FOLKLORE
LISAN PUISI RAKYAT SUNDA
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena atas
izin dan kehendakNya tugas sederhana ini dapat penulis rampungkan tepat pada
waktunya.
Penulisan
dan pembuatan tugas ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Indonesia. Adapun yang penulis bahas dalam tugas ini mengenai penjelasan yang
spesifik mengenai folklore suku Sunda.
Dalam
penulisan tugas ini kami menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya
Ilmu Pengetahuan penulis mengenai hal yang berkenan dengan penulisan tugas ini.
Oleh karena itu sudah sepatutnya penulis berterima kasih kepada dosen Mata
Kuliah Sejarah Indonesia yakni Drs. M. Shobirienur Rasyid yang telah memberikan
limpahan ilmu berguna kepada penulis.
Penulis
menyadari akan kemampuan penulis yang masih amatir. Dalam tugas ini penulis
sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun penulis yakin tugas ini masih banyak
kekurangan disana–sini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan juga
kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.
Harapan penulis, tugas ini dapat menjadi track
record dan menjadi referensi bagi penulis dalam mengarungi masa depan. Penulis
juga berharap agar tugas ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.
PEMBAHASAN
Kata Sunda bisa mengandung berbagai arti yang
secara umum berkaitan dengan suku Sunda di bagian barat Nusantara.
Catatan sejarah tertua yang sudah ditemukan mengandung kata "Sunda"
adalah prasasti Kebonkopi yang dibuat tahun 458 Saka (536 M, namun ada pula yang berpendapat bahwa
prasasti ini dibuat tahun 854 Saka, 932 M) yang menunjuk pada kerajaan Sunda.
Kata ini kemungkinan berasal dari bahasa Sanskerta yang bisa berarti 'cahaya' atau 'air'. Dalam naskah historis lainnya menyebutkan Sunda merujuk pada ibukota Kerajaan
Tarumanagara yang bernama Sundapura. Sehingga masyarakat yang menghuni wilayah
tersebut dikenal sebagai orang Sunda yang disebut hingga kini. Kerajaan
Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang terbukti
dengan bukti prasasti dan berita naskah kuno di negeri Tiongkok. Letak tepat
kota Sundapura masih menjadi penelitian para ahli, apakah di Jakarta, Bekasi
atau Karawang sekarang. Hanya di Karawang terdapat situs percandian Batujaya seluas 5 km persegi yang menunjukkan tumbuh
kembangnya kebudayaan sejak abad 2 Masehi hingga abad 12 Masehi.
Ciri khas folklore lisan berbentuk sajak rakyat adalah
kalimatnya berbentuk terikat (fixed
phrase). Sajak atau puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang terdiri
atas beberapa deret kalimat yang dibentuk berdasarkan unsur mantra, panjang
pendeknya suku kata, dan lemah kuatnya tekanan suara atau irama. Sajak atau
puisi rakyat dapat berbentuk ungkapan tradisional (peribahasa), pertanyaan
tradisional (teka-teki), cerita rakyat, dan kepercayaan rakyat berupa
mantra-mantra. Menurut W. Meijner, seperti puisi-puisi rakyat dari bangsa lain,
puisi rakyat bangsa Indonesia seringkali bertumpang tindih dengan jenis-jenis
folklore lainnya. Suku-suku bangsa di Indonesia memiliki banyak sekali khazanah
puisi rakyat yang masih belum tergali kekayaannya.
Di
dalam folklore lisan suku Sunda kali ini yang akan lebih dibahas adalah pantun
dan puisi namun disini penulis juga akan memberikan sedikit penjelasan dari
keseluruhan folklore lisan suku Sunda yang lainnya.
