 Agustus 1846. Dengan menggunakan nama samaran Ambrose Metton (1846: 862-863). Dalam surat terbuka itu, Thoms mengakui bahwa dialah yang telah menciptakan istilah folklore, untuk sopan santun Inggris, takhayul, balada dan sebagiannya dari masa lampau, yang telah sebelumnya disebut dengan istilah atiquities, popular atiquities, atau popular literature (Dundes 1965:4).
Folklore, terdiri dari kata folk dan lore. Folk sama artinya dengan kata kolektif (collectivity). Menurut Alan Dundes, adalah sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya yang telah mereka warisi turun-temurun sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui dan sadari milik bersama dalan kesatuan masyarakat. Sedangkan lore adalah tradisi folk yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemoic device).
Dengan kata lain folklore adalah kebudayan suatu kolektif yang tesebar dan diwariskan secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Adapun ciri-ciri folklore adalah folklore diciptakan, disebarkan, dan diwariskan secara lisan (dari mulut ke mulut) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Folklore bersifat tradisional, tersebar diwilayah (daerah tertentu) dalam bentuk relatif tetap, disebarkan kelompok tertentu dalam waktu yang cukup lama. Folklore menjadi milik bersama dari kelompok tertentu, karena pencipta pertamanya sudah tidak diketahui sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya. Folklore mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama, diantaranya sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendam. Folklore mengandung pesan moral, bersifat pralogis, lugu dan polos.
Menurut Jan Harold Brunvard, ahli folklore dari Amerika Serkat, folklore dapat digolongkan kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu :
1.    Folklore Lisan
Merupakan folklore yang bentuknya murni lisan, yaitu diciptakan, disebarluaskan, dan diwariskan secara lisan.
2.    Folklore Sebagian Lisan
Merupakan folklore yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan, folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial.
3.    Folklore Bukan Lisan
Merupakan folklore yang bentuknya bukan lisan tetapi cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Biasanya meninggalkan bentuk materiil (artefak).

Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang Rumah Joglo Jawa Tengah yang termasuk kedalam folklore bukan lisan.

Yang termasuk dalam folklore bukan lisan yaitu :
a.    Arsitektur rakyat (prasasti, bangunan-bangunan suci)
Arsitektur merupakan sebuah seni atau ilmu merancang bangunan
b.    Kerajianan tangan rakyat
Awalnya dibuat hanya sekedar untuk mengisi waktu senggang dan untuk kebutuhan rumah tangga
c.     Pakaian atau perhiasan tradisional
d.    Obat-obatan tradisional
e.    Masakan dan minuman khas

Rumah adat Jawa Tengah berbentuk rumah Joglo. Sebuah bangunan Joglo yang menimbulkan interpretasi arsitektur Jawa mencerminkan ketenangan, hadir diantara bangunan-bangunan yang beraneka ragam. Interpretasi ini memiliki ciri pemakaian kontruksi atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang. Setiap kali kita memasuki rumah Joglo sebagai rumah adat Jawa, kita bukan sekedar memasuki sebuah gedung melainkan sebuah alam pikiran atau pandangan hidup tertentu. Bagi orang Jawa, rumah bukan hanya tempat tinggal secara fisik melainkan tempat di mana jiwa menemukan tempat berdiam. Dengan kata lain, bagi orang Jawa, rumah berfungsi baik fisikal maupun spititual. Sebuah fungsi yang kian terkikis dalam arsitektur modern yang lebih memandang rumah dari fungsi fungsi fisiknya daripada spiritual. Rumah Joglo dulunya juga dapat menunjukkan status sosial, karena hanya segelintir orang dengan kemampuan ekonomi berlebih yang mampu memilikinya. Material yang digunakan pada rumah Joglo sebagian besar merupakan kayu. Dahulu kala, orang yang memiliki rumah Joglo umumnya berasal dari kalangan keluarga bangsawan atau ningrat. Untuk membedakan status sosial pemilik rumah, kehadiran bentangan dan tiang penyangga dengan atap bersusun yang biasanya dibiarkan menyerupai warna aslinya menjadi ciri khas dari kehadiran sebuah pendopo dalam rumah Joglo.

