Sabtu, 02 Januari 2016

FOLKLORE INDONESIA

FOLKLORE LISAN PUISI RAKYAT SUNDA

KATA PENGANTAR
            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena atas izin dan kehendakNya tugas sederhana ini dapat penulis rampungkan tepat pada waktunya.
            Penulisan dan pembuatan tugas ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia. Adapun yang penulis bahas dalam tugas ini mengenai penjelasan yang spesifik mengenai folklore suku Sunda.
            Dalam penulisan tugas ini kami menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan penulis mengenai hal yang berkenan dengan penulisan tugas ini. Oleh karena itu sudah sepatutnya penulis berterima kasih kepada dosen Mata Kuliah Sejarah Indonesia yakni Drs. M. Shobirienur Rasyid yang telah memberikan limpahan ilmu berguna kepada penulis.
            Penulis menyadari akan kemampuan penulis yang masih amatir. Dalam tugas ini penulis sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun penulis yakin tugas ini masih banyak kekurangan disana–sini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan juga kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.
Harapan penulis, tugas ini dapat menjadi track record dan menjadi referensi bagi penulis dalam mengarungi masa depan. Penulis juga berharap agar tugas ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.

PEMBAHASAN
Kata Sunda bisa mengandung berbagai arti yang secara umum berkaitan dengan suku Sunda di bagian barat Nusantara. Catatan sejarah tertua yang sudah ditemukan mengandung kata "Sunda" adalah prasasti Kebonkopi yang dibuat tahun 458 Saka (536 M, namun ada pula yang berpendapat bahwa prasasti ini dibuat tahun 854 Saka, 932 M) yang menunjuk pada kerajaan Sunda.
Kata ini kemungkinan berasal dari bahasa Sanskerta yang bisa berarti 'cahaya' atau 'air'. Dalam naskah historis lainnya menyebutkan Sunda merujuk pada ibukota Kerajaan Tarumanagara yang bernama Sundapura. Sehingga masyarakat yang menghuni wilayah tersebut dikenal sebagai orang Sunda yang disebut hingga kini. Kerajaan Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang terbukti dengan bukti prasasti dan berita naskah kuno di negeri Tiongkok. Letak tepat kota Sundapura masih menjadi penelitian para ahli, apakah di Jakarta, Bekasi atau Karawang sekarang. Hanya di Karawang terdapat situs percandian Batujaya seluas 5 km persegi yang menunjukkan tumbuh kembangnya kebudayaan sejak abad 2 Masehi hingga abad 12 Masehi.
Ciri khas folklore lisan berbentuk sajak rakyat adalah kalimatnya berbentuk terikat (fixed phrase). Sajak atau puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang terdiri atas beberapa deret kalimat yang dibentuk berdasarkan unsur mantra, panjang pendeknya suku kata, dan lemah kuatnya tekanan suara atau irama. Sajak atau puisi rakyat dapat berbentuk ungkapan tradisional (peribahasa), pertanyaan tradisional (teka-teki), cerita rakyat, dan kepercayaan rakyat berupa mantra-mantra. Menurut W. Meijner, seperti puisi-puisi rakyat dari bangsa lain, puisi rakyat bangsa Indonesia seringkali bertumpang tindih dengan jenis-jenis folklore lainnya. Suku-suku bangsa di Indonesia memiliki banyak sekali khazanah puisi rakyat yang masih belum tergali kekayaannya.
            Di dalam folklore lisan suku Sunda kali ini yang akan lebih dibahas adalah pantun dan puisi namun disini penulis juga akan memberikan sedikit penjelasan dari keseluruhan folklore lisan suku Sunda yang lainnya.
Menurut pendapat Rusyana (1976) folklor lisan atau sastra lisan mempunyai kemungkinan untuk berperanan sebagai kekayaan budaya khususnya kekayaan sastra; sebagai modal apresiasi sastra sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik berdasarkan praktek yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad; sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat dalam arti ciptaan yang berdasarkan sastra lisan akan lebih mudah digauli sebab ada unsurnya yang sudah dikenal oleh masyarakat.

a. Cerita Prosa Rakyat (Dongeng)

Sekelompok cerita tradisional Sunda dalam sastra Sunda istilahnya adalah dongeng (Rusyana, 2000: 207). Dongeng merupakan cerita prosa rakyat. Karena menurut pendapat Rusyana (2000: 207) istilah dongeng digunakan untuk menyebut sekelompok serita tradisional dalam sastra Sunda. Di dalam sastra Sunda terdapat jenis cerita yang diketahui sudah tersedia dalam masyarakat, yang diterima oleh para anggota masyarakat itu dari generasi yang lebih dulu. Dongeng dituturkan oleh seseorng kepada yang lainnya dengan menggunakan bahasa lisan.

Jenis-jenis dongeng menurut Rusyana (2000: 208), yaitu (1) dongeng mite, (2) dongeng legenda, dan (3) dongeng biasa.

·         Dongeng mite
Dongeng mite ialah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supernatural dengan latar suci dan waktu masa purba. Di dalamnya terdapat peristiwa yang membayangkan kejadian berkenaan dengan penciptaan semesta dan isinya, perubahan dunia, dan kehancuran dunia. Masyarakat pendukung (pemilik) mite biasanya menganggap cerita itu sebagai suatu yang dipercayai (Rusyana, 2000: 208-209).

·         Dongeng legenda
Dongeng legenda ialah cerita tradisional yang pelakunya dibayangkan sebagai “pelaku dalam sejarah” dengan latar yang juga dibayangkan terdapat di dunia itu dan waktu di masa lalu, tetapi bukan masa purba. Di dalamnya terdapat peristiwa yang dibayangkan seolah-olah terjadi dalam sejarah. Biasanya dalam peristiwanya terdapat juga hal-hal yang luar biasa (Rusyana, 2000; 210).

·         Dongeng biasa
Dongeng biasa adalah yang dalam leteratur lain disebut sebagai dongeng tau folktale, yaitu cerita tradisional yang pelaku dan latarnya dibayangkan seperti dalam keadaan sehari-hari, walaupun sering juga mengandung hal yang ajaib. Waktunya dibayangkan dahulu kala. Oleh masyarakat pemiliknya cerita jenis ini tidak diperlakukan sebagai suatu kepercayaan atau suatu yang dibayangkan terjadi dalam sejarah, melainkan diperlakukan sebagai cerita rekaan semata-mata (Rusyana, 2000: 211).
Lebih lanjut Rusyana menjelaskan, bahwa dalam sastra Sunda dongeng-dongeng itu dapat digolongkan lagi ke dalam:

·         Cerita karuhun
Cerita yang pelakunya manusia yang berperan sebagai pendahulu dan perbuatannya dianggap bermanfaat bagi suatu kelompok masyarakat. Masyarakat menganggap tokoh cerita itu sebagai karuhun, yaitu nenek moyang atau sesepuh yang sudah meninggal, dan menghormatinya (Rusyana, 2000: 212).

·         Cerita kajajaden
Cerita yang pelakunya manusia yang setelah meninggal kemudian berperan sebagai binatang jadi-jadian (Rusyana, 2000: 212).

·         Cerita sasakala
Cerita yang peranan pelaku utamanya atau pelaku lain yang berupa benda dianggap sebagai asal-usul suatu keadaan atau suatu nama (Rusyana, 2000: 213).

·         Cerita dedemit
Cerita yang pelaku utamanya dedemit atau siluman, perannya biasanya menghukum pelaku manusia yang melanggar larangan atau kebiasaan di suatu tempat (Rusyana, 2000: 213).

b. Puisi Rakyat
Contoh puisi rakyat di dalam suku bangsa Sunda adalah puisi rakyat yang berfungsi sebagai sindiran yang disebut sisindiran. Berdasarkan jenisnya sisindiran dibagi menjadi dua kategori, yakni sisindiran yang disebut paparikan dan wawangsalan.
Seni sastra yang tertua adalah pantun carita. Carita (cerita) Pantun adalah cerita yang dituturkan dalam pertunjukan seni tutur yang disebut mantun. Penuturan carita pantun dilakukan dengan cara didendangkan oleh seorang juru pantun sambil diiringi alat musik kacapi (kecapi) yang dipetiknya sendiri. Petikan kacapi ini lebih berfungsi sebagai pengatur irama daripada sebagai pengiring melodi. Ada dua jenis kacapi yang biasa digunakan untuk mengiringi carita pantun.
Jenis pertama adalah kacapi yang ukurannya lebih besar baik panjang maupun ruang resonansinya bila dibandingkan dengan kecapi pada umumnya. Bentuk kacapi ini mirip dengan perahu yang tanpa layar. Pada kedua ujung kacapi berbentuk gelung (sanggul). Nada yang dihasilkannya berupa nada-nada yang berat dan bergema. Kacapi jenis ini disebut kacapi pantun. Kacapi pantun digunakan oleh juru pantun yang berasal dari daerah Priangan dan Kuningan.
Jenis kedua adalah kacapi yang mirip dengan kacapi kawih hanya ukurannya lebih kecil dan penampilannya lebih sederhana. Kacapi jenis ini digunakan oleh juru pantun yang berasal dari daerah Baduy. Kawat (dawai) yang terdapat pada kedua jenis kacapi ini pada awalnya berjumlah 9 buah, tetapi kemudian ada yang berkawat 18 buah sama seperti jumlah kawat kacapi pada umumnya. Selain kacapi alat musik lainnya yang umum digunakan untuk mengiringi carita pantun adalah kecrek. Di beberapa daerah ada juga yang menambahkan alat musik lainnya, seperti tarawangsa di daerah Sumedang, suling di daerah Karawang dan Cikampek. Tetapi di daerah Cirebon carita pantun hanya diiringi petikan kacapi saja.
Juru pantun sebagai penutur carita pantun adalah seorang laki-laki tunanetra. Seorang juru pantun memang harus seorang laki-laki yang tunanetra karena ada kepercayaan bila yang menjadi juru pantun bukan orang tunanetra, maka mantunnya tidak akan kataekan (berhasil dengan sempurna). Untuk menjadi seorang juru pantun tidaklah mudah karena ada ritual-ritual yang harus dijalaninya seperti berpuasa selama berguru atau belajar mantun. Selain itu seorang juru pantunpun dituntut untuk mampu menghafal cerita pantun yang akan dituturkannnya diluar kepala berikut lagu-lagu yang akan didendangkannya. Ada beberapa lagu yang didendangkan juru pantun dalam pertunjukan carita pantun seperti; papantunan, pangapungan, dan mupu kembang. Lagu-lagu tersebut kemudian dijadikan sebagai sumber penciptaan tembang cianjuran.
Pertunjukkan carita pantun dilaksanakan sepanjang malam mulai ba’da isya dan berakhir menjelang subuh. Bahkan ada satu carita pantun yang berjudul Badak Pamalang yang ceritanya sangat panjang sehingga pertunjukkannya dilaksanakan selama dua malam berturut-turut. Dilihat dari lama pertunjukkannya yang memakan waktu satu malam bahkan ada yang sampai dua malam maka carita pantun merupakan cerita yang panjang.
Carita pantun dipertunjukan atas permintaan seseorang yang punya keinginan untuk mengadakan salametan atau ngaruat (selamatan dan ruwatan) seperti syukuran menempati rumah baru, pernikahan, melahirkan, selesai panen, sembuh dari penyakit berat, dan sebagainya dengan tujuan untuk mendapat keselamatan. Tempat pertunjukan carita pantun di dalam rumah, biasanya di ruang tengah atau di tepas (serambi depan). Penontonnya pun terbatas, hanya kerabat yang punya hajat dan tetangga-tetangga di sekitar rumahnya. Sebelum carita pantun dipertunjukan ada syarat-syarat yang harus disediakan oleh orang yang akan melaksanakan mantun, seperti menyiapkan sasajen (sesajen) yang berisi antara lain; kemenyan, puncak manik, rurujakan, hahampangan, air dari berbagai jenis bunga. Isi sesajen pada setiap pertunjukan pantun tidak sama tergantung dari carita pantun yang akan dipertunjukannya. Sesajen ini dipersembahkan untuk para leluhur dengan tujuan agar dalam pertunjukan carita pantun yang akan dilaksanakan diberi keberkahan dan keselamatan baik bagi yang punya hajat, juru pantun, maupun bagi mereka yang hadir untuk mendengarkan carita pantun.
Begitu pula dengan juru pantunnya bila akan membawakan carita pantun yang dianggap sakral maka ia harus melakukan puasa beberapa hari sebelum pertunjukan carita pantun dilaksanakan. Dan ada pula tokoh tokoh dalam carita pantun yang dipercaya pernah hidup seperti dalam carita pantun Lutung Kasarung. Ini menunjukkan bahwa meskipun carita pantun merupakan karya sastra lisan tetapi sangat erat kaitannya dengan adat istiadat dan kepercayaan masyarakat Sunda pada waktu itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa carita pantun pada waktu itu cenderung dinikmati sebagai salah satu bentuk adat istiadat dalam selamatan atau ruatan yang penuh dengan mitos daripada dinikmati sebagai karya sastra lisan untuk hiburan.
Keberadaan carita pantun tersebar di seluruh pelosok wilayah provinsi Jawa Barat dan dikenal pula di daerah Brebes yang masuk dalam wilayah provinsi Jawa Tengah. Penyebaran carita pantun dilakukan dengan cara lisan dan dalam kurun waktu yang lama sehingga dalam judul yang sama mungkin saja terjadi berbagai versi dalam lakonnnya. Belum ada kepastian tentang awal adanya carita pantun. Ada yang memperkirakan bahwa carita pantun mulai dikenal pada akhir kerajaan Pajajaran, karena lakon dalam carita pantun adalah para raja keturunan Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran. Tetapi perkiraan ini tidak dapat diterima karena ada pula carita pantun yang menceritakan para raja dari kerajaan Galuh, sebuah kerajaan yang lebih tua dari kerajaan Pajajaran. Sedangkan pendukung tertulis tentang keberadaan carita pantun ini baru ditemukan dalam sebuah naskah sunda kuno yang berjudul Siksa kanda ng karesian (1440:1518M). Dalam naskah itu disebutkan tentang adanya prepantun (juru pantun) dengan 4 buah judul carita pantun, yaitu Langgalarang, Banyakcatra,Siliwangi, dan haturwangi. Tetapi sangat disayangkan bahwa keempat judul tersebut sudah tidak dikenal lagi oleh para juru pantun dewasa ini.
Carita pantun merupakan karya satra lisan asli sunda lama yang sangat bernilai tinggi baik dari segi sastra maupun budaya. Dari segi sastra carita pantun termasuk kedalam karya sastra berbentuk puisi yang sangat kuat dalam perbandingan perbandingan yang sangat plastis dan tenaga pilihan kata-kata yang tepat baik dalam menggambarkan kecantikan seorang putri, hutan lebat, putri menenun, kerajaan kertaraharja, watak pelaku utama, perang, berpengantin, dan sebagainya. Hal lain yang diperhatikan dalam carita pantun adalah irama. Jumlah suku kata pada tiap baris umumnya berjumlah delapan suku kata. Ketentuan ini bukanlah ketentuan yang mati karena ada beberapa yang lebih dari delapan suku kata dan ini dilakukan untuk kepentingan irama.
Carita pantun terbagi atas dua bagian , yaitu: rajah dan isi cerita. Rajah pada intinya berisi permohonan izin kepada Tuhan, para leluhur, dan para mahluk gaib lainnya yang menghuni berbagai tempat dengan harapan agar mendapat keselamatan dan keberkahan bagi yang punya hajat, juru pantun, dan orang yang mendengarkan sehubungan dengan akan dilaksanakannya pertunjukkan pantun. Isi dan panjang pendeknya rajah pada setiap carita pantun tidak selalu sama tergantung dari juru pantunnya. meskipun carita pantun yang dilakonkan berbeda tetapi bila juru pantunnya sama mungkin saja rajah yang dibawakannya akan sama. Rajah bukan merupakan bagian dari isi carita pantun ,tetapi kehadirannya pada setiap pertunjukan selalu harus ada. Inilah yang menjadi kekhasaan dari carita pantun. Rajah yang disampaikan juru pantun di awal pertunjukan carita pantun diebut rajah pamuka sedangkan rajah yang disampaikan setelah lakon dalam cerita pantun tamat disebut rajah pamunah. Isi cerita berisi lakon dari cerita pantun itu sendiri yang penyampaiannya dapat berupa deskripsi,narasi, dialog, dan monolog. Deskripsi yaitu bagian yang menggambarkan tingkah seorang tokoh, kejadian, dan rasa hati seperti sedih, gembira dsb. Bagian ini didendangkan oleh juru pantun dengan menggunakan berbagai gaya bahasa yang menggambarkan deskripsi tersebut.
Wawacan adalah bentuk karya sastra yang sangat populer pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Sebelum orang Sunda mengenal bentuk penulisan prosa, hampir semua bentuk tulisan disusun dalam bentuk puisi wawacan dan dangding, yang dikarang menggunakan aturan pupuh.
Ada sebuah wawacan yang menurut penelitian Dr. Mikihiro Moriyama, peneliti kebudayaan Sunda dari Jepang, menjadi tonggak berkembangnya modernitas di kalangan orang Sunda. Wawacan tersebut adalah Wawacan Panji Wulung yang ditulis oleh R.H. Moehamad Moesa, Penghulu Kabupaten Garut pada zaman kolonial.
Dalam bukunya Semangat Baru: Kolonialisme,Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2005), Moriyama menyatakan: "Wawacan Panji Wulung merefleksikan perjuangan penceritanya disertai dengan perkembangan modern dan ikhtiarnya untuk memperkenalkan gagasan-gagasan dan konsep baru kepada para pembacanya. Oleh karena itu, wawacan ini ditafsirkan sebagai ekspresi berkembangnya modernitas dalam penulisan berbahasa Sunda."
Di antara unsur modernitas yang terkandung dalam wawacan ini adalah upaya Moesa menggambarkan jiwa-jiwa modern yang bertumpu pada bukti dan nalar. Misalnya, tokoh protagonis wawacan ini tidak mempercayai kekuatan dukun, tetapi meyakini bahwa kekuatan dan kegagahan timbul karena latihan yang terus-menerus. Padahal, tradisi penulisan wawacan saat itu didominasi oleh cerita-cerita khayalan yang tak masuk akal, seperti halnya dongeng.
Upaya Moesa menulis wawacan tersebut tidak lepas dari anjuran pemerintah kolonial saat itu yang menghendaki tersedianya bahan bacaan bermutu untuk anak-anak sekolah. Dengan bimbingan K.F Holle, Moesa memang berpikiran sangat maju dan banyak menyerap gagasan-gasan Barat yang rasional. Gagasan tentang modernitas itu, di antaranya ia tuliskan dalam Wawacan Panji Wulung.
Wawacan Panji Wulung terbit pertama kali pada 1876 dalam huruf latin. Ada juga edisi yang dicetak dalam aksara cacarakan. Kedua edisi itu mengalami cetak ulang berkali-kali dan sangat digemari oleh anak sekolah. Ada pula edisi terjemahannya dalam bahasa Jawa dan Madura. Terakhir kali wawacan ini dicetak ulang pada 1991 atas upaya Ajip Rosidi. Di Garut saat ini, Panji Wulung digunakan sebagai nama salah satu ruas jalan di pusat kota.
Saking terkenalnya, banyak petikan dari wawacan ini digunakan oleh guru-guru untuk mengajarkan pupuh di sekolah. Salah satu di antaranya bait yang menceritakan Panji Wulung bertemu pimpinan Begal yang bernama Jayapati dalam pupuh Pangkur, yang lengkapnya berbunyi: Seja nyaba ngalala, ngitung lembur ngajajah milangan kori, henteu puguh nu dijugjug, balik Paman sadaya, nu ti mana tiluan semu rarusuh, lurah begal ngawalonan, aing ngaran Jayapati.
Ringkasan cerita Wawacan Panji Wulung:
Kerajaan Sokadana aman sentosa. Sang raja jatuh cinta pada salah seorang selirnya. Namun, karena persekongkolan ratu yang berhati dengki, hampir saja raja menghukum mati selir itu. Selir selamat karena pertolongan patih yang setia dan tak lama kemudian melahirkan seorang anak laki-laki di tempat persembunyiannya. Bayi itu diberi nama Panji Wulung dan dididik oleh patih hingga akil balig.
Suatu waktu Panji Wulung berkelana ke beberapa tempat dan berkesempatan berkenalan dengan para penguasa setempat berkat kelebihan lahiriah dan batiniah yang dimilikinya. Akhirnya Panji Wulung sampai di Campa. Di sana ia menyelamatkan seorang putri Kerajaan Campa dari cengkraman seorang pelatih gajah di hutan. Paji Wulung jatuh cinta pada sang putri dan Raja Campa memberi restu pada mereka untuk menikah. Setelah raja wafat, Panji Wulung diangkat menjadi penggantinya sesuai dengan wasiat almarhum.
Patih Sokadana setia mengunjungi Panji Wulung di Campa, sedangkan Panji Wulung selalu mengunjungi ayah kandungnya di Sokadana hingga tahulah si ayah, Raja Sokadana, bahwa Panji Wulung adalah anak kandungnya sendiri. Anak lelaki patih menerima balas budi dari Raja Sokadana atas kesetiaan yang ditunjukkan oleh ayahnya.
Panji Wulung kembali ke Cempa setelah berhasil memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Patih Cempa yang tidak setia. Kerajaan Cempa dan Sokadana hidup makmur dan damai.
Sisindiran sesuai dengan namanya sisindiran ialah bentuk puisi terikat Sunda tradisional. Puisi Sunda kiasan (Sindir) diberikan oleh kombinasi kata yang menyinggung nyata makna oleh asosiasi suara. Sisindiran biasanya disajikan dalam bentuk nyanyian. Dalam puisi sisindiran biasanya terdiri atas empat baris setiap baitnya dengan purwakanti akhir a-b-a-b. Ada beberapa juga beranggapan bahwa sisindiran meliputi seseberd dan paparikan.
Paparikan adalah salah satu jenis dari puisi Sunda yang disebut sisindiran yaitu suatu puisi yang dibangun oleh cangkang yang tidak mengandung arti, yang diikuti oleh isi yaitu arti sesungguhnya. Hubungan antara "cangkang" dan arti sesungguhnya ditunjukkan dengan hubungan struktural suara dan pola. Jika pola suara dari cangkang dan isi sejajar maka sisindiran ini disebut paparikan. Contoh dari paparikan adalah sebagai berikut:
Sok hayang nyaba ka Bandung (Sering saya ingin ke Bandung)
Hayang nyaho pabrik kina (ingin tahu pabrik kina)
Sok hayang nanya nu pundung (Sering saya ingin menanyai yang merajuk)
Hayang nyaho mimitina (ingin tahu apa penyebabnya)

c. Bahasa Rakyat (folkspeech)

            Bentuk-bentuk folklore Indonesia yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat adalah logat (dialect) bahasa-bahasa Nusantara, misalnya logat bahasa Jawa dari Indramayu, yang merupakan bahasa Jawa Tengah yang telah mendapat pengaruh bahasa Sunda; atau logat bahasa Sunda dari Banten; atau logat bahasa Jawa Cirebon, dan logat bahasa Cirebon Sunda (Danandjaja, 1997: 22-23).

Selain itu bahasa rakyat di tatar Sunda disebut juga bahasa wewengkon, contohnya basa wewengkon Bogor (contoh: topo, sodet, pelanding, dll), basa wewengkon Kuningan (contoh: ula, teoh, menit, ageh, dll.), basa wewengkon Banten (contoh cawene, kotok, dia, dll), dan basa wewengkon lainnya.

d. Ungkapan Tradisional

Ungkapan tradisional atau peribahasa sukar sekali untuk didefinisikan, bahkan menurut Archer Taylor peribahasa tidak mungkin diberi definisikan (Danandjaja, 1997: 28). Ungkapan tradisional mempunyai tiga sifat hakiki, yang perlu diperhatikan oleh mereka yang hendak menelitinya: (a) peribahasa harus berupa satu kalimat ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradisional saja; (b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar; dan (c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan (Danandjaja, 1997: 28). Contohnya: paribasa (peribahasa), babasan, papatah, dan pamali.

e. Pertanyaan Tradisional

Pernyataan tradisional di Indonesia lebih terkenal dengan nama teka-teki, adalalah pertanyaan yang bersifat tradisional dan mempunyai jawaban yang tradisional pula (Danandjaja, 1997: 33). Contohnya: tatarucingan dan sisindiran.

f. Nyanyian Rakyat

Nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brudvand dalam Danandjaja, 1997: 141). Contohnya: kakawihan urang lembur (tokecang, endeuk-eundeukan, ayang-ayagung, prang-pring, bulantok, cing cangkeling, dll.), kagu-kagu gondang, lagu-lagu calung, lagu-lagu celempungan, lagu pa nyawer, lagu pangjampe, dll.

PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Sastra lisan merupakan cerita yang berkembang di suatu kolektif yang membuat kita tertarik untuk mempelajarinya, sehingga memerlukan cara-cara dan langkah-langkah untuk mengumpulakan foklornya. Dalam pengumpulan folklore ada hal-hal yang harus diperhatikan sehingga mencapai tujuan yang maksimal.
B.     SARAN
Penulis menyadari makalah yang penulis buat ini belum sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya dari pembaca semua agar makalah ini mengalami perubahan ke arah yang sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.      


DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar