Rumah Joglo Folklore Bukan Lisan
Orang yang pertama kali
memperkenalkan folklore adalah William John Thoms, seorang ahli kebudayaan
antik (antiquarian), Inggris. Istilah
ini diperkenalkan pertama kali pada waktu ia menerbitkan sebuah artikelnya
dalam majalah The Athenaeum no 982,
tanggal 22 Agustus 1846. Dengan menggunakan nama samaran Ambrose Metton (1846:
862-863). Dalam surat terbuka itu, Thoms mengakui bahwa dialah yang telah
menciptakan istilah folklore, untuk
sopan santun Inggris, takhayul, balada dan sebagiannya dari masa lampau, yang
telah sebelumnya disebut dengan istilah atiquities,
popular atiquities, atau popular literature (Dundes 1965:4).
Folklore, terdiri dari kata folk
dan lore. Folk sama artinya
dengan kata kolektif (collectivity).
Menurut Alan Dundes, adalah sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik,
sosial, dan kebudayan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya yang
telah mereka warisi turun-temurun sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui dan sadari milik bersama dalan kesatuan masyarakat. Sedangkan lore adalah tradisi folk yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun
secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau
alat pembantu pengingat (mnemoic device).
Dengan kata lain folklore adalah
kebudayan suatu kolektif yang tesebar dan diwariskan secara tradisional dalam
versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Adapun ciri-ciri folklore adalah folklore
diciptakan, disebarkan, dan diwariskan secara lisan (dari mulut ke mulut) dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Folklore bersifat tradisional, tersebar
diwilayah (daerah tertentu) dalam bentuk relatif tetap, disebarkan kelompok
tertentu dalam waktu yang cukup lama. Folklore menjadi milik bersama dari
kelompok tertentu, karena pencipta pertamanya sudah tidak diketahui sehingga
setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya. Folklore
mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama, diantaranya sebagai alat pendidik,
pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendam. Folklore
mengandung pesan moral, bersifat pralogis, lugu dan polos.
Menurut Jan Harold Brunvard, ahli
folklore dari Amerika Serkat, folklore dapat digolongkan kedalam tiga kelompok
besar berdasarkan tipenya, yaitu :
1.
Folklore Lisan
Merupakan folklore
yang bentuknya murni lisan, yaitu diciptakan, disebarluaskan, dan diwariskan
secara lisan.
2.
Folklore Sebagian Lisan
Merupakan
folklore yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan, folklor
ini dikenal juga sebagai fakta sosial.
3.
Folklore Bukan Lisan
Merupakan
folklore yang bentuknya bukan lisan tetapi cara pembuatannya diajarkan secara
lisan. Biasanya meninggalkan bentuk materiil (artefak).
Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang
Rumah Joglo Jawa Tengah yang termasuk kedalam folklore bukan lisan.
Yang termasuk dalam folklore bukan lisan yaitu :
a.
Arsitektur rakyat (prasasti,
bangunan-bangunan suci)
Arsitektur merupakan
sebuah seni atau ilmu merancang bangunan
b.
Kerajianan tangan rakyat
Awalnya dibuat
hanya sekedar untuk mengisi waktu senggang dan untuk kebutuhan rumah tangga
c.
Pakaian atau perhiasan tradisional
d.
Obat-obatan tradisional
e.
Masakan dan minuman khas
Rumah adat
Jawa Tengah berbentuk rumah Joglo. Sebuah bangunan Joglo yang menimbulkan
interpretasi arsitektur Jawa mencerminkan ketenangan, hadir diantara
bangunan-bangunan yang beraneka ragam. Interpretasi ini memiliki ciri pemakaian
kontruksi atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang. Setiap kali kita memasuki rumah Joglo sebagai rumah adat Jawa, kita
bukan sekedar memasuki sebuah gedung melainkan sebuah alam pikiran atau
pandangan hidup tertentu. Bagi orang Jawa, rumah bukan hanya tempat tinggal
secara fisik melainkan tempat di mana jiwa menemukan tempat berdiam. Dengan
kata lain, bagi orang Jawa, rumah berfungsi baik fisikal maupun spititual.
Sebuah fungsi yang kian terkikis dalam arsitektur modern yang lebih memandang
rumah dari fungsi fungsi fisiknya daripada spiritual. Rumah Joglo dulunya juga dapat menunjukkan status
sosial, karena hanya segelintir orang dengan kemampuan ekonomi berlebih yang
mampu memilikinya. Material yang digunakan pada rumah Joglo sebagian besar
merupakan kayu. Dahulu kala, orang yang memiliki rumah Joglo umumnya berasal
dari kalangan keluarga bangsawan atau ningrat. Untuk membedakan status sosial
pemilik rumah, kehadiran bentangan dan tiang penyangga dengan atap bersusun
yang biasanya dibiarkan menyerupai warna aslinya menjadi ciri khas dari
kehadiran sebuah pendopo dalam rumah Joglo.
Rumah adat
Joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang
bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah
yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan
tradisional. Istilah Joglo berasal dari kerangka bangunan utama dari rumah adat
Jawa yang terdiri dari bangunan utama yang terdiri dari soko guru berupa empat tiang
utama penyangga struktur bangunan serta tumpang sari yang berupa susunan balok
yang disangga soko guru.
Struktur Joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur
utama rumah juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk
pencu. Cara orang Jawa membangun rumah dengan
soko guru sebagi pusat rumah dan tiang-tiang lain mengikuti disekelilingnya,
mirip dengan cara pandang masyarakat Jawa dalam melihat masyarakat. Sultan
ditempatkan berada di pusat dunia, yang mengendalikan tatanan (Hamengkubuwono)
atau yang “menggenggam bumi” (Pakubumi) atau yang “mengendalikan alam” (Paku
Alam). Di pusatnya, pandangan kemudian bergerak melebar dengan disangga daerah-daerah
lain di sekitarnya, mulai kabupaten sampai desa. Maka tatanan rumah, politik,
sosial dan spiritual Jawa mempunyai kemiripan atau parelelitas satu sama lain.
Inilah yang disebut dengan desain mandala dalam kajian kosmologi tradisional
dan arkais.
Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping
kanan dan kiri pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna
simbolis bahwa kupu tarung yang berada ditengah untuk keluarga besar,sementara
dua pintu disamping kanan dan kiri untuk besan, hal ini melambangkan bahwa tamu
itu adalah raja yang harus dihormati dan di tempatkan di tempat yang berbeda
dengan keluarga inti dan itu adalah cara atau tatakrama yang pantas untuk
menyambut tamu.
Susunan ruangan pada Joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu
ruangan pertemuan yang disebut pendopo, ruang tengah atau ruang yang dipakai
untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit disebut pringgitan, dan ruang
belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang
ini terdapat tiga buah senthong (kamar) yaitu senthong kiri, senthong tengah
dan senthong kanan. Terjadi penerapan prinsip hirarki
dalam pola penataan ruangannya. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang
bagian depan bersifat umum (publik) dan bagian belakang yang bersifat khusus
(pribadi). Uniknya, setiap ruangan dari bagian teras, pendopo sampai bagian
belakang (pawon dan pekiwan) tidak hanya memiliki fungsi tetapi juga sarat
dengan unsur filosofi hidup etnis Jawa. Ruang depan yang disebut jaga satru
disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, bagian kiri untuk jamaah
wanita dan sebelah kanan untuk jamaah laki-laki. Masih pada ruang jaga satru
didepan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang
keseimbangan atau soko geder,selain sebagai simbol kepemilikan, tiang tersebut
juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan penghuni rumah
tentang keesaan Tuhan. Begitu juga diruang dalam terdapat empat tiang utama
yang disebut soko guru. Hal ini melambangkan bahwa pada hakekatnya manusia
adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani hidup seorang diri melainkan
harus saling membantu satu sama lain, selain itu soko guru juga melambangkan
empat hakekat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagai hakekat dan sifat
manusia.
Unsur religi atau kepercayaan terhadap dewa diwujudkan
dengan ruang pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah
tangga) sesuai dengan mata pencaharian masyarakat Jawa yaitu petani. Ruang
tersebut disebut krobongan, yaitu kamar yang selalu kosong, namun lengkap
dengan ranjang, kasur, bantal , dan guling dan bisa juga digunakan untuk malam
pertama bagi pengantin baru. Krobongan merupakan ruang khusus yang dibuat
sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat berperan dalam
semua sendi kehidupan masyarakat Jawa. Dewi Sri sangat akrab dengan masyarakat
Jawa yang bermata pencaharian sebagai petani. Bagi mereka, Dewi Sri merupakan
ikon sekaligus tokoh penting yang sangat berperan dalam menentukan hasil
panennya nanti. Maka tidak aneh jika dirumah Joglo disediakan ruangan khusus
untuk Dewi Sri. Dewi Sri dalam buku Sejarah Wayang Purwa (Hardjowirogo,
1982:72) dijelaskan Dewi Sri adalah putri Prabu Srimahapunggung dari negara
Medangkamulan. Dewi Sri bersaudara laki-laki yang bernama Raden Sadana. Dewi
Sri meninggalkan Medangkamulan untuk menyusul saudaranya yang menolak untuk
dikawinkan. Ia mendapat berbagai cobaan dalam perjalanannya. Seorang raksasa
terus menggodanya. Setelah itu ia dikutuk menjadi ular sawah oleh ayahnya,
namun kemudian ia berhasil kembali menjadi Dewi Sri seperti semula. Selama
perjalanan, Dewi Sri banyak mendapat pengalaman yang berhubungan dengan
pertanian.
Menurut Lombard (1996:82), walaupun mitos Dewi Sri
berasal dari India namun dibeberapa pulau di Nusantara yang tidak tersentuh
pengaruh India pun mengenal sosok Dewi Sri sebagai dewi kesuburan. Ceritanya
pun hampir sama, yaitu Dewi Sri yang dikorbankan lalu dari seluruh bagian
tubuhnya tumbuh berbagai tanaman budidaya yang utama seperti padi. Mitos
tersebut sangat kental dengan pengaruh Hindu. Hal ini bisa saja terjadi akibat
adanya asimilasi antara paham animisme dan Hindu. Hasilnya muncul seorang tokoh
simbolik kaum petani jawa, yang melindungi tanaman padinya terhadap gangguan-gangguan
hama tanaman padi, yang dianggap berasal dari para lelembut atau jin
mrekayangan (Widayat, 2004:10). Berbagai cerita padi muncul di Jawa sebelum
datangnya pengaruh Hindu dan ada kemungkinan cerita tersebut setelah datangnya
paham Hindu diubah dan disesuaikan dengan ajaran Hindu.
Kehadiran figur Dewi Sri juga tampak dalam upacara pernikahan,
dimana pertalian antara reproduksi pertanian dan reproduksi manusia berada
dalam ritus kedua dari rangkaian ritus temu pengantin. Pengantin perempuan dan
pengantin laki-laki bersama-sama melangkahi sebuah bajak yang ditempatkan di
ambang pintu masuk rumah dimana upacara pernikahan tersebut diselenggarakan. Ritus
menggunakan bajak sedikit banyak meretensi pertaliannya dengan proses
reproduksi Sri. Di bajak tersebut tertera tanda-tanda dari kapur mengenai
ramalan yang bertalian dengan reproduksi manusia dan reproduksi pertanian. Bajak
yang digunakan untuk ritus pernikahan itu secepatnya kemudian digunakan untuk
mengolah lahan sawah, supaya dapat memberikan berkah kepada sawah dan panen
yang melimpah. Jadi ada hubungan simbol kesuburan antara manusia dengan
pertanian. Seperti diketahui pada alat pertanian bajak (yang digunakan untuk
upacara pengantin) biasanya tertera suatu perhitungan yang bertalian dengan
reproduksi manusia, maknanya adalah ramalan yang bertalian antara reproduksi
manusia (anak keturunan), dan juga reproduksi pertanian (kesuburan tanah).
Tata ruang rumah Joglo :
1.
Pendopo
Pendopo berfungsi
sebagai tempat untuk menerima tamu. Struktur bangunan pada pendopo menggunakan
umpak sebagai alas soko, empat buah soko guru (tiang utama) sebagai lambang
penentu empat arah mata angin dan dua belas soko pengarak. Ada pula tumpang
sari yang merupakan susunan terbalik yang disangga oleh soko guru. Pada umumnya,
tumpang sari terdapat pada pendopo disusun bertingkat. Tingkatan-tingkatan ini
dapat pula diartikan sebagai tingkatan untuk menuju suatu titik puncak. Menurut
kepercayaan jawa, tingkatan-tingkatan ini akan menyatu pada satu titik. Pendopo
letaknya di depan dan tidak mempunyai dinding atau terbuka hal ini berkaitan
dengan filosofi orang Jawa yang selalubersikap ramah, terbuka dan tidak memilik
dalam hal menerima tamu. Kalaupun memakai penutup, maka yang digunakan adalah
dinding dari kayu yang mudah untuk dibuka atau di gebyok. Pada umumnya pendopo tidak di beri meja ataupun kursi,
hanya diberi tikar apabilal ada tamu yang datang, sehingga antara tamu dan yang
pemilik rumah mempunyai kesetaraan dan juga dalam hal pembicaraan terasa akrab
atau rukun.
2.
Pringgitan
Pringgitan
memiliki konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi
dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau wayang dari
Dewi Sri yang merupakan sumber segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan
(Hidayatun, 1999:30). Pringgitan adalah lorong penghubung (connection hall) antara pendopo dengan omah njero. Pringgitan adalah
tempat yang bermakna wayang. Jadi jika zaman dahulu orang-orang Jawa sering
mengadakan pertunjukkan wayang di ruang ini. Karena ruang ini lebih luas dimanfaatkan untuk
menonton pertunjukkan wayang atau kegiatan publik. Emperan adalah teras depan
dari bagian omah njero. Teras depan yang biasanya lebarnya sekitar 2meter ini
merupakan tempat melakukan kegiatan umum yang sifatnya nonformal.
3.
Omah Njero
Kadang disebut
juga sebagai omah mburi, dalem ageng atau omah. Kata omah dalam masyarakat Jawa
juga digunakan sebagai istilah yang mencakup arti kedomestikan, yaitu sebagai
sebuah unit tempat tinggal. Omah njero memiliki beberapa bagian, yaitu ruang
keluarga dan beberapa kamar yang disebut senthong. Dulu, kamar atau senthong
hanya dibuat tiga saja, yaitu kamar pertama untuk tidur atau istirahat
laki-laki, kedua kamar kosong namun tetap diisi dengan tempat tidur atau amben
lengkap dengan perlengkapan tidur untuk kebutuhan tamu dan kebutuhan lain, dan
yang ketiga diperuntukkan untuk tempat tidur atau istirahat bagi kaum perempuan.
4.
Senthong Kiwa
Senthong kiwa
dapat digunakan sebagai kamar tidur keluarga atau sebagai tempat penyimpanan
beras dan alat bertani
5.
Senthong Tengah (Krobongan)
Dalam kontruksi
bangunan rumah tradisional Jawa, letak senthong tengah ini paling dalam, paling
jauh dari bagian luar. Senthong tengah ini merupakan ruang yang menjadi pusat
dari seluruh bagian rumah, ruang ini seringkali menjadi “ruang pamer” bagi
keluarga penghuni rumah tersebut. Sebenarnya senthong tengah merupakan ruang
yang sakral yang sering menjadi tempat pelaksanaan upacara atau ritual
keluarga. Tempat ini juga menjadi ruang penyimpanan benda-benda pusaka keluarga
penghuni rumah. Senthong tengah atau krobongan jika melihat filosofi zaman
dahulu juga berfungsi untuk pemujaan Dewi Sri, jika seorang petani. Dan filosofi
kepercayaan lainnya. Krobongan sebagai ruangan khusus sebagai bentuk
penghormatan terhadap Dewi Sri memiliki makna yang terdapat pada setiap benda
yang ada didalamnya.
a. Padi :
Dewi Sri merupakan dewi kesuburan dan dilambangkan oleh padi di dalam
krobongan.
b. Patung Loro
Blonyo : patung mempelai pria dan wanita adat Jawa ini diletakan didepan
krobongan yang melambangkan kebahagiaan pasangan suami istri dan lambang
kesuburan.
c. Pusaka/Keris
: pusaka/keris yang merupakan benda suci maka akan diletakkan di tempat suci
pula seperti krobongan.
d. Kain Cindai/Patola
India : penutup tempat tidur dan bantal serta guling di dalam krobongan
merupakan kain cindai atau patola india. Karena memiliki pola yang sarat dengan
makna Hindu (pola jlamprang dan cakra-senjata Dewa Wishnu dan delapan tataran
yoga) maka kain ini dianggap memiliki kesaktian dan keberadaannya pun
dikeramatkan.
e. Hiasan Naga
: hiasan naga pada krobongan muncul setelah mendapat pengaruh Hindu. Cerita Amertamanthana
(dalam cerita Mahabarata) yang menceritakan sewaktu ular Basuki melilit pada
pinggang gunung Mandara yang membantu untuk keluarnya air amerta (abadi) yang
dibutuhkan para dewa untuk diminum (Wibowo, dkk., 1987:157). Sebelum datangnya
Hindu ke Nusantara (zaman Neolithikum), dunia dianggap memiliki dua bagian
yaitu dunia atas dan dunia bawah yang memiliki sifat bertentangan. Dunia atas
dilambangkan dengan matahari, terang, atas, rajawali, dan kuda sedangkan dunia
bawah dilambangkan dengan gelap, bumi, bulan, air, ular, kura-kura, dan buaya
(Soegeng, 1957:11). Berdasarkan kepercayaan neolithikum dan cerita Mahabarata,
ular selalu dikaitkan dengan air, makna hiasan ular pada krobongan merupakan
simbol agar dalam bertani tidak akan terjadi kekurangan air (Widayat, 2004:17).
f.
Hiasan Burung Garuda : hiasan burung
garuda pada krobongan merupakan simbol penyeimbang dari hiasan naga atau ular
yang melambangkan dunia bawah, maka garuda melambangkan dunia atas. Selain itu,
burung garuda mengingatkan pada cerita Gurudeya. Burung garuda yang merupakan
anak Winata menyelamatkan ibunya dari perbudakan dan menjadikan para dewa tidak
mati. Dalam cerita tersebut, burung garuda menjadi sosok pemberantas kejahatan,
dan hal inilah yan diharapkan sehingga hiasan burung garuda diletakkan pada
krobongan (Widayat, 2004:17).
6.
Gandok dan Pawon
Gandok merupakan
bangunan yang terletak di samping (pavillium).
Biasanya menempel dengan bangunan bagian belakang. Arah membujur gandok
melintang pada rumah belakang. Gandok berfungsi sebagai tempat penyimpanan
perabot dapur, ruang makan dan terkadang berfungsi sebagai dapur. Pawon atau
biasa disebut dapur adalah ruang yang paling belakang yang berfungsi sebagai
dapur atau tempat memasak serta ruang yang aktifitasnya dibelakang seperti
kamar mandi. Jadi ruang ini juga termasuk ruang pribadi yang bersifat sakral. Jika
ada orang Jawa yang mempunyai leluhur yang berkaitan dengan orang Cina tempo
dulu, berarti ada ruang abu, yaitu tempat untuk menghormati leluhur masa lalu.
Berdasarkan pada pandangan hidup
orang Jawa bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh alam semesta
atau dalam lingkup yang lebih terbatas adalah dari pengaruh lingkungan
sekitarnya, maka keberadaan rumah bagi orang Jawa harus mempertimbangkan
hubungan tersebut. Joglo sebagai salah satu simbol kebudayaan masyarakat Jawa
merupakan media perantara untuk menyatu dengan Tuhan (kekuatan Ilahi) sebagai
tujuan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi), berdasar pada kedudukan
manusia sebagai seorang individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Nilai
filosofi Joglo merepresentasikan etika Jawa yang menuntut setiap orang Jawa
untuk memiliki sikap batin yang tepat, melakukan tindakan yang tepat,
mengetahui tempat yang tepat (dapat menempatkan diri) dan memiliki pengertian
yang tepat dalam kehidupan.
a.
Rumah bagi individu Jawa
Sebagai personifikasi
penghuninya, rumah harus dapat menggambarkan kondisi atau tujuan hidup yang
ingin dicapai oleh penghuninya. Rumah Jawa dihadapkan pada pilihan empat arah
mata angin, yang biasanya hanya mengahadap ke arah utara atau selatan. Tiap arah
mata angin menurut kepercayaan juga dijaga oleh dewa, yaitu :
·
Arah timur oleh Sang Hyang Maha Dewa,
dengan sinar putih berarti sumber kehidupan atau pelindung umat manunisa,
merupakan lambang kewibawaan yang dibutuhkan oleh para raja.
·
Arah barat oleh Sang Hyang Yamadipati,
dengan sinar kuning berarti kematian, merupakan lambang kebinasaan atau
malapetaka.
·
Arah utara oleh Sang Hyang Wisnu, dengan
sinar hitam berarti penolong segala kesulitan hidup baik lahir maupun batin,
merupakan lambang yang cerah, ceria, dan penuh harapan.
·
Arah selatan oleh Sang Hyang Brahma,
dengan sinar merah berarti kekuatan, merupakan lambang keperkasaan, ketangguhan
terhadap bencana yang akan menimpanya.
Rumah bagi
individu Jawa sangat penting untuk menunjukan bahwa seseorang memiliki kontrol
teritorial, yang selanjutnya akan mendefinisikan keberadaan dan statusnya. Sebuah
rumah merupakan bentuk eksistensi bagi pemiliknya. Sehingga rumah Jawa sebagai
personifikasi penghuninya juga ditunjukkan melalui dimensi antropometrik yang
mengacu pada dimensi tubuh penghuni, yaitu kepala rumah tangga.
Rumah merupakan
pelindung dari kekacauan dan kesialan yang berada di luar rumah. Hal ini
ditunjukkan oleh keberadaan sumur yang letaknya berdekatan dengan regol. Seseorang
akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan
yang mungkin menempel pada tubuhnya di jalanan. Di rumahlah orang menemukan
ketentraman terlindungi dari dunia luar yang merupakan sumber kekacauan.
b.
Rumah bagi keluarga Jawa
Rumah bagi
keluarga Jawa mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk pengakuan
umum bahwa keluarga tersebut telah memiliki kehidupan yang mapan. Ini menegaskan
kondisi ideal bagi orang Jawa yaitu memiliki rumah tangga sendiri. Kepemilikan terhadap
rumah dan tanah merupakan hal yang selalu lebih utama dari pada kepemilikan
terhadap benda-benda lainnya. Meskipun konstruksi rumah Jawa memungkinkan untuk
dibongkar-pasang, namun kecenderungan dalam praktik sehari-hari adalah
membiarkan sebagian besar pintu dan jendelanya dalam keadaan tertutup sehingga
menjadi gelap. Kondisi ini menghindari kekurangan-kekurangan dalam rumah
terlihat dari luar oleh orang lain. Selain itu juga untuk memberikan privasi
dan kebebasan bagi keluarga yang menghuni.
Peran utama
rumah adalah sebagai tempat menetap, melanjutkan keturunan serta menopang
kehidupan sebuah keluarga. Seringkali di depan senthong dapat dipasang
foto-foto leluhur sebagai simbol kesinambungan keturunan. Secara khusus,
senthong tengah berfungsi sebagai kuil kemakmuran keluarga dalam kaitannya
dengan kedudukannya sebagi titik penghubung anatara rumah, sawah, dan dunia
nenek moyang melindungi semuanya.
c.
Joglo dalam kehidupan masyarakat Jawa
Ukuran dan
bentuk rumah merupakan lambang kedudukan sosial keluarga yang menempatinya
dalam suatu masyarakat. Hanya kaum bangsawan saja yang awalnya diperbolehkan
memiliki rumah Joglo. Untuk orang desa pada umumnya menggunakan bentuk
Srotongan atau Trojongan. Yang membedakan Joglo dengan tipologi rumah Jawa
lainnya adalah kondisi konstruksi atapnya yang memiliki puncak lebih menjulang
tinggi sekaligus lebih pendek dengan susunan tumpang sari, yaitu yang ditopang
oleh empat tiang utama atau soko guru. Bagian soko guru dan tumpang sari
biasanya sarat dengan ukiran, baik yang rumit maupun sederhana. Material yang
digunakan oleh Joglo juga lebih banyak dan biasanya menggunakan kayu jati,
akibatnya harga Joglo lebih mahal dari tipologi rumah Jawa lainnya. Jadi Joglo
menjadi simbol bahwa pemiliknya termasuk dalam strata sosial atas.
Sehingga kemudian
nilai-nilai filossofi yang dimiliki oleh orang Jawa juga dapat diterapkan
sebagai nilai-nilai filosofi Joglo sebagai rumah Jawa. Nilai-nilai
kosmologi yang dipercaya dan diwariskan
oleh orang Jawa melalui mitos terpresentasikan pada rumah Jawa. Dimensi atap
yang dominan menunjukkan bahwa orang Jawa mengutamakan bagian kepala dan isinya
(pikiran dan ide) karena dengan kemampuan akal pikirnya akan dapat membawa
manusia untuk mempersiapkan diri sebabaik mngkin sebelum mati untuk menemui
Tuhan.
Kesimpulan
Rumah tradisi Jawa memiliki beberapa ruangan yang simetris
dan terdapat hirarki ruang di dalamnya. Dari luar terdapat ruang publik yang
besifat umum, semakin ke dalam ruangan yang ada bersifat pribadi (private). Bagian luar yang disebut teras
merupakan ruangan terbuka tanpa atap. Teras juga merupakan ruang publik sebagai
area peralihan dari luar ke dalam rumah.
Ruangan selanjutnya yaitu Pendopo yang masih berfungsi
sebagai ruang publik, di ruangan inilah biasanya tuan rumah menerima
tamu-tamunya. Pendopo memiliki bentuk ruangan persegi dan memiliki empat tiang
(soko guru) yang terdapat di tengah-tengah pendopo. Ruangan ini tidak memiliki
pembatas pada keempat sisinya, hal ini melambangkan keterbukaan pemiliknya
terhadap siapa saja yang datang. Pendopo menggambarkan gaya hidup masyarakat
Jawa yang rukun.
Pringgitan merupakan ruang peralihan antara area publik dan
privat, yaitu terletak diantara pendopo dan dalem ageng. Pringgitan juga berfungsi
sebagai tempat pertunjukan wayang kulit apabila ada acara khitanan, ruwatan,
perkawinan, dsb. Ruangan yang disebut dalem ageng merupakan ruang privat
(pribadi), salah satu fungsinya sebagai ruang berkumpulnya seluruh anggota
keluarga. Bentuk ruangan ini persegi dengan dilingkupi dinding pada setiap
sisinya. Di dalam ruangan dalem ageng terdapat tiga petak ruangan yang
berukuran sama besar disebut senthong. Senthong kiwa dan senthong tengen di
sisi kanan dan kiri merupakan tempat tidur anggota keluarga pria dan wanita,
sedangkan senthong tengah merupakan senthong paling sakral/suci. Senthong
tengah atau krobongan merupakan tempat pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi
Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Senthong tengah merupakan area paling
privat (pribadi) bagi pemilik rumah tradisi Jawa.
Bagian rumah lain yang bersifat privat adalah gandhok, pawon
dan pekiwan. Gandhok merupakan ruangan belakang yang memanjang di sisi dalem
ageng dan pringgitan. Sedangkan pawon merupakan bangunan di belakang dalem ageng
dan terletak jauh dari tempat paling suci (senthong tengah/krobongan) fungsinya
sebagai dapur. Ruangan yang berfungsi sebagai wc adalah pekiwan.
Ruangan-ruangan yang dianggap ‘kotor’ ini diletakkan jauh-jauh dari
ruangan-ruangan utama sebelumnya, seperti dalem ageng atau krobongan sebagai
tempat suci pemujaan Dewi Sri.
Krobongan sebagai tempat suci bagi para penghuni rumah
tradisi Jawa erat kaitannya dengan mitos dan kepercayaan masyarakat agraris
Jawa terhadap Dewi Sri. Dewi Sri yang melambangkan kesuburan dan kebahagiaan
dalam rumah tangga sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Jawa. Di ruangan
sakral tersebut tersimpan benda-benda pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan
magis yang juga disertai dengan alat-alat penuh makna mistis yang dikaitkan
dengan paham Hindu dan zaman neolitikum. Keberadaan krobongan dalam rumah
tardisi Jawa menggambarkan dunia orang Jawa tidak dapat dipisahkan dari
pemahaman tentang keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos. Segala sesuatunya
selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan alam, sesuatu yang metafisik,
sebagaimana orang Jawa memahami rumah Jawanya. Keseimbangan kosmologi tersebut
dibangun diatas pemahaman yang selalu dalam bentuk dualitas, seperti adanya
siang-malam, panas-dingin, utara-selatan, dan laki-laki-perempuan; selain itu
juga adanya makna simbolik yang mengacu pada tiga, empat atau lima kutub.
Sekian papan tentang Rumah Joglo
yang termasuk kedalam Folklore Bukan Lisan Indonesia. Penulis menyadari banyak
kekurangan dari paparan diatas, maka dari itu penulis berharap kritik dan saran
dari teman-teman yang membaca demi kebaikan penyelesaian tugas berikutnya. Terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pengerjaan tugas ini. Semoga
paparan diatas dapat menambah pengetahuan teman-teman semua.
DAFTAR PUSTAKA
Allaudin, Diaz. “ Resensi Buku Ilmu Folklor di
Indonesia”. http://www.pelitaperdamaian.org/resensi-buku-ilmu-folklor-di-indonesia/.
(diakses pada tanggal 1 Januari 2016).
“Ciri Khas dan Struktur Rumah Adat Jawa Tengah Joglo”. http://gambar-desain-rumah.com/ciri-khas-dan-struktur-rumah-adat-jawa-tengah-joglo/.
(diakses pada tanggal 1 Januari 2016).
Cyntya, Tya. “Laporan Pengamatan Arsitektur Vernakuler
Joglo Jogja”. http://www.academia.edu/13836807/Laporan_Pengamatan_Arsitektur_Vernakuler_Joglo_Jogja.
(diakses pada tanggal 2 Januari 2016)
“Filosofi Rumah Tradisional Jawa”. http://muhammadrosulullah.blogspot.co.id/2013/06/filosofi-rumah-tradisional-jawa.html.
(diakses pada tanggal 2 Januari 2016)
Hayati, Salma. “Rumah Joglo : Sisi Fungsional dan
Spiritual Arsitektur Jawa”. http://jogjareview.net/seni/rumah-joglo-sisi-fungsional-dan-spiritual-arsitektur-jawa/.
(diakses pada 1 Januari 2016)
“Kehebatan Desain Rumah Traditional Jawa Dalam Filsafat”.
http://infobisnisproperti.com/kehebatan-desain-rumah-traditional-jawa-dalam-filsafat/.
(diakses pada 1 Januari 2016).
“Legenda Dewi Sri Dalam Rumah Jawa”. http://akucintanusantaraku.blogspot.co.id/2014/02/legenda-dewi-sri-dalam-rumah-jawa.html.
(diakses pada tanggal 1 Januari 2016).
“Mengenal Tata Ruang Rumah Tradisional Adat Jawa”. http://akucintanusantaraku.blogspot.co.id/2014/02/filosofi-dan-seputar-rumah-adat-jawa.html.
(diakses pada 1 Januari 2016).
Pramesti, Dina. “Sejarah Rumah Joglo”. http://jogloga.blogspot.co.id/2012/10/sejarah-rumah-joglo.html.
(diakses pada tanggal 1 Januari 2016).
Santoso, Agus. “Filosofi Rumah Joglo”. https://agussemarang.wordpress.com/java/joglo/.
(diakses pada 1 Januari 2016).
Wibatsuh, Alpine G. “Pengertian Folklore Beserta
Jenis-jenisnya”. http://alpineavira.blogspot.co.id/2011/11/pengertian-folklore-beserta-jenis.html.
(diakses pada tanggal 1 Januari 2016).
Nama :
Soraida Shabrina
NIM : 4423155033
Kelas : B UJP 2015
emang sih yang perlu diperhatiin tuh pariwisata yang bersejarah gini, walau pun murah tapi penuh edukasi
BalasHapusKereeen^^
BalasHapus