Rumah adat Joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional. Istilah Joglo berasal dari kerangka bangunan utama dari rumah adat Jawa yang terdiri dari bangunan utama yang terdiri dari soko guru berupa empat tiang utama penyangga struktur bangunan serta tumpang sari yang berupa susunan balok yang disangga soko guru. Struktur Joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu. Cara orang Jawa membangun rumah dengan soko guru sebagi pusat rumah dan tiang-tiang lain mengikuti disekelilingnya, mirip dengan cara pandang masyarakat Jawa dalam melihat masyarakat. Sultan ditempatkan berada di pusat dunia, yang mengendalikan tatanan (Hamengkubuwono) atau yang “menggenggam bumi” (Pakubumi) atau yang “mengendalikan alam” (Paku Alam). Di pusatnya, pandangan kemudian bergerak melebar dengan disangga daerah-daerah lain di sekitarnya, mulai kabupaten sampai desa. Maka tatanan rumah, politik, sosial dan spiritual Jawa mempunyai kemiripan atau parelelitas satu sama lain. Inilah yang disebut dengan desain mandala dalam kajian kosmologi tradisional dan arkais.

Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kanan dan kiri pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada ditengah untuk keluarga besar,sementara dua pintu disamping kanan dan kiri untuk besan, hal ini melambangkan bahwa tamu itu adalah raja yang harus dihormati dan di tempatkan di tempat yang berbeda dengan keluarga inti dan itu adalah cara atau tatakrama yang pantas untuk menyambut tamu.

Susunan ruangan pada Joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendopo, ruang tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar) yaitu senthong kiri, senthong tengah dan senthong kanan. Terjadi penerapan prinsip hirarki dalam pola penataan ruangannya. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat umum (publik) dan bagian belakang yang bersifat khusus (pribadi). Uniknya, setiap ruangan dari bagian teras, pendopo sampai bagian belakang (pawon dan pekiwan) tidak hanya memiliki fungsi tetapi juga sarat dengan unsur filosofi hidup etnis Jawa. Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, bagian kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah laki-laki. Masih pada ruang jaga satru didepan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder,selain sebagai simbol kepemilikan, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan penghuni rumah tentang keesaan Tuhan. Begitu juga diruang dalam terdapat empat tiang utama yang disebut soko guru. Hal ini melambangkan bahwa pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani hidup seorang diri melainkan harus saling membantu satu sama lain, selain itu soko guru juga melambangkan empat hakekat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagai hakekat dan sifat manusia.

Unsur religi atau kepercayaan terhadap dewa diwujudkan dengan ruang pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga) sesuai dengan mata pencaharian masyarakat Jawa yaitu petani. Ruang tersebut disebut krobongan, yaitu kamar yang selalu kosong, namun lengkap dengan ranjang, kasur, bantal , dan guling dan bisa juga digunakan untuk malam pertama bagi pengantin baru. Krobongan merupakan ruang khusus yang dibuat sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat berperan dalam semua sendi kehidupan masyarakat Jawa. Dewi Sri sangat akrab dengan masyarakat Jawa yang bermata pencaharian sebagai petani. Bagi mereka, Dewi Sri merupakan ikon sekaligus tokoh penting yang sangat berperan dalam menentukan hasil panennya nanti. Maka tidak aneh jika dirumah Joglo disediakan ruangan khusus untuk Dewi Sri. Dewi Sri dalam buku Sejarah Wayang Purwa (Hardjowirogo, 1982:72) dijelaskan Dewi Sri adalah putri Prabu Srimahapunggung dari negara Medangkamulan. Dewi Sri bersaudara laki-laki yang bernama Raden Sadana. Dewi Sri meninggalkan Medangkamulan untuk menyusul saudaranya yang menolak untuk dikawinkan. Ia mendapat berbagai cobaan dalam perjalanannya. Seorang raksasa terus menggodanya. Setelah itu ia dikutuk menjadi ular sawah oleh ayahnya, namun kemudian ia berhasil kembali menjadi Dewi Sri seperti semula. Selama perjalanan, Dewi Sri banyak mendapat pengalaman yang berhubungan dengan pertanian.

Menurut Lombard (1996:82), walaupun mitos Dewi Sri berasal dari India namun dibeberapa pulau di Nusantara yang tidak tersentuh pengaruh India pun mengenal sosok Dewi Sri sebagai dewi kesuburan. Ceritanya pun hampir sama, yaitu Dewi Sri yang dikorbankan lalu dari seluruh bagian tubuhnya tumbuh berbagai tanaman budidaya yang utama seperti padi. Mitos tersebut sangat kental dengan pengaruh Hindu. Hal ini bisa saja terjadi akibat adanya asimilasi antara paham animisme dan Hindu. Hasilnya muncul seorang tokoh simbolik kaum petani jawa, yang melindungi tanaman padinya terhadap gangguan-gangguan hama tanaman padi, yang dianggap berasal dari para lelembut atau jin mrekayangan (Widayat, 2004:10). Berbagai cerita padi muncul di Jawa sebelum datangnya pengaruh Hindu dan ada kemungkinan cerita tersebut setelah datangnya paham Hindu diubah dan disesuaikan dengan ajaran Hindu.

Kehadiran figur Dewi Sri juga tampak dalam upacara pernikahan, dimana pertalian antara reproduksi pertanian dan reproduksi manusia berada dalam ritus kedua dari rangkaian ritus temu pengantin. Pengantin perempuan dan pengantin laki-laki bersama-sama melangkahi sebuah bajak yang ditempatkan di ambang pintu masuk rumah dimana upacara pernikahan tersebut diselenggarakan. Ritus menggunakan bajak sedikit banyak meretensi pertaliannya dengan proses reproduksi Sri. Di bajak tersebut tertera tanda-tanda dari kapur mengenai ramalan yang bertalian dengan reproduksi manusia dan reproduksi pertanian. Bajak yang digunakan untuk ritus pernikahan itu secepatnya kemudian digunakan untuk mengolah lahan sawah, supaya dapat memberikan berkah kepada sawah dan panen yang melimpah. Jadi ada hubungan simbol kesuburan antara manusia dengan pertanian. Seperti diketahui pada alat pertanian bajak (yang digunakan untuk upacara pengantin) biasanya tertera suatu perhitungan yang bertalian dengan reproduksi manusia, maknanya adalah ramalan yang bertalian antara reproduksi manusia (anak keturunan), dan juga reproduksi pertanian (kesuburan tanah).

Tata ruang rumah Joglo :
1.    Pendopo
Pendopo berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu. Struktur bangunan pada pendopo menggunakan umpak sebagai alas soko, empat buah soko guru (tiang utama) sebagai lambang penentu empat arah mata angin dan dua belas soko pengarak. Ada pula tumpang sari yang merupakan susunan terbalik yang disangga oleh soko guru. Pada umumnya, tumpang sari terdapat pada pendopo disusun bertingkat. Tingkatan-tingkatan ini dapat pula diartikan sebagai tingkatan untuk menuju suatu titik puncak. Menurut kepercayaan jawa, tingkatan-tingkatan ini akan menyatu pada satu titik. Pendopo letaknya di depan dan tidak mempunyai dinding atau terbuka hal ini berkaitan dengan filosofi orang Jawa yang selalubersikap ramah, terbuka dan tidak memilik dalam hal menerima tamu. Kalaupun memakai penutup, maka yang digunakan adalah dinding dari kayu yang mudah untuk dibuka atau di gebyok. Pada umumnya pendopo tidak di beri meja ataupun kursi, hanya diberi tikar apabilal ada tamu yang datang, sehingga antara tamu dan yang pemilik rumah mempunyai kesetaraan dan juga dalam hal pembicaraan terasa akrab atau rukun.
2.    Pringgitan
Pringgitan memiliki konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau wayang dari Dewi Sri yang merupakan sumber segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun, 1999:30). Pringgitan adalah lorong penghubung (connection hall) antara pendopo dengan omah njero. Pringgitan adalah tempat yang bermakna wayang. Jadi jika zaman dahulu orang-orang Jawa sering mengadakan pertunjukkan wayang di ruang ini. Karena  ruang ini lebih luas dimanfaatkan untuk menonton pertunjukkan wayang atau kegiatan publik. Emperan adalah teras depan dari bagian omah njero. Teras depan yang biasanya lebarnya sekitar 2meter ini merupakan tempat melakukan kegiatan umum yang sifatnya nonformal.
3.    Omah Njero
Kadang disebut juga sebagai omah mburi, dalem ageng atau omah. Kata omah dalam masyarakat Jawa juga digunakan sebagai istilah yang mencakup arti kedomestikan, yaitu sebagai sebuah unit tempat tinggal. Omah njero memiliki beberapa bagian, yaitu ruang keluarga dan beberapa kamar yang disebut senthong. Dulu, kamar atau senthong hanya dibuat tiga saja, yaitu kamar pertama untuk tidur atau istirahat laki-laki, kedua kamar kosong namun tetap diisi dengan tempat tidur atau amben lengkap dengan perlengkapan tidur untuk kebutuhan tamu dan kebutuhan lain, dan yang ketiga diperuntukkan untuk tempat tidur atau istirahat bagi kaum  perempuan.
4.    Senthong Kiwa
Senthong kiwa dapat digunakan sebagai kamar tidur keluarga atau sebagai tempat penyimpanan beras dan alat bertani
5.    Senthong Tengah (Krobongan)
Dalam kontruksi bangunan rumah tradisional Jawa, letak senthong tengah ini paling dalam, paling jauh dari bagian luar. Senthong tengah ini merupakan ruang yang menjadi pusat dari seluruh bagian rumah, ruang ini seringkali menjadi “ruang pamer” bagi keluarga penghuni rumah tersebut. Sebenarnya senthong tengah merupakan ruang yang sakral yang sering menjadi tempat pelaksanaan upacara atau ritual keluarga. Tempat ini juga menjadi ruang penyimpanan benda-benda pusaka keluarga penghuni rumah. Senthong tengah atau krobongan jika melihat filosofi zaman dahulu juga berfungsi untuk pemujaan Dewi Sri, jika seorang petani. Dan filosofi kepercayaan lainnya. Krobongan sebagai ruangan khusus sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri memiliki makna yang terdapat pada setiap benda yang ada didalamnya.
a.    Padi : Dewi Sri merupakan dewi kesuburan dan dilambangkan oleh padi di dalam krobongan.
b.    Patung Loro Blonyo : patung mempelai pria dan wanita adat Jawa ini diletakan didepan krobongan yang melambangkan kebahagiaan pasangan suami istri dan lambang kesuburan.
c.     Pusaka/Keris : pusaka/keris yang merupakan benda suci maka akan diletakkan di tempat suci pula seperti krobongan.
d.    Kain Cindai/Patola India : penutup tempat tidur dan bantal serta guling di dalam krobongan merupakan kain cindai atau patola india. Karena memiliki pola yang sarat dengan makna Hindu (pola jlamprang dan cakra-senjata Dewa Wishnu dan delapan tataran yoga) maka kain ini dianggap memiliki kesaktian dan keberadaannya pun dikeramatkan.
e.    Hiasan Naga : hiasan naga pada krobongan muncul setelah mendapat pengaruh Hindu. Cerita Amertamanthana (dalam cerita Mahabarata) yang menceritakan sewaktu ular Basuki melilit pada pinggang gunung Mandara yang membantu untuk keluarnya air amerta (abadi) yang dibutuhkan para dewa untuk diminum (Wibowo, dkk., 1987:157). Sebelum datangnya Hindu ke Nusantara (zaman Neolithikum), dunia dianggap memiliki dua bagian yaitu dunia atas dan dunia bawah yang memiliki sifat bertentangan. Dunia atas dilambangkan dengan matahari, terang, atas, rajawali, dan kuda sedangkan dunia bawah dilambangkan dengan gelap, bumi, bulan, air, ular, kura-kura, dan buaya (Soegeng, 1957:11). Berdasarkan kepercayaan neolithikum dan cerita Mahabarata, ular selalu dikaitkan dengan air, makna hiasan ular pada krobongan merupakan simbol agar dalam bertani tidak akan terjadi kekurangan air (Widayat, 2004:17).
f.      Hiasan Burung Garuda : hiasan burung garuda pada krobongan merupakan simbol penyeimbang dari hiasan naga atau ular yang melambangkan dunia bawah, maka garuda melambangkan dunia atas. Selain itu, burung garuda mengingatkan pada cerita Gurudeya. Burung garuda yang merupakan anak Winata menyelamatkan ibunya dari perbudakan dan menjadikan para dewa tidak mati. Dalam cerita tersebut, burung garuda menjadi sosok pemberantas kejahatan, dan hal inilah yan diharapkan sehingga hiasan burung garuda diletakkan pada krobongan (Widayat, 2004:17).
6.    Gandok dan Pawon
Gandok merupakan bangunan yang terletak di samping (pavillium). Biasanya menempel dengan bangunan bagian belakang. Arah membujur gandok melintang pada rumah belakang. Gandok berfungsi sebagai tempat penyimpanan perabot dapur, ruang makan dan terkadang berfungsi sebagai dapur. Pawon atau biasa disebut dapur adalah ruang yang paling belakang yang berfungsi sebagai dapur atau tempat memasak serta ruang yang aktifitasnya dibelakang seperti kamar mandi. Jadi ruang ini juga termasuk ruang pribadi yang bersifat sakral. Jika ada orang Jawa yang mempunyai leluhur yang berkaitan dengan orang Cina tempo dulu, berarti ada ruang abu, yaitu tempat untuk menghormati leluhur masa lalu.
Berdasarkan pada pandangan hidup orang Jawa bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh alam semesta atau dalam lingkup yang lebih terbatas adalah dari pengaruh lingkungan sekitarnya, maka keberadaan rumah bagi orang Jawa harus mempertimbangkan hubungan tersebut. Joglo sebagai salah satu simbol kebudayaan masyarakat Jawa merupakan media perantara untuk menyatu dengan Tuhan (kekuatan Ilahi) sebagai tujuan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi), berdasar pada kedudukan manusia sebagai seorang individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Nilai filosofi Joglo merepresentasikan etika Jawa yang menuntut setiap orang Jawa untuk memiliki sikap batin yang tepat, melakukan tindakan yang tepat, mengetahui tempat yang tepat (dapat menempatkan diri) dan memiliki pengertian yang tepat dalam kehidupan.
a.    Rumah bagi individu Jawa
Sebagai personifikasi penghuninya, rumah harus dapat menggambarkan kondisi atau tujuan hidup yang ingin dicapai oleh penghuninya. Rumah Jawa dihadapkan pada pilihan empat arah mata angin, yang biasanya hanya mengahadap ke arah utara atau selatan. Tiap arah mata angin menurut kepercayaan juga dijaga oleh dewa, yaitu :
·       Arah timur oleh Sang Hyang Maha Dewa, dengan sinar putih berarti sumber kehidupan atau pelindung umat manunisa, merupakan lambang kewibawaan yang dibutuhkan oleh para raja.
·       Arah barat oleh Sang Hyang Yamadipati, dengan sinar kuning berarti kematian, merupakan lambang kebinasaan atau malapetaka.
·       Arah utara oleh Sang Hyang Wisnu, dengan sinar hitam berarti penolong segala kesulitan hidup baik lahir maupun batin, merupakan lambang yang cerah, ceria, dan penuh harapan.
·       Arah selatan oleh Sang Hyang Brahma, dengan sinar merah berarti kekuatan, merupakan lambang keperkasaan, ketangguhan terhadap bencana yang akan menimpanya.

Rumah bagi individu Jawa sangat penting untuk menunjukan bahwa seseorang memiliki kontrol teritorial, yang selanjutnya akan mendefinisikan keberadaan dan statusnya. Sebuah rumah merupakan bentuk eksistensi bagi pemiliknya. Sehingga rumah Jawa sebagai personifikasi penghuninya juga ditunjukkan melalui dimensi antropometrik yang mengacu pada dimensi tubuh penghuni, yaitu kepala rumah tangga.

Rumah merupakan pelindung dari kekacauan dan kesialan yang berada di luar rumah. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan sumur yang letaknya berdekatan dengan regol. Seseorang akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel pada tubuhnya di jalanan. Di rumahlah orang menemukan ketentraman terlindungi dari dunia luar yang merupakan sumber kekacauan.
b.    Rumah bagi keluarga Jawa
Rumah bagi keluarga Jawa mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk pengakuan umum bahwa keluarga tersebut telah memiliki kehidupan yang mapan. Ini menegaskan kondisi ideal bagi orang Jawa yaitu memiliki rumah tangga sendiri. Kepemilikan terhadap rumah dan tanah merupakan hal yang selalu lebih utama dari pada kepemilikan terhadap benda-benda lainnya. Meskipun konstruksi rumah Jawa memungkinkan untuk dibongkar-pasang, namun kecenderungan dalam praktik sehari-hari adalah membiarkan sebagian besar pintu dan jendelanya dalam keadaan tertutup sehingga menjadi gelap. Kondisi ini menghindari kekurangan-kekurangan dalam rumah terlihat dari luar oleh orang lain. Selain itu juga untuk memberikan privasi dan kebebasan bagi keluarga yang menghuni.

Peran utama rumah adalah sebagai tempat menetap, melanjutkan keturunan serta menopang kehidupan sebuah keluarga. Seringkali di depan senthong dapat dipasang foto-foto leluhur sebagai simbol kesinambungan keturunan. Secara khusus, senthong tengah berfungsi sebagai kuil kemakmuran keluarga dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagi titik penghubung anatara rumah, sawah, dan dunia nenek moyang melindungi semuanya.
c.     Joglo dalam kehidupan masyarakat Jawa
Ukuran dan bentuk rumah merupakan lambang kedudukan sosial keluarga yang menempatinya dalam suatu masyarakat. Hanya kaum bangsawan saja yang awalnya diperbolehkan memiliki rumah Joglo. Untuk orang desa pada umumnya menggunakan bentuk Srotongan atau Trojongan. Yang membedakan Joglo dengan tipologi rumah Jawa lainnya adalah kondisi konstruksi atapnya yang memiliki puncak lebih menjulang tinggi sekaligus lebih pendek dengan susunan tumpang sari, yaitu yang ditopang oleh empat tiang utama atau soko guru. Bagian soko guru dan tumpang sari biasanya sarat dengan ukiran, baik yang rumit maupun sederhana. Material yang digunakan oleh Joglo juga lebih banyak dan biasanya menggunakan kayu jati, akibatnya harga Joglo lebih mahal dari tipologi rumah Jawa lainnya. Jadi Joglo menjadi simbol bahwa pemiliknya termasuk dalam strata sosial atas.

Sehingga kemudian nilai-nilai filossofi yang dimiliki oleh orang Jawa juga dapat diterapkan sebagai nilai-nilai filosofi Joglo sebagai rumah Jawa. Nilai-nilai kosmologi  yang dipercaya dan diwariskan oleh orang Jawa melalui mitos terpresentasikan pada rumah Jawa. Dimensi atap yang dominan menunjukkan bahwa orang Jawa mengutamakan bagian kepala dan isinya (pikiran dan ide) karena dengan kemampuan akal pikirnya akan dapat membawa manusia untuk mempersiapkan diri sebabaik mngkin sebelum mati untuk menemui Tuhan.


Kesimpulan

Rumah tradisi Jawa memiliki beberapa ruangan yang simetris dan terdapat hirarki ruang di dalamnya. Dari luar terdapat ruang publik yang besifat umum, semakin ke dalam ruangan yang ada bersifat pribadi (private). Bagian luar yang disebut teras merupakan ruangan terbuka tanpa atap. Teras juga merupakan ruang publik sebagai area peralihan dari luar ke dalam rumah.
Ruangan selanjutnya yaitu Pendopo yang masih berfungsi sebagai ruang publik, di ruangan inilah biasanya tuan rumah menerima tamu-tamunya. Pendopo memiliki bentuk ruangan persegi dan memiliki empat tiang (soko guru) yang terdapat di tengah-tengah pendopo. Ruangan ini tidak memiliki pembatas pada keempat sisinya, hal ini melambangkan keterbukaan pemiliknya terhadap siapa saja yang datang. Pendopo menggambarkan gaya hidup masyarakat Jawa yang rukun.
Pringgitan merupakan ruang peralihan antara area publik dan privat, yaitu terletak diantara pendopo dan dalem ageng. Pringgitan juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan wayang kulit apabila ada acara khitanan, ruwatan, perkawinan, dsb. Ruangan yang disebut dalem ageng merupakan ruang privat (pribadi), salah satu fungsinya sebagai ruang berkumpulnya seluruh anggota keluarga. Bentuk ruangan ini persegi dengan dilingkupi dinding pada setiap sisinya. Di dalam ruangan dalem ageng terdapat tiga petak ruangan yang berukuran sama besar disebut senthong. Senthong kiwa dan senthong tengen di sisi kanan dan kiri merupakan tempat tidur anggota keluarga pria dan wanita, sedangkan senthong tengah merupakan senthong paling sakral/suci. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Senthong tengah merupakan area paling privat (pribadi) bagi pemilik rumah tradisi Jawa.
Bagian rumah lain yang bersifat privat adalah gandhok, pawon dan pekiwan. Gandhok merupakan ruangan belakang yang memanjang di sisi dalem ageng dan pringgitan. Sedangkan pawon merupakan bangunan di belakang dalem ageng dan terletak jauh dari tempat paling suci (senthong tengah/krobongan) fungsinya sebagai dapur. Ruangan yang berfungsi sebagai wc adalah pekiwan. Ruangan-ruangan yang dianggap ‘kotor’ ini diletakkan jauh-jauh dari ruangan-ruangan utama sebelumnya, seperti dalem ageng atau krobongan sebagai tempat suci pemujaan Dewi Sri.
Krobongan sebagai tempat suci bagi para penghuni rumah tradisi Jawa erat kaitannya dengan mitos dan kepercayaan masyarakat agraris Jawa terhadap Dewi Sri. Dewi Sri yang melambangkan kesuburan dan kebahagiaan dalam rumah tangga sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Jawa. Di ruangan sakral tersebut tersimpan benda-benda pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan magis yang juga disertai dengan alat-alat penuh makna mistis yang dikaitkan dengan paham Hindu dan zaman neolitikum. Keberadaan krobongan dalam rumah tardisi Jawa menggambarkan dunia orang Jawa tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos. Segala sesuatunya selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan alam, sesuatu yang metafisik, sebagaimana orang Jawa memahami rumah Jawanya. Keseimbangan kosmologi tersebut dibangun diatas pemahaman yang selalu dalam bentuk dualitas, seperti adanya siang-malam, panas-dingin, utara-selatan, dan laki-laki-perempuan; selain itu juga adanya makna simbolik yang mengacu pada tiga, empat atau lima kutub. 

Sekian papan tentang Rumah Joglo yang termasuk kedalam Folklore Bukan Lisan Indonesia. Penulis menyadari banyak kekurangan dari paparan diatas, maka dari itu penulis berharap kritik dan saran dari teman-teman yang membaca demi kebaikan penyelesaian tugas berikutnya. Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pengerjaan tugas ini. Semoga paparan diatas dapat menambah pengetahuan teman-teman semua.






DAFTAR PUSTAKA


Allaudin, Diaz. “ Resensi Buku Ilmu Folklor di Indonesia”. http://www.pelitaperdamaian.org/resensi-buku-ilmu-folklor-di-indonesia/. (diakses pada tanggal 1 Januari 2016).


“Ciri Khas dan Struktur Rumah Adat Jawa Tengah Joglo”. http://gambar-desain-rumah.com/ciri-khas-dan-struktur-rumah-adat-jawa-tengah-joglo/. (diakses pada tanggal 1 Januari 2016).


Cyntya, Tya. “Laporan Pengamatan Arsitektur Vernakuler Joglo Jogja”. http://www.academia.edu/13836807/Laporan_Pengamatan_Arsitektur_Vernakuler_Joglo_Jogja. (diakses pada tanggal 2 Januari 2016)


“Filosofi Rumah Tradisional Jawa”. http://muhammadrosulullah.blogspot.co.id/2013/06/filosofi-rumah-tradisional-jawa.html. (diakses pada tanggal 2 Januari 2016)


Hayati, Salma. “Rumah Joglo : Sisi Fungsional dan Spiritual Arsitektur Jawa”. http://jogjareview.net/seni/rumah-joglo-sisi-fungsional-dan-spiritual-arsitektur-jawa/. (diakses pada 1 Januari 2016)


“Kehebatan Desain Rumah Traditional Jawa Dalam Filsafat”. http://infobisnisproperti.com/kehebatan-desain-rumah-traditional-jawa-dalam-filsafat/. (diakses pada 1 Januari 2016).


“Legenda Dewi Sri Dalam Rumah Jawa”. http://akucintanusantaraku.blogspot.co.id/2014/02/legenda-dewi-sri-dalam-rumah-jawa.html. (diakses pada tanggal 1 Januari 2016).


“Mengenal Tata Ruang Rumah Tradisional Adat Jawa”. http://akucintanusantaraku.blogspot.co.id/2014/02/filosofi-dan-seputar-rumah-adat-jawa.html. (diakses pada 1 Januari 2016).


Pramesti, Dina. “Sejarah Rumah Joglo”. http://jogloga.blogspot.co.id/2012/10/sejarah-rumah-joglo.html. (diakses pada tanggal 1 Januari 2016).


Santoso, Agus. “Filosofi Rumah Joglo”. https://agussemarang.wordpress.com/java/joglo/. (diakses pada 1 Januari 2016).


Wibatsuh, Alpine G. “Pengertian Folklore Beserta Jenis-jenisnya”.  http://alpineavira.blogspot.co.id/2011/11/pengertian-folklore-beserta-jenis.html. (diakses pada tanggal 1 Januari 2016).

Nama         : Soraida Shabrina
NIM  : 4423155033
Kelas : B UJP 2015

2 komentar:

  1. emang sih yang perlu diperhatiin tuh pariwisata yang bersejarah gini, walau pun murah tapi penuh edukasi

    BalasHapus