Folklore
Pulau Dewata
Kata Pengantar
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas dari mata kuliah Sejarah
Indonesia yang berjudul Folklore Indonesia.
Adapun tugas ini saya kerjakan untuk memenuhi kegiatan
perkuliahan mata kuliah Sejarah Indonesia. Tugas ini saya kerjakan dengan usaha
yang maksimal dengan melihat beberapa referensi dari internet guna menunjang
informasi yang saya tulis dalam tugas ini.
Akhir kata saya berharap semoga informasi dari tulisan yang
saya buat dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Dan semoga tulisan ini
dapat digunakan sesuai sebagaimana mestinya, terima kasih.
Jakarta, 07 Januari 2016
Penyusun
A. Pendahuluan
Istilah filklor berasal dari bahasa Inggris, folklore, yang
pertama kali dikemukakan oleh sejarawan Inggris William Thoms dalam sebuah
surat yang diterbitkan oleh London Journal pada tahun 1846. dalam artikelnya
yang dimuat pada majalah The Athenaeum No. 982, 22 Agustus 1846 (dengan nama samaran
Ambrose Merton). Thoms menciptakan
istilah folklore untuk sopan-santun Inggris, takhayul, balada,
dsb. untuk masa lampau (yang sebelumnya disebut: antiques, popular antiquities,
atau popular literature).
Folklor dari bahasa Inggris: “folklore”, berasal dari dua
kata, yaitu: “folk” dan “lore”.
Folk artinya kolektif
(collectivity). Folk adalah
sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan
kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya.
Ciri-ciri Folklore
·
Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara
lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan
suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat)
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
·
Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam
bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif
tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
·
Folklore ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian
yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut,
biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri
manusia atau proses interpolasi (penambahan atau pengisian unsur-unsur baru
pada bahan folklor), folklor dengan mudah mengalami perubahan. Walaupun
demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk
dasarnya dapat tetap bertahan.
·
Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah
tidak diketahui oleh orang lain.
·
Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau
berpola. Cerita rakyat misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise seperti
“bulan empat belas hari” untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis, dan
lain-lain.
·
Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama
suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat
pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
·
Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika
sendiri yang tidak sesuai logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi
folklor lisan dan sebagian lisan.
·
Folklor menjadi milik bersama (collective) dari
kolektif tertentu. Hal ini diakibatkan karena penciptanya sudah tidak diketahui
lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
·
Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga
seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti
apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang
paling jujur manifestasinya.
Jenis-jenis Folklore
a. Folklor Lisan
Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental
(mentifact) yang meliputi sebagai berikut:
·
bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang,
bahasa tabu, otomatis;
·
ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran;
·
pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki;
·
sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair;
·
cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi
ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng
(folktale), seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa
Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, dan Jaya Prana serta Layonsari dari
Bali;
·
nyanyian rakyat, seperti “Jali-Jali” dari Betawi.
b. Folklor sebagian Lisan
Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact),
meliputi sebagai berikut:
·
kepercayaan dan takhayul;
·
permainan dan hiburan rakyat setempat;
·
teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;
·
tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang,
dan ngibing, ronggeng;
·
adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;
·
upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah,
dan temu manten;
·
pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan
meruwat.
c. Folklor Bukan Lisan
Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai
berikut:
·
arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti
Joglo di Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan
Honay di Papua;
·
seni kerajinan tangan tradisional,
·
pakaian tradisional;
·
obat-obatan rakyat;
·
alat-alat musik tradisional;
·
peralatan dan senjata yang khas tradisional;
·
makanan dan minuman khas daerah.
b. Pembahasan
Pulau Bali menyimpan berbagai cerita rakyat yang salah
satunya akan saya bahas dalam tulisan ini, cerita yang akan saya bahas adalah asal-usul
pulau Dewata. Berikut penjelasan asal-usul pulau Dewata.
Kedatangan seorang Maha Rsi Markandeya abad ke-7 memberikan
pengaruh besar pada kehidupan penduduk Bali. Beliau adalah seorang pertapa
sakti di Gunung Raung, Jawa Timur.
Suatu hari beliau mendapat bisikan gaib dari Tuhan untuk
bertempat tinggal di sebelah timur Pulau Dawa (pulau Jawa sekarang). Dawa
artinya panjang, karena memang dulunya pulau Jawa dan Bali menjadi satu
daratan.
Dengan diikuti oleh 800 pengikutnya, beliau mulai bergerak ke
arah timur yang masih berupa hutan belantara. Perjalanan beliau hanya sampai di
daerah Jembrana sekarang Bali Barat karena pengikut beliau tewas dimakan
harimau dan ular-ular besar penghuni hutan. Akhirnya beliau memutuskan kembali
ke Gunung Raung untuk bersemedi dan mencari pengikut baru.
Dengan semangat dan tekad yang kuat, perjalanan beliau yang
kedua sukses mencapai tujuan di kaki Gunung Agung (Bali Timur) yang sekarang
disebut Besakih.
Sebelum pengikutnya merabas hutan, beliau melakukan ritual
menanam Panca Dhatu berupa lima jenis logam yang dipercayai mampu menolak
bahaya. Perabasan hutan sukses, tanah-tanah yang ada beliau bagi-bagi kepada
pengikutnya untuk dijadikan sawah, tegalan, rumah, dan tempat suci yang dinamai
Wasukih (Besakih).
Di sinilah beliau mengajarkan agama kepada pengiringnya yang
menyebut Tuhan dengan nama Sanghyang Widhi melalui penyembahan Surya (surya
sewana) tiga kali dalam sehari, menggunakan alat-alat bebali yaitu sesajen yang
terdiri atas tiga unsur benda: air, api, dan bunga harum.
Pura Ulundanu
Ajaran agamanya disebut agama Bali. Lambat laun para
pengikutnya mulai menyebar ke daerah sekitar, sehingga daerah ini dinamai
daerah Bali, daerah yang segala sesuatunya mempergunakan bebali (sesajen).
Bisa disimpulkan bahwa nama Bali berasal dari kata bebali
yang artinya sesajen.
Ditegaskan lagi dalam kitab Ramayana yg disusun 1200SM:
"Ada sebuah tempat di timur Dawa Dwipa yang bernama Vali Dwipa, di mana di
sana Tuhan diberikan kesenangan oleh penduduknya berupa bebali (sesajen)."
Salah satu contoh Folklore Lisan dari Bali
·
Jaya Prana dan Layonsari
Inilah cerita kisah cinta Jayaprana dan Layonsari dari Bali
Utara. Makam Jayaprana dan Layonsari hingga kini ada dan dipercayaitu adalah
benar-benar makam mereka berdua. Dua orang suami istri bertempat tinggal di
Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang
perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat
orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggalah
seorang laki-laki yang paling bungsu bernama
I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu,
maka ia pun memberanikan diri mengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu
sangat rajin, rajapun amat kasih sayang
kepadanya. Saat itu I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia mempunyai paras
muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.
Beberapa tahun kemudian.
Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih
seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di
luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa
dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksan oleh raja akhirnya I
Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana
hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia
melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni
Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.
Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat
hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar,
sebaliknya Ni Layonsari pun sangat hancur hatinya baru memandang pemuda ganteng
yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik
orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke
istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima
oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.
I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero
Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya
Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa
dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati.
Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikimpoikan
dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I
Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.
Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba
datanglah I Jayaprana menghadap pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda
Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa
nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara
perkimpoiannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan
kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah,
balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.
Menjelang hari perkimpoiannya semua bangunan-bangunan sudah
selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba
hari upacara perkimpoian I Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke
rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara
selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh
para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I
Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus
langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya melihat wajah Ni
Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.
Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan
kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri
Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan
caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari
supaya masuk ke istana dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni
Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.
Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke
depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri
Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima,
untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang
yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel
yang bernama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang
tersebutlah I Jayaprana yang sangat brebahagia hidupnya bersama istrinya.
Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan
raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke
paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama
perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk
Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya.
Setelah senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh
istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat
di paseban kepada istrinya.
Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan
banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi
impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar
keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I
Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu
terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan
berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam
kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat
alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I
Jayaprana sudah meras dirinya akan dibinasakan kemudian I Saunggaling berkata
kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat
itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
“Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau
Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besa
Kuambil kujadikan istri raja
Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.”
Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana.
Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil
meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak.
Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin
mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski
pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air
mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera
bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I
Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang
berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah
menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di
angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja
membangun dan sebagainya.
Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel
kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering
mendapat bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati
karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I
Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia
segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua
orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan
tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal
dunia.
Selain Folklore Lisan di
atas, pulau Dewata juga mempunyai Folklore sebagian lisan, dan saya akan membahas
salah satu tarian rakyat dari Bali dan juga salah satu upacara adat di Bali.
Tari barong
adalah salah satu dari tari Bali peninggalan kebudayaan pra Hindu selain tari
Sangyang. Kata barong berasal dari kata bahruang berarti binatang beruang,
seekor binatang mitologi yang mempunyai kekuatan gaib, dianggap sebagai
binatang pelindung.
Tarian ini
menggunakan boneka berwujud binatang berkaki empat atau manusia purba yang
memiliki kekuatan magis. Tetapi di Bali pada kenyataannya Barong tidak hanya di
wujudkan dalam binatang berkaki empat akan tetapi ada pula yang berkaki dua.
Topeng
Barong dibuat dari kayu yang diambil dari tempat-tempat angker seperti kuburan,
oleh sebab itu Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan oleh
masyarakat Hindu Bali. Pertunjukan tari ini dengan atau tanpa lakon, selalu
diawali dengan demonstrasi pertunjukan yang diiringi dengan gamelan yang
berbeda-beda seperti gamelan Gong Kebyar, gamelan Babarongan, dan gamelan
Batel.
Perkembangan
Tari Barong
Pada
awalnya Barong hanya digambarkan dengan empat kaki, namun sesuai perkembangan
saat ini, Barong tidak hanya digambarkan sebagai binatang empat kaki, namun
bisa dua kaki, bahkan terkadang juga sosok manusia. Lantas, apa sebenarnya pengertian
Barong itu? Barong berasal dari bahasa sansakerta Bahruang yang artinya hewan
beruang. Dalam mitologi Hindu, binatang ini dianggap memiliki kekuatan gaib dan
sering disebut sebagai binatang pelindung makhluk hidup. Dengan mitologi ini
kita bisa menarik kesimpulan bahwa Barong adalah sosok pelindung bagi makhluk
hidup dan juga pembawa manfaat dan kebaikan bagi sekitarnya.
Jenis-jenis
Tari Barong
·
Barong singa adalah barong paling umum ditemukan di
Bali. Di Bali masing-masing kawasan memiliki roh penjaga di hutan atau
tanahnya. Masing-masing roh pelindung ini digambarkan dalam bentuk satwa
tertentu, Yaitu:
·
Barong Ket: barong singa, barong paling umum dan
melambangkan roh kebaikan.
·
Barong Landung: barong berwujud raksasa, dipengaruhi
budaya Tionghoa dan bentuknya mirip Ondel-ondel Betawi
·
Barong Celeng: barong berbentuk babi hutan
·
Barong Macan: barong berbentuk macan atau harimau
·
Barong Naga: barong berbentuk naga atau ular
·
Barongan Pilangrejo: barong berbentuk singa, berasal
dari kecamatan juwangi menggambarkan simbol kebuasan.
Disamping
jenis - jenis barong tersebut diatas, masih ada juga jenis-jenis barong yang
lain yaitu barong brutuk yang terdapat di desa Trunyan (sebuah Desa kecil di
pinggir sebelah timur dari Danau Batur ). Barong ini memakai bulu-bulu daun
pisang yang sudah kering (kraras) dan sangat dikeramatkan oleh masyarakat
Trunyan. Ada juga Barong yang biasanya dipertunjukkan khusus pada upacara
ngaben.
Selain tarian, folklore sebagian lisan yang ada di pulau
Dewata yaitu, upacara adat, salah satunya adalah Upacara Ngaben.
·
Upacara Ngaben
Ngaben
merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali, Indonesia. Upacara
adat Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk mengirim jenazah pada
kehidupan mendatang. Dalam upacara ini, jenazah diletakkan dengan posisi
seperti orang tidur. Keluarga yang ditinggalkan pun akan beranggapan bahwa
orang yang meninggal tersebut sedang tertidur. Dalam upacara ini, tidak ada air
mata karena mereka menganggap bahwa jenazah hanya tidak ada untuk sementara
waktu dan menjalani reinkarnasi atau akan menemukan peristirahatan terakhir di
Moksha yaitu suatu keadaan dimana jiwa telah bebas dari reinkarnasi dan roda
kematian. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol untuk menyucikan roh orang
yang telah meninggal.
Dalam
ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan
badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan
Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api),
apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu
membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal,
yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh
karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk
memisahkan roh dengan jasad kasarnya.
Tentang
asal usul kata Ngaben sendiri ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa
Ngaben berasal dari kata beya yang berarti bekal. Ada yang berpendapat
dari kata ngabu yang berarti menjadi
abu. Selain itu, ada pula yang
mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata Ngapen yakni penyucian dengan api.
Dalam kepercayaan Hindu, dewa Brahwa atau dwa pencipta dikenal sebagai dewa
api. Oleh karena itu, upacara ini juga bisa dianggap sebagai upaya untuk
membakar kotoran yang berupa jasad kasar yang masih melekat pada roh dan
mengembalikan roh pada Sang Pencipta.
Bagi
masyrakat di Bali, Ngaben adalah momen bahagia karena dengan melaksanakan
upacara ini, orang tua atau anak-anak telah melaksanakan kewajiban sebagai
anggota keluarga. Oleh sebab itu, upacara ini selalu disambut dengan suka cita
tanpa isak tangis. Mereka percaya bahwa isak tangis justru hanya menghambat
perjalanan roh mencapai nirwana.Hari yang sesuai untuk melakukan upacara Ngaben
biasanya didiskusikan dengan para tetua atau orang uang paham. Tubuh jenasah
akan diletakkan di dalam sebuah peti. Peti ini diletakkan di dalam sebuah
sarcophagus yang berbentuk lembu atau diletakkan di sebuah wadah berbentuk
vihara. Wadah ini terbuat darI kertas dan kayu. Bentuk vihara atau lembu ini
dibawa menuju ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi tersebut tidak
berjalan pada satu jalan lurus karena bertujuan untuk menjauhkan roh jahat dari
jenasah.
Puncak
Upacara adat Ngaben adalah prosesi pembakaran keseluruhan struktur yaknik Lembu
atau vihara tadi berserta dengan jenasah. Prosesi Ngaben biasanya memerlukan
waktu yang cukup lama. Bagi jenasah yang masih memiliki kasta tinggi, ritual
ini bisa dilakukan selama 3 hari. Namun, untuk keluarga yang kastanya rendah,
jenasah harus dikubur terlebih dahulu baru kemudian dilakukan Ngaben.
Upacara
Ngaben di Bali biasanya dilakukan secara besar-besaran seperti sebuah pesta dan
memakan biaya yang banyak. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang melakukan
upacara Ngaben dalam selang waktu yang lama setelah kematian. Saat ini, masyarakat
Hindu di Bali banyak yang melakukan upacara Ngaben secara massal untuk mengemat
biaya. Jadi, jasad orang yang sudah meninggal dimakamkan untuk sementara waktu
sambil menunggu biayanya mencukupi. Namun, bagi keluarga yang mampu, Upacara
adat Ngaben bisa dilakukan secepatnya.
Folklore bukan lisan dari pulau Dewata
·
Pakaian Adat Bali
Pakaian
bali yang umum terbagi menjadi 3 fungsi, yaitu pakaian untuk acara keagamaan,
pakaian acara pernikahan, dan pakaian adat yang digunakan untuk sehari-hari.
Tentu kita pun tau bahwa pakaian adat bali pria dan wanita pasti memiliki
perbedaan. Misalnya untuk mengetahui apakah seorang perempuan itu sudah menikah
atau masih gadis, bisa kita bedakan dari jenis sanggul yang digunakannya saat
ke pura. Perempuan yang masih gadis atau belum menikah menggunakan sanggul
pusung gonjer, sedangkan yang sudah menikah menggunakan sanggul pusung tagel.
Ada juga
pakaian bali paling mewah, yaitu busana agung yang dikenakan dalam acara
tertentu saja seperti acara perkawinan atau acara potong gigi. Pakaian mewah
ini ada beberapa variasi yang menyesuaikan dengan momen.
Wastra wali
atau wastra putih merupakan kain yang digunakan khusus dalam suatu upacara
Sebagai simbol kesucian. Selain menggunakan wastra wali, seorang pria bali juga
menggunakan dodot atau kampuh kelagan yang dikenakan sampai menutupi dada.
Sedangkan bagi wanita, sebelum menggunakan kain wastra terlebih dahulu
menggunakan sinjang atau kain lapis yang berfungsi untuk mengatur langkahnya
agar terlihat anggun saat berjalan.
c. Penutup
Kesimpulan
Bali mempunyai banyak sekali budaya-budaya mulai dari cerita
rakyat, tarian tradisional, upacara adat dan juga pakaian adat. Tidak hanya di
Bali yang mempunyai banyak kebudayaan, dari sini Folklore tentu menawarkan
pesona cerita yang unik dan juga bisa menjadi penambah wawasan juga pengetahuan
bagi para pembacanya.
Saya harap dengan adanya tulisan yang saya buat ini para
pembaca dapat lebih menggali lagi kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia,
sehingga kita dapat tetap melestarikan dan juga menjaga kebudayaan yang
dimiliki ooleh Indonesia. Terima kasih.
Daftar pustaka
Almira Dwi Susanti
UJP B
Izin copas
BalasHapusInformatif, namun kurang teliti pada penulisan. Banyak sekali kesalahan cetak (Penulisan kata atau "Typo"). Harus dibedakan, dalam penulian Bahasa Inggris (Folklore) dengan Bahasa Indonesia(Folklor).
BalasHapusInformatif, namun kurang teliti pada penulisan. Banyak sekali kesalahan cetak (Penulisan kata atau "Typo"). Harus dibedakan, dalam penulian Bahasa Inggris (Folklore) dengan Bahasa Indonesia(Folklor).
BalasHapusMakasih. Cukup meluaskan wawasan
BalasHapusWah baru tau ternyata sejarahnya kayak gini, jadi inget study tour ke bali
BalasHapusPemaparannya cukup menarik dan dapat dimengerti
BalasHapusSangat informatif, menambah wawasan tentang Bali. Semoga ada tulisan lagi yang membahas kebudayaan lain di Indonesia!
BalasHapusInformasi yang diberikan sudah cukup jelas dan dapat dimengerti.
BalasHapusNamun, tata bahasa dan penulisan yang digunakan membuat orang yang membaca cenderung bosan. Lebih baik langsung membicarakan inti dari topik sehingga tulisanmya pun tidak terlalu panjang.
Akan lebih baik lagi jika dijelaskan pula pola persebaran folklore di bali. Sehingga di dapat kecenderungan pengetahuan dan pola pikir masyarakat di bali zaman dahulu dengan melihat tingkat persebarannya.