Menurut pendapat Rusyana (1976) folklor lisan atau
sastra lisan mempunyai kemungkinan untuk berperanan sebagai kekayaan budaya
khususnya kekayaan sastra; sebagai modal apresiasi sastra sebab sastra lisan
telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan
peristiwa puitik berdasarkan praktek yang telah menjadi tradisi selama
berabad-abad; sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat dalam
arti ciptaan yang berdasarkan sastra lisan akan lebih mudah digauli sebab ada
unsurnya yang sudah dikenal oleh masyarakat.
a. Cerita Prosa Rakyat (Dongeng)
Sekelompok cerita tradisional Sunda dalam sastra Sunda istilahnya adalah dongeng (Rusyana, 2000: 207). Dongeng merupakan cerita prosa rakyat. Karena menurut pendapat Rusyana (2000: 207) istilah dongeng digunakan untuk menyebut sekelompok serita tradisional dalam sastra Sunda. Di dalam sastra Sunda terdapat jenis cerita yang diketahui sudah tersedia dalam masyarakat, yang diterima oleh para anggota masyarakat itu dari generasi yang lebih dulu. Dongeng dituturkan oleh seseorng kepada yang lainnya dengan menggunakan bahasa lisan.
Jenis-jenis
dongeng menurut Rusyana (2000: 208), yaitu (1) dongeng mite, (2) dongeng
legenda, dan (3) dongeng biasa.
·
Dongeng mite
Dongeng mite
ialah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supernatural dengan latar suci
dan waktu masa purba. Di dalamnya terdapat peristiwa yang membayangkan kejadian
berkenaan dengan penciptaan semesta dan isinya, perubahan dunia, dan kehancuran
dunia. Masyarakat pendukung (pemilik) mite biasanya menganggap cerita itu
sebagai suatu yang dipercayai (Rusyana, 2000: 208-209).
·
Dongeng
legenda
Dongeng
legenda ialah cerita tradisional yang pelakunya dibayangkan sebagai “pelaku
dalam sejarah” dengan latar yang juga dibayangkan terdapat di dunia itu dan
waktu di masa lalu, tetapi bukan masa purba. Di dalamnya terdapat peristiwa
yang dibayangkan seolah-olah terjadi dalam sejarah. Biasanya dalam peristiwanya
terdapat juga hal-hal yang luar biasa (Rusyana, 2000; 210).
·
Dongeng
biasa
Dongeng
biasa adalah yang dalam leteratur lain disebut sebagai dongeng tau folktale,
yaitu cerita tradisional yang pelaku dan latarnya dibayangkan seperti dalam
keadaan sehari-hari, walaupun sering juga mengandung hal yang ajaib. Waktunya
dibayangkan dahulu kala. Oleh masyarakat pemiliknya cerita jenis ini tidak
diperlakukan sebagai suatu kepercayaan atau suatu yang dibayangkan terjadi
dalam sejarah, melainkan diperlakukan sebagai cerita rekaan semata-mata
(Rusyana, 2000: 211).
Lebih lanjut
Rusyana menjelaskan, bahwa dalam sastra Sunda dongeng-dongeng itu dapat
digolongkan lagi ke dalam:
·
Cerita
karuhun
Cerita yang
pelakunya manusia yang berperan sebagai pendahulu dan perbuatannya dianggap
bermanfaat bagi suatu kelompok masyarakat. Masyarakat menganggap tokoh cerita
itu sebagai karuhun, yaitu nenek moyang atau sesepuh yang sudah meninggal, dan
menghormatinya (Rusyana, 2000: 212).
·
Cerita
kajajaden
Cerita yang
pelakunya manusia yang setelah meninggal kemudian berperan sebagai binatang
jadi-jadian (Rusyana, 2000: 212).
·
Cerita
sasakala
Cerita yang
peranan pelaku utamanya atau pelaku lain yang berupa benda dianggap sebagai
asal-usul suatu keadaan atau suatu nama (Rusyana, 2000: 213).
·
Cerita
dedemit
Cerita yang
pelaku utamanya dedemit atau siluman, perannya biasanya menghukum pelaku
manusia yang melanggar larangan atau kebiasaan di suatu tempat (Rusyana, 2000:
213).
b.
Puisi Rakyat
Contoh
puisi rakyat di dalam suku bangsa Sunda adalah puisi rakyat yang berfungsi
sebagai sindiran yang disebut sisindiran. Berdasarkan jenisnya sisindiran
dibagi menjadi dua kategori, yakni sisindiran yang disebut paparikan dan wawangsalan.
Seni sastra yang tertua
adalah pantun carita. Carita (cerita) Pantun adalah cerita
yang dituturkan dalam pertunjukan seni tutur yang disebut mantun. Penuturan
carita pantun dilakukan dengan cara didendangkan oleh seorang juru pantun
sambil diiringi alat musik kacapi (kecapi) yang dipetiknya sendiri. Petikan
kacapi ini lebih berfungsi sebagai pengatur irama daripada sebagai pengiring
melodi. Ada dua jenis kacapi yang biasa digunakan untuk mengiringi carita
pantun.
Jenis pertama adalah
kacapi yang ukurannya lebih besar baik panjang maupun ruang resonansinya bila
dibandingkan dengan kecapi pada umumnya. Bentuk kacapi ini mirip dengan perahu
yang tanpa layar. Pada kedua ujung kacapi berbentuk gelung (sanggul). Nada yang
dihasilkannya berupa nada-nada yang berat dan bergema. Kacapi jenis ini disebut
kacapi pantun. Kacapi pantun digunakan oleh juru pantun yang berasal dari
daerah Priangan dan Kuningan.
Jenis kedua adalah
kacapi yang mirip dengan kacapi kawih hanya ukurannya lebih kecil dan
penampilannya lebih sederhana. Kacapi jenis ini digunakan oleh juru pantun yang
berasal dari daerah Baduy. Kawat (dawai) yang terdapat pada kedua jenis kacapi
ini pada awalnya berjumlah 9 buah, tetapi kemudian ada yang berkawat 18 buah
sama seperti jumlah kawat kacapi pada umumnya. Selain kacapi alat musik lainnya
yang umum digunakan untuk mengiringi carita pantun adalah kecrek. Di beberapa
daerah ada juga yang menambahkan alat musik lainnya, seperti tarawangsa di
daerah Sumedang, suling di daerah Karawang dan Cikampek. Tetapi di daerah
Cirebon carita pantun hanya diiringi petikan kacapi saja.
Juru pantun sebagai penutur carita pantun adalah
seorang laki-laki tunanetra. Seorang juru pantun memang harus seorang laki-laki
yang tunanetra karena ada kepercayaan bila yang menjadi juru pantun bukan orang
tunanetra, maka mantunnya tidak akan kataekan (berhasil dengan sempurna). Untuk
menjadi seorang juru pantun tidaklah mudah karena ada ritual-ritual yang harus
dijalaninya seperti berpuasa selama berguru atau belajar mantun. Selain itu
seorang juru pantunpun dituntut untuk mampu menghafal cerita pantun yang akan
dituturkannnya diluar kepala berikut lagu-lagu yang akan didendangkannya. Ada
beberapa lagu yang didendangkan juru pantun dalam pertunjukan carita pantun
seperti; papantunan, pangapungan, dan mupu kembang. Lagu-lagu tersebut kemudian
dijadikan sebagai sumber penciptaan tembang cianjuran.
Pertunjukkan carita
pantun dilaksanakan sepanjang malam mulai ba’da isya dan berakhir menjelang
subuh. Bahkan ada satu carita pantun yang berjudul Badak Pamalang yang
ceritanya sangat panjang sehingga pertunjukkannya dilaksanakan selama dua malam
berturut-turut. Dilihat dari lama pertunjukkannya yang memakan waktu satu malam
bahkan ada yang sampai dua malam maka carita pantun merupakan cerita yang
panjang.
Carita pantun
dipertunjukan atas permintaan seseorang yang punya keinginan untuk mengadakan
salametan atau ngaruat (selamatan dan ruwatan) seperti syukuran menempati rumah
baru, pernikahan, melahirkan, selesai panen, sembuh dari penyakit berat, dan
sebagainya dengan tujuan untuk mendapat keselamatan. Tempat pertunjukan carita
pantun di dalam rumah, biasanya di ruang tengah atau di tepas (serambi depan).
Penontonnya pun terbatas, hanya kerabat yang punya hajat dan tetangga-tetangga
di sekitar rumahnya. Sebelum carita pantun dipertunjukan ada syarat-syarat yang
harus disediakan oleh orang yang akan melaksanakan mantun, seperti menyiapkan
sasajen (sesajen) yang berisi antara lain; kemenyan, puncak manik, rurujakan,
hahampangan, air dari berbagai jenis bunga. Isi sesajen pada setiap pertunjukan
pantun tidak sama tergantung dari carita pantun yang akan dipertunjukannya.
Sesajen ini dipersembahkan untuk para leluhur dengan tujuan agar dalam
pertunjukan carita pantun yang akan dilaksanakan diberi keberkahan dan
keselamatan baik bagi yang punya hajat, juru pantun, maupun bagi mereka yang
hadir untuk mendengarkan carita pantun.
Begitu pula dengan juru
pantunnya bila akan membawakan carita pantun yang dianggap sakral maka ia harus
melakukan puasa beberapa hari sebelum pertunjukan carita pantun dilaksanakan.
Dan ada pula tokoh tokoh dalam carita pantun yang dipercaya pernah hidup
seperti dalam carita pantun Lutung Kasarung. Ini menunjukkan bahwa meskipun
carita pantun merupakan karya sastra lisan tetapi sangat erat kaitannya dengan
adat istiadat dan kepercayaan masyarakat Sunda pada waktu itu. Bahkan dapat
dikatakan bahwa carita pantun pada waktu itu cenderung dinikmati sebagai salah
satu bentuk adat istiadat dalam selamatan atau ruatan yang penuh dengan mitos
daripada dinikmati sebagai karya sastra lisan untuk hiburan.
Keberadaan carita
pantun tersebar di seluruh pelosok wilayah provinsi Jawa Barat dan dikenal pula
di daerah Brebes yang masuk dalam wilayah provinsi Jawa Tengah. Penyebaran
carita pantun dilakukan dengan cara lisan dan dalam kurun waktu yang lama
sehingga dalam judul yang sama mungkin saja terjadi berbagai versi dalam
lakonnnya. Belum ada kepastian tentang awal adanya carita pantun. Ada yang
memperkirakan bahwa carita pantun mulai dikenal pada akhir kerajaan Pajajaran,
karena lakon dalam carita pantun adalah para raja keturunan Prabu Siliwangi
dari kerajaan Pajajaran. Tetapi perkiraan ini tidak dapat diterima karena ada
pula carita pantun yang menceritakan para raja dari kerajaan Galuh, sebuah
kerajaan yang lebih tua dari kerajaan Pajajaran. Sedangkan pendukung tertulis
tentang keberadaan carita pantun ini baru ditemukan dalam sebuah naskah sunda
kuno yang berjudul Siksa kanda ng karesian (1440:1518M). Dalam naskah itu
disebutkan tentang adanya prepantun (juru pantun) dengan 4 buah judul carita
pantun, yaitu Langgalarang, Banyakcatra,Siliwangi, dan haturwangi. Tetapi
sangat disayangkan bahwa keempat judul tersebut sudah tidak dikenal lagi oleh
para juru pantun dewasa ini.
Carita pantun merupakan
karya satra lisan asli sunda lama yang sangat bernilai tinggi baik dari segi
sastra maupun budaya. Dari segi sastra carita pantun termasuk kedalam karya
sastra berbentuk puisi yang sangat kuat dalam perbandingan perbandingan yang
sangat plastis dan tenaga pilihan kata-kata yang tepat baik dalam menggambarkan
kecantikan seorang putri, hutan lebat, putri menenun, kerajaan kertaraharja,
watak pelaku utama, perang, berpengantin, dan sebagainya. Hal lain yang
diperhatikan dalam carita pantun adalah irama. Jumlah suku kata pada tiap baris
umumnya berjumlah delapan suku kata. Ketentuan ini bukanlah ketentuan yang mati
karena ada beberapa yang lebih dari delapan suku kata dan ini dilakukan untuk
kepentingan irama.
Carita pantun terbagi
atas dua bagian , yaitu: rajah dan isi cerita. Rajah pada intinya berisi
permohonan izin kepada Tuhan, para leluhur, dan para mahluk gaib lainnya yang
menghuni berbagai tempat dengan harapan agar mendapat keselamatan dan
keberkahan bagi yang punya hajat, juru pantun, dan orang yang mendengarkan
sehubungan dengan akan dilaksanakannya pertunjukkan pantun. Isi dan panjang
pendeknya rajah pada setiap carita pantun tidak selalu sama tergantung dari
juru pantunnya. meskipun carita pantun yang dilakonkan berbeda tetapi bila juru
pantunnya sama mungkin saja rajah yang dibawakannya akan sama. Rajah bukan
merupakan bagian dari isi carita pantun ,tetapi kehadirannya pada setiap
pertunjukan selalu harus ada. Inilah yang menjadi kekhasaan dari carita pantun.
Rajah yang disampaikan juru pantun di awal pertunjukan carita pantun diebut
rajah pamuka sedangkan rajah yang disampaikan setelah lakon dalam cerita pantun
tamat disebut rajah pamunah. Isi cerita berisi lakon dari cerita pantun itu
sendiri yang penyampaiannya dapat berupa deskripsi,narasi, dialog, dan monolog.
Deskripsi yaitu bagian yang menggambarkan tingkah seorang tokoh, kejadian, dan
rasa hati seperti sedih, gembira dsb. Bagian ini didendangkan oleh juru pantun
dengan menggunakan berbagai gaya bahasa yang menggambarkan deskripsi tersebut.
Wawacan adalah bentuk karya sastra yang sangat
populer pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Sebelum orang Sunda mengenal
bentuk penulisan prosa, hampir semua bentuk tulisan disusun dalam bentuk puisi
wawacan dan dangding, yang dikarang menggunakan aturan pupuh.
Ada sebuah wawacan yang menurut penelitian
Dr. Mikihiro Moriyama, peneliti kebudayaan Sunda dari Jepang,
menjadi tonggak berkembangnya modernitas di kalangan orang Sunda. Wawacan
tersebut adalah Wawacan Panji Wulung yang ditulis oleh R.H. Moehamad Moesa,
Penghulu Kabupaten Garut pada zaman kolonial.
Dalam bukunya Semangat Baru: Kolonialisme,Budaya Cetak, dan Kesastraan
Sunda Abad ke-19
(2005), Moriyama menyatakan: "Wawacan Panji Wulung merefleksikan
perjuangan penceritanya disertai dengan perkembangan modern dan ikhtiarnya
untuk memperkenalkan gagasan-gagasan dan konsep baru kepada para pembacanya.
Oleh karena itu, wawacan ini ditafsirkan sebagai ekspresi berkembangnya
modernitas dalam penulisan berbahasa Sunda."
Di antara unsur modernitas yang terkandung
dalam wawacan ini adalah upaya Moesa menggambarkan jiwa-jiwa modern yang
bertumpu pada bukti dan nalar. Misalnya, tokoh protagonis wawacan ini tidak
mempercayai kekuatan dukun, tetapi meyakini bahwa kekuatan dan kegagahan timbul
karena latihan yang terus-menerus. Padahal, tradisi penulisan wawacan saat itu
didominasi oleh cerita-cerita khayalan yang tak masuk akal, seperti halnya
dongeng.
Upaya Moesa menulis wawacan tersebut tidak
lepas dari anjuran pemerintah kolonial saat itu yang menghendaki tersedianya
bahan bacaan bermutu untuk anak-anak sekolah. Dengan bimbingan K.F Holle, Moesa
memang berpikiran sangat maju dan banyak menyerap gagasan-gasan Barat yang
rasional. Gagasan tentang modernitas itu, di antaranya ia tuliskan dalam
Wawacan Panji Wulung.
Wawacan Panji Wulung terbit pertama kali pada
1876 dalam huruf latin. Ada juga edisi yang dicetak dalam aksara cacarakan.
Kedua edisi itu mengalami cetak ulang berkali-kali dan sangat digemari oleh
anak sekolah. Ada pula edisi terjemahannya dalam bahasa Jawa dan Madura.
Terakhir kali wawacan ini dicetak ulang pada 1991 atas upaya Ajip Rosidi. Di
Garut saat ini, Panji Wulung digunakan sebagai nama salah satu ruas jalan di
pusat kota.
Saking terkenalnya, banyak petikan dari
wawacan ini digunakan oleh guru-guru untuk mengajarkan pupuh di sekolah. Salah
satu di antaranya bait yang menceritakan Panji Wulung bertemu pimpinan Begal
yang bernama Jayapati dalam pupuh Pangkur, yang lengkapnya berbunyi: Seja nyaba
ngalala, ngitung lembur ngajajah milangan kori, henteu puguh nu dijugjug, balik
Paman sadaya, nu ti mana tiluan semu rarusuh, lurah begal ngawalonan, aing
ngaran Jayapati.
Ringkasan cerita Wawacan Panji Wulung:
Kerajaan Sokadana aman sentosa. Sang raja
jatuh cinta pada salah seorang selirnya. Namun, karena persekongkolan ratu yang
berhati dengki, hampir saja raja menghukum mati selir itu. Selir selamat karena
pertolongan patih yang setia dan tak lama kemudian melahirkan seorang anak
laki-laki di tempat persembunyiannya. Bayi itu diberi nama Panji Wulung dan
dididik oleh patih hingga akil balig.
Suatu waktu Panji Wulung berkelana ke
beberapa tempat dan berkesempatan berkenalan dengan para penguasa setempat
berkat kelebihan lahiriah dan batiniah yang dimilikinya. Akhirnya Panji Wulung
sampai di Campa. Di sana ia menyelamatkan seorang putri Kerajaan Campa dari
cengkraman seorang pelatih gajah di hutan. Paji Wulung jatuh cinta pada sang
putri dan Raja Campa memberi restu pada mereka untuk menikah. Setelah raja
wafat, Panji Wulung diangkat menjadi penggantinya sesuai dengan wasiat
almarhum.
Patih Sokadana setia mengunjungi Panji Wulung
di Campa, sedangkan Panji Wulung selalu mengunjungi ayah kandungnya di Sokadana
hingga tahulah si ayah, Raja Sokadana, bahwa Panji Wulung adalah anak
kandungnya sendiri. Anak lelaki patih menerima balas budi dari Raja Sokadana
atas kesetiaan yang ditunjukkan oleh ayahnya.
Panji Wulung kembali ke Cempa setelah berhasil
memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Patih Cempa yang tidak setia.
Kerajaan Cempa dan Sokadana hidup makmur dan damai.
Sisindiran sesuai dengan namanya sisindiran ialah bentuk puisi terikat Sunda tradisional. Puisi Sunda kiasan (Sindir) diberikan
oleh kombinasi kata yang menyinggung nyata makna oleh asosiasi suara.
Sisindiran biasanya disajikan dalam bentuk nyanyian. Dalam puisi sisindiran biasanya
terdiri atas empat baris setiap baitnya dengan purwakanti akhir a-b-a-b. Ada beberapa juga
beranggapan bahwa sisindiran meliputi seseberd dan paparikan.
Paparikan adalah salah satu jenis dari puisi Sunda yang
disebut sisindiran yaitu suatu puisi yang dibangun oleh cangkang yang tidak mengandung
arti, yang diikuti oleh isi yaitu arti sesungguhnya. Hubungan antara
"cangkang" dan arti sesungguhnya ditunjukkan dengan hubungan
struktural suara dan pola. Jika pola suara dari cangkang dan isi sejajar maka
sisindiran ini disebut paparikan. Contoh dari paparikan adalah sebagai berikut:
Sok hayang
nyaba ka Bandung (Sering saya ingin ke Bandung)
Hayang
nyaho pabrik kina (ingin tahu pabrik kina)
Sok
hayang nanya nu pundung (Sering saya ingin menanyai yang merajuk)
Hayang
nyaho mimitina (ingin tahu apa penyebabnya)
c. Bahasa Rakyat (folkspeech)
Bentuk-bentuk folklore Indonesia yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat adalah logat (dialect) bahasa-bahasa Nusantara, misalnya logat bahasa Jawa dari Indramayu, yang merupakan bahasa Jawa Tengah yang telah mendapat pengaruh bahasa Sunda; atau logat bahasa Sunda dari Banten; atau logat bahasa Jawa Cirebon, dan logat bahasa Cirebon Sunda (Danandjaja, 1997: 22-23).
Selain
itu bahasa rakyat di tatar Sunda disebut juga bahasa wewengkon, contohnya basa
wewengkon Bogor (contoh: topo, sodet, pelanding, dll), basa wewengkon Kuningan
(contoh: ula, teoh, menit, ageh, dll.), basa wewengkon Banten (contoh cawene,
kotok, dia, dll), dan basa wewengkon lainnya.
d. Ungkapan Tradisional
Ungkapan
tradisional atau peribahasa sukar sekali untuk didefinisikan, bahkan menurut
Archer Taylor peribahasa tidak mungkin diberi definisikan (Danandjaja, 1997:
28). Ungkapan tradisional mempunyai tiga sifat hakiki, yang perlu diperhatikan
oleh mereka yang hendak menelitinya: (a) peribahasa harus berupa satu kalimat
ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradisional saja; (b) peribahasa
ada dalam bentuk yang sudah standar; dan (c) suatu peribahasa harus mempunyai
vitalitas (daya hidup) tradisi lisan (Danandjaja, 1997: 28). Contohnya:
paribasa (peribahasa), babasan, papatah, dan pamali.
e. Pertanyaan Tradisional
Pernyataan
tradisional di Indonesia lebih terkenal dengan nama teka-teki, adalalah
pertanyaan yang bersifat tradisional dan mempunyai jawaban yang tradisional
pula (Danandjaja, 1997: 33). Contohnya: tatarucingan dan sisindiran.
f. Nyanyian Rakyat
Nyanyian
rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata
dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu,
berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brudvand dalam
Danandjaja, 1997: 141). Contohnya: kakawihan urang lembur (tokecang,
endeuk-eundeukan, ayang-ayagung, prang-pring, bulantok, cing cangkeling, dll.),
kagu-kagu gondang, lagu-lagu calung, lagu-lagu celempungan, lagu pa nyawer,
lagu pangjampe, dll.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sastra lisan merupakan
cerita yang berkembang di suatu kolektif yang membuat kita tertarik untuk
mempelajarinya, sehingga memerlukan cara-cara dan langkah-langkah untuk
mengumpulakan foklornya. Dalam pengumpulan folklore ada hal-hal yang harus
diperhatikan sehingga mencapai tujuan yang maksimal.
B. SARAN
Penulis menyadari
makalah yang penulis buat ini belum sempurna, maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan sarannya dari pembaca semua agar makalah ini mengalami
perubahan ke arah yang sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar