Sabtu, 02 Januari 2016

Folklore Indonesia


Folklore Si Pitung Jagoan Betawi
 
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga para penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Indonesia yang mempelajari tentang “Folklore Si Pitung Jagoan Betawi ”. Tidak lupa selawat serta salam semoga tercurah limpah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw. beserta keluarganya,  sahabat-sahabatnya dan sampailah kepada kita selaku umatnya.
Dalam penulisan ini  saya penulis banyak sekali menghadapi kesulitan, tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya saya  dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan kali ini saya ucapkan  terima kasih  kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini, terlebih kepada dosen mata kuliah Sejarah Indonesia.
Saya penulis menyadari bahwa dalam tugas ini masih terdapat berbagai kekurangan. Untuk itu, saran  dan kritik yang bersifat membangun dari Bapak/Ibu Dosen sangat saya harapkan untuk kesempurnaan pembuatan tugas di waktu yang akan datang.

                                                                                                 



                                                                                Jakarta, 31 Desember 2015





                                                                                            Nur Fitri Anaa




PEMBAHASAN

Flolklore Si Pitung Jagoan Betawi

  • ·         MENGENAL SOSOK SI PITUNG

Pitung adalah pahlawan yang sangat melegenda. Si Pitung lahir di daerah Pengumben, di sebuah kampung di Rawabelong, Kebayoran Lama, yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah. Pitung merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara.
Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin, seorang pedagang kambing. Si Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari bahasa Sunda pitulung (minta tolong atau penolong). Kemudian, nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen). Pada dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasarkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda. Cerita si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian legenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), sair, atau cerita Lenong. Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung diidentikan dengan tokoh Betawi yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial

“Jadi Pitung berasal dari Rawa Belong, Kebayoran Lama, bukan dari Marunda,” kata Bachtiar, pimpinan sanggar Si Pitung, Rawa Belong, Kebon Jeruk, Jakbar.
Bachtiar, pimpinan sanggar Si Pitung
 
"Si Pitung" dapat ditemukan dalam keterangan yang terpampang di dinding rumah Rumah Pitung di kawasan Marunda, Jakarta Utara. Dalam catatan yang tertera di Rumah Pitung,  ditambah penjelasan  tokoh masyarakat setempat, Sidik dikatakan bahwa ibu kandung Pitung berasal dari Rawa Belong, Jakarta Barat, dan ayahnya berasal dari daerah Cikoneng, Tangerang, Banten. Ketika menginjak usia sekitar 8 tahun, Pitung mengalami kepahitan hidup. Kala itu, kedua orang tuannya bercerai, karena sang ibu menolak untuk dimadu. Akhirnya Pitung kecil ikut ibunya kembali ke Rawa Belong, sedangkan ayahnya tetap tinggal di Cikoneng bersama istri mudanya. Dijelaskan juga, bahwa ayah Pitung bekerja pada seorang  tuan tanah di Cikoneng. Sejak kecil dia belajar mengaji dan silat di langgar yang ada di Kampung Rawa Belong.  Konon, setelah tinggal bersama ibunya di Rawa Belong, untuk membantu perekonomian sang ibu, Pitung kecil bekerja sebagai pengembala kambing, milik kakeknya.
Si Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin, seorang pedagang kambing. Aksi si Pitung dimulai saat sepulang dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Uang hasil penjualan kambingnya dirampas kelompok Daeng Marais alias Rais, jawara berdarah Bugis. Kehebatan gerak silat Pitung diuji ketika usai menjual kambing di Tanah Abang. Uang hasil penjualan dicopet segerombolan pemuda. Terjadilah perkelahian dengan kawanan pencopet. Dalam beberapa jurus, seluruh copet kampung itu terkapar di tanah. Melihat kehebatan korbannya, kawanan pencopet itu malah meminta agar Pitung menjadi pemimpin mereka. Pitung takut pulang ke rumah sebelum uangnya kembali. Dari situ, babak baru Pitung dimulai.

  • BERTANDANG KE KAMPUNG BANG PITUNG 
Salah satu upaya untuk menjaga kelestarian sejarah Si Pitung dilakukan warga Rawa Belong dengan membangun Lembaga Agama dan Kebudayaan Sanggar Si Pitung, yang didirikan pada 1995. Di sanggar yang terletak di Jalan Yusuf RT 004 RW 011 No 8, Rawa Bellong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat inilah, anak-anak serta remaja Rawa Belong menimba ilmu mengaji dan silat khas Rawa Belong. Cingkrik, begitu aliran silat itu tersohor. 


Cingkrik adalah silatnya khas Rawa Belong. Istilah cingkrik sendiri muncul dari ungkapan Betawi, yaitu ‘jingkrak-jingkrik- atau ‘cingkrak-cingkrik’, yang berarti gesit dan lincah. Keunikan silat ini adalah pelakunya yang selalu melompat-lompat layaknya kera. Dari gerakan jejingkrakan itulah, nama Cingkrik akhirnya diabadikan.Di kampung Rawa Belong Cingkrik menjadi besar. Saat ini sedikitnya terdapat 200 murid yang saban hari mengaji dan belajar silat di sanggar. Semuanya tanpa dipungut biaya. Soal darimana pemasukan sanggar, itu berasal dari tiap-tiap undangan yang datang kepada mereka untuk mengisi beberapa acara kebudayaan Betawi ataupun tiap acara pernikahan Betawi yang menginginkan adat Betawi.
 

  • ·         WANGI PASAR BUNGA RAWA BELONG


Pasar Rawa Belong bisa menjadi penyegar perjalanan menyusuri jejak Pitung. Konon, selesai berguru kepada Haji Naipin, Pitung pulang ke Rawa Belong. Dia bekerja sebagai pengunduh (penebas) dari pohon-pohon yang panen. Buah-buah yang dipetiknya lantas dijual di pasar ini. Pasar Rawa Belong kini maju pesat. Pasar yang disebut-sebut ada sejak awal abad ke 19 ini menjadi salah satu primadona Jakarta dan Indonesia. Luas lahannya yang mencapai. 1,4 hektar, Pasar Bunga Rawa Belong dikenal sebagai pusat penjualan bunga terbesar di Asia Tenggara.
          Pasar Rawa Belong tepatnya berlokasi di Jalan Sulaiman, Rawa Belong. Letaknya, tak jauh dari pertigaan Rawa Belong yang membelah Rawa Belong lama di Jakarta Selatan dengan Palmerah di Jakarta Barat. Memasuki pasar bunga ini, mata kita langsung dimanjakan jejeran ribuan bunga yang siap dijual. Bunga didatangkan dari berbagai daerah, mulai Cianjur, Blora, hingga dari Jawa Timur. Jika ditotal, ada 700 pedagang di pasar ini yang berjualan secara turun temurun. Pasar Rawa Belong mencatat omzet Rp 40 miliar per tahun dari tiap transaksinya.

  • ·         RUMAH SI PITUNG DI KAMPUNG MARUNDA


          Orang menyebut bangunan rumah panggung model Bugis Melayu yang terletak di Jalan Kampung Marunda Pulo, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara ini, sebagai Rumah Si Pitung. Rumah yang mempunyai halama seluas 700 meter persegi ini kondisinya Nampak gagah dan terawatt lantaran baru direnovasi dua tahun silam. Konon, model panggung tak terlepas dari kondisi sejarah Marunda yang awalnya hingga sekarang masih didominasi rawa-rawa yang ditumbuhi pohon bakau. Sebagian rumah warga lainnya juga masih mempertahankan bentuk model rumah seperti ini. Rumah Pitung didominasi warna cat merah delima. Bangunannya memiliki panjang 24 meter dan lebar 15 meter. Ada sekitar 40 buah tiang setinggi dua meter untuk menopang bangunan ini. Lantaran model panggung, maka kita harus menaiki tangga setinggi tiga meter untuk bisa masuk ke dalam rumah bersejarah ini. Rumah Si Pitung berlantai kayu papan. Di pintu masuk, tertulis pengunjung tak lebih dari lima orang sekali masuk, agar lantai tidak ambruk. Akses masuk an keluar dibuat pada satu pintu, yakni dari teras depan rumah. Di sinilah ‘Bang Pitung’ menyambut. Bagian teras diisi meja bulat plus kursi serta empat stoples khas Betawi. Manekin (patung peraga) di teras ini menjadi pencuri perhatian bagi siapa pun yang datang. Pitung digambarkan dengan kostum dan peci hitam serta sarung hijau menggantung di leher.

Bangunan panjang ke belakang. Terdapat satu kamar tidur dan masing-masing satu ruang makan dan dapur. Di dalam rumah pun terdapat beberapa perabot gaya Betawi, seperti meja dan kursi makan kuno dengan teko kendi berbahan tanah liat, tempat tidur lengkap dengan kelambu, peralatan dapur, alat musik khas Betawi, dan congklak yang diletakkan di ruang tengah bangunan.

Dari lantai menuju langit-langit, bangunan ini hanya setinggi tiga meter. Harus sesekali merunduk jika melangkah melewati kayu peyangga atap. Di dinding kayu sekeliling rumah, terdapat panel yang memuat kisah si Pitung yang dikutip dari artikel “Si Pitung, Perampok atau Pemberontak”, yang ditulis buayawan Ridwan Saidi pada 2009. Meski sudah berulang kali direnovasi, tetap ada beberapa bagian lainnya yang tetap dipertahankan. Yang asli adalah empat tiang di teras depan rumah serta beberapa jendela dan gagang pintu yang masih dipertahankan nilai sejarahnya.
Di sebelah Rumah Si Pitung terdapat dua bangunan baru, yang dibangun pada tahun 2010, dengan arsitektur serupa. Bangunan pertama rencananya untuk perpustakaan. Sementara bangunan kedua digunakan untuk kantin.

Dari informasi di dinding itulah, kesejatian bangunan ini didapat. Walaupun diberi nama Rumah Si Pitung, sejatinya bangunan ini bukan rumah kelahiran atau milik keluarga Pitung. Rumah panggung yang tak jauh dari Rumah Susun Marunda ini sebenarnya milik Haji Syaifuddin, seorang tuan tanah asal Bugis yang rumahnya sempat dijarah Pitung dan kawanannya.
 Kemudian, mengenai cerita perampokan dan peralihan kepemilikan rumah H. Syafiudin, terdapat dua versi. Versi pertama mengatakan, bahwa Si Pitung memang benar-benar merampok rumah H. Syaifudin dengan alasan ia tidak peduli terhadap rakyat miskin. Sedangkan versi kedua meragukan tindak perampokan tersebut, malah memperkirakan, bahwa H. Syaifudin justru menyerahkan rumah miliknya kepada Pitung dengan ikhlas, berikut sejumlah uang untuk membantu perjuangannya. Selain merampok, di rumah ini Pitung juga sempat bersembunyi untuk beberapa malam.

          Sebagai seseorang yang digelari “perampok” oleh Belanda dan para tuan tanah, memamg membuat nama Pitung jadi jelek, karena identik dengan perbuatan melawan hukum. Namun demikian, ternyata Pitung tidak pernah merasakan hasil rampokannya. Bahkan, ia pun tidak pernah beristri, walau sempat bertunangan. Sebagai seorang buronan yang tidak menetap di suatu tempat, keinginan untuk melanjutkan ke pelaminan tidak pernah terlaksana. Pitung juga adalah sosok yang religius dan menganut satu aliran tariqat. Ia tidak pernah berjudi, apalagi mabuk-mabukan, sebagaimana kebiasaan kebanyakan pemuda, kala itu. Berada dalam lingkungan pendidikan H. Naipin, saat ia menempa diri, Pitung juga dapat menulis dalam aksara Arab dan Latin.

Mengenai kenapa dan untuk apa Pitung melakukan aksi perampokan, beberapa sumber di “Rumah Pitung,” menjelaskan, hal itu dijalankan setelah tokoh-tokoh pemberontak dan pembela petani di Jakarta dan sekitarnya kesulitan dana.
Kala itu, tokoh yang paling banyak menyumbang dana untuk para pejuang, adalah Raden Saleh. Di mana akhirnya, pada 1870 harta Raden Saleh disita oleh pihak Belanda. Selanjutnya, pada 1880, Raden Saleh meninggal dunia di daerah Bogor, Jawa Barat, dalam keadaan miskin.
Pada intinya, menurut sumber yang sama, seluruh harta hasil rampokan Si Pitung diserahkan untuk kepentingan perjuangan. Dan, bukan untuk dibagi-bagikan langsung kepada rakyat kecil sebagaimana selama ini didongengkan. Maka itu pulalah, di luar konteks kesaktiannya,  Pitung amat sulit ditangkap oleh Belanda, karena banyak tokoh yang melindungi.


  • ·         MASJID SI PITUNG DI MARUNDA

Kampung Marunda Pulo memiliki masjid tertua tempat si Pitung sempat singgah dan menuaikan sholat, Masjid Al Alam Marunda. Kehadiran Pitung membuat masjid ini dikenal dan tersohor dengan nama Masjid Si Pitung.
          Masjid Al Alam berdiri sekitar abad ke 16. Posisinya masih di Kampung Marunda Pulo, namun lebih dekat menuju bibir Pantai Marunda, Jakarta Utara. Jaraknya hanya 200 meter dari Rumah Si Pitung. Dalam beberapa catatan sejarah, masjid ini dibangun Fatahillah pada 1527. Cerita warga setempat secara turun temurun, konon Masjid Al Alam ini hanya dibuat dalam satu malam.  Arsitekturnya mengingatkan kita pada bangunan Masjid Agung Demak. Bentuk bangunan masih dipertahankan aslinya. Masjid ini ukurannya tak lebih dari mushala, luasnya 64 meter persegi (8 x 8 meter). Peninggalan orisinal, terdapat pada empat pilar besar bantet penyangga masjid. Empat pilar konon mengandung filosofi pegangan hidup umat manusia : Islam, iman, ilmu, dan amal.

Dulunya, Pitung menggunakan masjid ini untuk bersembunyi. Di masjid ini dia bisa tak terlihat dari kejaran kompeni (Belanda). Masjid ini hanya setinggi empat meter dari lantai menuju langit-langit. Mungkin cukup terasa pengap sebelum pengelola meletakkan kipas angina di sisi atas dan sudut masjid. Catatan sejarah yang mengiringi perjalanan rumah Allah ini membuat Masjid Al Alam menjadi lokasi ziarah favorit para pengunjung senusantara. Biasanya, pengunjung tumplek pada saat hari-hari raya Islam, termasuk Idul Fitri. Tak lengkap pula rasanya jika berkunjung ke masjid ini tanpa mengambil air wudhu di Sumur Tiga Rasa. Sumur kecil yang terletak persis di sisi sebelah kiri masjid. Nama sumur diambil lantaran airnya memiliki tiga rasa : asin, pahit, dan payau rasa air rawa.


Sejumlah penduduk meyakini, atas izin Allah, air di sumur ini juga berkhasiat untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Pertama kali cicip, mungkin akan berasa air tawar, kedua kalinya akan berasa tawar layaknya air tanah. Begitu juga ketika kembali mengambil air untuk ketiga kalinya, airnya akan berubah menjadi asin. Hal ini mungkin terjadi lantaran posisi sumur yang berada di antara tiga pertemuan : rawa, air tanah, dan air pantai. Dulunya sumur ini hanya berupa kolam. Kemudian oleh pengelola masjid dirapihkan dan diubah menjadi sumur karena banyak yang mengambil air wudhu di tempat ini.  

  • ·         PANTAI MARUNDA

Pantai Marunda berada 50 meter di belakang Masjid Al Alam. Lokasinya menjadi salah satu tempat favorit wisata air di Jakarta Utara. Konon, Pitung juga sempat menghabiskan waktu di pantai ini untuk merenung dan mengasingkan diri. Pantai ini tak ada pasir karena pinggiran pantai sudah dibangun dinding beton.
          Pemandangan indah akan terlihat sore hari saat kapal-kapal tongkang dari pelabuhan bersandar tak jauh dari pantai. Di pantai ini, juga ada menu favorit penganan yang dibuat dari bahan ikan-ikanan. Mulai dari ikan bakar, goreng, pecak, hingga bumbu rujak, ada semua di sini. Para pedagang makanan berjejer sepanjang bibir pantai dengan menyediakan jejeran meja untuk santap hidangan. Untuk tarif masuk pantai, cukup rogoh kocek Rp 2000.

  • MASJID AL ATIQ DI KAMPUNG MELAYU BESAR

Dalam kisahnya, Pitung sempat berhasil lolos dari Penjara Meester Cornelis pada 1891. Setelah lolos berkat kekuatan tenaga dalam, Pitung menyusuri Kali Ciliwung dan sempat singgah di masjid Al Atiq yang terletak di Jalan Masjid, Kampung Melayu Besar, Tebet, Jakarta Selatan. Konon, berdasarkan cerita dari turun temurun, masjid ini memiliki karamah yang mampu membuat tempat ibadah ini tak mampu dimasuki bala tentara Belanda.
Salah satu versi menyebutkan, masjid ini pertama kali dibangun pada abad ke 16 oleh sultan pertama Banten, Maulana Hasanuddin, yang berkuasa pada 1552-1570. Arsitekturnya serupa dengan Masjid Al Alam Marunda dan Masjid Agung Demak.

  • ·         Pitung Jagoan Betawi dari Rawa Belong  
Selama delapan tahun (1886--1894 ) Si Pitung, oleh penjajah Belanda dianggap sebagai orang yang meresahkan Batavia (Jakarta).  Karenanya, Penasehat Pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje mengecam Kepala Polisi Batavia, Schout Hijne, yang dianggap tidak becus dalam upaya menangkap Si Pitung. Bahkan dikisahkan, agar dapat menangkap Pitung, Polisi berbola mata biru itu sempat meminta bantuan orang pintar atau paranormal.
Hurgronje marah besar atas tindakan itu, ia menganggap kepala polisinya sangat keterlaluan, “Sungguh keterlaluan, jika seorang Eropa semisal Hijne, harus meminta bantuan dukun (orang pintar) hanya untuk menangkap seorang Pitung.”
Hurgronje menganggap Kepala Polisi. Ini sebagai orang yang sangat tidak terpelajar. Dikarenakan ia tidak mampu memperhitungkan kehadiran alat transportasi baru, berupa kereta api, yang biasa dinaiki oleh Si Pitung, hilir mudik, pada saat itu.
Dengan segala cara, Si Pitung dapat ditangkap dan dijeboskan ke dalam penjara Meester Cornelis pada 1891. Namun, karena kesaktiannya, Pitung pun berhasil meloloskan diri. Selanjutnya, ketika sudah berada di luar penjara, Si Pitung dikabarkan masih sempat membunuh seorang Demang Kebayoran yang menjadi musuh para petani di daerah tersebut. Di mana, sang Demang, sebelumnya pernah menjebloskan
Dji’ih, saudara sepupu Pitung ke dalam sel tahanan Belanda.
Aksi kelompok Pitung berlangsung selama 16 bulan, sejak 26 Juni 1892 sampai 19 Oktober 1893. Pitung dan Dji’ih merampok orang-orang kaya yang jahat. Salah satu balas dendamnya adalah dengan merampok harta Haji Syaifuddin, seorang tuan tanah kaya di daerah Marunda, Jakarta Utara. Rumah Haji Sayaifuddin yang diramnpok Pitung itulah yang sekarang ditetapkan sebagai benda cagar budaya DKI Jakarta, dan diberi nama ‘Rumah Si Pitung’. 
Pasalnya, meski Pitung suka merampok, tapi bukan untuk memperkaya diri melainkan untuk perjuangan. Di kalangan penganut thariqat, sebagaimana dianut oleh Si Pitung, berkembang keyakinan, bahwa merampas harta musuh untuk kepentingan perjuangan, adalah suatu perbuatan yang dihalalkan. Sebagaimana dikenal bahwa Pitung kerap melakukan perampokan terhadap tuan-tuan tanah dan para Demang yang menzalimi rakyat kecil, hal itu, konon dilakukan tanpa berkomplot. Pada catatan tersebut diterangkan, Dalam perjalanan aksi perampokannya, Si Pitung tidak membangun komplotan, melainkan dijalaninnya berdua dengan sepupunya, Ji’ih. Di mana, kemudiaan Ji’ih tertangkap Belanda dan dihukum mati. Setelah itu, Si Pitung bekerja sendiri. Karena itulah Polisi Belanda sulit mendapatkan informasi tentang Si Pitung.
Dikisahkan juga, sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, dari dalam tahanan Meester Cornelis, Si Pitung konon masih sempat beberapa kali berhasil menyelundupkan surat yang ditujukan kepada pengurus Masjid Al-Atiq, Kampung Melayu. Namun tidak ada keterangan tertulis mengenai apa yang disampaikan oleh Pitung dalam suratnya itu. Hanya saja, dalam kisah tutur, melalui surat itu, Pitung memberi seruan pada kaum Muslimin, untuk terus berjuang, serta meyampaikan beberapa rahasia Belanda. Dalam surat itu pula, Pitung menggunakan nama samaran, Sholihin. Sholihin, dipilih sebagai nama samarannya, menurut beberapa sumber, karena diinterpretasikan sesuai dengan maknanya, “Orang-orang Sholeh.” 

  • Kabur dari Penjara

Rumah Tahanan Meester Cornelis di Jatinegara pada 1800an.

          Pitung yang menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996). Karmani menulis novel Si Pitung. Dalam novel ini, dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali, "Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal." (Rahmat Ali 1993:7).
          Pada 1892, Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) memberi nasihat untuk menangkap Si Pitung. Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian, pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Berdasarkan rumor, Pitung pernah menampakkan diri kepada seorang wanita di sebuah perahu dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda, 12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan. Karena sulitnya menemukan dan menangkap si Pitung, harga untuk penangkapan Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden. Pemerintah Belanda pada saat itu ingin menembak mati Pitung di tempat, tetapi sebagian pejabat mengatakan, jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak ditempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga.
          Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil. Karena kejadian tersebut, Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah belincong (sejenis linggis pencungkil) kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2). Akibatnya, Si Pitung lepas lagi.
 Sebagai tindakan balas dendam, Pitung melakukan pencurian dengan kekerasan termasuk dengan menggunakan senjata api. Akhirnya, Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2).
Dia juga mencuri dari wanita pribumi, Mie, termasuk pakaian laki-laki serta pistol revolver dengan pelurunya. Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C, seorang pedagang wanita di Kali Besar yang menyatakan bahwa Pitung mencuri sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahunya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).

  • ·         Misteri Ilmu 'Kepala Putus'
Pitung disebut-sebut memiliki ilmu yang tinggi sehingga sering lolos dari maut. Ilmu yang dimilikinya menjadi legenda, dikenal dengan nama ilmu rawe rontek. Konon ilmu yang dimiliki oleh Si Pitung dapat menyerap energi lawan-lawannya hingga seolah-olah dia menjadi dapat menghilang. Konon ceritanya pantangan pemilik ilmu dahsyat ini tidak boleh menikah. Maka gara-gara ilmu rawe rontek ini Pitung tidak menikah, sehingga ia tetap membujang hingga akhir hayatnya, diperkirakan umurnya 40 tahun. Rawe rontek yang arti bahasanya adalah kepala putus. Ilmu ini konon dapat membuat pemiliknya menjadi kebal dari senjata tajam, senjata api, racun atau santet dan sihir. Tidak banyak orang yang bisa menguasai ilmu rawe rontek. Sebab untuk memperoleh ilmu ini bukan hal yang gampang. Harus melewati ritual yang berat untuk menguasai ajian ini. Selain itu harus pula dibarengi dengan keyakinan yang penuh. Terdapat rapalan khusus dan syaratnya berpuasa 40 hari. Ada pula ketentuan-ketentuan lain yang berat.
          Ada juga cerita bagi yang memiliki ilmu rawe rontek apabila anggota badannya terputus maka akan segera tersambung lagi. Sehingga untuk mensiasati hal ini dengan membakar atau menyangkutkan bagian-bagian tubuhnya di atas pohon atau genteng rumah supaya tidak menyentuh tanah.
“Saya dulu punya guru di Tasikmalaya yang memiliki ilmu rawe rontek. Umurnya memang sangat panjang seratus tahun lebih. Ketika sakit keras karena usia, dia sulit meninggal. Bertahun-tahun terkapar di kasur. Begitu meninggal, tubuhnya dipisahkan seperti pesannya semasa hidup,” kata ustad Surya ketika ditemui di rumahnya, di belakang kantor Imigrasi Jakarta Selatan, Mampang, Jaksel.
Dia menjelaskan bahwa ilmu rawe rontek tidak dapat diturunkan, seseorang harus berusaha sendiri untuk menguasainya. Pemilik ajian rawa rontek harus melewati tahap-tahap penyempurnaan ilmunya. Rawa rontek sendiri memiliki tingkatan-tingkatan, rendah, menengah dan tinggi.
Pada tingkatan rendah, jin jahat bersemayam di badan pemiliknya, tujuannya untuk ilmu kebal, tahan pukul, bacokan, dan tusukan senjata tajam.
Pada tingkatan menengah, khodam mulai mendekat ke kulit pemiliknya. Biasanya tahapan ilmu kebal tingkat menengah lebih kuat dari tingkat rendah.
  • Hari Kematian Jagoan Betawi

          Djiih, sahabatnya Si Pitung ditangkap kembali di kampung halamannya, ketika sedang menderita sakit. Pada saat itu, Djiih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan. Kemudian, dia pindah ke rumah orangtua yang dikenal. Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang, kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Djiih di rumahnya. Karena dia terlalu sakit, ia tidak berdaya untuk melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam jangkauannya (Hindia Olanda 19-8-1893:2). Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini, kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Djiih kabur ke Singapura. Informan yang bertanggung jawab melaporkan Djiih, kemudian ditembak mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak jauh dari Batavia beberapa minggu kemudian.
          Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si Pitung. Akhirnya, diketahui kesaktian tersebut berupa “jimat”, sehingga Hinne dapat menangkap Si Pitung secara lebih cepat. Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Djiih), walaupun versi ini diragukan kebenarannya. Tetapi, menurut versi film Si Pitung Banteng Betawi (1971), ia dikhianati oleh Somad yang memberitahukan kelemahan Pitung untuk mengambil jimatnya. Kisah lainnya menyatakan bahwa Pitung telah diambil Jimat Kerisnya, sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Versi lainnya mengatakan bahwa kesaktian Pitung hilang, setelah dipotong rambut, dan versi lain mengatakan bahwa kesaktiannya hilang karena seseorang melemparkan telur.

Beberapa bulan kemudian, di Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Kemudian, dalam perjalanan, Hinne diberi laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893). Kemudian, Hinne menembaknya dalam penyergapan itu. Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian, Hinne menembak kedua kalinya, tetapi meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya, Senin, pukul 17.00, jenazahnya dibawa ke pemakaman Kampung Baru.
  • Kisah Tewas dengan Peluru Emas

Makam di depan Gedung Telkom, di Jalan Palmerah Utara, Palmerah, Jakarta Barat. Ini diduga sebagai makam jagoan Betawi Si Pitung

http://ads.viva.co.id/ads/www/delivery/lg.php?bannerid=29&campaignid=13&zoneid=732&loc=http%3A%2F%2Fmetro.news.viva.co.id%2Fnews%2Fread%2F605990-kisah-beda-si-pitung-9--tewas-dengan-peluru-emas&referer=https%3A%2F%2Fwww.google.co.id&cb=450d873ee0
Di  sisi kanan depan gedung Telkom, Jalan Palmerah Utara, Palmerah, Jakarta Barat, terdapat serumpun bambu. Di bawah rumpun bambu itu, di tanah seluas tak lebih dari 3x5 meter persegi terdapat kuburan berpagar besi. Di makam yang hanya dipisahkan saluran air dengan lebar satu meter dari jalan raya itu diduga disemayamkan seorang jagoan legenda Betawi, Pitung. Meski tidak ada bukti otentik, seperti batu nisan yang memberikan informasi tentang siapa yang dimakamkan, Bachtiar, pengurus Sanggar Betawi si Pitung yang juga pesilat Betawi Cingkrik ini percaya pada cerita orang tua zaman dulu.

          "Dari cerita orang tua dulu, itu adalah kuburan Pitung. Bahkan konon katanya yang dikubur adalah tubuh bagian bawah Pitung. Tapi saya tidak mengetahui tanggal dan tahun kapan pastinya Pitung meninggal dunia,” katanya.
Melihat kondisi makam yang tidak terawat, kuburan  Pitung itu jelas tidak memiliki pengurus makam. Bachtiar mengatakan, makam Si Pitung sengaja tidak terlalu digembar-gemborkan ke publik karena khawatir akan dikeramatkan. Maka kuburannya dibuat biasa, jika dilihat sekilas cuma tanah datar.
          Alwi Shahab, budayawan Betawi, menulis bahwa jagoan kelahiran Rawa Belong, Jakarta Barat, ini telah membuat repot pemerintah kolonial di Batavia. Berdasarkan cerita rakyat, Pitung mati setelah ditembak dengan peluru emas Schout van Hinne dalam suatu penggerebekan karena ada yang mengkhianati dengan memberi tahu tempat persembunyiannya.
          Ia ditembak dengan peluru emas  Schout van Hinne (setara Kapolres) karena dikabarkan kebal dengan peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap si Pitung, sampai tempat ia dimakamkan dirahasiakan. Menurut koran Hindia Olanda (18-10-1893:2), sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu. Seperti yang diceritakan dalam legenda, kesaktian Pitung hilang akibat jimat-nya diambil. Versi lain menyatakan, Pitung dapat dikalahkan jika dipotong rambutnya. Berdasarkan koran Hindia Olanda, sebelum kematiannya Pitung telah dipotong rambutnya.
          Si Pitung, berdasarkan cerita rakyat (folklore) yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil belajar mengaji di langgar (musala) di kampung Rawa Belong. Dia, menurut istilah Betawi, ‘orang yang denger kate’. Dia juga ‘terang hati’, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustaznya, sampai mampu membaca (tilawat) Alquran. Selain belajar agama, dengan H Naipin, Pitung –seperti warga Betawi lainnya–, juga belajar ilmu silat. H Naipin, juga guru tarekat dan ahli silat. Salah satu ilmu kesaktian yang dipelajari  Pitung disebut Rawe Rontek. Gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Pitung dapat menyerap energi lawan-lawannya. Seolah-olah lawan-lawannya itu tidak melihat keberadaan Pitung. Karena itu dia digambarkan seolah-olah dapat menghilang. Menurut cerita rakyat, dengan ilmu kesaktian rawa ronteknya itu, Pitung tidak boleh menikah. Karena sampai hayatnya ketika ia tewas dalam menjelang usia 40 tahun Pitung masih tetap bujangan.
“Ada versi tentang kuburannya, katanya badannya dibelah, dikubur di beberapa tempat seperti Jembatan Lima dan Pulau Onrust. Tujuannya, supaya badannya tidak menyatu lagi karena Pitung punya ilmu Rawe Rontek, mati bisa hidup lagi,” ujar Bachtiar.

PENUTUP

KESIMPULAN
Si Pitung adalah pemuda asal Betawi yang rajin mengaji dan jago silat. Pada saat itu, Belanda sedang menjajah Indonesia. Si Pitung merasa iba dengan penderitaan rakyat kecil. Akhirnya, Pitung merencanakan perampokan di rumah tuan tanah Belanda bersama temannya. Hasil rampokan Pitung kemudian dibagikan kepada rakyat miskin.
Kesuksesan Pitung dan temannya dikarenakan oleh dua hal. Pertama, Pitung memiliki ilmu silat yang tinggi dan dikabarkan tubuhnya kebal peluru. Kedua, orang-orang tidak mau memberi tahu keberadaan Pitung. Namun, orang kaya korban perampokan. Akhirnya si Pitung di sergap ditembak dengan peluru emas. Ia pun tewas tetapi hingga kini si Pitung tetap dianggap sebagai pembela rakyat kecil.

SARAN
Sebagai generasi penerus bangsa, kita harus manghargai jasa para pahlawan kita karena pahlawan itu telah rela berkorban jiwa dan raga demi menegakan keadilan dan kebenaran yang telah dirusak oleh para penjajah. Walaupun Pahlawan kita Pitung merampok tapi beliau membagikan kepda rakyat yang miskin masih memperdulikan sekitarnya.


DAFTAR PUSTAKA

http://metro.news.viva.co.id/news/read/605559-kisah-beda-si-pitung-8--hari-kematian-jagoan-betawi 
http://metro.news.viva.co.id/news/read/604531-kisah-beda-si-pitung-6--misteri-ilmu--kepala-putus-
http://metro.news.viva.co.id/news/read/603986-kisah-beda-si-pitung-5--kabur-dari-penjara
http://metro.news.viva.co.id/news/read/603542-kisah-beda-si-pitung-3--kalahkan-copet-sekampung
http://metro.news.viva.co.id/news/read/602434-kisah-berbeda-si-pitung--jagoan-betawi-dari-rawa-belong--2-
http://metro.news.viva.co.id/news/read/602088-kisah-berbeda-si-pitung--jagoan-betawi-dari-rawa-belong--1-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar